1
BAB 1
A. Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat merupakan keinginan semua pihak, baik individu, keluarga, kelompok, bahkan masyarakat Prasetyawati, 2015.
World Health
Organization
mendefensikan kesehatan sebagai suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap dan semata-mata bukan hanya
bebas dari penyakit dan kelemahan Smeltzer Bare, 2001. Secara umum, pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai setiap upaya yang dilakukan secara
mandiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara, meningkatkan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan
kesehatan perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat Prasetyawati, 2015. Keperawatan merupakan suatu seni dan ilmu pengetahuan Potter Perry,
2009. Pelayanan keperawatan yang merupakan bagian integral pelayanan kesehatan dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu dan profesional
sehingga memungkinkan para perawat mempelajari dan menguji cara yang baru dan lebih baik untuk menolong pasien serta berperan aktif dalam menentukan
praktik terbaik untuk penanganan perawatan kulit, manajemen gizi, perawatan lansia dan pengendalian nyeri Potter Perry, 2009.
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial Smeltzer
Bare, 2001. Pengalaman nyeri adalah sesuatu hal yang mendasar dan menjadi bagian dalam kultur semua masyarakat di dunia Kopf Patel, 2010.
Nyeri merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis, serta dapat mengenai semua orang, tanpa mengenal jenis
kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan Meliala Pinzon, 2007. Bagi tenaga kesehatan, nyeri merupakan suatu masalah yang membingungkan, tidak
ada pemeriksaan untuk memastikan nyeri, sehingga untuk menilai nyeri, tenaga kesehatan hampir semata-mata mengandalkan penjelasan pasien tentang nyeri dan
keparahannya Price Wilson, 2005.
International Association for the Study of Pain
mendefenisikan nyeri sebagai “
an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or described in
terms of such damage
” IASP, 1979 dalam Kopf Patel, β010. Pengalaman nyeri merupakan masalah multidimensional, dimana setiap
intervensi dilakukan untuk mengatasi penyebab patofisiologi dan berbagai faktor psikososial yang menyertainya Widerstrom-Noga, 2009. Ahles 1983 dalam
Ardinata, 2007 telah membagi 5 kategori dimensi nyeri, meliputi dimensi sensori, fisiologi, afektif, kognitif, dan dimensi perilaku. McGuire 1987 dalam
Ardinata, 2007 menambahkan dimensi sosialkultural sebagai dimensi keenam fenomena nyeri, dimana keenam dimensi tersebut saling berhubungan,
berinteraksi, dan dinamis dalam setiap individu. Secara umum, nyeri dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu nyeri akut
dan nyeri kronis Smeltzer Bare, 2001. Nyeri akut biasanya berkaitan dengan distress fisik, muncul secara tiba-tiba dalam waktu yang relatif singkat
DiSantostefano, 2011. Sedangkan, nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu tertentu Smeltzer
Bare, 2001.
Apapun jenisnya, baik akut maupun kronis, nyeri yang dilaporkan pasien harus dianggap nyata, sekalipun penyebabnya tidak diketahui Kopf Patel,
2010; Smeltzer Bare, 2001. Sehingga tenaga kesehatan, khususnya perawat, dituntut harus mampu untuk melakukan pengkajian nyeri, termasuk deskripsi
nyeri dan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi nyeri serta respon individu terhadap strategi pereda nyeri Smeltzer Bare, 2001.
Manajemen nyeri yang efektif tentu diawali oleh pengkajian yang akurat Kopf Patel, 2010. Bates 1991 dalam Kopf Patel, 2010 menyarankan
pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi beberapa komponen, meliputi lokasi, deskripsi, intensitas, durasi, serta faktor-faktor pemicu dan pereda nyeri
pada pasien. Intensitas nyeri merupakan salah satu komponen yang sering dipakai
untuk menjadi acuan dalam penilaian nyeri individu Bruera et al, 2004. Untuk melakukan pengkajian intensitas nyeri, para ahli telah mengembangkan berbagai
instrumen untuk mengkaji nyeri individu, baik secara dimensi tunggal maupun dengan multidimensi Lyrawati, 2009. Untuk kepentingan penilaian nyeri secara
dimensi tunggal, telah dikembangkan instrumen berupa skala nyeri numerik dan skala nyeri verbal Lyrawati, 2009. Secara multidimensi, Whaley dan Wong
1991 dalam Lyrawati, 2009 telah mengembangkan skala wajah Wong Baker untuk melakukan penilaian nyeri individu.
Krebs dkk 2007 menemukan bahwa skala nyeri numerik NRSs paling akurat untuk mengindentifikasi nyeri pada pasien di unit perawatan primer. Dalam
penelitiannya, Bashir dkk 2012 mengemukakan bahwa skala wajah Wong Baker WBSs, skala nyeri numerik NRSs, dan skala nyeri verbal VRSs memiliki
sensitifitas yang baik untuk mengkaji nyeri pada pasien ostearthritis kronis, serta tidak ada perbedaan antara ketiga instrumen tersebut.
Sedangkan, dalam penelitiannya, Hjermstad dkk 2011 menemukan bahwa skala nyeri numerik lebih aplikatif untuk diterapkan dalam pengkajian
nyeri pasien dibandingkan dengan skala nyeri lainnya. Kawamura dkk 2008 menemukan bahwa skala nyeri wajah dapat digunakan untuk melakukan
pengkajian nyeri pada pasien post gastrectomy. Briggs dkk 2009 mengemukakan bahwa skala nyeri verbal lebih praktis untuk digunakan untuk
pengkajian nyeri dalam aplikasi klinis. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Aplikasi Perbandingan Pengkajian Nyeri dengan Menggunaan Skala Nyeri Numerik, Skala Nyeri Verbal, dan Skala Nyeri Wajah pada Pasien
Bedah di ruang rawat inap RB-3 RSUP Haji Adam Malik, Medan.
B. Rumusan Masalah