Krebs dkk 2007 menemukan bahwa skala nyeri numerik NRSs paling akurat untuk mengindentifikasi nyeri pada pasien di unit perawatan primer. Dalam
penelitiannya, Bashir dkk 2012 mengemukakan bahwa skala wajah Wong Baker WBSs, skala nyeri numerik NRSs, dan skala nyeri verbal VRSs memiliki
sensitifitas yang baik untuk mengkaji nyeri pada pasien ostearthritis kronis, serta tidak ada perbedaan antara ketiga instrumen tersebut.
Sedangkan, dalam penelitiannya, Hjermstad dkk 2011 menemukan bahwa skala nyeri numerik lebih aplikatif untuk diterapkan dalam pengkajian
nyeri pasien dibandingkan dengan skala nyeri lainnya. Kawamura dkk 2008 menemukan bahwa skala nyeri wajah dapat digunakan untuk melakukan
pengkajian nyeri pada pasien post gastrectomy. Briggs dkk 2009 mengemukakan bahwa skala nyeri verbal lebih praktis untuk digunakan untuk
pengkajian nyeri dalam aplikasi klinis. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Aplikasi Perbandingan Pengkajian Nyeri dengan Menggunaan Skala Nyeri Numerik, Skala Nyeri Verbal, dan Skala Nyeri Wajah pada Pasien
Bedah di ruang rawat inap RB-3 RSUP Haji Adam Malik, Medan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat disimpulkan rumusan masalah yang timbul adalah “Bagaimanakah aplikasi pengkajian nyeri
dengan menggunakan skala nyeri numerik, skala nyeri verbal dan skala nyeri wajah pada pasien bedah di ruang rawat inap RB-3 RSUP Haji Adam Malik,
Medan.”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Selama mengikuti Praktika Senior, mahasiswa program profesi Ners mampu mengaplikasikan pengkajian nyeri dengan menggunakan Skala Nyeri
Numerik, Skala Nyeri Verbal, dan Skala Nyeri Wajah pada pasien di ruang rawat inap RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. Tujuan Khusus
Selama mengikuti Praktika Senior di ruang rawat inap RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan, mahasiswa mampu :
a. Mengelola pelayanan kesehatan melalui proses pengorganisasian kegiatan
keperawatan secara efektif dan efesien dalam pelayanan keperawatan. b.
Mengaplikasi pengakajian nyeri dengan menggunakan Skala Nyeri Numerik, Skala Nyeri Verbal, dan Skala Nyeri Wajah pada pasien di ruang
rawat inap RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan dan menjalin hubungan interpersonal baik dengan pasien maupun tim medis lainnya serta
memberikan pendidikan kesehatan yang dapat dilakukan pasien. c.
Merumuskan penatalaksanaan pengkajian nyeri dengan menggunakan Skala Nyeri Numerik, Skala Nyeri Verbal, dan Skala Nyeri Wajah sesuai
dengan hasil pengkajian yang telah dilakukan.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Mahasiswa Program Profesi Ners
Latihan dan gambaran menjadi perawat profesional yang dapat memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif pada pasien.
2. Bagi Insitusi Pendidikan
Hasil praktika senior ini bermanfaat bagi institusi pendidikan untuk meningkatkan kompetensi lulusan institusi.
3. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil praktika senior ini dapat digunakan dalam pengkajian nyeri sebagai sumbangsih dan juga efektif untuk pentalaksanaan nyeri pasien dalam melakukan
tindakan keperawatan yang rasional di RSUP Haji Adam Malik Medan.
7
BAB 2
A. Konsep Pelayanan Asuhan Keperawatan
1. Defenisi Pelayanan Keperawatan
Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat, baik sehat maupun sakit UU No. 38 tahun 2014 tentang
Keperawatan, pasal 1 ayat 3.
2. Defenisi Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah rangkaian interaksi perawat dengan klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian
klien dalam merawat dirinya UU No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, pasal 1 ayat 5. Wahyuni 2008 menyatakan bahwa asuhan keperawatan adalah suatu
pelayanan profesional yang berdasarkan ilmuteori dari biologi, fisika, psikologi, perilaku, dan keperawatan untuk melakukan pengkajian, menentukan diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi supaya dapat meningkatkan dan menjaga kesehatan, menemukan kasus atau masalah baru, mencegah cedera
dan kecacatan, menjaga fungsi tubuh secara optimal dan pelayanan terminasi yang adekuat.
3. Pengkajian Keperawatan
Proses keperawatan adalah pendekatan keperawatan profesional yang diakukan untuk mengidentifikasi, mendiagnosis dan mengatasi respon individu
terhadap kesehatan dan penyakit. Proses ini dimulai dari tahap pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, penetapan rencana intervensi keperawatan,
selanjutnya tahap implementasi, dan diakhiri oleh tahap evaluasi. Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang
bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional klien pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respon klien saat ini dan
waktu sebelumnya Carpenito-Moyet, 2005 dalam Potter Perry, 2009. Tujuan dari pengkajian adalah untuk menyusun data dasar mengenai kebutuhan, masalah
kesehatan, dan respons klien terhadap masalah.
B. Konsep Nyeri
1. Defenisi Nyeri
Perdossi 2000 dalam Meliala, 2004 telah menerjemahkan defenisi nyeri dari defenisi
International Association for the Study of Pain
sebagai “pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik
aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut”.
Defenisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu
mengatakannya Smeltzer Bare, 2001. Oleh karena itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan pada laporan pasien bahwa nyeri ada.
2. Klasifikasi Nyeri
Secara umum, nyeri diklasifikasikan menjadi dua, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis Smeltzer Bare, 2001.Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan
umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasi cedera atau kerusakan telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit
sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan; nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu
bulan.
Nyeri kronis merupakan nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu tertentu Smeltzer Bare, 2001. Nyeri kronis
dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan
yang diarahkan kepada penyebabnya. Meskipun tidak diketahui mengapa banyak individu menderita nyeri
kronis setelah suatu cedera atau proses penyakit, diduga bahwa ujung-ujung saraf yang normalnya tidak mentransmisikan nyeri menjadi mampu untuk mencetuskan
sensasi nyeri, atau ujung-ujung saraf yang normalnya hanya mentransmisikan stimulus yang sangat nyeri, mentransimisikan stimulus yang sebelumnya tidak
nyeri sebagai stimulus yang sangat nyeri. Berdasarkan mekanismenya, Meliala 2004 mengklasifikasikan nyeri
menjadi nyeri nosiseptif, nyeri inflamasi, nyeri neuropatik, dan nyeri psikogenik. Nyeri nosiseptif nyeri fisiologis merupakan nyeri yang bersifat sementara
sebagai respons terhadap stimulus noksius.
Nyeri seperti ini jarang menyebabkan individu datang mencari pelayanan kesehatan, karena umumnya nyeri ini dapat hilang tanpa pengobatan atau dengan
analgesik ringan. Ciri utama nyeri nosiseptif adalah korelasi positif antara kekuatan stimulus dengan intensitas nyeri dan merupakan sensasi fisiologis yang
penting. Nyeri inflamasi dapat bersifat spontan atau dapat pula dipicu oleh
kerusakan jaringan atau proses inflamasi. Nyeri jenis ini berguna untuk mempercepat proses penyembuhan jaringan yang rusak. Gerak jaringan yang
rusak berkurang oleh karena adanya nyeri, sehingga memungkinkan proses penyembuhan berjalan dengan baik. Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang
disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf Meliala, 2004. Biasanya nyeri ini dialami oleh penderita diabetes mellitus, atau pada nyeri
pascaherpes. Nyeri psikogenik merupakan nyeri yang dikeluhkan tanpa adanya
penyebab organik. Woolf 2004 dalam Meliala, 2004 menyebut nyeri ini sebagai nyeri disfungsional karena timbulnya nyeri tersebut disebabkan abnormalitas atau
gangguan pada sistem saraf pusat, yang berupa peningkatan sensitivitas terhadap berbagai stimulus.
3. Fisiologi Nyeri
Struktur spesifik dalam sistem saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri
disebut sebagai sistem nosiseptif. Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri, yaitu transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi nyeri. Transduksi nyeri merupakan proses rangsangan yang mengganggu
sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi melewati saraf
perifer sampai ke terminal di medula spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medula spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan
aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis, serta melibatkan faktor-
faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Persepsi nyeri adalah pengalaman subjektif nyeri yang dihasilkan
oleh transmisi nyeri oleh saraf. Transmisi nyeri dimulai dari reseptor nyeri nosiseptor. Reseptor nyeri
adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak. Stimuli tersebut dapat berupa stimulus
mekanik, termal, maupun kimiawi. Sendi, otot skeletal, fasia, tendon, dan kornea juga memiliki reseptor nyeri yang berpotensi untuk mentransimisikan stimuli
yang menyebabkan nyeri.
Saraf perifer terdiri dari akson tiga tipe neuron yang berlainan, yaitu neuron aferen atau sensorik primer, neuron motorik, dan neuron pascaganglion
simpatis. Serat pascaganglion simpatis dan motorik adalah serat eferen. Badan sel dari neuron aferen primer terletak di akar dorsal nervus spinalis, dimana setelah
keluar dari badan selnya di ganglion akar dorsal, akson saraf aferen primer terbagi menjadi dua prosesus: satu masuk ke kornu dorsalis medula spinalis, dan yang
lain mempersarafi jaringan. Serat-serat aferen primer diklasifikasikan berdasarkan ukuran, derajat
mielinisasi dan kecepatan hantaran. Serat aferen A- α dan A- berukuran paling
besar, memiliki kecepatan hantaran tertinggi, serta berespons terhadap sentuhan, tekanan, dan sensasi kinestetik, namun tidak berespons terhadap rangsangan yang
mengganggu, sehingga tidak diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Sebaliknya, serat aferen primer A-
δ yang berdiameter kecil dan sedikit bermielin serta serat aferen primer C yang tidak bermielin berespons maksimal hanya apabila lapangan
reseptifnya mendapat rangasangan nyeri yang mengganggu, sehingga diklasifikasikan sebagai nosiseptor.
Aferen primer C dan A- δ dibedakan oleh dua tipe nyeri yang ditimbulkan,
yang disebut nyeri lambat dan nyeri cepat. Sinyal nyeri cepat disalurkan ke medula spinalis oleh serat A-
δ dan dirasakan dalam waktu 0,1 detik, serta biasanya memiliki lokalisasi yang jelas dengan kualitas menusuk, tajam, atau
elektris.
Nyeri lambat disalurkan oleh serat aferen C dan dirasakan 1 detik setelah rangsangan yang mengganggu, memiliki lokalisasi yang kurang jelas dengan
kualitas seperti terbakar, berdenyut atau pegal. Karena sistem persarafan nyeri yang ganda ini, maka cedera jaringan sering menimbulkan dua sensasi nyeri
tersendiri: nyeri tajam yang lebih awal serat A- δ diikuti oleh nyeri tumpul,
seperti terbakar, yang sedikit banyak berkepanjangan serat C. Reseptor nyeri merupakan jaras multi arah yang kompleks. Serabut saraf
ini bercabang sangat dekat dengan asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah lokal, sel-sel mast, folikel rambut, dan kelenjar keringat.
Stimulasi serabut saraf ini mengakibatkan pelepasan histamin dari sel-sel mast dan menyebabkan vasodilatasi.
Serabut kutaneus terletak lebih ke arah sentral dari cabang yang lebih jauh dan berhubungan dengan rantai simpatis paravertebrata sistem saraf dengan organ
internal yang lebih besar. Akibatnya, nyeri sering disertai dengan efek vasomotor, otonom dan viseral.Meski aktivasi yang kuat dari serabut reseptor nyeri pada kulit
akan menyebabkan hubungan viseral dari serabut yang sama, hal sebaliknya juga dapat terjadi. Stimulasi kuat pada serabut cabang viseral dapat mengakibatkan
vasodilatasi dan nyeri pada area tubuh yang berkaitan dengan serabut tersebut, yang sering disebut sebagai nyeri alih.
Sejumlah subtansi yang mempengaruhi sensitivitas ujung-ujung saraf atau reseptor nyeri dilepaskan ke jaringan ekstraselular sebagai akibat dari kerusakan
jaringan. Zat-zat kimiawi yang meningkatkan tansmisi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin, dan prostaglandin yang diduga dapat meningkatkan
sensitivitas reseptor nyeri dengan meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari bradikinin.
Juga ada substansi lain dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri. Endorfin dan enkefalin, substansi mirip morfin yang
diproduksi tubuh, adalah contoh dari substansi yang menghambat transmisi impuls nyeri.Endorfin dan enkefalin ditemukan dalam konsentrasi yang kuat
dalam sistem saraf pusat. Endorfin dan enkefalin adalah zat kimiawi endogen yang berstruktur serupa dengan opioid. Morfin dan obat-obatan opioid lainnya
menghambat transmisi stimuli nyeri dengan meniru efekalin dan endorfin. Serabut interneural inhibitor yang mengandung enfekalin terutama
diaktifkan melalui aktivitas dari serabut perifer non-nosiseptor pada tempat reseptor yang sama dengan nosiseptor, dan serabut desenden, berkumpul bersama
dalam suatu sistem yang disebut
descending control
. Kadar endorfin beragam dalam setiap individu. Individu dengan endorfin yang banyak lebih sedikit
merasakan nyeri dibanding mereka dengan mereka yang sedikit endorfin.
4. Jaras Asenden
Serat saraf C dan A- δ aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk ke
medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis posterior medula spinalis yang
menerima, menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuron-neuron yang
menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura anterior dan kemudian menyatu di
traktus spinotalamikus anterolateralis
, yang naik ke talamus dan struktur otak lainnya. Dua tipe nyeri yang disalurkan oleh nosiseptor,
sehingga juga terdapat dua jalur spinotalamikus sejajar yang menyalurkan impuls- impuls
ini ke
otak, yaitu
traktus neospinotalamikus
dan
traktus paleospinotalamikus
. Traktus spinotalamikus merupakan suatu sistem langsung yang membawa
informasi diskriminatif sensorik mengenai nyeri cepat atau akut dari nosiseptor A- δ ke daerah talamus. Sistem ini terutama berakhir secara teratur di dalam nukleus
posterolateral ventralis hipotalamus. Sebuah neuron di talamus kemudian memproyeksikan akson-aksonnya melalui bagian posterior kapsula interna untuk
membawa impuls nyeri ke korteks somatosensorik primer girus pascasentralis. Traktur paleospinotalamikus menyalurkan impuls dari nosiseptor tipe C
lambat-kronik, yang adalah suatu jalur multisinaps difus yang membawa impuls ke formatio retikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus parafasikularis
dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, nukleus sistem limbik, dan korteks otak depan.
Karena impuls yang disalurkan lebih lambat, maka nyeri yang ditimbulkannya berkaitan dengan rasa panas, pegal, dan sensasi yang
lokalisasinya samar. Sistem ini mempengaruhi ekspresi nyeri dalam hal toleransi, perilaku dan respons autonom simpatis. Kedua traktus ini tidak menyalurkan
impuls nyeri secara ekslusif.
5. Jalur Desenden
Daerah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan dan mempengaruhi persepsi nyeri: hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai
pusat emosional persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan interpretasi dan respons rasional terhadap nyeri. Jalur-jalur desenden serat eferen yang
berjalan dari korteks serebrum ke medula spinalis dapat menghambat atau memodifikasi rangsangan nyeri yang datang melalui suatu mekanisme umpan
balik yang melibatkan substansia gelatinosa dan lapisan lain kornu dorsalis. Zat-zat kimia, yang disebut neuroregulator neurotransmiter, juga
mungkin mempengaruhi masukan sensorik ke medula spinalis. Zat P, suatu neuropeptida, adalah neurotransmiter spesifik nyeri yang terdapat di antara kornu
dorsalis medula spinalis. Neurotransmiter SSP lain yang terlibat dalam transmisi nyeri adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin. Serotonin
5-HT dan norepinefrin diketahui terlibat dalam inhibisi terhadap sinyal nyeri yang datang.
Sinyal yang menghambat nyeri antinoseptif berasal dari korteks atau batang otak di daerah-daerah tempat norepinefrin dan serotonin merupakan
transmiter yang utama. Sinyal-sinyal ini diperkirakan bekerja dengan salah satu dari dua cara berikut: neuron-neuron yang membawanya dapat bersinaps pada
neuron yang melepaskan neuron antinoseptif asam -aminobutirat GABA, serotonin, atau asetilkolin; sinyal-sinyal desensens mungkin menghambat nyeri
dengan bekerja pada kornu dorsalis untuk menghambat pelepasan neurotrasmiter pronosiseptif dari neuron sensorik yang datang aferen.
Selain jalur-jalur modifikasi nyeri desendens serotonin dan norepinefin, juga terdapat peptida-peptida opioin endogen di semua bagian yang diperkirakan
terlibat dalam modulasi nyeri. Juga terdapat hubungan antara neuron serotonin dengan sel-sel yang mengandung opioid di substansia gelatinosa. Peptida-peptida
opioid, yang dikenal sebagai neuromodulator, adalah senyawa alami yang memiliki kualitas mirip morfin.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri
1. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri
Cara seseorang berespons terhadap nyeri adalah akibat dari banyaknya kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa individu, nyeri dapat
saja menetap dan tidak terselesaikan, misalnya pasien dengan nyeri kronis. Individu yang mengalami nyeri selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun dapat menjadi murah marah, menarik diri dan depresi.
2. Ansietas
Ansietas yang relevan dan berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi terhadap nyeri. Sebaliknya, ansietas yang tidak berhubungan dengan
nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri.
Penggunaan rutin medikasi antiansietas untuk mengatasi ansietas pada seseorang dengan nyeri dapat membuat individu tersebut tidak melaporkan nyeri
karena sedasi yang berlebihan dapat merusak kemampuan pasien untuk melakukan napas dalam, turun dari tempat tidur, dan kerjasama dengan rencana
pemulihan. Sehingga, cara yang lebih efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas.
3. Budaya
Budaya dan etnik mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, namun tidak mempengaruhi persepsi nyeri Zatzick
Dimsdale, 1990 dalam Smeltzer Bare, 2001. Sejak dini pada masa kanak-kanak individu belajar dari sekitar mereka
respons nyeri yang bagaimana yang dapat diterima atau tidak diterima. Keyakinan ini beragam dari satu budaya dengan budaya lainnya, akibatnya orang dari budaya
yang berbeda yang mengalami nyeri dengan intensitas yang sama dapat tidak melaporkannya atau berespons terhadap nyeri tersebut dengan cara yang sama.
Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap dengan nilai-nilai yang berlawanan
dengan budaya lainnya. Akibatnya, individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima.
4. Usia
Cara lansia berespons terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara berespons orang yang berusia lebih muda. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang
sebagai akibat perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit. Lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat
dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan. Lansia mengatasi nyeri sesuai dengan gaya hidup, kepribadian dan
latar belakang budaya mereka. Namun demikian, penilaian tentang nyeri dan keadekuatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan pereda
ketimbang didasarkan pada faktor usia.
5. Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut akan
memberikan hasil bukan karena tindakan atau pengobatan tersebut benar-benar bekerja. Efek plasebo timbul dari produksi alamiah endorfin dalam sistem kontrol
desenden. Efek ini merupakan respons fisiologis sejati yang dapat diputar balik oleh nasoklon, suatu antagonis narkotik.
Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Individu yang diberitahu bahwa
suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang
didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien-perawat yang positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo.
D. Pengkajian Nyeri Pasien
Penatalaksanaan nyeri memerlukan penilaian dan usaha cermat untuk memahami pengalaman nyeri pasien dan mengidentifikasi kausa sehingga kausa
tersebut dapat dihilangkan, apabila mungkin Price Wilson, 2005. Pasien dapat menunjukkan lokasi nyerinya, serta perlu diketahui nyerinya bersifat superfisial
atau dalam. Perawat perlu menanyakan awitan nyeri, pola, serta faktor-faktor yang memperparah dan mengurangi nyeri pasien.
Kualitas nyeri juga dapat dinilai dengan cara meminta pasien menjelaskan nyeri dengan kata-katanya sendiri. Pasien juga perlu ditanyai tentang gejala-gejala
yang berkaitan dengan nyeri yang dialaminya. Dalam hal ini, perawat perlu menyediakan waktu bagi pasien untuk membahas dampak nyeri pada gaya hidup
pasien, serta akhirnya perlu didokumentasikan metode terapi nyeri sebelumnya yang pernah dilakukan pasien dan eektifitasnya. Selain mengumpulkan data
subjektif mengenai nyeri, perawat juga perlu untuk melakukan pengamatan langsung tentang perilaku non verbal dan verbal yang dapat memberi petunjuk
tambahan mengenai nyeri pasien.
Perilaku nonverbal seperti wajah meringis, menangis, ayunan langkah atau postur abnormal, ketegangan otot, dan tindakan melindungi bagian yang nyeri
merupakan indikator nyeri yang sering dijumpai di klinis. Akhirnya, perawat perlu melakukan inspeksi dan palpasi daerah yang nyeri untuk menguji kisaran gerakan
dari sendi yang terkena, menentukan adanya defans muskulorum, dan mengidentifikasi pemicu titik nyeri dan daerah yang sensasinya menurun atau
meningkat. Ada beberapa instrument yang dapat digunakan untuk menilai nyeri
individu unidimensional, yaitu
Verbal Rating Scale
skala nyeri verbal,
Numeric Rating Scale
skala nyeri numerik dan
Face Pain Scale-Revised
skala nyeri wajah. Skala nyeri verbal menggunakan kata-kata dan bukan angka atau garis
untuk menggambarkan tingkat nyeri individu. Skala yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang, atau parah. Hilang atau redanya nyeri dapat dinyatakan
sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, dan nyeri hilang sama sekali.
Skala nyeri numerik menggunakan angka-angka 0 sampai dengan 10 untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala ini dianggap sederhana dan mudah
dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis kelamin dan perbedaan etnis. Skala nyeri wajah merupakan instrumen nyeri yang terdiri dari beberapa gambar wajah yang
menunjukkan tingkat nyeri pasien. Instrument ini biasa digunakan untuk pasien dewasa dan anak 3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya
dengan angka. Instrument ini juga dianggap sederhana dan mudah digunakan, serta hanya sedikit memerlukan instruksi.
22
BAB 3 APLIKASI METODE
A. Pengkajian