Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam UUD 1945.

Sedangkan wewenang MPR menurut Prof Sri Soemantri bahwa jika diteliti dalam UUD 1945 maka Undang Undang Dasar 1945 hanya mengatur satu wewenang saja, yaitu dalam pasal 37. Dan setelah adanya ketetapan MPR No. 1MPR1983 dapat kita lihat bahwa wewenang MPR tidak hanya itu saja. Dalam pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR No 1MPR1983 kewenangan MPR ada sembilan, yaitu 11 : 1. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada PresidenMandataris. 2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan- putusan Majelis. 3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden. 4. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut. 5. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presidenmandataris sungguh- sungguh melanggar Haluan Negara danatau Undang-Undang Dasar. 6. Mengubah undang-Undang Dasar. 7. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis. 8. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota. 11 Ibid, h. 95 9. Mengambilmemberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpahjanji anggota. Ada satu kewenangan yang sudah dicantumkan dalam Undang- Undang Dasar 1945 akan tetapi lebih sering disebut dengan kekuasaan atau kedaulatan. Dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa ”Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” 12 . Kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut Power merupakan Great Authority, atau dapat diartikan sebagai kewenangan yang sangat besarterbesar. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa Undang-Undang Dasar di negara lain seperti Cina, Venezuela dan Amerika Serikat yang menggunakan kata power sebagai kewenangan lembaga negaranya. 2. Tugas Dan Wewenang MPR Yang Diatur Dalam UUD Sesudah Perubahan UUD1945. Tugas dan wewenang Majelis Permusyaratan Rakyat tidaklah banyak berkurang setelah perubahan UUD, akan tetapi dampaknya sangat besar terhadap lembaga MPR. Karena Majelis Permusyawaratan Rakyat kedudukannya sama dengan dengan lembaga negara yang lain 13 . Hal yang sangat mendasar adalah dicabutnya kewenangan MPR dalam hal melaksanakan kedaulatan rakyat dan dicabutnya tugas untuk 12 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 13 Risalah Sidang MPR RI pada tahun 2001. memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Dalam Perubahan UUD 1945, tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat berubah. Dengan berubahnya konsep lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat maka berubah pula beberapa tugas dan wewenangnya. Tugas MPR setelah Amandemen UUD 1945 adalah 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan atau Wakil Presiden Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945, yakni tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal ini adalah tugas formal atau upacara yang harus dilakukan jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum. Tugas MPR ini merupakan konsekuensi dari Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan Pemilihan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Melantik bukanlah wewenang dari MPR karena jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum, maka kewajiban dari MPR adalah melantik Presiden dan Wakil Presiden RI. Seharusnya dijelaskan secara tegas mengenai kewajiban ini sehingga tidak menimbulkan beberapa interprestasi yang menyimpang seperti jika Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mau melantik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilihan langsung oleh rakyat maka konsekuensinya bagaimana, apakah sah atau tidak Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan jika tidak ada yang mengesahkan maka Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan cacat hukum karena belum dilantik oleh lembaga yang berwenang yang diberi kekuasaan untuk melantik. Dan apakah Majelis Permusyawaratan Rakyat melanggar Undang-Undang Dasar jika tidak mau melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih. 2. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 pasal I Aturan Tambahan Perubahan ke IV UUD 1945, yakni tugas MPR melakukan peninjauan materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR merupakan tugas sementara yang dibebankan kepada MPR oleh Undang-Undang Dasar. Pasal I Aturan Tambahan menyatakan bahwa MPR harus “melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 14 ”. Sementara disini terletak pada kalimat akan diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003, jika telah diambil putusannya maka tugas ini berakhir dengan sendirinya. Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat disimpulkan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dijelaskan secara jelas. Apakah ketentuan tersebut tugas atau bukan tapi secara 14 Indonesia, Perubahan Keempat UUD 1945 definitif, tugas adalah kewajiban atau sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk dilakukan. Sedangkan wewenang Presiden RI dalam UUD 1945 maka bisa disimpulkan sebagai berikut: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 3 ayat 1 Perubahan Ke III UUD 1945. 2. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD 1945. 3. Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. Pasal 8 ayat 3 Perubahan Keempat. 15 Secara kedudukan maka MPR telah sama dengan lembaga negara yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga Negara yang lebih tinggi dari yang lain. Menurut Dr. Maria Farida, semua lembaga negara yang mengeluarkan produk peraturan perundang-undangan maka kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Dan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga Negara yang mengeluarkan peraturan yang lebih 15 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, disampaikan dalam Simposium Nasional yang diadakan oleh BPHN dan DEPKEH HAM , Bali, Juli 2003, h.9 tinggi. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga Negara yang lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tetap mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti secara Ilmu Perundang-undangan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain.

BAB III LEMBAGA PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HUKUM

KETATANEGARAAN ISLAM

A. Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Tata Negara Islam

Istilah ‘kedaulatan’ dalam Islam merujuk kepada kata “daulah” yang berasal dari kata dasar d āla-yadūlu-daulah yang bersifat bergilir, beredar dan berputar. 16 Kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka. Kadang-kadang muncul kata “riy āsah” dipakai juga untuk istilah negara, tetapi kata ini riy āsah hanyalah turunan dari kata “r ā`is”, yang berarti ‘kepala suku’. 17 Daulah dapat diartikan negara, pemerintahan, kerajaan, atau dinasti. Dalam Al-qur’an terdapat dua ayat yang menggunakan kata “daulah”, misalnya dalam makna ‘pergantian’ atau giliran yang terjadi dalam kehidupan manusia. 18 Kata ini tercantum dalam surah Ali Imran [3] ayat 140 yang berbunyi: 16 H. A. Hafidz Dasuki, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, jilid. I, h. 262. 17 Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, alih bahasa: Taufik Adnan Amal, Bandung: Mizan, 1987, h. 6. 18 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa : Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: Gramedia, 1994, h. 49-50 . … Artinya: “Dan masa kejayaan dan kehancuran itu, Kami pergilirkan di antara manusia agar mereka mendapat pelajaran…” QS. Ali Imran3 : 140 Sedangkan dalam bentuk “daulatan”, kata ini muncul dalam Al-qur’an QS. Al-Hasyr [59]: 7 dengan pengertian beredar, sesuatu yang digunakan secara bersama, pemilikan atas sesuatu yang penggunaannya dilakukan secara bergilir antar beberapa orang. 19 Sebagaimana yang dijelaskan: ☺ ☺ … 34 Artinya: “Apa saja harta rampasan fa’i yang diberikan Allah kepada Rasulnya yang berasal dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan untuk orang- orang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu ” QS. Al-Hasyr59: 7 Istilah daulah dalam ayat di atas dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran dan pergantian tangan dari kekayaan. Namun istilah tersebut kemudian berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena kekuasaan politik selalu berpindah tangan. Maka apa yang dikatakan Ibnu al- Muqaffa’ w. 140 H 757 M, “al-dunya’ duwal”, adalah bahwa dunia ini 19 Ibid., penuh dengan pasang-naik dan pasang surut yang menimpa nasib seseorang. 20 Hal tersebut diungkapkannya melalui sebuah tulisan yang berisi nasihat kepada khalifah, agar mensistematisir hukum dan melakukan ijtihadnya sendiri dengan Al-qur’an dan Sunnah. Ibnu al-Muqaffa’ barangkali adalah orang pertama yang mendukung legislasi oleh negara. 21 Berdasarkan ayat di atas, kata daulah bergeser dan digunakan sebagai istilah politik setelah difiguratifkan untuk menandai kekuasaan negara. Selain itu, hal ini juga dilandasi paradigma pemikiran ulama fiqh siyasah yang merumuskan pembidangan siyasah menjadi empat, yaitu: 1 fiqh siyasah dusturiyah, yang mencakup pembahasan masalah-masalah imamah, hak dan kewajibannya, rakyat status dan hak-haknya, bai’at, waliyul ahdi, perwakilan, ahl al-hal wa al-‘aqd, dan wazarah; 2 fiqh siyasah maliyah, yang meliputi pembahasan sumber-sumber perbendaharaan negara, pajak, baitul mal, serta fungsinya; 3 fiqh siyasah dauliyah, meliputi persoalan internasional, teritorial, nasionalisme dalam fiqh Islam, pembagian dunia menurut hukum fiqh Islam, dst; 4 fiqh siyasah harbiyah, yang mencakup bahasan tentang peperangan dalam Islam, tawanan perang, harta rampasan perang, dan perdamaian. 22 Pembidangan fiqh siyasah maliyah memperlihatkan adanya hubungan antara politik dan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa politik selalu menandai kewenangan yang dimiliki oleh negara. Negara dituntut untuk 20 Ibid., 21 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1994, h.149 22 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Cet. Ke-IV, h. 40-41