Metodologi Penelitian Kritik Definisi Penerjemahan

dieksplor oleh Penulis sama sekali baru, sehingga ada dinamisasi pengetahuan, dan tentunya bisa dilanjutkan oleh mereka yang datang selanjutnya.

E. Metodologi Penelitian

Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti. Setelah itu, penulis mendeskripsikan masalah tersebut dengan data yang ada dalam kerangka teori wacana sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Kerangka teori wacana yang membingkai penelitian penulis ini didasarkan pada literatur-literatur yang terpercaya. Sedangkan dalam pencarian data, Penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian seperti terjemahan Al- Quran Departemen Agama. Secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and Assurance CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Agar penelitian dapat terarah dan sistematis, langkah yang Penulis lakukan sebagai berikut : Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini Penulis membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan metode yang digunakan, serta sistematika penulisan. Penulis dalam bab pendahuluan ini memaparkan latar belakang masalah yaitu pengalaman- pengalaman mengerikan yang dilalui bangsa Indonesia dengan segala macam pluralitasnya mulai dari yang ekstrim kanan hingga ekstrim kirinya. Penulis sengaja menempatkan uraian ini pada Bab I dengan alasan bahwa uraian ini dijadikan sebagai introduction bagi pembaca. Latar belakang masalah ini tentunya dibahas secara singkat dan kemudian akan diuraikan lebih luas lagi pada bab III dan IV. Bab II merupakan pembahasan sekitar teori wacana dan ragam model penerjemahan. Penulis pada bab ini mencoba menguraikan teori dan ragam model penerjemahan yang telah dipelajari di dalam kelas. Penulis juga menggambarkan teori wacana melalui pendekatan budaya dan filsafat bahasa yang telah dipelajari di kelas maupun diskusi-diskusi lepas di luar kampus. Selain memaparkan teori terjemahan dan teori wacana, Penulis juga melacak akar kata terjemah itu sendiri yang dipahami pengguna bahasa dalam hal ini adalah bahasa Arab. penelusuran kata terjemah melalui proses yang cukup panjang, melelahkan, sekaligus memuaskan dan menghasilkan temuan-temuan yang menurut Penulis anggap merupakan suatu kebaruan. Bab III merupakan pembahasan mengenai wacana aktual di Indonesia terkait dengan eksklusivisme dan inklusivisme Islam. Tidak lupa pula, Penulis mengutip pandangan beberapa tokoh terkait dengan wacana tersebut terutama tokoh-tokoh Timur Tengah. Pada bab III ini, Penulis sedikit reduksionis mengatakan bahwa ketegangan kedua wacana tersebut didasarkan pada perebutan makna teks-teks keagamaan dengan ego masing-masing. Satu pihak mendapatkan makna teks pada teks itu sendiri sementara pihak lain menemukan makna teks berada di balik teks. Bab IV berbicara tentang studi kasus penerjemahan wacana ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, Penulis mengambil Terjemahan Al-Quran Departemen Agama sebagai objek kajian. Di sini Penulis mencoba menganalisis terjemahan tersebut dengan teori wacana sebagai pisau analisisnya dibantu dengan disiplin hermeneutik sebagai pendamping pemahaman sebuah teks. Kerja memamahi ternyata tidak sesederhana yang dikira. Pembacaan sekilas tanpa memahami konteks apalagi tidak mendiplomasikan konteks sejarah dengan konteks masa kini sekaligus tidak membuat ancang-ancang bagi pemahaman masa depan berujung pada distorsi, melunturkan makna, keterjajahan pada saat yang bersamaan dan penyembahan terhadap teks. Hal ini bisa juga dibilang bahwa suatu pembacaan sekilas sama saja dengan hegemoni teks atas makna, sejarah, realitas, dan subjek itu sendiri. Penerjemahan teks keagamaan ini karena memiliki nilai mitis ternyata mempunyai implikasi sosiologis yang signifikan. Karenanya, penerjemahan harus bersifat konstruktif bagi perkembangan masyarakat. Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan saran ini merupakan ruang dialog terbuka Penulis dengan pembaca. Dengan ruang tersebut, kita harapkan karya tulis ini menjadi dinamis dengan segala pernak- pernik kelebihan dan kekurangannya.

BAB II PIJAKAN TEORI

A. Kritik Definisi Penerjemahan

Sudah menjadi kelaziman sebuah penulisan apalagi penulisan akademis yang sarat dengan belenggu dan pelbagai macam “pedoman” Penulis terlebih dahulu mengemukakan definisi dari sebuah term yang akan diulas lebih jauh dalam penulisan tersebut. Definisi seperti yang sama-sama kita ketahui adalah mendeskripsikan sebuah realitas tetapi lagi-lagi yang namanya definisi tetaplah “definisi”. Hal ini disinyalir oleh Imam Ghazali dengan mengatakan, C ;Dﻝ E F ﺏ 1 G9 Dﻥ. ;ﻝ -8 I ﺏ 1 ;ﻝ - 6 4 G E F J K2ﺏ ﺏ I 8 Artinya, ‘Sebuah definisi hanya mampu menjawab satu pertanyaan dalam dialog. Sebuah definisi tidak dapat menjawab berbagai pertanyaan, bahkan beberapa pertanyaan.’ Definisi bisa dikatakan mereduksi juga mendeterminasi sebuah realitas yang dideskripsikannya. Fatalnya sebuah definisi mendistorsi realitas dengan mengambil karakteristik secara parsial karena produksi definisi tentu saja melibatkan subejktifitas subjek. Inisiatif ini –menjelaskan term yang akan dibahas sebelum melakukan diskusi lebih lanjut– sejalan dengan yang dilakukan oleh Al-Asymâwi, “Sesungguhnya, sebuah ‘kata’ –kata apa pun– tidak selamanya mudah dimaknai, dipahami, dijalankan, dan atau mudah dijangkau oleh akal. Sebuah ‘kata’ bukanlah dunia yang dapat berbicara dengan sendirinya, yang menunjukkan 8 Imâm Ghazâli, al-Mustasfâ Min ‘Ilm al-Usûl Vol 1 Beirut: al-Muassasah al-Risâlah, 1997 h 48. makna dan maksudnya. Ia adalah susunan objek yang maknanya diambil dari definisi sosial.” 9 Sementara sosial dalam mendefinisikan sesuatu tentu saja berketergantungan dengan sebuah paradigma dan capaian-capaian peradaban yang dimilikinya. Selanjutnya Al-Asymawi menegaskan, “Definisi suatu istilah kata dan penentuan maknanya merupakan perkara yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum kita melakukan suatu pembahasan, karena makna terkadang menjadi tidak jelas, rancu dengan yang lain dan atau tidak jelas dalam pemahaman orang lain. Atau bisa juga ia jelas dan tidak rancu tetapi berubah menjadi makna lain. Kadang suatu kata itu dikira telah jelas, tidak rancu, dan ambigu, tetapi suatu kata itu selalu –sebagaimana yang tampak dalam kajian-kajian bahasa– tetap membutuhkan pada batasan yang disepakati sebelum dikaji dan didiskusikan secara produktif. Jika tidak, maka konsep-konsep akan tenggelam dalam kerancuan, dan kehilangan arti jatuh ke dalam kekacauan.” 10 Pada kesempatan ini, Penulis akan memaparkan sebuah terobosan baru sebagai sebuah pembacaan kritis yang berakar dalam khazanah klasik dengan sentuhan-sentuhan metode pembacaan kontemporer al-qirâ’ah al-mu’âshirah terhadap penerjemahan. Pemaparan-pemaparan dalam skripsi ini –khususnya bab ini– dilakukan sebagai animo Penulis untuk mengupayakan saluran alternatif atas sumbatan-sumbatan, kemacetan, atau kebuntuan-kebuntuan yang selama ini “baik-baik saja” didefinisikan baik oleh kamus, buku-buku, maupun skripsi- skripsi yang berbicara tentang penerjemahan. Coba kita simak penerjemahan yang dikatakan oleh A.Widyamartaya dalam Seni Menerjemahkan 1989 9 Muhammad Said al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah. Penerjemah Luthfi Thomafi Yogyakarta: LKiS, 2004 h. 3 10 Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 4-5. “Menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima sasaran dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya”. 11 Juga kita perhatikan misalnya apa yang dipaparkan J.C.Catford dalam A Linguistic Theory of Translation, “Translation is an operation performed on languages: a process of substituting a text in one language for a text in another.” 12 Lebih jauh Salihen Moentaha, MA, Ph.D mengatakan, “Terjemahan adalah proses penggantian teks dalam BP bahasa pemberi dengan teks dalam BS bahasa sasaran tanpa mengubah tingkat isi teks BP bahasa pemberi.” 13 Rochayah Machali dalam bukunya yang populer mengatakan, “Melalui kegiatan penerjemahan, seorang penerjemah menyampaikan kembali isi sebuah teks dalam bahasa lain. Penyampaian ini bukan sekedar kegiatan penggantian, karena penerjemah dalam hal ini melakukan kegiatan komunikasi baru melalui hasil kegiatan komunikasi yang sudah ada yakni dalam bentuk teks, tetapi dengan memperhatikan aspek-aspek sosial ketika teks baru itu akan dibaca atau dikomunikasikan. Dalam kegiatan komunikasi baru tersebut, penerjemah melakukan upaya membangun ‘jembatan makna’ antara produsen teks sumber TSu dan pembaca teks sasaran TSa.” 14 Dapat pula kita saksikan sebuah definisi penerjemahan yang menurut hemat Penulis sangat reduksionis seperti yang dipaparkan oleh Drs. Fahrurrozi, “Translation atau penerjemahan, pada hakikatnya, adalah mengalihbahasakan 11 A.Widyamartaya Seni Menerjemahkan Yogyakarta: Kanisius, 1989 h. 11. 12 J.C.Catford A Linguistic Theory of Translation London: Oxford Of University Press, 1974 h.1. 13 Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan Bekasi Timur: Kesaint Blanc, 2006 h. 11. Catatan: keterangan dalam kurung pada kutipan merupakan tambahan dari Penulis. 14 Rochayah Machali. Pedoman Bagi Penerjemah Jakarta: Gramedia, 2000 h.5-6. makna atau pesan dari bahasa sumber source language ke bahasa sasaran target language. 15 Ibnu Burdah mengemukakan, “Banyak sekali definisi tentang terjemah yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam pandangan saya, apapun definisi yang digunakan, sebaiknya dipertimbangkan prinsip akomodatif-operasional. Akomodatif dalam arti, mempertimbangkan definisi-definisi tentang terjemah yang pernah dikemukakan oleh para pengkaji pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai sikap apresiatif ta’zîm, menghargai terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh pengkaji-pengkaji sebelumnya. Sedangkan prinsip operasional memiliki maksud, bahwa definisi yang digunakan –sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil sebelumnya– harus tetap berpijak pada pertimbangan: apakah definisi tersebut dapat dioperasionalkan pada tahapan yang lebih praktis atau tidak. Berlandaskan pada dua prinsip tersebut, dalam tulisan ini Penulis mengambil definisi tentang terjemah sebagai, ‘Usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab teks sumber dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia bahasa sasaran.’” 16 Tapi yang pasti adalah “suatu terjemahan tidak dapat mengganti teks asli.” 17 Sejalan dengan definisi-definisi tersebut, Muhammad ibn Yakub al- Fairuzabadi dalam karya yang cukup populer di kalangan peminat sastra klasik, Al-Qâmûs Al-Muhît memaparkan, L M C N - D1 ﻝ J - A C - O - 2G P - : ﻝ :Dﻝ J D1 ﺕ Q J R J 0 ﻝ Sﻝ T8 E 2ﻝ I 15 Fahrurrozi. Teknik Praktis Terjemah Yogyakarta: Teknomedia, 2003 h. 1. 16 Ibnu Burdah. Menjadi Penerjemah, Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004 h. 9-10. 17 Kees Bertens. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman Jakarta: Gramedia, 2002 Cet. Keempat h. 161 Ta ra jim mim, turjumân seperti lafal ‘unfuwân, za’farân, dan raihuqân. Turjumân bermakna menjelaskan dengan bahasa lain, contoh kalimat wa qad tarjamahu atau tarjama ‘anhu yang bermakna seseorang itu menjelaskan dengan bahasa lain. Verba tarjama menunjukkan verba dasar tidak berderivasi dari ra ja ma. 18 Louis Ma’louf – termasuk dalam barisan pertama – dengan karya yang juga populis di kalangan santri modern maupun mahasiswa, yaitu kamus Al- Munjid fi al-lughah wa Al-A’lâm, menyatakan, 6ﻝ 1 ﺕ P SD1 ﺕ M - D1 ﺕ - D1 ﺕ A U - : ﺏ V : 1 ﺕ I E W S G ﻝ ﺏ D1 ﺕ W G ﻝ - : ﻝ ﻝ ﻥ X I R P Yﺽ 8 VI 1 ﺕ M SD1 ﻝ P : ﻝ ‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan dengan bahasa lain.’ Dia menjadi juru bicara. Bentuk plural tarjumân dan turjumân ialah tarâjimah dan tarâjimu. ‘Dia menerjemah ke bahasa Turki,’ berarti ‘Dia mengganti bahasanya menjadi bahasa Turki.’ ‘Tarjama ‘anhu’ bermakna ‘dia menjelaskan hal itu.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah yang bermakna menjelaskan. 6ﻝ 1 ﺕ P [ ﻝ ‘Dia menerjemah ucapannya,’ bermakna ‘Dia mencampuradukkan mengaburkanmenidakjelaskan ucapannya.’ 18 Muhammad Ibn Ya‘qûb al-Fairuzâbâdi, al-Qâmûs al-Muhît Libanon: Dâr al-Fikr, 1426 H2005 h. 976. 1 ﻝ 1 ﺕ P ﺕ G\ I 1 ﺕ M SD1 ﻝ P G\ ] :ﻥ Q 8 I 5 6ﻝ SD1 ﺕ P ;ﺕ I ‘Dia menerjemahkan orang lain,’ bermakna ‘Dia mengartikulasikan biografi orang lain.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah. ‘Dia mengartikulasikan biografi, etika, dan asal-usul genetika orang lain.’ Tarjamah Al-kitâb bermakna pendahuluan sebuah buku. 19 DR.Ibrahim Anis Dkk. pun melakukan hal yang sama, _ 1 ﺕ ` 6ﻝ P ;ﺽ ﺏ I R V G J P ﻝ. SBﻝ ﻥ X I R - ﻝ P D1 ﺕ G\ I ‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan dan menerangkannya.’ ‘Dia menerjemahkan ucapan orang lain,’ bermakna ‘Dia menjelaskan dengan bahasa lain.’ _ - D1 ﻝ P ` SD1 ﺕ 1 ﺕ M 1 Dﻝ I Turjumân juga bermakna penerjemah. Tarâjimu dan tarâjimah merupakan bentuk plural turjumân. _ SD1 ﻝ P ` - SD1 ﺕ P 1 ﺕ M ﺕ ﺡ ﺕ I Tarjamah ‘Tarjamah Fulân’ bermakna perjalanan hidup dan biografi seseorang. Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah. 20 Senada dengan komentar-komentar di atas, Hans Wehr mengemukakan uraian yang sama, 19 Louis Ma’louf, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lâm Beirut : Dar Al-Masyriq, 1986 h.60. 20 Ibrahim Anis dkk. al-Mu’jam Al-Wasît Kairo: 1972 h. 83 1 ﺕ to translate from one language ﻝ. to another ; to interpret; to treat 1 ﺕ by way explanation, expound; to write a biography. SD1 ﺕ Pl . 1 ﺕ Translation ; interpretation; biography also ;ﻝ SD1 ﺕ introduction, preface foreword of a book S ﺕ \ SD1 ﺕ autobiography. - D1 ﺕ Pl. SD1 ﺕ , 1 ﺕ Translator, interpreter. 1 Translator, interpreter, biographer. 1 Translated. 21 Dari sekian definisi yang telah dikemukakan di atas, Penulis mencoba mengomparasikannya dengan menelusuri ke akar kata penerjemahan berikut derivasinya pada kamus-kamus yang lain. Kemungkinan besar apa yang akan Penulis paparkan selanjutnya ini akan sangat kontras bahkan akan mewujudkan biner-biner yang selama ini invisible atau sengaja ‘tak mau dilihat’ dengan definisi-definisi yang telah ada. Untuk memulainya, mari kita perhatikan apa yang ditulis Muhammad ibn Abu Bakar ibn Abdulkadir Ar-Razi dalam Mukhtâr Al- sîhâh, ﻝ 1C Rajmun bermakna membunuh C b;ﻝ ﺏ ﻝ T8 Asal makna rajam ialah melempari sesuatu dengan batu cﻝ ﺏ 1 ﻝ 6 - 1 ﻝ J C ﻝ 2ﺕ 8 E Q 1 D ﺏ Bﻝ d I 21 Hans Wehr. A Dictionary Of Modern Written Arabic Arabic-English Weisbaden, Otto Harrascowit h. 112 Rajam bermakna seseorang yang berbicara dengan menduga-duga, perkiraan, dan keraguan. Allah Swt. berfirman, “Sebagai terkaan terhadap yang ghaib,” al-Kahfi ayat 22. U - : ﺏ V : \ G 1 ﺕ Bila menjelaskan dengan bahasa lain, seseorang dapat dikatakan telah menerjemahkan ucapannya. 22 Tidak pula kami tinggalkan Lisân al-‘Arâb kamus klasik yang sering dijadikan referensi dalam penulisan-penulisan baik ilmiah maupun non-ilmiah, ﻝ 1 ﻝ e;ﻝ - bAﻝ cﻝ fﻝ d:ﻝ gﻝ 2 ﻝ Rajam bermakna membunuh bukan hanya secara fisik tetapi juga membunuh karakter dan identitas–dari Penulis, melaknat, mengusir mengucilkan–dari Penulis, menghina, mencaci-maki, terkaan, perpindahan, intuisi dugaan– dari Penulis. ﻝ 2ﺕ E Q ﻝh ﻝ ﺕ iﻝ C 1 D j ﻝ X8 i j Allah Swt. menceritakan ayah Nabi Ibrahim AS. dalam surah Maryam ayat 46, ayahnya mengancam, “Jika kamu tidak berhenti berdakwah mengajak aku, aku akan merajam kamu”, maksudnya rajam adalah mencaci maki dan mengucilkan. e;ﻝ cﻝ ﺏ E ﻝ 1 ﻝ Rajam juga bermakna ucapan yang diartikulasikan dengan menduga-duga dan berdasarkan intuisi. Abu Bakar Ra. berwasiat kepada anak-anaknya, 22 Al-Râzi. Mukhtâr al-Sihâh Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994 cet. 1 h.14-15. h G V ﻝ ﺕ4 X8 X Q ﺡ ﺕ4 V 2 X Q D1 ﺕ4 “Janganlah kalian merajam di kuburku”, artinya “Janganlah kalian meratap di kuburku”, Maksudnya adalah “Janganlah kalian melontarkan ucapan-ucapan buruk di kuburku.” 1 G P Ucapan yang diterjemahkan adalah ungkapan yang diartikulasikan tidak berdasarkan keyakinan. O - O k 1 ﺕ 2D1 SD1 ﺕ Tarâjimu merupakan bentuk plural dari tarjamah, hal ini serupa dengan za’farân dengan za’âfiru. 23 Dari beberapa uraian di atas, Penulis menemukan sederetan kata dan variasi makna yang berasal dari kata rajama dan tarjamah dimana penemuan makna-makna tersebut tidak ‘sebaik’ apa yang pernah ditekstualisasikan oleh sejumlah penulis. Sisi gelap dark side yang bisa Penulis katakan bahwa penerjemahan merupakan suatu bentuk artikulasi konsep yang dapat membunuh atau mematikan karakter domain lokal other sehingga identitas dari kearifan lokal local wisdom ditelan oleh konsep yang digulirkan penerjemahan. Dari sini terjadi komunikasi yang tidak sehat dan seimbang antara ide yang diterjemahkan dan ide lokal. Selain itu dalam kata ‘penerjemahan’ sendiri bermasalah terjadi konflik dalam dirinya. Jadi memang secara substansial penerjemahan itu membawa awan-awan gelap yang selama ini ‘tak mau dilihat’. Berbeda sekali misalnya dengan pengantar buku A.Widyamartaya yang mengatakan bahwa 23 Jamâluddin Muhammad Ibn Mahrâm Ibn Manzûr, Lisân al-Arab Beirut: Dâr al-Fikr Vol. 12, h. 229. penerjemahan akan membantu mencerdaskan bangsa. Pembacaan tunggal terhadap penerjemahan semacam ini, membutakan mata akan bayang-bayang hitam penerjemahan seperti yang sudah disinggung Penulis. Apalagi definisi yang disebutkan Ibnu Burdah dan paparannya –yang agak sedikit apolgetik– setelah itu, definisi tersebut menurut Penulis secara jelas sangat menutup rapat celah yang dapat dimasuki untuk melakukan kritik penerjemahan. Selain itu, uraian Ibnu Burdah yang diiringi dengan catatan hariannya dalam Menjadi Penerjemah pada hal. 23-24 tentang kekeliruan penerjemahan secara linguistik dan semantik, seakan melegitimasi kekeliruan-kekeliruan penerjemahan. Dari uraian di atas, secara sederhana penerjemahan merupakan sebuah mekanisme dan praktik yang beroperasi secara ambivalen. Penerjemahan harus digarisbawahi dan dicoret pada saat yang bersamaan dalam kosakata Derrida, ‘penerjemahan merupakan sebuah kata yang diawetkan dan dihapus sekaligus. Mengapa Penulis katakan ambivalen? Di satu sisi, penerjemahan memperkenalkan sebuah konsep atau gagasan dari luar tetapi di sisi lain wacana-wacana yang dibawanya mencoba menggeser atau bahkan mengeksklusi serta mengeliminasi wacana-wacana lokal. 24 24 Belum lagi misalnya sikap kritis seorang penerjemah amat dibutuhkan dalam rangka mewaspadai dan mencurigai ideologi atau kultur dalam teks yang sedang dihadapinya. Dalam hal ini, bahasa Arab tentunya yang sarat dengan diskriminatif terhadap perempuan, misalnya. Mengapa demikian? Seperti sudah pernah disinggung bahwa bahasa merupakan refleksi dari struktur berpikir masyarakat tersebut. Hal ini bisa diambil contoh pada Syarh al-Kafrâwi – buku nahwu yang pernah menjadi materi pelajaran bahasa oleh Muhammad Abduh dan hingga saat ini masih dipelajari – h. 64-65, “Mereka ahli Nahwu memberi dammah untuk mutakallim lﺏ ﺽ . Dammah lebih kuat daripada yang sesudahnya fathah dan kasrah. Dammah diperuntukkan mutakallim subjek guna penyesuaian karena posisi mutakallim sebagai superrior yang sesuai dengan dammah yang dianggap kuat. Mereka memberi fathah untuk mukhâtab mudzakkar audiens maskulin. Fathah lebih lemah daripada dammah. Karenanya, fathah diberikan kepada mukhâtab mudzakkar audiens maskulin yang posisinya jelas lebih lemah daripada mutakallim. Mereka memberikan kasrah untuk mukhâtab mu’annats audiens feminin dengan terdipaksa karena dihilangkannya kekuatan perempuan. Kecurigaan yang disertai dengan kawaspadaan penerjemah adalah upaya meminimalisir sekecil-kecilnya agar produk terjemahan tidak bercampur

B. Metode-metode Penerjemahan.