BAB III EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM
A. Turbulensi Perebutan Makna, Eksklusivitas dan Inklusivitas Islam
Kedua kata ini eksklusivitas dan inklusivitas semakin sering terdengar terutama seketika Islamic Studies ‘laku di pasar’. Eksklusivitas Islam merupakan sebuah
pemahaman keagamaan yang memandang Islam sebagai agama paripurna, kâffah, finis, penunggalan makna, dan seterusnya. Mereka yang berpandangan seperti ini
diidentikkan dengan otentisitas al-asâlah, tekstualis, ideologis, revivalis dalam
arti cenderung mengidealisasi sejarah, syari’ah dengan ‘s’ kecil, guna merujuk pada ajaran yang diklaim telah murni dan Benar, diskriminatif, fundamentalis,
dan seterusnya. Mereka memiliki struktur nalar serta tindakan yang berorientasi pengisian masa kini al-wâqi’ dengan Islam periode Madinah yang sarat dengan
ketatnya pengamalan Islam dan cendrung bersifat parsial. Dalam bayangan kelompok ini, Islam pada periode Madinah maksudnya pemerintahan yang
berpusat Madinah –meminjam istilah Mahmud Muhammad Thaha atau Khalil Abdul Karim– merupakan representasi dari cara dan pola hidup beragama yang
sangat-sangat ideal dan sempurna tanpa ‘aib’ sedikitpun. Singkatnya, kejayaan Islam periode Madinah merupakan alternatif satu-satunya dari keterpurukan dan
kebuntuan yang saat ini dihadapi umat Islam katanya. Abû al-Fadl menggambarkan beberapa kriteria umum kelompok Islam
eksklusif, “Mereka yang saya sebut puritan sudah dideskripsikan oleh beragam penulis dengan istilah fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal, fanatik, jahidis,
dan bahkan cukup dengan istilah Islamis. Saya lebih suka menggunakan istilah puritan karena ciri menonjol kelompok ini dalam hal keyakinannya menganut
paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak hal, orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran terhadap
berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.”
51
Fenomena yang ditampakkan ini tentu mengundang pertanyaan, apakah akar dari semua ini? Mun’im A. Sirry mencoba menjawab pertanyaan ini dengan
memberikan judul pada bab 1 bukunya, Fundamentalisme Sebagai Produk Modernitas. Dia –dengan mengutip komentar beberapa pakar dalam disiplinnya
masing-masing– memaparkan, “Gellner melihat kebangkitan agama di negara- negara berkembang sebagai proses modernisasi yang sedang berlangsung on
going process. Sementara Talcott Parsons mengatakan, bahwa masyarakat modern tidak otomatis menjadi sekular, tetapi malah semakin menyerap nilai-nilai
agama. Kendati bentuk-bentuk keagamaannya mungkin tidak tampak, tapi moralitas keagamaan secara mendasar membentuk masyarakat. Samuel
Huntington telah meradikalkan pendekatan ini, dengan teorinya mengenai ‘benturan peradaban’ The Clash of Civilizations and The Remaking of World
Order, 1996. Bagi Huntington, tatanan dunia mendatang akan muncul berdasarkan peradaban yang lahir dari ekspresi-ekspresi nilai-nilai tertinggi tradisi
agama. Retorika fundamentalisme, bagi Huntington, merupakan letupan tak terhindarkan dari peradaban berbasis agama.”
52
“Namun demikian, berbagai respon terhadap fenomena kebangkitan global fundamentalisme agama, tampak tidak menjawab pertanyaan mengapa gerakan-
51
Khalîd Abû al-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan Jakarta: Serambi, 2005 h. 29
52
Mun‘im A. Sirry, Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern Jakarta: Erlangga, 2003 h. 2-3
gerakan itu muncul saat ini dan bukan dahulu, dan apa signifikansinya. Barangkali benar kesimpulan Oliver Roy, bahwa fundamentalisme agama bukan
sekedar reaksi terhadap modernisasi, melainkan produk dari modernisme The Failure of Political Islam, 1996.
53
Kecenderungan kaum eksklusivisme tidak mau berkompromi terhadap persoalan-persoalan minoritas nonmuslim. Maududi, misalnya, secara
terang-terangan menetang prinsip ‘kesetaraan di depan hukum’, yang dianggapnya sebagai suatu kepura-puraan dan mempertahankan ketentuan pemberian status
dzimmi buat mereka.
54
Kecendrungan umum kelompok-kelompok fundamental ini yang mengarah ke ortodoksi, dogmatisme, pandangan yang serba hitam-putih, sikap
yang eksklusif, merasa paling benar, kiranya akan berlawanan secara diametral dengan sifat-sifat dan kultur umat Islam pada periode kebangkitan yang
sebenarnya atau periode keemasannya yang bersifat budaya metropolis, Islam yang pluralitas, inovatif, penuh toleransi, terbuka terhadap sumber-sumber
pengetahuan asing: termasuk pemikiran ‘non-Islam’, baik yang berasal dari Yunani dan Romawi maupun yang lainnya, dan menghargai sikap yang rasional.
55
Gejala semacam dislokasi kejiwaan, porak-porandanya nilai-nilai lama yang mengakibatkan orang kehilangan pegangan atau sandaran, anomi, dan
perasaan teralienasi dari berbagai bidang kehidupan yang mulai berubah, yang merupakan efek negatif modernitas, tak pelak lagi telah turut serta mendorong
khalayak untuk melakukan pelarian escapisme kepada alternatif yang dapat
53
Sirry, Membendung Militansi Agama h. 3
54
M. Zaki Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi Jakarta: LP3ES, 2008 h. 18
55
Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia h. 21
dianggap dapat melindungi dari perasaaan kehampaan, kebingungan, dan serba ketidakpastian. Ketika perasaan penuh ketertekanan dan ketidakpastian, maka
eskapisme ini umumnya menemukan muaranya dalam bentuk sebuah doktrin yang menawarkan totalitas kebenaran dan kepastian. Dalam kungkungan doktrin yang
menawarkan kebenaran mutlak tanpa cacat, para pengikut bersedia melakukan pengorbanan diri dan melakukan tindakan apa pun atas nama keabadian dan
kebenaran.
56
Dengan memeluk sesuatu yang dibenarkan ini, otoritas kebenaran ini kemudian melahirkan anak haram, ‘syariah’ sebagai harga mati dan satu-
satunya oase di tengah kehausan kekecewaan umat Islam, ditambah dengan dehumanisasi, dan demoralisasi zaman saat ini. Mereka yang tinggal di negara
mayoritas Islam, mengajukan tuntutan penerapan ‘syari’ah’ dalam hukum positif kegagapan dan kegugupannya dalam menghadapi realitas akan diuraikan di
bawah ini. Sedangkan mereka yang tinggal di negara sekuler, senantiasa melakukan perlawanan mulai pada titik terendah pasif hingga secara frontal
aktif, ekspansif, dan produktif sekalipun. Terkait dengan penerapan syari’ah, Pusat Kajian Keagamaan dan
Kebudayaan UIN Jakarta, angkat bicara bahwa ‘pintu masuk formalisasi penerapan syariah ini pada umumnya bermula dari pandangan bahwa Islam
adalah agama yang sempurna kâffah dan mencakup segala hidup yang total. Pandangan yang khas kaum Islamis ini diajukan untuk menjadikan Islam sebagai
solusi Islam is the solution. Visi Islam sebagai solusi mengandaikan Islam
56
Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia h. 27-28
sebagai totalitas yang mengatur tidak hanya persoalan ibadah tetapi juga sistem ekonomi, sosial, dan tata pemerintahan.’
57
Faktor lain yang banyak mendorong gagasan penerapan syariah Islam adalah adanya perlawanan masyarakat terhadap dampak negatif dari arus
globalisasi dan modernisasi. Di satu sisi, globalisasi dan modernisasi membawa dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin memudahkan
akses informasi, komunikasi, dan pengetahuan. Namun, di sisi lain, terjadi perubahan sosial yang lebih mengagungkan gaya hidup konsumerisme,
hedonisme, dan permisifisme terhadap beragam budaya dan pola hidup yang tidak asli Islam. Di samping itu, persaingan yang semakin ketat dalam pasar lapangan
kerja semakin memarjinalkan mereka yang tidak memiliki kapasitas dan akses ekonomi dan politik. Faktor ini diperburuk oleh gagalnya negara dalam
melindungi rakyatnya dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terus- menerus menghantui masyarakat.
58
Tekanan berbagai faktor dan kondisi ketidakberdayaan masyarakat ini kemudian menjelma menjadi ketidakpuasan dan frustasi yang diartikulasikan
dalam keinginan menonjolkan kembali identitas keislaman mereka melalui upaya penegakan syariah Islam.
59
Kenapa harus penegakan syari’ah? Inilah yang menjadi pertanyaan besar. Mereka melihat bagaimana kemunculan syari’ah pasca
masa jahiliyah. Syari’ah datang sebagai hero dengan wajah protagonis yang melawan era jahiliyah sebagai era antagonis. Hal ini pun juga membuat gerah
pakar sejarah, Khalil Abdul Karim misalnya.
57
Syukron Kamil dkk. Syariah dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebabasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim Jakarta: CSRC, 2007 h. xxiii
58
Kamil dkk. Syariah dan HAM h. xxiv
59
Kamil dkk. Syariah dan HAM h xxiv
Dia mengatakan, “Kami menyebut model kajian pertama mereka yang mengidealisasi sejarah sebagai kajian yang kurang ajar karena ia secara lancang
menyemati fase sebelum Islam sebagai fase Jahiliah, bahkan berusaha menjustifikasi hal tersebut dengan hanya memfokuskan kajian mereka pada tema-
tema minor yang sensasional, seperti blow up besar-besaran atas tradisi nikah maqt seorang anak menikahi janda mendiang ayahnya, penguburan anak
perempuan hidup-hidup, fenomena perempuan-perempuan pengibar bendera di Mekkah pelacur-pelacur, thawaf keliling Ka’bah sambil telanjang tanpa busana
sehelai pun, meminum arak, transaksi riba di kalangan konglomerat Quraisy sebagai perbuatan keji yang dipraktikkan oleh kaum elit dalam segala dimensi
waktu dan tempat, nikah istibdâ‘ menikahi budak, tradisi menggantungkan posisi istri meninggalkan istri tanpa proses cerai, dan tradisi-tradisi minor
lainnya.”
60
“Model kajian seperti ini sesungguhnya kering dari metodologi ilmiah, sehingga sulit dikatakan sebagai sebuah kajian. Akan tetapi, ia malah lebih dekat
dengan orasi naratif yang dituangkan di atas kertas dengan maksud mengaduk- aduk emosi dan perasaan pembaca dengan propaganda bahwa Islam muncul di
tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan kekelaman, kebodohan, dan kesesatan, tanpa dijumpai setitik penerang pun. Pembentukan propaganda ini jelas
mengacu pada sebuah pepatah yang mengatakan: ‘Dengan tampil sebaliknya, sesuatu menjadi istimewa.’”
61
Dalam beberapa karyanya, Khalîl ingin meyakinkan pada kita bahwa mereka yang ngotot dan memaksakan tegaknya
syariah selalu menampilkan sisi kelam dan kebiadaban era jahiliyah, padahal itu
60
Khalîl Abdul Karîm, Syari’ah, Sejarah Perkelahan Pemaknaan. Penerjemah Kamran As‘ad Yogyakarta: LKiS, 2003 h. 148
61
Karîm, Syari’ah h. 149
hanya bagian kecil dari belantara khazanah era jahiliyah. Menurut Khalil, mereka tidak pernah menampilkan luasnya padang khazanah positif era jahiliyah yang
lain, ketinggian sastra mereka, misalnya. Khalîl mengindikasikan bahwa adanya ketidakadilan dan ketidakseimbangan pada presentasi mereka tentang era jahiliyah
antara sisi hitam dan putihnya. Padahal menurut Khalîl banyak sekali pranata yang diwarisi dan diadopsi oleh Islam, seperti aspek sosial, ekonomi,
kemasyarakatan, hukum perundang-undangan, politik, dan bahasa. Semuanya merupakan indikasi ketinggian peradaban masyarakat Arab pra-Islam. Bahkan,
Islam juga ternyata juga mengadopsi sebagian dan memodifikasi masalah religi atau ritual peribadatan dari masyarakat Arab Jahiliah.
B. ‘Menulis Keimanan’ di Tengah Social Disorder