Latar Belakang Masalah Terjemahan al-qur'an departemen agama edisi revisi 1989 pada ayat-ayat eksklusivitas dan inklusivitas islam : analisis wacana

BAB l PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sederhana saja sebenarnya. Penulis dalam hal ini masih melanjutkan perdebatan klasik antara teori dan praksis, yaitu antara Plato dan Aristoteles. Perdebatan itu berisi apakah teori untuk teori atau teori berkaitan dengan kepentingan manusia dan bersifat emansipatoris. Perdebatan seru ini berlanjut di era modern hingga Teori Kritis, Mazhab Frankfurt dan Neo-Positivisme di tahun 60-an dan hingga saat ini. 1 Sehubungan dengan itu penulis mencermati derasnya arus gelombang ‘skripsi teori murni’ entitasnya sebagai kewajiban akhir akademik semata yang marak belakangan ini, khususnya terkait dengan Jurusan Tarjamah. Hal ini bisa kita temukan pada skripsi-skripsi di perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora tentunya. Skripsi yang mengaitkan bahasa dengan praksis, kehidupan nyata memang agak sedikit sekali. Pada umumnya skripsi yang telah ada hanya membahas atau menganalisis karya terjemahan dengan menitikberatkan pada struktur gramatikal linguistics oriented belaka, berbeda dengan Syahrur misalnya, yang menggunakan studi linguistik dalam membangun argumennya melalui pendekatan ilmiah-historis. Hal ini seolah mengatakan bahwa bahasa – termasuk terjemahan– ada di luar jangkauan kehidupan manusia sehari-hari. Penulis dalam skripsi ini mencoba menginternalisir dan mengilhami teman-teman lain wa bi al-khusus yang belum menulis skripsi bahwa bahasa terjemahan itu sedemikian dekatnya dengan kehidupan manusia bahkan bersifat immanent dan inherent. Bahkan, bukan hanya dekat, tetapi produksi pemaknaan oleh bahasa juga 1 Untuk lebih jelas dan uraian yang lebih komprehensif bisa lihat buku F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan dan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 1990; reprint: Buku Baik, 2003 mempengaruhi sekaligus mengintervensi pola pikir dan praktik-praktik sosial masyarakat sebagai konsumennya. Apa yang Penulis lakukan sebenarnya tidak terlalu jauh apalagi keluar dari pakem akademik, tetapi Penulis hanya ingin merangkul membangkitkan aspek-aspek nalar humaniora yang selama ini mengendap dan diendapkan dalam benak mahasiswa juga pihak terkait, dosen misalnya di tengah kegalauan dan kegamangan menjadi ‘sarjana fast food’ - meminjam istilah disiplin Budaya Populer guna merespon laju cepat globalisasi meskipun juga mengalami krisis. Penulis meyakini bahwa skripsi yang terlalu menitikberatkan pada susunan gramatikal cenderung menegasikan, mengeringkan, dan memarjinalkan aspek- aspek makna yang terkandung dalam teks. Mengapa demikian? Jawabnya bahwa bahasa bukan sebuah medium netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan tentang suatu dunia objektif independen di luar bahasa. Dalam istilah Michel Foucault, “Kritik mempertanyakan bahasa seolah-olah bahasa adalah sebuah fungsi yang murni, totalitas mekanisme, dan permainan tanda-tanda yang luar biasa otonom.” 2 Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak oleh bahasa dan menjadi bisa kita pahami lewat istilah-istilah yang digariskan oleh bahasa. 3 2 Michel Foucault. Order of Thing, Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Penerjemah B. Priambodo dan Pradana Boy Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 h. 91 3 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik. Penerjemah Tim KUNCI Cultural Studies Center Yogyakarta: Bentang, 2005 h. 10. Buku tersebut hampir memasukkan seluruh tema-tema yang majemuk, berisi berbagai perspektif yang saling bersaing –melalui produksi teori– yang berusaha mengintervensi politik kebudayaan. Kajian budaya dan bahasa sengaja mempelajari kebudayaan sebagai praktik-praktik pemakanaan dalam konteks kekuasaan sosial. Kajian tersebut banyak mengambil dari banyak teori, termasuk marxisme, strukturalisme, post strukturalisme, dan feminisme. Dengan metode yang eklektis, kajian budaya dan bahasa menegaskan posisionalitas semua bentuk pengetahuan, termasuk dirinya sendiri, yang berputar di sekitar ide-ide kunci seperti budaya, praktik pemaknaan, representasi, wacana, kekuasaan, artikulasi, teks, pembaca, dan Selain itu, skripsi-skripsi tersebut –disadari atau tidak– mengadiluhungkan dan menunjukkan kemegahan pengetahuan linguistik ilmiah ala modernisme, yakni dengan bermain menghakimi di seputar ‘bahasa formal ilmiah dan non- formal’. Padahal pengetahuan ilmiah –menurut Lyotard orang yang memproklamirkan Posmodernisme sebagai ‘takbir’ atas matinya arogansi Modernisme– selalu melegitimasi dirinya sendiri dan dengan cara semacam itu, ia menjadi sarana utama untuk melegitimasi ‘Occident’tidak modern dan ‘hak- haknya untuk memutuskan apa yang benar’. 4 Pengetahuan ilmiah inilah yang mengategorikan ‘khâriq al-‘âdah linguistics’ sebagai mentalitas yang berbeda, mentalitas ‘liar, primitif, anomali, non-ilmiah, dan seterusnya’. Mekanisme pengetahuan ilmiah –kekerasan epistemologis dalam istilah Richard Rorty– semacam itu yang disebut sebagai ‘Othering’ yakni ‘Lain yang memiliki ke’Lain’an’. Dengan tesis tersebut, Penulis mencoba menelusuri serta melacak bagaimana arogansi otoritas teks-teks keagaamaan –dalam bahasa Abu Zaid yang mengacu pada Alquran dan hadits– yang maknanya sudah direduksi dan dikeringkan oleh sejumlah pihak dan metodologi yang mengklaim telah menemukan makna tersebut. Mereka mengedit teks-teks keagamaan ini dalam rangka mencari pembenaran legitimasi bagi proyek-proyek mereka. Terkait konteks keindonesiaan, kita akan melihat banyak kasus bagaimana othering yang diakibatkan oleh salah satunya ulah arogansi pemikiran keagamaan konsumsi. Kajian budaya dan bahasa adalah bidang penyelidikan interdisipliner yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna. Ringkasnya kajian budaya dan bahasa menjadi mikroskop yang membantu kita melihat derasnya arus lalu lintas pemaknaan bersilang-siur yang hampir tak terlihat. 4 Bill Ashcroft, dkk., Menelanjangi Kuasa Bahasa, Teori dan Praktek Sastra Poskolonial. Penerjemah Fati Soewandi dan Agus Mokamat Yogyakarta: Qalam, 2003 h. 255 yang cenderung reduksionis-kanonis atas teks-teks keagamaan. Sangat ironis memang, pada saat jumlah mereka aktivis pengusung eksklusivisme minoritas di satu ruang publik terkecil hingga yang terbesar negara misalnya, mereka melakukan perlawanan mulai dari perlawanan pasif hingga ekspansif militeristik seperti gerilya, pembajakan, pengeboman, penyanderaan dan seterusnya terutama pihak-pihak yang dianggap sebagai inferior dan others atau lokasi-lokasi yang mendijadikan kantong strategis untuk ditundukkan. Namun, mereka –di saat menjadi mayoritas– merasa superior sehingga membentuk pola interaksi publik secara legal formalistik dengan menghegemoni segala macam kebijakan- kebijakan yang bersifat publik seperti hukum, poltik, sosial, budaya, bahkan yang bersifat privat sekalipun. Hal ini sekarang dapat kita lihat seperti berlakunya Perda-Perda syariah yang jelas-jelas diskriminatif, marjinalitatif, juga penyempitan ruang privat yang sangat meresahkan. Mengapa demikian, karena hal ini jelas berbenturan dengan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi nafas kebangsaan dan sangat mengganggu laju rekonsiliasi antaragama, keyakinan, kelas, ras, adat, dan suku di Indonesia. Hal ini –dalam konteks keindonesiaan– semakin jelas terhitung mulai tahun 1980-an sebenarnya terbilang sejak 100 tahun pra kemerdekaan, Orde Baru hingga saat ini, Pasca Orde Baru Reformasi perkembangan Islam di Indonesia ditandai dengan kedihadirkan munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat Islam. Upaya melakukan Islamisasi ke seluruh aspek denyut kehidupan sosial digalakkan seperti menjamurnya majelis-majelis taklim dan majelis-majelis zikir. Di sisi lain Islamisasi memasuki dunia ‘kampus’ dengan ramainya penelitian dan kajian-kajian ala akademisi terhadap Islam dengan menguniversalisasikannya. Bisa kita perhatikan misalnya Islamisasi memasuki ruang ekonomi yang dimanifestasikan dengan adanya lembaga perekonomian Islam bank Syariah, dalam bidang hukum seperti formalisasi Syariat Islam dalam UU seperti PERDA Syariah yang sudah berjalan di beberapa wilayah di Indonesia, dalam pendidikan misalnya diharuskan mengenakan pakaian muslim pada hari Jum’at, dalam bidang seni musik dimanifestasikan dengan maraknya produk-produk album religi, dalam hal politik misalnya ditandai dengan bermunculannya partai-partai yang mengenakan platform Islam. Selain itu semua, muncul ormas-ormas yang berbasis Islam, seperti gerakan Tarbiyah yang kemudian membidani lahirnya, sekaligus mesin rekruitmen massa Partai Keadilan Sejahtera, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan seterusnya, yang merepresentasikan Islam dengan wajah lama di era baru. Mengapa saya katakan wajah lama karena mereka mengklaim bahwa hanya mereka inilah yang orisinil merepresentasikan Islam masa Rasulullah Saw. dan para sahabat era salaf. Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream pandangan politik maupun wacana keagamaan gerakan Islam dominan seperti NU, Muhamadiyah, Persis, dan seterusnya Pernyataan tersebut bukan berarti mengatakan bahwa NU, Muhamadiyah, Persis dan seterusnya tidak berhaluan eksklusif. Gerakan ormas-ormas baru ini mempunyai basis ideologi, pemikiran dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya. Mereka diindikasikan berhaluan puritan, militan, radikal, skripturalis literal, konservatif, dan eksklusif. Di sinilah letak permasalahannya, Penulis mengambil karakteristik khas mereka yaitu sikap eksklusif sebagai objek analisis dan juga inklusivisme yang menjadi wacana tandingan eksklusivitas yang selanjutnya akan diterangkan di bawah dengan kajian wacana sebagai pisau analisis. Mengapa tema ini yang diangkat? Tentunya, respon terhadap fenomena sosial di dunia Indonesia khususnya menuntut memaksa Penulis untuk melacak salah satu akar jalinan rumit yang berangkat dari pemahaman teks-teks keagamaan penerjemahan salah satunya. Coba kita perhatikan misalnya, konflik sosial yang berisu keyakinan agama kerap kali terjadi. Belakangan ini, terlebih lagi pasca Orde Baru, kekerasan bernuansa agama dan suku semakin meningkat, terutama angka kekerasan atas nama agama. Kekerasan bernuansa suku dan agama terdijadikan di berbagai wilayah di Tanah Air seperti kerusuhan Ambon, Poso, Sampit, Aceh, Irian Jaya, peledakan bom di Bali, pengejaran serta perusakan rumah ibadah Jamaat Ahmadiyah di Parung, Indramayu, Bogor dan lain-lain. Kekerasan semacam ini tidak hanya menumpahkan darah di daerah yang tersebar di Indonesia tetapi juga di Ibu Kota Jakarta seperti perusakan kantor sebuah majalah yang dianggap mengumbar syahwat, peledakan bom di Kuningan, penyerangan AKKBB Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monas dan tragedi berdarah lainnya. Peristiwa-peristiwa kekerasan dan teror semacam ditengarai oleh ormas-ormas yang berhaluan puritan militan, radikal, skripturalis literal, konservatif, dan eksklusif. Penulis tidak melakukan tuduhan-tuduhan tanpa bukti karena beberapa aktor-aktor kekerasan ini sudah ditangkap dan masuk persidangan, bahkan ada yang sudah divonis mati oleh hakim kasus Amrozi misalnya. Kedua term inilah eksklusif dan inklusif yang mempengaruhi sikap dan pola pikir terhadap ruang-ruang praktis kehidupan. Orang eksklusif the ego – seperti pernyataan Ali Harb– memandang orang lainnya the other melalui identitas keagamaannya, melalui bahasa nasionalnya, melalui peradaban kulturalnya, atau melalui yang lainnya. Dia the ego menghakiminya the other atas dasar ini. Sekiranya orang itu cocok dengan keyakinan, mazhab, ras, kultur, atau pola peradabannya maka ia the other akan diterima dan diidentikkan dengan dirinya the ego, namun jika tidak maka ia the other akan dicampakkan sembari dipersamakan antara bid’ah dan pemikiran, karya dan pengkhianatan, keterlambatan dan keterbelakangan, keasingan dan keprimitifan, atau nama lain apa pun yang menunjukkan perbedaan penuh atau perbedaan primitif. Oleh karena itu, orang yang eksklusif terhadap diri dan keyakinannya akan menafikan orang lain the other dan tidak mengakui haknya untuk berbeda dengannya. Menurutnya, perbedaan bertentangan dengan identitas dan sekaligus menjadi lawan yang mengancamnya, sehingga harus ditundukkan atau disingkirkan, dibungkam dan kalau perlu ‘dikempiskan’. Dengan demikian, “yang lain” the other tidak lagi memiliki hak sebagai manusia, karena ia dipandang dan dilihat melalui kategori-kategori sempit, penanaman-penanaman instan dan keyakinan-keyakinan absolut. Pemilik nalar eksklusif menyembunyikan semua perbedaan atau kelainan di dalam identitas puritannya, padahal perbedaan eksternal merupakan sisi lain dari identitas puritan yang buta, bahkan merupakan penjustifikasi wujudnya dan alasan keterlekatannya. 5 5 Ali Harb, Benar Kritik Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema Yogyakarta: LKiS, 2004 h.113-114. Buku tersebut mencoba memaparkan atau singkatnya menelanjangi ideologi- Bukan hanya sikap dan pola pikir, dalam penggunaan bahasa pun orang yang eksklusif cenderung terpengaruh oleh kerangka pikiran yang eksklusif. Aposisi-aposisi berikut keabsenannya pun menjadi indikasi yang semestinya tidak boleh diluputkan dari perhatian. Hal ini dapat termanifestasikan dalam empat poin: Pertama, penghalusan makna eufemisme. Penghalusan makna eufemisme wajar-wajar saja bila digunakan untuk merepresentasikan sebuah hal yang masih dianggap tabu di sebuah komunitas. Yang menjadi masalah adalah ketika penghalusan makna eufemisme ini digunakan untuk menandai dan menamai sebuah realitas. Masalah terjadi ketika realitas itu adalah realitas yang buruk, yang memalukan, seperti kemiskinan, pembunuhan, korupsi, dan kelaparan penyerangan, perusakan, pengejaran, teror, dan seterusnya [dari Penulis]. Dengan pemakaian kata-kata itu, realitas yang secara kasar buruk tadi bisa berubah menjadi halus, dan akibatnya khalayak melihat kenyataan yang sebenarnya. Eufemisme banyak dipakai untuk menyebut kelompok dominan superior, mayoritas, kelompok yang ‘benderanya sedang tertiup angin’ kepada masyarakat bawah subordinat, subaltern, minoritas, marjinal, sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama rakyat bawah. Kedua, pemakaian bahasa pengasaran disfemisme. Kalau eufemisme dapat mengakibatkan realitas menjadi halus, disfemisme sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar buruk. Kalau eufemisme banyak dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan ideologi yang selama ini dianggap “benar”. Ali Harb ingin mengatakan bahwa kebenaran itu tidak tunggal dan absolute. Selubung dan permainan-permainan kebenaran yang dipraktikkan oleh wacana kebenaran dalam teks coba diungkap. Bagi Ali Harb, teks tidak pernah merepresentasikan makna yang dikehendakinya secara utuh, teks hanya bagian dari praktik mekanisme-mekanisme yang berbeda dalam menutupi, menipu, mengubah, menyembunyikan, menyingkirkan, memarjinalkan, dan seterusnya. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada sebuah kebenaran yang bersifat tunggal dan melampaui yang lainnya. Kebenaran tetap merupakan sebuah realitas yang plural, terbatas, dan dapat saling bertukar. Singkatnya, tidak ada kebenaran tetapi yang ada itu adalah kebenaran-kebenaran. kelompok dominan mayoritas, superior, disfemisme umumnya banyak dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh masyarakat bawah minoritas, subordinat, inferior, subaltern seperti, pemberontakan, perlawanan, penyimpangan, pengkhianatan, bid‘ah, heretic, murtad, kafir, subversif, perusakan, melawan pakem-pakem. Ketiga, labelisasi. Labeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka yang berada di kelas atas untuk menundukkan lawan-lawan. Pemakaian labeling ini bukan hanya membuat posisi kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tetapi juga mempunyai kesempatan melegitimasi bagi mereka yang memproduksinya untuk melakukan tindakan tertentu. Seperti, karena ‘mereka’ itu “aliran sesat” maka wajar dan seharusnya jika ‘mereka’ dimusuhi. Keempat, stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif tetapi umumnya negatif dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di sini, stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi negatif dan bersifat subjektif. Banyak sekali praktik stereotipe ini. ‘mereka’ yang khâriq al-ijmâ’ [di luar konsensus ulama] misalnya distereotipekan sebagai orang atau kelompok yang sesat, ingkar sunah, murtad, bahkan kafir. 6 Adapun orang yang inklusif memandang identitas-identitas lainnya the other secara lain. Ia menerima dan memandangnya sebagai pelengkap dan teladan, terkadang ia mengidentikkan diri dengannya atau bahkan bersatu dengannya. Hal itu dilakukan tanpa memandang perbedaan-perbedaan bahasa, ras, agama, budaya, atau afiliasi-afiliasi apa pun. Menurut pandangan inklusif ini, 6 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media Yogyakarta: LKiS, Cet. V 2006 h.125-127. “yang lain” the other tidaklah terhalangi oleh identitas tertentu, eksistensinya tidak terhabiskan oleh sifat tertentu, dan hakikatnya tidak menggunakan satu nama atau satu simbol. Dia memiliki identitas yang luas dan tersusun, dengan sisi-sisi yang berbeda-beda dan dimensi-dimensi yang plural. Ia adalah esensi wujud tunggal, namun memiliki relativitas-relativitas dan atribut-atribut yang tak terhitung. 7 Hal ini tentunya tidak lepas dari penerjemahan Alquran Depag di bawah ini yang memiliki semangat eksklusivisme, ﻝ Artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima agama itu daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Q.S. Ali Imran,[3]; 85. ﻝ +,,ﻝ -. 0 1 2ﺏ 4. 5 6ﻝ ﺕ 8 9 5 :;ﻝ -= ?ﺏ 6 A ﺏ Bﺏ 2ﻝ Artinya: Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya. Q.S. Ali Imran,[3]; 19. Lalu timbul pertanyaan yang cukup menyesakkan hati, manakah yang benar antara eksklusivisme atau inklusivisme? Penulis tidak ingin memilih salah satunya. Karena dengan memilih salah satunya kita akan terjebak dalam jerat 7 Harb, Benar Kritik Kebenaran, h. 114. eksklusivisme. Kedua-duanya benar. Eksklusivisme akan menjaga keutuhan dan keberlangsungan identitas, tapi menjadi sebuah kekeliruan apabila identitas itu dipahami secara dangkal sehingga dengan arogan mencoba menegasikan entitas- entitas identitas “yang lain” the other. Selain itu, eksklusivisme akan mengancam integritas sebuah bangsa. Inklusivisme diperlukan guna menjaga keharmonisan dan kerukunan entitas-entitas yang plural, namun kalau terlalu mendeifikasi pluralitas cenderung akan memecahkan dan meleburkan bukan saja identitasnya, bahkan juga identitas-identitas yang lain the other.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah