Majelis Syurasebagai Lembaga Perwakilan Rakyat

siapa yang pantas menjadi kepala negara dan mampu memegang jabatan untuk mengelola urusan negara dan rakyat. Dengan memperhatikan syarat-syarat di atas maka jelaslah bahwa dewan ini bukanlah lembaga ijtihad yang dimaksudkan oleh ilmu ushul, karena pribadi-pribadi yang menjadi anggota Majelis Syuratidak harus mempunyai ilmu, terkecuali sekedar memungkinkan mengetahui keadaan-keadaan masyarakat dan perkembangan-perkembangan politik yang dengan demikian dapat memilih mana yang baik dan yang lebih maslahat dari orang-orang yang dicalonkan untuk menjadi kepala negara. Sedang Majelis Syurayang dimaksudkan ilmu ushul, ialah para mujtahid yang secara penuh memenuhi syarat-syarat ijtihad. Pemikiran ulama fiqih siyasah merumuskan istilah Majelis Syurayang didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Anshar dan Muhajirin. Mereka ini dianggap oleh ulama fiqih siyasah sebagai Majelis Syurayang bertindak sebagai wakil umat. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah keanggotaan dewan syura sehingga pengangkatan khalifah oleh mereka dianggap sah. Abu Bakar al-Asham berpendapat, bahwasanya imamah itu, barulah dapat dipandang sah, apabila seluruh umatnya mengakuinya. Pendapat ini diambil juga oleh Hisyam al-Fuathy yang mengatakan bahwasanya pengangkatan imamah di waktu terjadi kekacauan dan pendapat yang simpang siur, tidak dapat dipandang sah. 45 Al-Qalanisy berpendapat bahwasanya imamah itu sah dilaksanakan oleh ulama-ulama yang berada di tempat kepala negara, tanpa disyaratkan bilangan tertentu. 46 Al-Mawardi menetapkan bahwasanya sekurang-kurangnya lima orang yang kesemuanya melakukan akad atau dilakukan oleh salah seorang dengan persetujuan yang empat lagi. Sedangkan para ulama Kuffah berpendapat bahwa sekurang-kurangnya tiga orang dan salah seorang melaksanakan pengangkatan dengan persetujuan dua orang yang lain, agar seorang bertindak sebagai hakim dan dua orang bertindak sebagai saksi. 47 Walaupun ulama-ulama Islam berbeda-beda kecenderungan berpendapatnya, namun mereka semua menetapkan bahwa pemilihan kepala negara, haruslah dengan mubaya’ah yang benar dan bebas, serta haruslah pemilihan itu mendapatkan persetujuan umum di samping harus menentukan kepala negara dengan permusyawaratan. Majelis Syura merupakan dewan yang merupakan representasi umat.. Seperti yang dicetuskan oleh para pemikir ketatanegaraan Islam adalah terdiri dari berbagai kelompok sosial yang memiliki profesi dan keahlian yang berbeda. Baik dari birokrat pemerintahan maupun bukan, yang lazim disebut pemimpin formal dan informal. Tidak setiap pemimpin dari pemuka profesi 45 Ibid. 46 Ibid., h. 93. 47 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsi-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, Jakarta: Darul Falah, 2000, h. 5. dan keahlian otomatis menjadi anggota Majelis Syura. Sebab, setiap anggota dewan ini perlu memenuhi kualifikasi tertentu. Hubungan antara Majelis Syura dan rakyat tampak dalam fungsi mereka sebagai wakil rakyat dalam melaksanakan haknya untuk memilih kepala negara. Karena mereka merupakan wakil rakyat dalam melaksanakan hak pilihnya, maka pilihan mereka adalah pilihan rakyat itu sendiri. Tetapi bagaimana perwakilan tersebut terjadi, apakah mereka dipilih oleh rakyat atau ditunjuk oleh khalifah, tidak ada informasi yang menjelaskannya. Dewan ini juga bertindak sebagai perantara antara umat dan khalifah dalam mengkokohkan tiang-tiang hukum Islam, menerapkan keadilan, menghidupkan ruh Islam di berbagai tempat, dan memuliakan khalifah dan Majelis Syura dalam menjaga kemungkinan penyimpangan dari jalan Islam yang lurus, atau bersenang-senang dengan kedudukannya. Adapun tugas Majelis Syura adalah mempunyai hak pilih, yaitu memilih presiden. Selain itu, menurut Rasyid Ridla, adalah menjatuhkan khalifah jika terdapat hal yang mengharuskan dipecat. Al-Mawardi juga berpendapat, jika kepala negara melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan Majelis Syura berhak menyampaikan mosi tidak percaya kepadanya. 48 Sejauh ini belum ditemukan penjelasan tentang hak lain Majelis Syura seperti pembatasan kekuatan khalifah, mekanisme pembentukan majelis itu, dan hak kontrol. Apalagi Majelis Syura sekalipun mereka mewakili rakyat, 48 J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, h. 71. menurut Rasyid Ridla tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif, dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara melalui undang-undang. 49 Dengan demikian, kedudukan Majelis Syura dalam suatu negara Islam adalah sebagai wakil dari rakyat. Rakyat mengamanatkan hak pilihnya kepada lembaga ini untuk memilih kepala negara.

BAB IV KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945 PASCA

REFORMASI DITINJAU DALAM HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM

A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi 1999-2004.

Pada tahun 1998 telah terjadi peristiwa yang mengubah tatanan ketatanegaraan Republik Indonesia dengan mundurnya Presiden Soeharto menurut pasal 8 UUD 1945. Walaupun ada yang beranggapan pergantian tersebut tidak sesuai dengan bunyi pasal 8 UUD 1945. Walaupun pada akhirnya dianggap sah pengunduran diri tersebut. Setelah itu terjadilah Pemilihan Umum tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik akhirnya terbentuklah anggota DPRD, DPR dan anggota MPR baru. Dan pada Sidang Tahunan 1999 maka UUD 1945 diubah dengan 49 Ibid., h. 71-72. Perubahan I UUD 1945 terutama pasal mengenai masa jabatan presiden, sehingga diharapkan tidak terjadi hal-hal yang ada dimasa lalu mengenai jabatan Presiden RI 50 . Dan juga mengenai beberapa kewenangan Presiden yang dialihkan dan dibantu oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian pada tahun 2000, Undang-Undang Dasar 1945 kembali diubah. Perubahan Undang-Undang Dasar ini lebih menekankan pada Hak Azasi Manusia, yang menjadi konsentrasi pembahasan untuk dimuat pada saat itu 51 . Tahun 2001 kembali terjadi perubahan Undang-Undang Dasar melalui Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perubahan III Undang-Undang Dasar 1945 pun disahkan dengan menekankan pada perubahan kedaulatan rakyat. Dalam UUD 1945 sebelum Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat diubah menjadi kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan oleh Undang-Undang Dasar. Perubahan ini sangatlah penting karena, perubahan inilah yang menjadi dasar untuk mereduksi kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan perubahan ini menjadi pijakan untuk Perubahan IV UUD 1945. 51 Menurut Rosseau dalam Kontrak Sosial maka perjanjian yang dibentuk oleh penguasa dan rakyat yang dikuasai, bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dalam masyarakat. Dan untuk menjaga kepentingan 50 Harun Al Rasyid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta; PT Pustaka Utama Grafiti, 1999, h.141 51 Indonesia, Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945 masyarakat dengan individu sehingga tidak terjadi benturan antara hak antara individu juga dengan masyarakat 52 . Perjanjian ini bertujuan juga untuk membatasi kekuasaan penguasa dalam menjalankan tugas dan perjanjian tersebut. Dengan semakin berkembangnya peradaban maka bentuk perjanjian sosial pun menjadi lebih rapi. Kemudian hal ini dikenal sebagai Konstitusi. Biasanya pelaksanaan kedaulatan rakyat secara representatif dalam konstitusi disebut sebagai lembaga perwakilan. Dengan demikian sebagai Konstitusi yang baik seharusnya Undang- Undang Dasar 1945 sesuai dengan karakteristik yang disebut diatas. Perubahaan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan untuk mencapai karakteristik perjanjian sosial antara negara dengan masyarakat. Dan perubahan tersebut membawa dampak yang sangat besar bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga perwakilan. Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama 1959-1965, seluruh anggota MPRS dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. 52 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, , 2002, h. 912