Krebs  dkk  2007 menemukan bahwa skala nyeri  numerik  NRSs paling akurat untuk mengindentifikasi nyeri pada pasien di unit perawatan primer. Dalam
penelitiannya, Bashir dkk 2012 mengemukakan bahwa skala wajah Wong Baker WBSs,  skala  nyeri  numerik  NRSs,  dan  skala  nyeri  verbal  VRSs  memiliki
sensitifitas yang baik untuk mengkaji nyeri pada  pasien ostearthritis kronis, serta tidak ada perbedaan antara ketiga instrumen tersebut.
Sedangkan,  dalam  penelitiannya,  Hjermstad  dkk  2011  menemukan bahwa  skala  nyeri  numerik  lebih  aplikatif  untuk  diterapkan  dalam  pengkajian
nyeri  pasien  dibandingkan  dengan  skala  nyeri  lainnya.  Kawamura  dkk  2008 menemukan  bahwa  skala  nyeri  wajah  dapat  digunakan  untuk  melakukan
pengkajian  nyeri  pada  pasien  post  gastrectomy.  Briggs  dkk  2009 mengemukakan  bahwa  skala  nyeri  verbal  lebih  praktis  untuk  digunakan  untuk
pengkajian nyeri dalam aplikasi klinis. Berdasarkan  latar  belakang  di  atas,  peneliti  tertarik  untuk  melakukan
penelitian tentang “Aplikasi Perbandingan Pengkajian Nyeri dengan Menggunaan Skala  Nyeri  Numerik,  Skala  Nyeri  Verbal,  dan  Skala  Nyeri  Wajah  pada  Pasien
Bedah di ruang rawat inap RB-3 RSUP Haji Adam Malik, Medan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar  belakang  yang  telah  diuraikan,  dapat  disimpulkan rumusan  masalah  yang  timbul  adalah  “Bagaimanakah  aplikasi  pengkajian  nyeri
dengan  menggunakan  skala  nyeri  numerik,  skala  nyeri  verbal  dan  skala  nyeri wajah  pada  pasien  bedah  di  ruang  rawat  inap  RB-3  RSUP  Haji  Adam  Malik,
Medan.”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Selama  mengikuti  Praktika  Senior,  mahasiswa  program  profesi  Ners mampu  mengaplikasikan  pengkajian  nyeri  dengan  menggunakan  Skala  Nyeri
Numerik, Skala Nyeri Verbal, dan Skala Nyeri Wajah pada pasien di ruang rawat inap RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. Tujuan Khusus
Selama  mengikuti  Praktika  Senior  di  ruang  rawat  inap  RB3  RSUP  Haji Adam Malik Medan, mahasiswa mampu :
a. Mengelola pelayanan kesehatan melalui proses pengorganisasian kegiatan
keperawatan secara efektif dan efesien dalam pelayanan keperawatan. b.
Mengaplikasi  pengakajian  nyeri  dengan  menggunakan  Skala  Nyeri Numerik, Skala Nyeri Verbal, dan Skala Nyeri Wajah pada pasien di ruang
rawat  inap  RB3  RSUP  Haji  Adam  Malik  Medan  dan  menjalin  hubungan interpersonal  baik  dengan  pasien  maupun  tim  medis  lainnya  serta
memberikan pendidikan kesehatan yang dapat dilakukan pasien. c.
Merumuskan  penatalaksanaan  pengkajian  nyeri  dengan  menggunakan Skala Nyeri Numerik, Skala Nyeri Verbal, dan Skala Nyeri Wajah sesuai
dengan hasil pengkajian yang telah dilakukan.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Mahasiswa Program Profesi Ners
Latihan  dan  gambaran  menjadi  perawat  profesional  yang  dapat memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif pada pasien.
2. Bagi Insitusi Pendidikan
Hasil  praktika  senior  ini  bermanfaat  bagi  institusi  pendidikan  untuk meningkatkan kompetensi lulusan institusi.
3. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil praktika senior ini dapat digunakan dalam pengkajian nyeri sebagai sumbangsih dan juga efektif untuk pentalaksanaan nyeri pasien dalam melakukan
tindakan keperawatan yang rasional di RSUP Haji Adam Malik Medan.
7
BAB 2
A. Konsep Pelayanan Asuhan Keperawatan
1. Defenisi Pelayanan Keperawatan
Pelayanan  keperawatan  adalah  suatu  bentuk  pelayanan  profesional  yang merupakan  bagian  integral  dari  pelayanan  kesehatan  yang  didasarkan  pada  ilmu
dan  kiat  keperawatan  ditujukan  kepada  individu,  keluarga,  kelompok  atau masyarakat,  baik  sehat  maupun  sakit  UU  No.  38  tahun  2014  tentang
Keperawatan, pasal 1 ayat 3.
2. Defenisi Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah rangkaian interaksi perawat dengan klien dan lingkungannya  untuk  mencapai  tujuan  pemenuhan  kebutuhan  dan  kemandirian
klien dalam merawat dirinya UU No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, pasal 1 ayat 5.  Wahyuni 2008 menyatakan bahwa asuhan keperawatan adalah suatu
pelayanan profesional  yang berdasarkan ilmuteori  dari biologi,  fisika, psikologi, perilaku,  dan  keperawatan  untuk  melakukan  pengkajian,  menentukan  diagnosa
keperawatan,  intervensi,  implementasi  dan  evaluasi  supaya  dapat  meningkatkan dan  menjaga  kesehatan,  menemukan  kasus  atau  masalah  baru,  mencegah  cedera
dan kecacatan, menjaga fungsi tubuh secara optimal dan pelayanan terminasi yang adekuat.
3. Pengkajian Keperawatan
Proses  keperawatan  adalah  pendekatan  keperawatan  profesional  yang diakukan  untuk  mengidentifikasi,  mendiagnosis  dan  mengatasi  respon  individu
terhadap  kesehatan  dan  penyakit.  Proses  ini  dimulai  dari  tahap  pengkajian, penetapan  diagnosa  keperawatan,  penetapan  rencana  intervensi  keperawatan,
selanjutnya tahap implementasi, dan diakhiri oleh tahap evaluasi. Pengkajian  adalah  proses  pengumpulan  data  secara  sistematis  yang
bertujuan  untuk  menentukan  status  kesehatan  dan  fungsional  klien  pada  saat  ini dan  waktu  sebelumnya,  serta  untuk  menentukan  pola  respon  klien  saat  ini  dan
waktu sebelumnya Carpenito-Moyet, 2005 dalam Potter  Perry, 2009. Tujuan dari pengkajian adalah untuk menyusun data dasar mengenai kebutuhan, masalah
kesehatan, dan respons klien terhadap masalah.
B. Konsep Nyeri
1. Defenisi Nyeri
Perdossi  2000 dalam Meliala, 2004 telah menerjemahkan defenisi nyeri dari defenisi
International Association for the Study of Pain
sebagai “pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik
aktual  maupun  potensial,  atau  yang  digambarkan  dalam  bentuk  kerusakan tersebut”.
Defenisi  keperawatan  tentang  nyeri  adalah  apapun  yang  menyakitkan tubuh  yang dikatakan individu yang mengalaminya,  yang ada kapanpun individu
mengatakannya  Smeltzer    Bare,  2001.  Oleh  karena  itu,  keberadaan  nyeri adalah berdasarkan pada laporan pasien bahwa nyeri ada.
2. Klasifikasi Nyeri
Secara  umum,  nyeri  diklasifikasikan  menjadi  dua,  yaitu  nyeri  akut  dan nyeri kronis Smeltzer  Bare, 2001.Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan
umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasi cedera atau kerusakan  telah  terjadi.  Jika  kerusakan  tidak  lama  terjadi  dan  tidak  ada  penyakit
sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan; nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu
bulan.
Nyeri  kronis  merupakan  nyeri  konstan  atau  intermitten  yang  menetap sepanjang  suatu  periode  waktu  tertentu  Smeltzer    Bare,  2001.  Nyeri  kronis
dapat  tidak  mempunyai  awitan  yang  ditetapkan  dengan  tepat  dan  sering  sulit diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan
yang diarahkan kepada penyebabnya. Meskipun  tidak  diketahui  mengapa  banyak  individu  menderita  nyeri
kronis setelah suatu cedera atau proses penyakit, diduga bahwa ujung-ujung saraf yang normalnya tidak mentransmisikan nyeri menjadi mampu untuk mencetuskan
sensasi  nyeri,  atau  ujung-ujung  saraf  yang  normalnya  hanya  mentransmisikan stimulus  yang  sangat  nyeri,  mentransimisikan  stimulus  yang  sebelumnya  tidak
nyeri sebagai stimulus yang sangat nyeri. Berdasarkan  mekanismenya,  Meliala  2004  mengklasifikasikan  nyeri
menjadi nyeri nosiseptif, nyeri inflamasi, nyeri neuropatik, dan nyeri psikogenik. Nyeri  nosiseptif  nyeri  fisiologis  merupakan  nyeri  yang  bersifat  sementara
sebagai respons terhadap stimulus noksius.
Nyeri seperti  ini jarang  menyebabkan individu  datang mencari pelayanan kesehatan, karena umumnya nyeri ini dapat hilang tanpa pengobatan atau dengan
analgesik  ringan.  Ciri  utama  nyeri  nosiseptif  adalah  korelasi  positif  antara kekuatan stimulus dengan intensitas nyeri dan merupakan sensasi fisiologis  yang
penting. Nyeri  inflamasi  dapat  bersifat  spontan  atau  dapat  pula  dipicu  oleh
kerusakan  jaringan  atau  proses  inflamasi.  Nyeri  jenis  ini  berguna  untuk mempercepat  proses  penyembuhan  jaringan  yang  rusak.  Gerak  jaringan  yang
rusak  berkurang  oleh  karena  adanya  nyeri,  sehingga  memungkinkan  proses penyembuhan  berjalan  dengan  baik.  Nyeri  neuropatik  merupakan  nyeri  yang
disebabkan  oleh  lesi  atau  disfungsi  primer  pada  sistem  saraf  Meliala,  2004. Biasanya  nyeri  ini  dialami  oleh  penderita  diabetes  mellitus,  atau  pada  nyeri
pascaherpes. Nyeri  psikogenik  merupakan  nyeri  yang  dikeluhkan  tanpa  adanya
penyebab organik. Woolf 2004 dalam Meliala, 2004 menyebut nyeri ini sebagai nyeri disfungsional karena timbulnya nyeri tersebut disebabkan abnormalitas atau
gangguan pada sistem saraf pusat,  yang berupa peningkatan sensitivitas terhadap berbagai stimulus.
3. Fisiologi Nyeri
Struktur  spesifik  dalam  sistem  saraf  terlibat  dalam  mengubah  stimulus menjadi  sensasi  nyeri.  Sistem  yang  terlibat  dalam  transmisi  dan  persepsi  nyeri
disebut  sebagai  sistem  nosiseptif.  Antara  stimulus  cedera  jaringan  dan pengalaman  subjektif  nyeri  terdapat  empat  proses  tersendiri,  yaitu  transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi nyeri. Transduksi  nyeri  merupakan  proses  rangsangan  yang  mengganggu
sehingga  menimbulkan  aktivitas  listrik  di  reseptor  nyeri.  Transmisi  nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi melewati saraf
perifer  sampai  ke  terminal  di  medula  spinalis  dan  jaringan  neuron-neuron pemancar  yang  naik  dari  medula  spinalis  ke  otak.  Modulasi  nyeri  melibatkan
aktivitas  saraf  melalui  jalur-jalur  saraf  desendens  dari  otak  yang  dapat mempengaruhi  transmisi  nyeri  setinggi  medula  spinalis,  serta  melibatkan  faktor-
faktor  kimiawi  yang  menimbulkan  atau  meningkatkan  aktivitas  di  reseptor  nyeri aferen  primer.  Persepsi  nyeri  adalah  pengalaman  subjektif  nyeri  yang  dihasilkan
oleh transmisi nyeri oleh saraf. Transmisi  nyeri  dimulai  dari  reseptor  nyeri  nosiseptor.  Reseptor  nyeri
adalah  ujung  saraf  bebas  dalam  kulit  yang  berespons  hanya  pada  stimulus  yang kuat,  yang  secara  potensial  merusak.  Stimuli  tersebut  dapat  berupa  stimulus
mekanik, termal, maupun kimiawi. Sendi, otot skeletal, fasia, tendon, dan kornea juga  memiliki  reseptor  nyeri  yang  berpotensi  untuk  mentransimisikan  stimuli
yang menyebabkan nyeri.
Saraf  perifer  terdiri  dari  akson  tiga  tipe  neuron  yang  berlainan,  yaitu neuron  aferen  atau  sensorik  primer,  neuron  motorik,  dan  neuron  pascaganglion
simpatis. Serat pascaganglion simpatis dan motorik adalah serat eferen. Badan sel dari  neuron  aferen  primer  terletak  di  akar  dorsal  nervus  spinalis,  dimana  setelah
keluar dari badan selnya di ganglion akar dorsal, akson saraf aferen primer terbagi menjadi  dua  prosesus:  satu  masuk  ke  kornu  dorsalis  medula  spinalis,  dan  yang
lain mempersarafi jaringan. Serat-serat  aferen  primer  diklasifikasikan  berdasarkan  ukuran,  derajat
mielinisasi  dan  kecepatan  hantaran.  Serat  aferen  A- α  dan  A-   berukuran  paling
besar,  memiliki  kecepatan  hantaran  tertinggi,  serta  berespons  terhadap  sentuhan, tekanan, dan sensasi kinestetik, namun tidak berespons terhadap rangsangan yang
mengganggu, sehingga tidak diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Sebaliknya, serat aferen primer A-
δ yang berdiameter kecil dan sedikit bermielin serta serat aferen primer  C  yang  tidak  bermielin  berespons  maksimal  hanya  apabila  lapangan
reseptifnya  mendapat  rangasangan  nyeri  yang  mengganggu,  sehingga diklasifikasikan sebagai nosiseptor.
Aferen primer C dan A- δ dibedakan oleh dua tipe nyeri yang ditimbulkan,
yang  disebut  nyeri  lambat  dan  nyeri  cepat.  Sinyal  nyeri  cepat  disalurkan  ke medula  spinalis  oleh  serat  A-
δ  dan  dirasakan  dalam  waktu  0,1  detik,  serta biasanya  memiliki  lokalisasi  yang  jelas  dengan  kualitas  menusuk,  tajam,  atau
elektris.
Nyeri lambat disalurkan oleh serat aferen C dan dirasakan 1 detik setelah rangsangan  yang  mengganggu,  memiliki  lokalisasi  yang  kurang  jelas  dengan
kualitas  seperti  terbakar,  berdenyut  atau  pegal.  Karena  sistem  persarafan  nyeri yang  ganda  ini,  maka  cedera  jaringan  sering  menimbulkan  dua  sensasi  nyeri
tersendiri:  nyeri  tajam  yang  lebih  awal  serat  A- δ  diikuti  oleh  nyeri  tumpul,
seperti terbakar, yang sedikit banyak berkepanjangan serat C. Reseptor  nyeri  merupakan  jaras  multi  arah  yang  kompleks.  Serabut  saraf
ini bercabang sangat dekat dengan asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke  pembuluh  darah  lokal,  sel-sel  mast,  folikel  rambut,  dan  kelenjar  keringat.
Stimulasi  serabut  saraf  ini  mengakibatkan  pelepasan  histamin  dari  sel-sel  mast dan menyebabkan vasodilatasi.
Serabut kutaneus terletak lebih ke arah sentral dari cabang yang lebih jauh dan berhubungan dengan rantai simpatis paravertebrata sistem saraf dengan organ
internal yang lebih besar. Akibatnya, nyeri sering disertai dengan efek vasomotor, otonom dan viseral.Meski aktivasi yang kuat dari serabut reseptor nyeri pada kulit
akan menyebabkan hubungan viseral dari serabut yang sama, hal sebaliknya juga dapat  terjadi.  Stimulasi  kuat  pada  serabut  cabang  viseral  dapat  mengakibatkan
vasodilatasi  dan  nyeri  pada  area  tubuh  yang  berkaitan  dengan  serabut  tersebut, yang sering disebut sebagai nyeri alih.
Sejumlah subtansi yang mempengaruhi sensitivitas ujung-ujung saraf atau reseptor  nyeri  dilepaskan  ke  jaringan  ekstraselular  sebagai  akibat  dari  kerusakan
jaringan.  Zat-zat  kimiawi  yang  meningkatkan  tansmisi  nyeri  meliputi  histamin, bradikinin,  asetilkolin,  dan  prostaglandin  yang  diduga  dapat  meningkatkan
sensitivitas  reseptor  nyeri  dengan  meningkatkan  efek  yang  menimbulkan  nyeri dari bradikinin.
Juga  ada  substansi  lain  dalam  tubuh  yang  berfungsi  sebagai  inhibitor terhadap  transmisi  nyeri.  Endorfin  dan  enkefalin,  substansi  mirip  morfin  yang
diproduksi  tubuh,  adalah  contoh  dari  substansi  yang  menghambat  transmisi impuls  nyeri.Endorfin  dan  enkefalin  ditemukan  dalam  konsentrasi  yang  kuat
dalam  sistem  saraf  pusat.  Endorfin  dan  enkefalin  adalah  zat  kimiawi  endogen yang  berstruktur  serupa  dengan  opioid.  Morfin  dan  obat-obatan  opioid  lainnya
menghambat transmisi stimuli nyeri dengan meniru efekalin dan endorfin. Serabut  interneural  inhibitor  yang  mengandung  enfekalin  terutama
diaktifkan  melalui  aktivitas  dari  serabut  perifer  non-nosiseptor  pada  tempat reseptor yang sama dengan nosiseptor, dan serabut desenden, berkumpul bersama
dalam  suatu  sistem  yang  disebut
descending  control
.  Kadar  endorfin  beragam dalam  setiap  individu.  Individu  dengan  endorfin  yang  banyak  lebih  sedikit
merasakan nyeri dibanding mereka dengan mereka yang sedikit endorfin.
4. Jaras Asenden
Serat  saraf  C  dan  A- δ  aferen  yang  menyalurkan  impuls  nyeri  masuk  ke
medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis posterior medula spinalis yang
menerima, menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Dari  kornu  dorsalis,  impuls  nyeri  dikirim  ke  neuron-neuron  yang
menyalurkan  informasi  ke  sisi  berlawanan  medula  spinalis  di  komisura  anterior dan  kemudian  menyatu  di
traktus  spinotalamikus  anterolateralis
,  yang  naik  ke talamus dan struktur otak lainnya. Dua tipe nyeri yang disalurkan oleh nosiseptor,
sehingga juga terdapat dua jalur spinotalamikus sejajar yang menyalurkan impuls- impuls
ini ke
otak, yaitu
traktus neospinotalamikus
dan
traktus paleospinotalamikus
. Traktus spinotalamikus merupakan suatu sistem langsung yang membawa
informasi diskriminatif sensorik mengenai nyeri cepat atau akut dari nosiseptor A- δ ke daerah talamus. Sistem ini terutama berakhir secara teratur di dalam nukleus
posterolateral  ventralis  hipotalamus.  Sebuah  neuron  di  talamus  kemudian memproyeksikan  akson-aksonnya melalui bagian posterior kapsula interna untuk
membawa impuls nyeri ke korteks somatosensorik primer girus pascasentralis. Traktur  paleospinotalamikus  menyalurkan  impuls  dari  nosiseptor  tipe  C
lambat-kronik,  yang  adalah  suatu  jalur  multisinaps  difus  yang  membawa  impuls ke  formatio  retikularis  batang  otak  sebelum  berakhir  di  nukleus  parafasikularis
dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, nukleus sistem limbik, dan korteks otak depan.
Karena  impuls  yang  disalurkan  lebih  lambat,  maka  nyeri  yang ditimbulkannya  berkaitan  dengan  rasa  panas,  pegal,  dan  sensasi  yang
lokalisasinya samar. Sistem ini mempengaruhi ekspresi nyeri dalam hal toleransi, perilaku  dan  respons  autonom  simpatis.  Kedua  traktus  ini  tidak  menyalurkan
impuls nyeri secara ekslusif.
5. Jalur  Desenden
Daerah-daerah  tertentu  di  otak  itu  sendiri  mengendalikan  dan mempengaruhi persepsi nyeri: hipotalamus dan struktur limbik berfungsi  sebagai
pusat  emosional  persepsi  nyeri,  dan  korteks  frontalis  menghasilkan  interpretasi dan  respons  rasional  terhadap  nyeri.  Jalur-jalur  desenden  serat  eferen  yang
berjalan  dari  korteks  serebrum  ke  medula  spinalis  dapat  menghambat  atau memodifikasi    rangsangan  nyeri  yang  datang  melalui  suatu  mekanisme  umpan
balik yang melibatkan substansia gelatinosa dan lapisan lain kornu dorsalis. Zat-zat  kimia,  yang  disebut  neuroregulator  neurotransmiter,  juga
mungkin  mempengaruhi  masukan  sensorik  ke  medula  spinalis.  Zat  P,  suatu neuropeptida, adalah neurotransmiter spesifik nyeri yang terdapat di antara kornu
dorsalis  medula spinalis.  Neurotransmiter SSP lain  yang terlibat dalam transmisi nyeri adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin. Serotonin
5-HT  dan  norepinefrin  diketahui  terlibat  dalam  inhibisi  terhadap  sinyal  nyeri yang datang.
Sinyal  yang  menghambat  nyeri  antinoseptif  berasal  dari  korteks  atau batang  otak  di  daerah-daerah  tempat  norepinefrin  dan  serotonin  merupakan
transmiter  yang  utama.  Sinyal-sinyal  ini  diperkirakan  bekerja  dengan  salah  satu dari  dua  cara  berikut:  neuron-neuron  yang  membawanya  dapat  bersinaps  pada
neuron  yang  melepaskan  neuron  antinoseptif  asam  -aminobutirat  GABA, serotonin,  atau  asetilkolin;  sinyal-sinyal  desensens  mungkin  menghambat  nyeri
dengan bekerja pada kornu dorsalis  untuk  menghambat pelepasan neurotrasmiter pronosiseptif dari neuron sensorik yang datang aferen.
Selain  jalur-jalur  modifikasi  nyeri  desendens  serotonin  dan  norepinefin, juga terdapat peptida-peptida opioin endogen di  semua bagian  yang diperkirakan
terlibat  dalam  modulasi  nyeri.  Juga  terdapat  hubungan  antara  neuron  serotonin dengan sel-sel yang mengandung opioid di substansia gelatinosa. Peptida-peptida
opioid,  yang  dikenal  sebagai  neuromodulator,  adalah  senyawa  alami  yang memiliki kualitas mirip morfin.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri
1. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri
Cara  seseorang  berespons  terhadap  nyeri  adalah  akibat  dari  banyaknya kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa individu, nyeri dapat
saja  menetap  dan  tidak  terselesaikan,  misalnya  pasien  dengan  nyeri  kronis. Individu  yang  mengalami  nyeri  selama  berbulan-bulan  atau  bahkan  bertahun-
tahun dapat menjadi murah marah, menarik diri dan depresi.
2. Ansietas
Ansietas yang relevan dan berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi  terhadap  nyeri.  Sebaliknya,  ansietas  yang  tidak  berhubungan  dengan
nyeri  dapat  mendistraksi  pasien  dan  secara  aktual  dapat  menurunkan  persepsi nyeri.
Penggunaan  rutin  medikasi  antiansietas  untuk  mengatasi  ansietas  pada seseorang dengan nyeri dapat  membuat  individu tersebut  tidak melaporkan nyeri
karena  sedasi  yang  berlebihan  dapat  merusak  kemampuan  pasien  untuk melakukan  napas  dalam,  turun  dari  tempat  tidur,  dan  kerjasama  dengan  rencana
pemulihan.  Sehingga,  cara  yang  lebih  efektif  untuk  menghilangkan  nyeri  adalah dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas.
3. Budaya
Budaya  dan  etnik  mempunyai  pengaruh  pada  bagaimana  seseorang berespons  terhadap  nyeri,  namun  tidak  mempengaruhi  persepsi  nyeri  Zatzick
Dimsdale, 1990 dalam Smeltzer  Bare, 2001. Sejak  dini  pada  masa  kanak-kanak  individu  belajar  dari  sekitar  mereka
respons nyeri yang bagaimana yang dapat diterima atau tidak diterima. Keyakinan ini beragam dari satu budaya dengan budaya lainnya, akibatnya orang dari budaya
yang  berbeda  yang  mengalami  nyeri  dengan  intensitas  yang  sama  dapat  tidak melaporkannya atau berespons terhadap nyeri tersebut dengan cara yang sama.
Harapan  budaya  tentang  nyeri  yang  individu  pelajari  sepanjang  hidupnya jarang  dipengaruhi  oleh  pemajanan  terhadap  dengan  nilai-nilai  yang  berlawanan
dengan  budaya  lainnya.  Akibatnya,  individu  yakin  bahwa  persepsi  dan  reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima.
4. Usia
Cara lansia berespons terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara berespons orang  yang  berusia  lebih  muda.  Persepsi  nyeri  pada  lansia  mungkin  berkurang
sebagai akibat perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit. Lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat
dalam  waktu  yang  lama  sebelum  melaporkannya  atau  mencari  perawatan kesehatan.  Lansia  mengatasi  nyeri  sesuai  dengan  gaya  hidup,  kepribadian  dan
latar  belakang  budaya  mereka.  Namun  demikian,  penilaian  tentang  nyeri  dan keadekuatan  pengobatan  harus  didasarkan  pada  laporan  nyeri  pasien  dan  pereda
ketimbang didasarkan pada faktor usia.
5. Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut akan
memberikan  hasil  bukan  karena  tindakan  atau  pengobatan  tersebut  benar-benar bekerja. Efek plasebo timbul dari produksi alamiah endorfin dalam sistem kontrol
desenden.  Efek  ini  merupakan  respons  fisiologis  sejati  yang  dapat  diputar  balik oleh nasoklon, suatu antagonis narkotik.
Harapan  positif  pasien  tentang  pengobatan  dapat  meningkatkan keefektifan  medikasi  atau  intervensi  lainnya.  Individu  yang  diberitahu  bahwa
suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan  nyeri  dibanding  dengan  pasien  yang  diberitahu  bahwa  medikasi  yang
didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien-perawat yang positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo.
D. Pengkajian Nyeri Pasien
Penatalaksanaan  nyeri  memerlukan  penilaian  dan  usaha  cermat  untuk memahami  pengalaman  nyeri  pasien  dan  mengidentifikasi  kausa  sehingga  kausa
tersebut dapat dihilangkan, apabila mungkin Price  Wilson, 2005. Pasien dapat menunjukkan  lokasi  nyerinya,  serta  perlu  diketahui    nyerinya  bersifat  superfisial
atau dalam. Perawat perlu menanyakan awitan nyeri, pola, serta faktor-faktor yang memperparah dan mengurangi nyeri pasien.
Kualitas nyeri juga dapat dinilai dengan cara meminta pasien menjelaskan nyeri dengan kata-katanya sendiri. Pasien juga perlu ditanyai tentang gejala-gejala
yang  berkaitan  dengan  nyeri  yang  dialaminya.  Dalam  hal  ini,  perawat  perlu menyediakan waktu bagi pasien untuk membahas dampak nyeri pada gaya hidup
pasien,  serta  akhirnya  perlu  didokumentasikan  metode  terapi  nyeri  sebelumnya yang  pernah  dilakukan  pasien  dan  eektifitasnya.  Selain  mengumpulkan  data
subjektif  mengenai  nyeri,  perawat  juga  perlu  untuk  melakukan  pengamatan langsung  tentang  perilaku  non  verbal  dan  verbal  yang  dapat  memberi  petunjuk
tambahan mengenai nyeri pasien.
Perilaku nonverbal seperti wajah meringis, menangis, ayunan langkah atau postur  abnormal,  ketegangan  otot,  dan  tindakan  melindungi    bagian  yang  nyeri
merupakan indikator nyeri yang sering dijumpai di klinis. Akhirnya, perawat perlu melakukan inspeksi dan palpasi daerah yang nyeri untuk menguji kisaran gerakan
dari  sendi  yang  terkena,  menentukan  adanya  defans  muskulorum,  dan mengidentifikasi  pemicu  titik  nyeri  dan  daerah  yang  sensasinya  menurun  atau
meningkat. Ada  beberapa  instrument  yang  dapat  digunakan  untuk  menilai  nyeri
individu unidimensional, yaitu
Verbal Rating Scale
skala nyeri verbal,
Numeric Rating  Scale
skala  nyeri  numerik  dan
Face  Pain  Scale-Revised
skala  nyeri wajah.  Skala  nyeri  verbal  menggunakan  kata-kata  dan  bukan  angka  atau  garis
untuk menggambarkan tingkat nyeri individu. Skala yang digunakan dapat berupa tidak  ada  nyeri,  sedang,  atau  parah.  Hilang  atau  redanya  nyeri  dapat  dinyatakan
sebagai  sama  sekali  tidak  hilang,  sedikit  berkurang,  cukup  berkurang,  dan  nyeri hilang sama sekali.
Skala  nyeri  numerik  menggunakan  angka-angka  0  sampai  dengan  10 untuk  menggambarkan  tingkat  nyeri.  Skala  ini  dianggap  sederhana  dan  mudah
dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis kelamin dan perbedaan etnis. Skala nyeri wajah merupakan instrumen nyeri  yang terdiri dari beberapa gambar wajah yang
menunjukkan  tingkat  nyeri  pasien.  Instrument  ini  biasa  digunakan  untuk  pasien dewasa dan anak  3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya
dengan  angka.  Instrument  ini  juga  dianggap  sederhana  dan  mudah  digunakan, serta hanya sedikit memerlukan instruksi.
22
BAB 3 APLIKASI METODE
A.  Pengkajian