BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN
INKLUSIVITAS ISLAM A. Tekstualisasi Terjemahan Ayat-Ayat Eksklusivitas dan Inklusivitas
Islam
Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, penulis telah menyinggung di awal- awal skripsi bahwa pembahasan pada bab IV akan menguraikan terjemahan ayat-
ayat yang terkait dengan isu-isu eksklusif dan inklusif Islam dengan kerangka teori wacana sebagai teropong analisis. Tidakkah kita tercengang misalnya
menyaksikan dua wajah –eklsklusif dan inklusif Islam– saling menatap tajam yang penuh dengan kecurigaan satu sama lain? Pada saat itu, kita seakan berada di
tepi muara melihat arus besar dua sungai yang deras saling menghantam pada satu titik guna menuju laut lepas sebagai tempat perhentian terakhir. Kalau dilacak
secara genealogis dalam arti konvensional, mereka berasal dari satu sumber mata air yang sama. Keduanya sama-sama beranjak dari teks. Apakah yang
menyebabkan fenomena ini terjadi? Bagaimana proses produksi kedua wacana tersebut bisa terbentuk? Di sini –melalui wacana– penulis akan melacak
penyebab-penyebab serta implikasinya. Untuk itu, kita lihat terlebih dahulu ayat di bawah ini yang diterjemahkan
Departemen Agama RI edisi revisi 1989 sekaligus menjadi sumber konflik,
0 1 2ﺏ
4. 5 6ﻝ ﺕ 8 9ﻝ +,,ﻝ -.
?ﺏ 6 A ﺏ Bﺏ 2ﻝ
5 :;ﻝ -=
Artinya: Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisabnya. Q.S. Ali Imran,[3]; 19. Dalam terjemahan di atas kita telah menemukan tema utama bahwa agama
‘diridai’ di sisi Allah hanyalah Islam. Persoalannya kemudian apakah kita telah ‘mengetahui secara absolut’ dalam kosakata Hegel makna ayat tersebut –yang
sudah tak perlu lagi dipertanyakan– melalui kalimat terjemahan di atas. Kalimat terjemahan itu sama sekali tidak memberikan keterangan apa pun sehingga
kalimat tersebut seakan sudah jelas atau bahkan masih menyisakan banyak pertanyaan jika melihat realitas bahwa Islam saat ini ditengarai menjadi biang
kerok di tengah pergaulan global. Di sinilah pangkal persoalannya? Pertanyaan demi pertanyaan datang menghujani kepala ini yaitu apa yang dimaksud dengan
‘Islam’. Kalimat terjemahan di atas seakan ingin mengatakan bahwa Islam jangan lagi dipersoalkan karena maksudnya sudah jelas. Ketidakjelasan inilah yang
membentuk para pembacanya menjadi eksklusif. Kata Islâm dalam ayat ini kemudian lebih sering dipahami oleh kebanyakan orang sebagai segala teori dan
praktik yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabatnya kala itu. Pemahaman ini jelas menjadi ahistoris dan anakronik ketika proses pemahaman
ini lepas dari konteks. Untuk menghindari ahistoris, Depag semestinya menambahkan imbuhan-imbuhan singkat yang dapat memberi keterangan secara
jelas demi tuntutan-tuntutan keadaan yang berasas kemaslahatan umum sebagaimana yang dilakukannya pada terjemahan ayat yang lain.
Penerjemahan itu sepintas kita lihat memang netral. Namun jika dilihat lebih jauh kenetralan itu menjadi hilang karena makna sebuah teks tidak berdiri
secara otonom tetapi ada elemen lain pembentuk makna, salah satunya ialah konsumen teks itu sendiri. Dengan memperhatikan konsumen teks terjemahan
tersebut yang tidak lain ialah orang Indonesia yang memiliki pengalaman historis dan aspek psikologis tersendiri. Selain itu dengan latar belakang mazhab yang
dianut sang konsumen, Depag seakan ingin mengatakan bahwa yang ‘benar’ hanya ajaran Nabi Muhammad Saw. dan dari aliran ideologi yang ada hanya Islam
mayoritas dan versi resmi saja yang ‘benar’. Karena selain apa yang terungkap dalam teks said, ada yang tidak terkatakan not-said dan apa saja yang
dikatakan namun tidak pernah terungkap never said–meminjam istilah Mohammed
Arkoun. Depag
terlihat setengah
hati menerjemahkan
mempribumisasikan teks keagamaan ini. ‘
+ﻝ
’diterjemahkan menjadi agama. ‘
’ dibiarkan diadopsi begitu saja tanpa mencarikan padanan yang tepat dalam bahasa sasaran, konsumen teks yang tidak lain adalah masyarakat
Indonesia. Orientasi penerjemahan ini kontan menuntun konsumen teks merujuk pada kognitifnya yang dihegemoni aliran ultra-teosentris. Depag belum ‘ada’
kesungguhan untuk mempribumisasikan teks sumber. Dalam kasus ini jelas sekali terlihat hegemoni kelompok eksklusif dalam
tubuh Depag dimana kelompok mayoritas memproduksi pengetahuan guna melanggengkan kekuasaannya seperti telah disinggung pada bab-bab sebelumnya.
Yakni, pelembagaan agama oleh Negara merupakan alat kontrol Negara terhadap keyakinan masyarakat yang dikuatirkan pada akhirnya disinyalir potensial
mendelegitimasi otoritas Negara. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1888 di mana pemberontakan kelompok tarekat terhadap pemerintah kolonial. Oleh karenanya,
pemerintah kolonial membentuk semacam divisi yang khusus menangani agama
dan kepercayaan untuk mengadministrasikan ajaran yang dapat mengancam keberadaan kolonial. Adapun lembaga-lembaga keagamaan yang sekarang ini,
seperti Depag dan MUI, merupakan kepanjangan tangan atau sebuah pelestarian control Negara atas masyarakat. Terang saja pengetahuan yang diproduksi terlibat
secara aktif dalam membangun sekaligus melanggengkan otoritas. Karena dengan mengusik pengetahuan yang dimapankan, proyek tersebut akan mengancam
bahkan mendeligitimasi yang kemudian meruntuhkan kekuasaan yang selama ini berhasil merebut makna. Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis ketika negara
mengadakan satu departemen yang konsentrasi dalam keagamaan juga diharapkan netral dan mengakomodir segala macam bentuk keyakinan,
kepercayaan, dan seterusnya justru sangat terlihat jelas keberpihakannya engagement terhadap mayoritas. Mayoritas yang dimaksud dalam terjemahan ini
adalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.,. Dalam hal ini kembali lagi bahwa dengan tidak memberikan imbuhan pada ayat ini sementara pada ayat
yang lain diberikan imbuhan, Depag jelas sudah memdibentuk makna ayat di atas cara berpikir [juga bersikap] masyarakat. Dalam arti Depag telah menyapa
konsumen terjemahan dengan pertanyaan yang jawabannya sudah ditentukan sebelumnya. Pada saat yang bersamaan makna tersebut telah membentuk Depag
dengan pengaruh epistem dan mindset abad pertengahan yang sangat kental dengan teosentris cenderung ahistoris dan literalis. Hal ini tentu saja bermuara
pada apa yang diistilahkan dengan ‘feodalisme teks’. Dalam kalimat tersebut pun terlihat jelas arogansi ego ke’aku’an
mayoritas terhadap minoritas sehingga timbul pembacaan Jaquest Lacan, psikoanalisis Perancis bahwa fenomena ini merupakan tindakan paranoid sang ego
saat bercermin melihat kebesaran dirinya. Narsisime semacam ini disebabkan “karena adanya jarak antara diri sang ego dengan dirinya ‘yang lain’ dalam
cermin itu. Sang ego membayangkan dirinya utuh, solid, merangkum dan menyatu. Padahal justru sebaliknya pantulan dalam kaca, dalam tataran imajiner,
penuh citra, dan permainan imajinasi, serta penuh tipuan dan godaan.”
79
Untuk dapat menerjemahkan seperti ini, Depag tidak lepas dari sistem nalar berbahasa yang sangat eksklusif.
80
Dalam bahasa Arab,
ﻝ -.
merupakan pola jumlah ismiyyah. Jumlah ismiyyah merupakan pola kalimat yang sama sekali tak terikat oleh waktu. Dengan asumsi tidak terikat
waktu, Depag mengonstruk ‘kebenaran’ merujuk Islâm kepada teori dan praktik yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. saat itu dan tidak akan berubah sampai
kapan pun, ‘periode madinah menjadi standar model ideal yang wajib diteladani dan sudah final’. Namun, apa daya Depag terkubur dalam liang yang digalinya
sendiri, karena dengan tidak terikat oleh waktu, justru ‘Islam menjadi fleksibel di segala masa’. Di sinilah saya pikir perlunya melacak sekaligus mengritik sejarah
‘kebenaran’, “kapankah sebuah kebenaran menjadi ‘kebenaran’, bukan
79
Baso, NU Studies, h. 51
80
Bahasa Arab sangat eksklusif, Al-Jabiri menelusuri gejala ini dengan melihat bahwa “sebuah sistem bahasa bukan hanya kosa kata, tapi juga sistem gramatika dan semantiknya
punya pengaruh yang cukup signifikan dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara menafsirkan dan menguraikannya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi cara dan metode
berpikir mereka.” Pembakuan sistem bahasa ini terjadi pada masa tadwîn dengan upaya kodifikasi setelah menyebarnya beberapa penyimpangan dialek yang kemudian dikuatirkan mengancam
entitas bahasa Arab itu sendiri sebagai upaya konservasi dalam rangka membendung pengaruh dari luar. Penyebaran semacam ini menuntut upaya khusus pemerintah untuk mencari ‘bahasa Arab
yang murni’ dari orang Arab yang semakin menipis jumlahnya di kota-kota besar wilayah Islam yang metropolis, “maka wajar bila kemudian berkembang fenomena penggalian bahasa ‘asli dan
murni’ di lingkungan perkampungan Arab Badui, yang terpencil. Dari sinilah kita mencermati karakter unik bahasa Arab yang bersifat a-historis dan inderawi sensual, karena ‘dunia’ tempat
dia tumbuh dan berkembang adalah dunia inderawi yang tak punya sejarah, dunia nomaden kaum Badui. Kehidupan yang menghayati waktu membentang bagaikan gurun pasir. Sebuah waktu yang
bersifat siklis dan tertutup.” lihat artikel Karakteristik Hubungan Bahasa dan Pemikiran dalam Tradisi Islam dalam Muhammad mbid al-Jâbiri , Post Tradisionalisme Islam. Penerjemah Ahmad
Baso Yogyakarta: LKiS, 2000 h.61-62
kebohongan, mitos, ilusi, atau kegilaan, yang kemudian memperoleh nilai seperti yang kita kenal saat ini, yang lalu menjerat kita ke tali genggamannya, seakan-
akan kita tak bisa hidup, tak bisa berpikir, dan tak bisa bertindak, tanpa kebenaran. Dari sini sejumlah pertanyaan bersusulan. Umpamanya, sejak kapan ‘kegilaan’
menjadi bukan hanya keblingeran, kekeliruan, anomali, tetapi juga kejahiliyahan dan bahkan kejahatan yang perlu dinetralisir dan malah kalau perlu dibungkam
dan diberangus? Sejak kapan kebenaran memperoleh status nilainya seperti sekarang ini yang dengan mudahnya bisa membungkam hal-hal yang berada di
luar dari kerangkeng otoritasnya alias ‘tidak benar’?”
81
Bandingkan dengan sajian berikut ini. Ayat di atas memiliki suara yang berbeda seketika sampai di tangan Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang disapa akrab
dengan sebutan ‘Cak Nur’. Cak Nur mengartikannya, “Sesungguhnya ikatan al- din di sisi Allah adalah sikap pasrah al-islam,” demikian firman Tuhan.
82
Dalam melakukan pembacaan terhadap ayat di atas, Cak Nur yang seringkali dalam tulisannya mencantumkan Ibnu Taymiyah sebagai tokoh yang dikaguminya
bahwa konsep esensial dalam agama ialah al-islâm yaitu sebentuk kepasrahan sebulat hati kepada Tuhan Yang Maha Esa, meskipun setiap agama menempuh
syari’at yang beragam. Kepasrahan inilah yang kemudian membuahkan “Kesadaran Ketuhanan”, God Consciousness –meminjam istilah Muhammad
Asad. Kesadaran Ketuhanan ini tidak lain adalah kesadaran bahwa Tuhan Maha Hadir omnipresent dalam setiap detik putaran waktu. Bentuk kesadaran ini juga
yang pada akhirnya melahirkan ketakwaan sepenuhnya kepada Yang Esa, yaitu sikap pasrah kehadirat Tuhan. Hal ini didasarkan pada kata al-islâm yang
81
Baso, NU Studies, h. 105-106
82
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur Jakarta: Kompas, 2001 h. 17
bermakna al-dîn tunduk-patuh. Oleh karenanya, bukan hanya muslim pengikut Agama Muhammad saja yang pasrah kehadirat-Nya, tetapi juga universal yang
mencakup kesatuan agama samawi, yang mewarisi Abrahamistic Religion, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Sebagai perluasan, kita dapat mencermati terjemahan surat Ali Imran ayat 85 di bawah ini,
ﻝ
Depag menerjemahkannya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima agama itu daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Sementara Prof. DR. Quraish Shihab mengartikannya, “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-sekali
tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
83
Lain lagi Cak Nur yang mengartikannya dengan, “Barang siapa menuntut agama selain al-islam sikap pasrah, maka darinya tidak akan diterima, dan di
akhirat kelak akan termasuk mereka yang merugi.”
84
Kita akan cermati perbedaan pada kedua terjemahan ini.
Mencermati terjemahan Depag terhadap ayat tersebut, kita dapat merasakan jelas sekali eksklusivitas yang dibangun dalam terjemahannya. Depag
mengatakan, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali- sekali tidak akan diterima agama itu daripadanya.” Letak eksklusivitasnya
pada, “selain agama Islam.” Dengan memanifestasikan ayat tersebut dalam bentuk penerjemahan seperti ini, Depag menutup celah bagi wacana lain untuk
masuk ke dalam kata “al-islâm” karena Depag telah membakukannya menjadi
83
Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran Tangerang: Lentera Hati, 2006 Cet. 5 Vol. 2 h. 142
84
Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur h. 17-18
“agama Islâm”. Hal ini tentunya tidak lepas daripada posisi Depag sebagai corong pemerintah. Karenanya “agama Islâm” yang dimaksud tidak lain adalah agama
islam yang diakui pemerintah. Agama Islam yang diakui pemerintah pun mengerucut dan tereduksi pada Mazhab Sunni. Ini pun bukan sekedar a-priori
penulis, tapi bisa dilihat bagaimana agama Islam ini mengukuhkan dirinya pada sebuah lembaga pemerintah yang lain, MUI Majelis Ulama Indonesia. Terhitung
dari sejak berdirinya lembaga ini hingga sekarang, kita melihat sendiri MUI sebagai lembaga pemerintah yang dalam kebijakan-kebijakannya cenderung
eksklusif dan diskrimintif. Kita bisa perhatikan misalnya, “Sikap ormas-ormas islâm yang tergabung dalam Majlis Ulama Indonesia MUI, sebagaimana
difatwakan dalam fatwa Nomor: 7MUNAS VIIMUIII2005 tentang Larangan Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. Fatwa ini antara lain
menyatakan bahwa pluralisme merupakan paham yang tidak kompatibel dengan ajaran Islam.”
85
“Yang dimaksud
pluralisme adalah
paham yang
memandang kemajemukan sebagai suatu kenyataan, bernilai positif dan sebagai keharusan
bagi keselamatan umat manusia yang diakui QS. al-Baqarah: 251. Paham pluralisme ini bukan saja bersifat ke dalam tetapi juga ke luar, dengan pandangan
yang lebih positif pada agama lain sebagai agama yang juga mengandung keselamatan dan juga diakui QS. Ali ‘Imran : 113. Bagian terakhir inilah yang
ditolak oleh para ulama yang tergabung dalam MUI dan masyarakat di daerah perda Syariah. Bagi mereka, meskipun Islam mengajarkan penghormatan terhadap
pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan agamanya, QS.Ali ‘Imran: 19
85
Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 147-148
dan 85, mengajarkan bahwa keselamatan hanya pada Islam. Di Indonesia termasuk di daerah-daerah yang menerapkan syariah Islam—hubungan dan
interaksi antar umat beragama secara umum cukup baik. Namun sejauh menyangkut urusan akidah, masih terdapat klaim kebenaran secara eksklusif dari
sementara kalangan umat beragama. Ini dapat menyebabkan kebebasan beragama yang sesungguhya sulit terwujud, karena pembenaran terhadap prilaku yang
bertentangan dengan hak-hak sipil mudah terjadi.”
86
“Sebagaimana larangan terhadap pemikiran pluralis di atas, larangan mengajarkan paham keagamaan yang dianggap menyeleweng seperti Ahmadiyah,
tampaknya juga tidak saja terjadi di daerah perda syariah Islam tetapi juga di daerah non perda Islam. Meskipun catatannya adalah bahwa di daerah non syariah
masih berbentuk hukum sosial saja. Alasannya, karena larangan sosial yang dipantik oleh perda syariah itu hanyalah kepanjangan dari fatwa MUI Nomor:
11MUNAS VIIMUI152005 yang menyebut Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan, berada di luar Islam, dan penganutnya adalah murtad.”
87
Dalam konteks ini kita merasakan sekali dimana “komunikator dalam hal ini Depag dan MUI justru sangat sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-
hubungan sosialnya. Dalam hal ini, komunikator memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana,
termasuk maksud yang tidak transparan dan memerlukan interpretasi. Bahasa dan wacana diatur dan dihidupkan oleh pengucapan-pengucapan yang bertujuan,
setiap pernyataan adalah tindakan penciptaan makna.”
88
86
Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 148
87
Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 148
88
Kasiyanto, Analisis Wacana dan Teoritis Penafsiran Teks, dalam Burhan Bungin Ed., Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rajawali Pers, 2005 h. 176
Sementara Prof. DR. Quraish Shihab mengartikan ayat di atas, “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima
darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Pada terjemahan ini kita bisa menyimpulkan sementara bahwa Prof. DR. Quraish Shihab telah
membuka ruang interpretasi bagi pembacanya karena dia membiarkan “al-Islâm” tanpa dibuhuhi aposisi-aposisi –dalam bahasa Mohammed Arkoun. Hal ini
tentunya memungkinkan adanya sebentuk suara lain dalam pemahaman bagi pembaca. Tetapi jika merujuk kepada tafsirnya, Prof. DR. Quraish Shihab tidak
seinklusif kita harapkan. Dia mengatakan, “Ketaatan kepada Allah mencakup ketaatan kepada syariat yang ditetapkan-Nya yang intinya adalah keimanan akan
keesaan-Nya, mempercayai para rasul, mengikuti dan mendukung mereka.”
89
Melihat penafsirannya, kita dapat mengatakan bahwa ayat tersebut bagi Prof. DR. Quraish Shihab menjadi eksklusif. Hal ini diisyaratkannya pada uraian berikutnya
mengenai kedudukan orang yang murtad, “Seorang yang murtad kemudian mati dalam kemurtadannya, maka semua amalnya terhapus, sedang mereka yang
murtad kemudian menginsyafi kesalahannya dan kembali memeluk Islam, maka amalnya yang lalu tidak terhapus.”
90
Berbeda halnya dengan Cak Nur yang menerjemahkan dengan, “Barang siapa menuntut agama selain al-islam sikap pasrah, maka darinya tidak akan
diterima, dan di akhirat kelak akan termasuk mereka yang merugi.” Pada terjemahan ini, Cak Nur telah menambahkan aposisi-aposisi al-islâm [sikap
pasrah] yang secara otomatis telah meruntuhkan bangunan eksklusivitas terjemahan Depag. Cak Nur membuat sebuah lompatan guna melakukan
89
Sihâb Tafsîr al-Misbâh Vol. 2 h. 142
90
Sihâb Tafsîr al-Misbâh Vol. 2 h. 143
pembebasan dari pemahaman primordial keagamaan. Artinya Cak Nur memahami ayat-ayat secara rasional dan sangat antroposentris di mana kemaslahatan manusia
didahulukan daripada pemahaman taken for granted terhadap ayat-ayat meskipun muhkamât. Hal ini sejalan dengan “Najmuddin al-Tufi 657-716 H dan Ibnu
Rusyd 1127-1198 [fuqaha yang juga filosof] yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang sulit dipahami secara rasional atau ayat-ayat yang bertentangan dengan
kemaslahatan, meskipun muhkamat, maka ayat-ayat itu harus di-ta’wil dengan mendahulukan kemaslahatan manusia atau temuan akal. Yang dimaksud
kemaslahatan, sebagaimana pendapat Tyan yang dikutip Muhamad Khalid Mas’ud, adalah kepentingan umum atau kemanfaatan manusia secara umum
sosial. Demikian juga yang dimaksud dengan temuan akal, bukan temuan akal yang relative, tetapi temuan akal yang perennial seperti keadilan dan lain-lain.”
91
Cak Nur juga tidak mempermasalahkan perbedaan nama Tuhan. Baginya substansi Tuhan itulah yang lebih mendasar. Artinya, “Hal ini menunjukan
persoalan nama Tuhan bukan hal yang prinsip atau asasi, namun yang lebih asasi adalah makna esensi dari nama tersebut. Titik persamaan tersebut diperintahkan
Allah kepada Nabi saw, agar menyeru untuk menyampaikan tentang titik persamaan pada Tuhan yang maha Esa. Terjemahan Firman Allah demikian,
Q 8?
6ﻝ 5
ﺕ 2
ﻝ .ﻝ
G D
nS n0
ﺏ ﺏ
6 8
4 ﻥ
2 .
4 4
ﻥ f
o ﺏ
h 4
9 ﺏ
2 K
ﺏ 2
K 8
C ﺏ
ﺏ -
= -
ﺕ ﻝ
ﻝ A
ﺏi ﻥ
: D
-
91
Sukron Kamil. Teori Kritik Sastra Arab, Klasik dan Modern Jakarta: Rajawali Pers, 2009 h. 237
Artinya, ‘Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat ketetapan yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain
Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah.’ QS, Ali
Imran3:64.”
92
“Demikianlah seperti penjelasan awal titik persamaan dari jalan kebenaran adalah ‘Ketauhidan’ yaitu kepasrahan kepada Yang Maha Segala-galanya. Firman
Allah:
- ﻥ8 4. ﻝ. 4 ﻥ8 ﻝ. ﺡ ﻥ 4. nE C j Q
o C8
‘Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan kamu wahyukan kepadanya, ‘Bahwanya tidak ada Tuhan yang Haq melainkan aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.’’ QS, Al Anbiya:25 Ayat ini tentunya menitikberatkan pada ‘Ketauhidan’ atau sikap pasrah pada Tuhan YME.
Islam adalah agama kepasrahan, ini artinya apapun agama Formalnya, jika mengajarkan Ketauhidan atau kepasrahan pada Tuhan YME maka Ia adalah
Islam. Karena agama-agama dibawa oleh Rasul, sedangkan Rasul utusan Allah SWT yang mengajarkan kepasrahan. Dengan demikian konsep kesatuan ajaran
membawa kepada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan. Kemudian dalam urutannya membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman.”
93
Hal ini berbeda dengan proses terbentuknya eksklusivitas merupakan proses yang bergerak simultan antara produsen teks makna dengan
92
Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000 h. 18
93
Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban h. 18
konsumennya. Sang produsen membangun jalan legitimasi seperti sakralisasi teks duplikat terjemahan,
94
peraturan pemerintah menuntut kepatuhan masyarakat yang bersifat mengikat; sementara konsumen pun mencari sandaran tempat teduh
dari tekanan-tekanan hidup yang menghimpit. Jadi terjemahan Alquran yang transendental menjadi eskapisme dari realita yang dihadapi. Pengonsumsian
masyarakat tanpa mendialogkan ulang terhadap produk terjemahan Alquran versi Depag ditangkap dengan bebebrapa alasan pendukung; pertama, terjemahan
Alquran Depag
merupakan versi
resmi yang
katanya ‘bisa
dipertanggungjawabkan’. Kedua, ‘peraturan’ negara menuntut kepatuhan, dan kontrol terhadap apa yang ada di luar yang ‘resmi’. Ketiga, produk terjemahan
ikut menjadi sakral karena teks yang diterjemahkannya merupakan sebuah ‘kebenaran mutlak’. Inilah yang kemudian mengakibatkan terjemahan Alquran
menjadi bernilai mitis dan sakral. “Gagasan mitis mengenai eksistensi azali dan qadîm dari teks Alquran berbahasa Arab di lauh mahfûz, senantiasa hidup dalam
budaya kita. Hal itu karena wacana keagamaan mereproduksi terus-menerus melalui media informasi, baik di masjid atau koran-koran keagamaan, siaran radio
dan televisi, simposium-simposium dan seminar-seminar, program-program dan paket-paket pendidikan di sekolah-sekolah, di samping institusi keagamaan dan
universitas–Al-Azhar. Di samping pula melimpahnya buku-buku dan karya-
94
Oleh karenanya, ada semacam ungkapan yang cukup provokatif ditulis Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, penerjemah Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara-
nya M. Syahrur, ‘Jika ada seorang melukis wajah melalui cermin – dengan demikian ia menggambar secara terbalik– lalu menyuguhkan hasil lukisan tersebut kepada orang lain, maka tak
ada yang menduga bahwa lukisan itu terbalik.’
karya terbitan dan peran propaganda umum dan khusus, dalam setiap momen- momen keagamaan ataupun lainnya.”
95
“Gagasan mitis yang pada esensinya mengabaikan dialektika ketuhanan dan kemanusiaan, sakral dan profan di dalam struktur teks, ini membuka lebar
kemungkinan penyelewengan penakwilan teks dengan melompati sebagian konteks atau keseluruhannya. Dengan begitu teks semata-mata menjadi suaka
payung pelindung untuk memproduksi ideologi apa pun namanya. Karena dalam setiap situasi, teks keagamaan menjadi ‘objek’ maf‘ûl bih dan ideologi menjadi
‘subjek’ fâ‘il. Artinya, pembentukan ideologi terjadi melalui bahasa teks sehingga menyandang watak agama. Semua itu berarti bahwa metode penakwilan
ini tidak saja mengabaikan watak teks dan melalaikan berbagai konteksnya, tetapi juga cenderung memoles wajah ideologis-politisnya dengan kedok agama itu
sendiri.”
96
“Lebih dari itu wacana agama juga menyamakan secara mekanik antara teks-teks agama tersebut dengan pembacaan dan pemahamannya terhadap teks.
Dengan penyamaan ini wacana agama tidak saja mengabaikan jarak epistemologis antara ‘subjek’ dan ‘objek’, lebih dari secara implisit mengklaim mampu
melampaui segala kondisi dan hambatan eksistensial dan epistemologis serta mampu mencapai intensi Ilahiah yang terkandung di dalam tek-teks tersebut. Di
dalam klaim yang membahayakan ini wacana agama kontemporer tidak menyadari bahwa ia sedang memasuki kawasan berduri, yaitu kawasan ‘berbicara
atas nama Allah’. Anehnya, wacana kontemporer mencela sikap ini dan menjelek-
95
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema Yogyakarta: LKiS, 2003 h. 139
96
Abu Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran h. 139-140
jelekkannya ketika membicarakan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan dan para ilmuwan pada abad pertengahan.”
97
“‘Mekanisme mengabaikan dimensi sejarah’, merupakan bagian dari struktur mekanisme ‘menyatukan pemikiran dengan agama’. Hal itu lantaran
menyatukan ‘pemahaman’ dengan ‘teks’, teks dipahami pada waktu kini, sementara teks terkait dengan masa lalu paling tidak dalam bahasanya, pasti
didasarkan pada dimensi sejarah. Wacana agama kontemporer di dalam semua ini tampak seolah-olah muncul dari premis-premis yang tidak dapat didiskusikan atau
diperdebatkan. Semuanya berbicara tentang ‘Islam’ dengan huruf besar tanpa sedikit pun merasa ragu dan tanpa menyadari bahwa sebenarnya ia melontarkan
pemahaman dirinya terhadap Islam dan teks-teksnya.”
98
Hal ini kemudian melahirkan asumsi kebenaran tunggal dan mutlak pada pemikiran keagamaan. “Pembicaraan tentang satu Islam dengan makna tunggal,
yang hanya dapat digapai oleh ulama, merupakan bagian dari struktur mekanisme yang lebih luas dalam wacana agama. Mekanisme ini tidak sesederhana seperti
yang tampak pada emosi dan perasaan keagamaan yang alami. Dalam wacana agama, mekanisme ini memiliki dimensi-dimensi berbahaya yang dapat
mengancam masyarakat, dan nyaris dapat melumpuhkan efektivitas ‘akal’ dalam urusan kehidupan nyata. Dalam memfungsikan mekanisme ini, wacana
keagamaan mengandalkan emosi keagamaan awam. Wacana keagamaan ini memfungsikan mekanisme ini atas dasar bahwa mekanisme ini merupakan salah
satu prinsip akidah yang tidak dapat didiskusikan. Sebenarnya, penafsiran seperti itu berarti menempatkan ‘Allah’ dalam realitas konkret secara langsung dan
97
Nashr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama. Penerjemah Khoiron Nahdiyyin Yogyakarta: LKiS, 2003 h. 25-26
98
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 26
mengembalikan segala sesuatu yang terjadi dalam realitas kepada-Nya. Tindakan menempatkan tersebut, secara otomatis menafikan manusia, di samping itu juga
menggugurkan ‘hukum-hukum’ alam dan sosial, serta merampas pengetahuan apa pun yang tidak didasarkan pada wacana agama atau pada otoritas ulama resmi.
99
“Dalam wacana ini, akibat dari mekanisme ini, bagian-bagian dunia tampak berserakan, dan alam tampak cerai-berai, semua bagian dunia atau alam
hanya terkait dengan sang pencipta dan pencipta pertama. Konsep semacam ini tidak akan mungkin memproduksi pengetahuan apa pun yang ‘ilmiah’ mengenai
dunia atau alam, apalagi dunia sosial atau manusia.”
100
B. Kontestasi Pemahaman ‘Wahyu Progresif’ dan ‘Wahyu Regresif’