Konsep Syura dan Demokrasi Dalam Hukum Tata Negara Islam
terbatas, baik itu ketika masa pemerintahan Nabi Saw ataupun masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin.
35
Lalu bagaimanakah Nabi Saw mempraktekkan demokrasi atau musyawarah istilah dasar ketika itu lepas dari
kontroversi setuju atau tidak dalam menjalankan roda pemerintahannya? Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Saw dalam memutuskan perkara
selalu berpedoman pada wahyu Allah Swt Al-qur’an, tetapi sering pula mendapatkan perkara-perkara yang belum ada petunjuknya dalam Al-qur’an,
sehingga beliau mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah. Dalam hal ini Thaha Husein mengungkapkan sebagai berikut:
“Adapun bila beliau Nabi Swt bermusyawarah dengan mereka para sahabat dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam Al-qur’an dan Nabi
sendiri tidak dapat peintah langsung dari atas Allah Swt, maka hak para sahabat untuk memberikan pendapat dan mengajukan usul di luar hal yang
Nabi sendiri telah pasti akan melakukannya. Contohnya adalah ketika Nabi menempatkan pasukan sahabat pada suatu posisi pada saat terjadi perang
Badar, kemudian al-Hubab Ibn al-Mundzir ibn al-Jamuh seorang sahabat bertanya: ‘Apakah ini perintah yang diturunkan oleh Allah Swt kepada
Engkau atau pendapat dan musyawarah?’ Nabi menjawab: ‘Ini hanyalah pendapat dan musyawarah’. Maka dia al-Hubab menyarankan kepada Nabi
Saw posisi lain yang lebih cocok untuk kaum muslimin dan Nabi pun menerima saran itu.”
36
Sejarah lainnya yang membuktikan bahwa beliau seringkali
bermusyawarah dalam suatu urusan dan memiliki makna yang sangat signifikan adalah dalam menggagas Piagam Madinah. Piagam ini merupakan
perjanjian antara Nabi Saw, sebagai pemimpin umat Islam dengan masyarakat Madinah yang nota bene multi etnis dan agama. Mereka sepakat untuk
35
Affan Gaffar, “Islam dan Demokrasi: Pengalaman Empirik yang Terbatas”, dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Syadzali, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. Ke-
1, h. 351.
36
Ibid., h. 352
menjunjung tinggi musyawarah dalam artian menyelesaikan segala urusan di antara mereka dengan bermusyawarah.
Begitu pula dengan masalah tawanan perang setelah terjadinya perang Badar, Nabi Saw juga bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam
musyawarah ini muncul dua pendapat yang saling bertentangan. Abu Bakar berpendapat agar Nabi mengambil tebusan tunai dari mereka lalu
melepaskannya. Sedangkan Umar ibn al-Khattab berpendapat agar semua tawanan dibunuh walau ada tali persaudaraan di antara mereka dengan para
sahabat Nabi. Nabi pun memberi kebebasan kepada para sahabat untuk memilih salah satu di antara kedua pendapat di atas. Akhirnya, kaum
muslimin lebih memilih pendapat Abu Bakar dibandingkan pendapat Umar.
37
Beberapa contoh musyawarah tersebut tampak membuktikan bahwa Nabi Saw selalu mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menyelesaikan
masalah-masalah sosial politik yang dihadapi dan beliau mentolerir adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Namun demikian, keputusan harus ada
yang menjadi kesepakatan bersama. Sedangkan mekanisme pengambilan keputusan terkadang beliau mengikuti pendapat minoritas seperti dalam
bermusyawarah sebelum menghadapi perang Badar. Terkadang beliau juga mengambil keputusan menurut pendapat beliau sendiri tanpa menggubris
pendapat para sahabatnya. Seperti dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau tetap pada keputusannya.
37
J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, h. 91-92.
Dengan demikian praktek musyawarah Nabi Saw, tidak memiliki bentuk dan sistem serta mekanisme pengambilan keputusan tertentu. Kenyataan ini
mengandung arti baik Al-qur’an maupun Sunnah Nabi Saw memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menentukan bentuk dan sistem
musyawarah serta mekanismenya sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksnan musyawarah itu
pengambilan keputusannya tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan, persamaan, dan keadilan. Pendapat yang dijadikan
keputusan bukan melihat kepada siapa yang mengemukakan pendapat itu, melainkan bagaimana kualitas pendapat dan dampaknya bagi kemaslahatan
umat; bukan kemaslahatan yang bermusyawarah.
38
Artinya, syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi
dalam membuat keputusan yang sifatnya mengikat, baik dalam bentuk peraturan-peraturan hukum, maupun kebijakan politik. Setiap orang yang ikut
bermusyawarah akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembaga- lembaga politik, pemerintah dan masyarakat, maka lembaga-lembaga ini
menjadi subjek musyawarah. Para pemimpinnya dibebani kewajiban mengadakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat
untuk menghadapi masalah yang mereka hadapi.
38
J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, h. 95.
Jadi, konsep syura pada mulanya adalah konsultasi yang tidak mengikat, sedang model demokrasi melalu pemilihan umum dengan melibatkan semua
penduduk untuk memilih wakil-wakil mereka merupakan sesuatu yang tak terpikirkan kala itu. Namun di sisi lain, konsep syura itu terbuka untuk
dipikirkan, yakni dapat dikembangkan penafsirannya menjadi konsep demokrasi sekarang, sesuai dengan kebutuhan masyarakat muslim
kontemporer. Dengan kata lain, demokrasi adalah arah yang dituju ke masa depan.