Sinyal yang menghambat nyeri antinoseptif berasal dari korteks atau batang otak di daerah-daerah tempat norepinefrin dan serotonin merupakan
transmiter yang utama. Sinyal-sinyal ini diperkirakan bekerja dengan salah satu dari dua cara berikut: neuron-neuron yang membawanya dapat bersinaps pada
neuron yang melepaskan neuron antinoseptif asam -aminobutirat GABA, serotonin, atau asetilkolin; sinyal-sinyal desensens mungkin menghambat nyeri
dengan bekerja pada kornu dorsalis untuk menghambat pelepasan neurotrasmiter pronosiseptif dari neuron sensorik yang datang aferen.
Selain jalur-jalur modifikasi nyeri desendens serotonin dan norepinefin, juga terdapat peptida-peptida opioin endogen di semua bagian yang diperkirakan
terlibat dalam modulasi nyeri. Juga terdapat hubungan antara neuron serotonin dengan sel-sel yang mengandung opioid di substansia gelatinosa. Peptida-peptida
opioid, yang dikenal sebagai neuromodulator, adalah senyawa alami yang memiliki kualitas mirip morfin.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri
1. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri
Cara seseorang berespons terhadap nyeri adalah akibat dari banyaknya kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa individu, nyeri dapat
saja menetap dan tidak terselesaikan, misalnya pasien dengan nyeri kronis. Individu yang mengalami nyeri selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun dapat menjadi murah marah, menarik diri dan depresi.
2. Ansietas
Ansietas yang relevan dan berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi terhadap nyeri. Sebaliknya, ansietas yang tidak berhubungan dengan
nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri.
Penggunaan rutin medikasi antiansietas untuk mengatasi ansietas pada seseorang dengan nyeri dapat membuat individu tersebut tidak melaporkan nyeri
karena sedasi yang berlebihan dapat merusak kemampuan pasien untuk melakukan napas dalam, turun dari tempat tidur, dan kerjasama dengan rencana
pemulihan. Sehingga, cara yang lebih efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas.
3. Budaya
Budaya dan etnik mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, namun tidak mempengaruhi persepsi nyeri Zatzick
Dimsdale, 1990 dalam Smeltzer Bare, 2001. Sejak dini pada masa kanak-kanak individu belajar dari sekitar mereka
respons nyeri yang bagaimana yang dapat diterima atau tidak diterima. Keyakinan ini beragam dari satu budaya dengan budaya lainnya, akibatnya orang dari budaya
yang berbeda yang mengalami nyeri dengan intensitas yang sama dapat tidak melaporkannya atau berespons terhadap nyeri tersebut dengan cara yang sama.
Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap dengan nilai-nilai yang berlawanan
dengan budaya lainnya. Akibatnya, individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima.
4. Usia