Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Tata Negara Islam
penuh dengan pasang-naik dan pasang surut yang menimpa nasib seseorang.
20
Hal tersebut diungkapkannya melalui sebuah tulisan yang berisi nasihat kepada khalifah, agar mensistematisir hukum dan melakukan ijtihadnya
sendiri dengan Al-qur’an dan Sunnah. Ibnu al-Muqaffa’ barangkali adalah orang pertama yang mendukung legislasi oleh negara.
21
Berdasarkan ayat di atas, kata daulah bergeser dan digunakan sebagai istilah politik setelah difiguratifkan untuk menandai kekuasaan negara. Selain
itu, hal ini juga dilandasi paradigma pemikiran ulama fiqh siyasah yang merumuskan pembidangan siyasah menjadi empat, yaitu: 1 fiqh siyasah
dusturiyah, yang mencakup pembahasan masalah-masalah imamah, hak dan kewajibannya, rakyat status dan hak-haknya, bai’at, waliyul ahdi, perwakilan,
ahl al-hal wa al-‘aqd, dan wazarah; 2 fiqh siyasah maliyah, yang meliputi pembahasan sumber-sumber perbendaharaan negara, pajak, baitul mal, serta
fungsinya; 3 fiqh siyasah dauliyah, meliputi persoalan internasional, teritorial, nasionalisme dalam fiqh Islam, pembagian dunia menurut hukum
fiqh Islam, dst; 4 fiqh siyasah harbiyah, yang mencakup bahasan tentang peperangan dalam Islam, tawanan perang, harta rampasan perang, dan
perdamaian.
22
Pembidangan fiqh siyasah maliyah memperlihatkan adanya hubungan antara politik dan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa politik selalu
menandai kewenangan yang dimiliki oleh negara. Negara dituntut untuk
20
Ibid.,
21
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1994, h.149
22
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Cet. Ke-IV, h. 40-41
memenuhi segala kebutuhan dan mensejahterakan rakyat. Pemerintah dengan segala kewenangannya bertugas mengatur pemasukan dan pengeluaran negara
serta distribusi keuangan untuk rakyat. Kiranya, pembidangan fiqh siyasah maliyah inilah yang menjadi tolak ukur pergeseran makna.
Karena kata ‘daulah’ tidak memiliki pengertian yang seragam dalam konteks kebahasaannya, maka Dien Syamsuddin keberatan memberikan
makna kepada kata daulah sebagai “negara” atau “kedaulatan”. Dien menegaskan:
“Apakah konsep ‘daulah’ sebagai negara mempunyai landasan teologis dalam Al-qur’an? Al-qur’an menyebut kata ‘daulah’ tepatnya ‘dulah’ dan
bentuk kata kerjanya ‘nudawilu’ sebanyak dua kali, yaitu masing-masing di QS. Al-Hasyr59: 7 dan QS. Ali Imran3: 140. Baik pada ayat pertama
maupun ayat kedua, kedua kata yang berhubungan dengan kata daulah menunjukkan arti ‘peredaran’ atau ‘giliran’. Oleh karena itu sulit untuk
menghubungkan kedua kata itu dengan konsepsi tentang negara atau pemerintahan. Karenanya, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah negatif:
tidak terdapat dalam Al-qur’an rujukan dan sandaran jelas untuk kata daulah dalam pengertian ‘negara’ atau ‘pemerintahan’”.
23
Adapun kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada pra-
Islam, karena tidak ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Sedangkan istilah kesukuan “al-banu” terus digunakan dalam Islam. Pada
masa Abbasiyah, kata daulah diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.
24
Berdasarkan uraian di atas mungkin dapat menjelaskan bahwa kata daulah tidak memiliki akar teologis dalam Al-qur’an dan konsep daulah untuk
menunjukkan pengertian negara, pemerintahan dan dinasti tidaklah secara
23
M. Dien Syamsuddin, “Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhilafahan Islam Klasik”, Makalah pada KKA Paramadina, dipresentasikan pada 16 Desember 1997.
24
Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, jilid. I, h. 262
serta merta lahir, tapi mengalami transformasi konseptual yang panjang dalam sejarah.
Kedaulatan selalu menandai otoritas atau pemerintahan tertinggi berdasarkan hukum. Kedaulatan telah didefinisikan sebagai “kekuasaan
tertinggi di mana rakyat diperintah dan bahwa seseorang atau sekelompok orang dalam suatu negara, secara politik tidak ada yang lebih tinggi.
Di kalangan para sarjana muslim terjadi perkembangan penafsiran mengenai konsep kekuasaan ini. Pendapat pertama melihat kedaulatan dengan
penekanan pada konsep kekuasaan hukum. Sedang pendapat kedua cenderung pada konsep Islam mengenai divine democracy demokrasi suci. Karena itu,
Tahir Azhari, misalnya, mengatakan bahwa predikat yang tepat untuk negara dalam Islam ialah “nomokrasi Islam”.
25
Abdul A’la Maududi menggunakan istilah divine democracy atau theo-democracy untuk menyebut negara dalam
Islam.
26
Dalam QS. Al-Hadid [57] : 5, Allah Swt. berfirman:
☺
Artinya: “Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dan hanya kepada Allah
segala urusan dikembalikan”. QS. Al-Hadid 57:5
25
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI-Press, 1995, Cet. ke-1,
h.93
26
Abdul A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj., Bandung: Mizan, 1998, Cet.ke-4, h. 160.
Menurut Isma’il Sunny, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan, sementara otomatis rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam
batas-batas kehendak Tuhan. Menurutnya, kedaulatan rakyat pada dasarnya merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat atas hamba-Nya,
dimana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial dan politik diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka.
27
Adapun pembatasan kedaulatan rakyat dalam Islam adalah memandang bahwa kedaulatan rakyat sebagai sesuatu yang mutlak, karena Islam adalah
paradigma moral bagi sistem demokrasi masyarakat muslim. Oleh karenanya, demokrasi harus dilaksanakan dalam kerangka paradigma moral ini. Segala
sesuatu yang dianggap benar oleh manusia adalah belum tentu benar di mata Allah.
28
Dalam konteks kenegaraan, pelaksanaan kedaulatan Tuhan terwujudkan dalam bentuk pendelegasian wewenang dan kekuasaan dari Tuhan kepada
hambanya yang terpilih menjadi pemimpin. Manusia secara umum telah diangkat sebagai khalifah di muka bumi yang berkewajiban mengatur bumi
berdasarkan ketentuan-ketentuan syar’i. Sebagaimana firman Allah dalam penggalan surat Al-qur’an surat Al-Baqarah [2]:ayat 30 yang berbunyi:
⌧ …
Artinya: “...Sesungguhnya Aku Allah akan menjadikan seseorang Khalifah di
muka bumi...” QS. Al-Baqarah2 : 30
27
Isma’il Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Aksara Baru, 1987, Cet. Ke-6, h.7.
28
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999,
Cet. Ke-1, h. 86.
Ayat tersebut menginformasikan tentang unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah 1 bumi atau
wilayah; 2 khalifah yang diberi kekuasaan politik atau mandataris; 3 hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah dan hubungannya dengan
pemberi kekuasaan Allah Swt.
29
Adapun hubungan antara penguasa dan rakyat dalam Islam adalah adanya pelimpahan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada khalifah,
yang berhubungan erat dengan legitimasi kekuasaan negara. Memang benar, kedaulatan pembuat hukum hanya milik Allah semata, tetapi bukan berarti
Allah-lah yang mengangkat para ulama dan penguasa, lalu mereka bisa berkuasa atas nama Tuhan. Tapi yang dimaksudkan adalah dalam penetapan
hukum semata. Sedangkan sandaran kekuasaan secara pemerintahan tetapi kembali kepada rakyat atau umat. Perlu digaris bawahi bahwa kedaulatan
rakyat dalam Islam berbeda dengan konsep rakyat yang melahirkan sistem yang absolut.
Bagaimanapun juga dalam Islam, seluruh kekuasaan dan otoritas adalah milik Tuhan. Dan manusia hanya dianugerahi kekuasaan yang menjadi suatu
kepercayaan. Setiap orang yang menerima kekuasaan harus tunduk kepada sang pemberi kekuasaan. Jadi, ketika kita berbicara tentang kedaulatan rakyat
dalam Islam berkaitan erat dengan kedaulatan Tuhan, karena merupakan bagian integral. Kedaulatan rakyat tidak akan terwujud tanpa membatasi
29
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1997, Cet. Ke-5. h. 424.
kekuasaan negara dengan undang-undang konstitusi dan konstitusi tertinggi berada di tangan Allah.