Latar Belakang Masalah. PENDAHULUAN

mendasar dalam Undang-undang Dasar 1945. Pada perubahan Undang- undang Dasar 1945 sampai tahun 2000 terdapat beberapa reduksi kekuasaan lembaga eksekutif seperti dalam pembatasan kekuasaan Presiden. Dalam banyak hal, presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif dan presiden harus memperhatikan pendapat DPR ataupun MA Mahkamah Agung jika berkaitan dengan hukum. 2 Sampai dengan perubahan ke II belum ada kritik yang tajam terhadap perubahan yang terjadi terhadap Undang-undang Dasar 1945 dari mayoritas ahli hukum Tata Negara. Setelah perubahan III terjadi perubahan mendasar terhadap Undang- undang Dasar 1945. Secara garis besar dapat disimpulkan perubahan III Undang-Undang Dasar 1945 meliputi : 1. Akan adanya pemilihan Presiden dan wakil Presiden langsung. Hal ini berakibat besar terhadap tugas MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2. Adanya Penghapusan Utusan golongan dalam MPR dan dilembagakannya utusan daerah menjadi DPD Dewan Perwakilan Daerah sehingga komposisi MPR berubah secara total. Setelah perubahan III Undang-undang Dasar 1945 berlaku, maka banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-undang Dasar. Proses perubahan Undang-undang Dasar 1945 menjadi salah satu sebab banyaknya kekurangan yang terjadi karena ada beberapa hal yang belum diatur dengan jelas sehingga menimbulkan masalah secara teknis hukum. Hal ini dikritisi oleh sebagian besar praktisi hukum terutama Hukum Tata Negara. 2 Didit Hariadi Estiko, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jenderal, 2001, h. 33 Ketika memasuki proses perubahan IV perubahan yang kurang, coba diperbaiki. Perubahan IV menjadi suatu keharusan yang mau tidak mau harus ada. Karena dengan adanya pemilihan presiden langsung, maka presiden langsung bertanggung jawab kepada pemilihnya dan tidak ada lagi tugas membuat GBHN Garis Besar Haluan Negara yang dilakukan oleh MPR. Perubahan III dan IV Undang-undang Dasar 1945 telah mengubah status dan peran MPR. MPR berubah dari lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang disebutkan secara eksplisit dalam Undang-undang Dasar 1945 menjadi lembaga negara. Setelah adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945 maka berakhirlah kekuasaan MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat dan berakhir juga kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dalam struktur kelembagaan negara di Indonesia. Hukum tata negara Indonesia menghadapi suatu masa perubahan besar dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Sangat penting untuk diselidiki bagaimanakah nantinya lembaga negara melakukan tugas dan wewenangnya dan bagaimana menjalankannya. Sebelum Perubahan Undang-undang Dasar 1945, kedudukan MPR adalah sebagai lembaga pemegang kedulatan rakyat. Dalam kekuasaan MPR, seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi dalam menjalankan kekuasaan ini MPR bertindak seakan tidak pernah salah karena terkait dengan sistem ketatanegaraan, perekrutan anggota dan sistem pengambilan keputusan MPR. Adapun dalam Hukum Tata Negara Islam, berbicara mengenai lembaga perwakilan sendiri musyawarah termasuk bagian dari menjalankan pemerintahan menurut hukum Tata Negara Islam yang merupakan suatu perbuatan yang dibenarkan syariat, oleh karena itu segala sesuatu yang terkait dengannya menyangkut tujuan, cara, dan sistem harus terkait dengan hukum syar’i. karena Representasi permusyawaratan Majelis Syuraterhadap pendapat masyarakat dibangun dengan dasar akad perwakilan masyarakat pemilih. Musyawarah dalam Islam adalah syari’at yang dipancarkan dari akidah Islam. Taqiyudin berkata: ”Musyawarah adalah pengambilan keputusan secara mutlak, sebagai pengambilan pendapat maka bisa ditetapkan berdasarkan dalil Al-qur’an dan Hadist. Allah berfirman, “Dan terhadap urusan mereka hendaknya dimusyawarahkan sesama mereka” QS. As- syuro’ Ayat 38. Dari Abu Huroiroh ra telah berkata: “Aku tidak melihat seorangpun yang banyak musyawarahnya dibandingkan Rasulullah SAW terhadap sahabatnya”. 3 ” ☺ :Artinya Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Adapun yang dikehendaki dari keberadaan lembaga permusyawaratan negara atau Majelis Syuradalam Islam adalah representasi manusia, maka keberadaaan Majelis Syuraadalah harus merepresentasikan pendapat warga 3 Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik Indonesia, Jakarta : CV Haji Masagung, 1987, h. 211 negara, sebagaimana pemilihan para pemimpin kaum yang merupakan represetasi komunitas sebagaimana yang tercermin dalam pemilihan para pemimpin kaum Muhajirin dan Anshor, yang masing-masing adalah separuhnya. Ini menyangkut keberadaan individu dan jamaah yang tidak dikenal, tidak mungkin ada perwakilannya kecuali melalui pemilihan. Oleh karena itu pemilihan anggota majelis umat adalah suatu keharusan. Jadi, keanggotaan Majelis Syuraditentukan melalui pemilihan umum dan bukan melalui penunjukan. Ketentuan ini berlaku karena mereka adalah wakil dari pendapat warga Negara. Wakil tentu harus dipilih dari yang diwakilinya dan tidak ditunjuk secara mutlak. Keanggotaan Majelis Syuraharus mencerminkan kesetaraan dengan manusia secara individu dan kelompok dalam pendapatnya. Untuk mengetahui kesetaraan dalam wilayah luas dan kaum yang tidak dikenal, tidak mungkin dapat diketahui kecuali dengan pemilihan langsung oleh yang mewakilinya. Hal ini merujuk pada perbuatan Rasul bahwa tidak dilakukan penunjukan berdasarkan perkiraan, kecukupan jumlah ataupun kepribadian, melainkan pemilihannya didasarkan atas 2 dua asas, yaitu: 1. Bahwa para wakil itu adalah para pemimpin kelompoknya dengan memperhatikan perkiraan jumlah kecukupannya. 2. Mereka adalah representasi dari Muhajirin dan Anshor, masing-masing adalah separuhnya. 4 4 Ibid, h. 21. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk memilih dan menetapkan judul tentang “Kekuasaan MPR RI Dalam UUD 1945 Pasca Reformasi Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam ”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka dianggap perlu untuk diadakannya pembatasan masalah yang akan dianalisa dengan maksud agar pembahasan skripsi ini akan lebih sistematis dan terarah. Untuk itu, masalah yang akan diteliti adalah lembaga MPR sebagai perwakilan rakyat di Indonesia, dibatasi dengan hal kekuasaan MPR mengenai tugas dan wewenang MPR periode 1999 sampai dengan 2004, yaitu pada masa reformasi dalam hal mengangkat dan memberhentikan presiden atau wakil presiden, selanjutnya menetapkan dan merubah Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahan-perubahannya yang ditinjau dari lembaga permusyawaratan rakyat dalam sistem pemerintahan Islam. Untuk mempermudah dan memperjelas jawaban dari masalah pokoknya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi? 2. Bagaimana kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan Islam? 3. Bagaimana tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa Reformasi ditinjau dari Hukum Ketatanegaraan Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Sedangkan yang menjadi tujuan dan manfaat penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana konsep lembaga negara MPR di Era Reformasi. 2. Untuk mengetahui kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan Islam. 3. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa Reformasi ditinjau dari Hukum Ketatanegaraan Islam. Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah: 1. Memberikan wacana solutif dalam penanganan pengambilan keputusan dalam pengangkatan dan pemberhentian presiden dan penetapan dan perubahan Undang-undang Dasar 1945 sebagai basis pengetahuan Hukum mahasiswa syari’ah dan masyarakat umum yang konsen di bidang ini. 2. Menambah khazanah intelektual bagi individu atau kelompok untuk mendapatkan akses informasi yang komprehensif tentang pangambilan keputusan MPR RI yang sesuai untuk kesejahteraan rakyat. 3. Penambahan literatur kepustakaan.

D. Metode Penelitian.

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis dan Sifat Data Metode yang penulis gunakan pada dasarnya adalah metode deskriptif, yang bertujuan menjelaskan secara sistematis fakta secara cermat, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala kelompok tertentu atau untuk menentukan suatu frekuensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat. Dengan pengertian lain, data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan yang diteliti. Cara ini bertujuan untuk mendeskripsikan Majelis Permusyawaratan yang ditinjau dari Hukum ketatanegaraan Islam dan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang ada di Indonesia. Sedangkan sifat dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analitis yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penlitian ini adalah jenis kualitatif yakni berupa kata-kata, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu berupaya mengupas dan mencermati secara ilmiah dan kualitatif mengenai kekuasan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang ditinjau dari hukum tata Negara islam pada masa reformasi. Sedangkan sifat dan data dalam penelitian ini untuk menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh.