PEMBAHASAN Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Produktivitas Kerja Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap RSUD Cibinong Tahun 2014

110

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini peneliti menemukan hambatan dan keterbatasan. Adapun hambatan dan keterbatasan tersebut adalah : 1. Hasil penelitian ini dapat menjadi bias karena 5 dari 7 variabel yang diteliti hanya berdasarkan persepsi perawat sehingga hasilnya akan sangat subjektif. Namun demikian, peneliti sudah mengupayakan agar data yang diperoleh dapat terjamin validitasnya dengan cara memberikan pengarahan agar para perawat mengisi dengan objektif dan sejujurnya. Selain itu, peneliti pun menjamin kerahasiaan identitas dan berjanji bahwa kesediaan perawat dalam mengisi kuesioner tidak akan membawa konsekuensi yang merugikan bagi mereka. 2. Tidak adanya data sekunder yang spesifik menjelaskan deskripsi pekerjaan perawat pelaksana yang sesuai dengan klasifikasi pelayanan di ruang rawat inap. Sehingga sulit untuk menggambarkan rendahnya produktivitas kerja dan faktor-faktor yang berhubungan dengan produktivitas kerja di masing- masing ruang rawat inap RSUD Cibinong. 3. Tingkat penghasilan pada penelitian ini meliputi gaju pokok dan tunjangan tetap tidak termasuk tunjangan tidak tetap. Oleh karena itu responden harus diberitahu maksud dari tingkat penghasilan agar data tidak menjadi bias. 111 6.2 Gambaran Faktor- Faktor dan Hubungannya dengan Produktivitas Kerja Di Ruang Rawat Inap RSUD Cibinong 6.2.1 Gambaran Produktivitas Kerja Di Ruang Rawat Inap RSUD Cibinong Menurut Sedarmayanti 2009 dalam bukunya Sumber daya manusia dan produktivitas kerja, filosofi dan spirit tentang produktivitas kerja sudah ada sejak peradaban manusia karena makna produktivitas adalah keinginan the will dan upaya effort manusia untuk selalu meningkatan kualitas kehidupan dan penghidupan di segala bidang. Menurut Sedarmayanti 2011 produktivitas adalah sikap mental attitude of mind yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan. Produktivitas kerja sebagian besar tergantung dari sikap attitude dan hanya kita sendiri sebagai mayarakat dapat mewujudkan sikap yang tepat dan hanya kita sendiri sebagai masyarakat dapat mewujudkan sikap yang tepat Bertens, 2008. Indikator penilaian yang digunakan untuk mengukur produktivitas adalah pencapaian tujuan, kreatifitas, tingkat pelayanan dan umpan balik Hakim, 2009. Berdasarkan hasil penelitan univariat didapatkan gambaran perawat yang memiliki produktivitas kerja kurang baik sebanyak 29 49 dari 59 perawat. Produktivitas kerja kurang baik dengan jumlah terbanyak adalah ruang rawat inap dahlia. Hal ini dibuktikan berdasarkan hasil penelitian univariat didapatkan 100 manajemen di ruang rawat inap dahlia memiliki manajemen kurang baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Carnadi 2010 bahwa produktivitas kerja kurang baik lebih banyak daripada produktivitas kerja cukup baik. 112 Walaupun hasil penelitian di RSUD Cibinong menyatakan 30 51 dari 59 perawat yang memiliki produktivitas cukup baik namun 29 49 dari 59 perawat memiliki produktivitas kurang baik. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian univariat didapatkan 23 perawat 39 dari 59 perawat memiliki motivasi rendah, 30 perawat 64,40 dari 59 perawat memiliki tingkat penghasilan rendah, lingkungan kerja kurang baik sebanyak 25 perawat 42,37 dari 59 perawat dan kesempatan berprestasi kurang baik sebanyak 25 perawat 42,37 dari 59 perawat, 23 perawat 39 dari 59 perawat memiliki manajemen kurang baik dan 2 perawat 3 dari 59 perawat memiliki gizi kurang. Hal ini sejalan dengan Sedarmayanti 2011 bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja adalah motivasi, tingkat penghasilan, lingkungan kerja, kesempatan berprestasi, manajemen dan status gizi. Sesuai dengan teori Triantoro 2005 jika imbalan dirasakan kurang, ketidakpuasan akan muncul. Jika ketidakpuasan ini berlarut-larut maka motivasi kerja akan menurun, akibatnya produktivitas kerja juga akan menurun. Didukung dengan teori Hasibuan 2010, motivasi kerja perawat akan terdorong dari lingkungan kerja. Jika lingkungan kerja mendukung, maka akan timbul keinginan perawat untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Keinginan ini kemudian akan menimbulkan persepsi perawat dan kreativitas perawat yang diwujudkan dalam bentuk tindakan. Produktivitas kerja lebih dari sekedar ilmu teknologi dan teknik-teknik manajemen akan tetepi mengandung filosofi dan sikap yang didasarkan pada motivasi yang kuat untuk secara terus menerus berusaha mencapai mutu 113 kehidupan yang lebih baik Kongres produktivitas sedunia ke IV di Oslo norwegia dalam Emanuel 1998. Diperkuat dengan teori Sedarmayanti 2009 mengatakan bahwa orang yang mempunyai sikap tersebut terdorong untuk menjadi dinamis, kreatif, inovatif serta terbuka, tetapi kritis terhadap ide-ide baru dan perubahan-perubahan. Produktivitas kerja bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas untuk kerja juga penting diperhatikan. Sebagaimana diungkapkan bahwa produktivitas individu dapat dinilai dan apa yang dilakukan oleh individu tersebut dalam kerjanya. Orang yang produktif akan menggambarkan potensi, persepsi dan kreatifitas yang senantiasa menyumbangkan kemampuannya agar bermanfaat bagi dirinya dan lingkungan Sedarmayanti, 2009. Budaya produktif dirumuskan sebagai totalitas kesadaran, pikiran, perasaan, sikap, dan keyakinan yang mendasari, menggerakkan, mengarahkan, serta memberi arti pada seluruh perilaku dan proses produktif dalam suatu sistem produksi. Sinamo dalam kartikasari, 2008. Menurut Mulianto 2006 beberapa faktor yang sangat menunjang dan menentukan dalam keberhasilan usaha peningkatan produktivitas kerja perawat yaitu dukungan penuh semua manajer yaitu manajer tingkat atas direktur dan wadir, tingkat menengah kepala komite keperawatan dan kepala bidang medis dan tingkat bawah kepala ruangan, ketua tim dan perawat pelaksana untuk meningkatkan produktivitas kerja perawat, komunikasi yang efektif antar perawat, partisipasi atau keikutsertaan semua perawat dari segala lapisan bila ada kegiatan yang berkaitan dengan hal 114 penunjang kinerja khususnya perawat seperti pelatihan, usaha yang terus- menerus dan terprogram dengan cara setiap ruang rawat inap memiliki standar program kerja, ada organisasi atau pejabat yang bertanggung jawab dalam usaha peningkatan produktivitas dan selalu mengadakan pemantauan serta melakukan tindak lanjut seperti diadakan penghargaan bagi perawat di ruang rawat inapnya yang memiliki program kerja diatas standar sehingga perawat diberikan stimulus untuk bekerja lebih baik. Usaha peningkatan produktivitas diatas akan berhasil apabila setiap perawat merasa terlibat dan berkepentingan, Pimpinan puncak memberikan dukungan sepenuhnya, pimpinan lain tidak terkecuali secara aktif terlibat dalam usaha peningakatan produktivitas. Usaha peningkatan produktivitas dilakukan secara terus menerus dan dilakukan pemantauan, evaluasi, tindak lanjut, dan apresiasi kepada mereka yang berhasil memberikan kontribusi Mulianto, 2006. Menurut Sudarma 2008 salah satu peran perawat adalah sebagai anggota yang kreatif, produktif dan terbuka terhadap perubahan serta berorientasi ke masa depan sesuai dengan perannya dengan cara menggali dan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk membantu menyelesaikan masalah masyarakat dibidang kesehatan. Rendahnya produktivitas kerja perawat dipengaruhi oleh faktor yang dominan yaitu motivasi, tingkat penghasilan, kesempatan berprestasi dan manajemen karena berdasarkan hasil penelitian didapatkan faktor motivasi, kesempatan berprestasi dan manajemen berhubungan dengan produktivitas kerja perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Cibinong. 115 Indikator penilaian produktivitas kerja perawat dinilai melalui empat indikator yaitu pencapaian tujuan, kreatifitas, tingkat pelayanan dan umpan balik. Produktivitas kerja yang rendah disebabkan oleh kreatifitas perawat yang kurang baik. Kreativitas ini meliputi kreatif dalam memecahkan masalah, kreatif dalam memanfaatkan waktu kerja dan waktu luang. Sesuai dengan Sinamo dalam Kartikasari 2008 dengan nilai produktif maka setiap individu memanfaatkan waktunya sebaik dan sekreatif mungkin untuk membuat hal-hal yang positif dan generasi mudah juga akan lebih produktif untuk belajar dan menghasilkan karya juga prestasi. perilaku kerja yang produktif seperti rajin, hemat, bersemangat, teliti, tekun, ulet, sabar, akuntabel, responsibel, berintegritas, menghargai waktu, menghargai pengetahuan, kreatif, inovatif, dan sebagainya Sinamo dalam kartikasari, 2008. Berdasarkan teori diatas kreatifitas penting karena perawat yang kreatif dalam memecahkan masalah dan memanfaatkan waktu kerja dan waktu luang akan menghasilkan output yang berkualitas. Kreatifitas juga merupakan salah satu ciri dari perilaku orang yang produktif. Cara meningkatkan kreativitas perawat antara lain mengadakan pelatihan terkait asuhan keperawatan dan mengadakan kegiatan diskusi Swanburg, 1995. Dalam penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan produktivitas kerja perawat pelaksana di RSUD Cibinong, berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh hasil bahwa terdapat 3 tiga faktor yang memiliki hubungan dengan produktivitas kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Cibinong adalah motivasi, kesempatan berprestasi dan manajamen. 116 Hal ini dapat disimpulkan bahwa bahwa terdapat 29 49,15 dari 59 perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong RSUD Cibinong yang belum memiliki keinginan the will dan upaya effort yang serius untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan di segala bidang termasuk dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Cibinong. Cara meningkatkan kreativitas perawat antara lain mengadakan pelatihan terkait asuhan keperawatan dan mengadakan kegiatan diskusi Swanburg, 1995. 6.2.2 Gambaran Motivasi Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Kerja Di Ruang Rawat Inap RSUD Cibinong Menurut Sudarma 2008 salah satu peran perawat adalah bertanggung jawab dalam mengelola asuhan keperawatan mencakup melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan dalam mengelola asuhan keperawatan serta bertindak sebagai pemimpin baik formal maupun informal untuk meningkatkan motivasi dan kinerja dari anggota-anggota tim kesehatan dalam mengelola asuhan keperawatan. Untuk menciptakan motivasi yang baik perawat tersebut harus memiliki tujuan tertentu dalam melakukan suatu pekerjaan, maka ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan antusias dan penuh semangat, termasuk dalam pencapaian cita-cita yang dinginkan. Motivasi merupakan dorongan atau penggerak bagi seseorang dalam pencapaian sesuatu yang diinginkan. 117 Motivasi adalah suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang wahjosumidjo, 1992. Menurut teori Maslow dalam Frank 1987 untuk meningkatkan motivasi perawat diruang rawat inap RSUD Cibinong dapat dilihat dari lima tahapan yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Menurut Frank 1987 seseorang tidak dapat pindah ke tingkatan kebutuhan yang lebih tinggi, sampai semua kebutuhan pada tingkat bawah telah terpenuhi. Untuk menciptakan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi bagi perawat di ruang rawat inap RSUD Cibinong diperlukan kerjasama antara manajer tingkat bawah hingga tingkat atas terkait pencapaian prestasi kerja, pengakuan hasil kerja, pengembangan potensi individu dan kualitas supervisi bagi perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Cibinong. Bila tingkatan motivasi menjadi lebih tinggi maka akan tercipta produktivitas kerja yang baik sehingga menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu di RSUD Cibinong. Berdasarkan hasil penelitian univariat didapatkan perawat yang memiliki motivasi rendah sebanyak 23 perawat 39 dari 59 perawat. Perawat yang memiliki motivasi rendah terbanyak adalah di ruang rawat inap anggrek 2. Hal ini disebabkan karena ruang rawat inap anggrek 2 memiliki 29 tempat tidur dengan jumlah perawat pelaksana sebesar 7 orang artinya 1 perawat menangani 4 pasien. Padahal berdasarkan RI.NO.262Men.KesPerVII1997 ratio perawat dan pasien adalah 1:1. Diperkuat dengan 100 perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Cibinong memiliki tingkat penghasilan yang rendah. Hal ini sejalan dengan teori Triantoro 2005 yang menyatakan bahwa tingkat penghasilan rendah akan 118 menimbulkan ketidakpuasan, ketidakpuasan yang berlarut akan menurunkan semangat kerja, semangat kerja yang rendah akan menurunkan produktivitas kerja perawat pelaksana. Banyaknya perawat yang memiliki motivasi rendah dikarenakan rendahnya pengakuan hasil kerja yang mereka kerjakan. Rendahnya pengakuan hasil kerja merupakan salah satu indikator penilaian motivasi di ruang rawa inap RSUD Cibinong. Hal ini dapat terlihat dari hasil penelitian univariat perawat yang memiliki pengakuan hasil kerja kurang baik sebanyak 29 49,2 dari 59 perawat. Menurut Soeroso dalam Maharlin 2013 salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi adalah kebutuhan pengakuan yaitu kebutuhan yang berkaitan tidak hanya menjadi bagian dari orang lain masyarakat tetapi lebih jauh dari itu, yaitu diakui, dihormati, dan dihargai orang lain karena keahlian dan kemampuan dalam pekerjaannya. Hal ini didukung oleh Hasibuan 2010 yang menyatakan faktor- faktor yang mempengaruhi motivasi yang berasal dari organisasi meliputi pengawasan supervision, pengakuan hasil kerja dan pekerjaan itu sendiri job it self. Pentingnya pengakuan hasil kerja dalam motivasi juga diperkuat dengan teori Motivation Human Relation yaitu teori ini mengutamakan hubungan seseorang dengan lingkungannya. Menurut teori ini seseorang akan berprestasi baik jika ia diterima dan diakui dalam pekerjaan serta lingkungannya. Teori ini menekankan peranan aktif pimpinan organisasi dalam memelihara hubungan dan kontrak-kontrak pribadi dengan bawahannya yang dapat membangkitkan gairah kerja. Teori ini menganjurkan bila dalam memotivasi bawahan memerlukan kata- 119 kata, hendaknya kata-kata itu mengandung kebijakan, sehingga dapat menimbulkan rasa dihargai dan sikap optimis Hasibuan, 2005. Cara meningkatkan pengakuan hasil kerja perawat antara lain dengan kepala ruangan memberikan kata- kata pujian atau pengakuan seperti “pendapat anda sangat bagus”, memakai ungkapan non verbal sebagai tanda menyetujui misalnya tersenyum, menganggukkan kepala, atau menepuk punggung untuk menyakinkan, akan mendorong perawat untuk mau lebih banyak berpartisipasi atau berusaha lebih keras memperbaiki kinerja mereka. Bastable, 1997. Berdasarkan hasil penelitian bivariat diperoleh nilai p = 0,025, ini menunjukkan ada hubungan antara motivasi dengan produktivitas kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian Carnadi 2010 dan Jaenudin 2003 terdapat hubungan antara motivasi dengan produktivitas kerja perawat di Rumah Sakit Awal Bros tahun 2010. Motivasi menjadi berhubungan dengan produktivitas kerja karena motivasi menjadi penyebab, penyalur dan pendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal Hasibuan, 2005. Produktivitas seseorang tergantung pada motivasi orang tersebut terhadap pekerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi motivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan, semakin tinggi pula tingkat produktivitasnya Justine, 2002. Motivasi semakin penting karena manajer membagikan pekerjaan pada bawahannya untuk dikerjakan dengan baik dan terintegrasi kepada tujuan yang diinginkannya sehingga menghasilkan pegawai yang produktif. Oleh karena itu motivasi menjadi faktor penting dalam produktivitas kerja. 120 Hal ini sesuai dengan pendapat Sustermeister dalam sedarmayanti 2001, Yuniarsih 2008 dan Siagian 2001 yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja adalah motivasi. Menurut Wahjosumidjo 1992 dalam suatu organisasi, motivasi sebagai sesuatu yang penting, sehingga diperlukan kemampuan pemimpin untuk memberikan motivasi kepada bawahan. Menurut Mulianto 2006 motivasi kerja adalah dorongan kehendak yang mempengaruhi perilaku tenaga kerja untuk dapat meningkatkan produktivitas kerja karena adanya keyakinan bahwa peningkatan produktivitas mempunyai manfaat bagi dirinya. Motivasi rendah ditimbulkan oleh berbagai sebab yang berakibat pada rendahnya produktivitas. Menurut Ilyas 1999 motivasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja, hal ini juga didukung dengan pendapat Siagian 1995 yang menyatakan bahwa apabila seseorang termotivasi, yang bersangkutan akan berusaha keras untuk melakukan sesuatu. Dikemukakan oleh Hasibuan 2010 dimana dikatakan bahwa motivasi sangat penting karena dengan motivasi diharapkan setiap individu dapat membangkitkan keinginan untuk bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Setiap orang memiliki motivasi dalam hidup yang dapat dijadikan sebagai satu alasan pendorong untuk bekerja lebih keras lagi untuk menghasilkan output secara maksimal. Menurut Sudarma 2008 kualitas sebuah rumah sakit sangat ditentukan oleh kualitas keperawatan. Oleh karena itu, peningkatan mutu layanan rumah sakit identik dengan peningkatan layanan keperawatan. Peningkatan layanan 121 keperawatan sama maknanya dengan pentingnya perhatian terhadap mutu dan produktivitas kerja tenaga perawat. Oleh karena itu motivasi kerja perawat sangat penting dan dibutuhkan untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi, sehingga tujuan daripada organisasi dapat tercapai. Perawat dapat bekerja dengan produktivitas tinggi karena dorongan motivasi kerja Hasibuan, 2006. Dapat disimpulkan bahwa 39 perawat di ruang rawat inap RSUD Cibinong masih memiliki motivasi yang rendah dan ada hubungan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja. Banyaknya perawat yang memiliki motivasi rendah dikarenakan rendahnya pengakuan hasil kerja yang mereka kerjakan. Cara meningkatkan pengakuan hasil kerja perawat antara lain dengan kepala ruangan memberikan kata-kata pujian baik verbal maupun non verbal. Cara meningkatkan pengembangan potensi diri dengan mengadakan pelatihan baik internal maupun eksternal dan cara meningkatkan pencapaian prestasi kerja dengan adanya reward sehingga perawat akan bersaing untuk mendapatkan prestasi kerja. Bastable, 1997. 6.2.3 Gambaran Tingkat Penghasilan Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Kerja Perawat Di Ruang Rawat Inap RSUD Cibinong Tingkat penghasilan adalah jenjang penghasilan yang diperoleh oleh tiap individu sebagai balas jasa atau imbalan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu tersebut Carnadi,2010. Penghasilan melatarbelakangi seseorang untuk memutuskan memasuki dunia kerja dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan gaji yang 122 didapatkannya maka seorang tenaga kerja atau individu yang bekerja dapat secara otomatis membiayai segala macam kebutuhan hidupnya baik sandang, pangan maupun papan. Penghasilan atau gaji bagi pegawai merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh organisasi dan dimasukkan dalam biaya Bagaimanapun gaji merupakan kebutuhan paling dasar bagi pegawai termasuk perawat. Jika gaji ini tidak mencukup maka kebutuhan karyawan pun akan terancam karena gaji dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Menurut Frank 1987 kebutuhan manusia berbentuk sistem hirarkis, sehingga kebutuhan yang dibawah jika tidak tercukupi akan menghambat pemenuhan kebutuhan yang diatasnya. Menurut Frank 1987 membagi kebutuhan manusia menjadi lima tingkatan seperti tingkatan diatas aktualisasi diri, harga diri, sosial, rasa aman dan kebutuhan fisiologis makan, minum dan tempat tinggal. Gaji merupakan hasil pertukaran antara apa yang telah diberikan pegawai kepada institusi atas usaha yang diberikan oleh pegawainya. Jika imbalan dirasakan kurang, ketidakpuasan akan muncul. Jika ketidakpuasan ini berlarut-larut maka motivasi kerja akan menurun, akibatnya produktivitas kerja juga akan menurun Triantoro, 2005. Indikator tingkat penghasilan adalah nominal gaji yang didapatkan pegawai sebagai balas jasa atau imbalan dari instansi Carnadi, 2010. Berdasarkan hasil penelitian univariat didapatkan perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Cibinong yang memiliki penghasilan rendah sebanyak 38 perawat 64,40 dari 59 perawat. Sedangkan perawat yang memiliki penghasilan tinggi sebanyak 21 orang 35,60 dari 59 perawat. Hal ini sesuai dengan penelitian Carnadi 2010 yang menyatakan bahwa tingkat penghasilan rendah lebih banyak daripada tingkat penghasilan tinggi. Namun tidak sejalan dengan 123 penelitian Emanuel 1998 yang menyatakan tingkat penghasilan tinggi lebih banyak daripada tingkat penghasilan rendah. Padahal ketika rumah sakit merekrut perawat yang diharapkan adalah perawat dapat melakukan kegiatan yang produktif sehingga menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Untuk menghasilkan perawat yang produktif perawat harus merasakan kepuasan internal organisasi. Namun di RSUD Cibinong penghasilan perawat non PNS masih di bawah UMK Kabupaten Bogor tahun 2014 yaitu sebesar Rp 2.242.240,00 per bulan. Berdasarkan Permen No. 1 tahun 1999 ayat 1 UMK Bogor sebesar Rp 2.578.576,00. Di RSUD Cibinong perawat yang memiliki tingkat penghasilan dibawah golongan satu sebesar 64,40 dan perawat yang memiliki penghasilan diatas golongan satu sebesar 35,60. Tingkat penghasilan rendah terbanyak terdapat di ruang rawat inap anggrek 2 dan seruni. Hal ini disebabkan karena jumlah perawat non PNS lebih banyak daripada jumlah perawat PNS di ruang rawat inap anggrek 2 dan seruni. Dari pernyataan diatas dapat dilihat perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Cibinong telah memiliki tingkat penghasilan diatas UMK Bogor. Hal ini berarti tingkat penghasilan perawat pelaksana telah layak dan mencerminkan imbalan atas hasil kerja perawat sehingga mendorong perawat untuk produktif Simanjuntak, 1998. Uang merupakan bentuk penghargaan langsung yang mempunyai nilai ekonomi murni dan karyawan mengharapkan dibayar untuk pekerjaan yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan organisasi. Upah berupa uang tersebut 124 mempengaruhi tingkat motivasi dan dengan demikian memberikan sumbangan yang maksimal kepada organisasi. Namun menurut Leksono 2010 Semangat kerja dipengaruhi oleh faktor material maupun non material. Pemenuhan kebutuhan yang sifatnya material bukanlah satu-satunya faktor penentu yang dapat membuat karyawan bersemangat dalam bekerja. Pemenuhan kebutuhan non material seperti kenyamanan tempat kerja karyawan adalah faktor yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan. Berdasarkan Permenkes nomor 647 tahun 2000 menjelaskan bahwa keperawatan adalah sebuah profesi. Dengan status seperti ini menuntut setiap perawat untuk mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sesuai dengan misi perawat untuk memberikan pelayanan kesehatan atau perawatan prima, paripurna, dan berkualitas bagi klien, keluarga dan masyarakat Sudarma, 2008. Perawat tidak bisa memberikan kepuasan pelayanan kepada masyarakat apabila perawat merasa bahwa rumah sakit tidak pernah peduli dengan kemajuan karier dan penghasilan yang diterima perawat sehingga perawat menjadi kecewa dan akan menurunkan semangat kerja yang mengakibatkan kontribusi kerja bagi rumah sakit menjadi menurun. Berdasarkan hasil penelitian bivariat diperoleh nilai p = 0,522, ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat penghasilan dan produktivitas kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Cibinong. Hal ini sejalan dengan penelitian dan Carnadi 2010 yang menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat penghasilan dan produktivitas kerja. Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian Emanuel 1998 bahwa ada hubungan antara tingkat penghasilan dengan produktivitas tenaga pelaksana keperawatan di ruang 125 rawat inap Rumah sakit Sukmul Jakarta utara. Hal ini disebabkan karena status perawat pelaksana dalam penelitian Emanuel 1998 terdiri dari pegawai tetap dan pegawai kontrak sedangkan pada penelitian di RSUD Cibinong status perawat terdiri dari perawat dengan status PNS, pegawai tetap dan kontrak. Hal ini dapat disebabkan karena perawat tersebut memiliki faktor pendorong lain yang lebih kuat sehingga mereka tetap memiliki produktivitas kerja baik. Menurut teori Hasibuan 2008 yang dikutip oleh Lukmanul Hakim 2009 penghasilan mencerminkan imbalan atas jasa seseorang terhadap organisasi berupa uang. Dengan adanya ketidakpuasan dari sebagian besar tenaga pelaksana keperawatan, maka hal ini dapat mengakibatkan tidak termotivasinya pekerja untuk bekerja lebih produktif. Namun sebaliknya apabila tingkat peghasilan memuaskan tenaga pelaksana keperawatan, maka hal ini dapat memotivasi mereka untuk bekerja lebih produktif. Sedangkan menurut Siagian 2001 para psikolog berpendapat bahwa manusia banyak memiliki kebutuhan yang hanya sebagian dapat dipenuhi secara langsung dengan uang. Namun keadaannya di RSUD Cibinong terdapat perawat yang penghasilan rendah tetapi produktivitas kerja cukup baik yaitu 21 dari 59 perawat yang memiliki produktivitas kerja. Hal ini dapat disebabkan karena perawat tersebut memiliki faktor pendorong lain yang lebih kuat sehingga mereka tetap memiliki produktivitas kerja baik. Hal ini sejalan dengan teori Wahyuningtyas 2013 yang menyatakan bila karyawan memandang penghasilan atau gaji mereka tidak memadai, kesempatan berprestasi, motivasi dan kepuasan kerja mereka bisa turun secara dramatis Wahyuningtyas, 2013. Hal ini diperkuat dengan Sedarmayanti 2011 yang menyatakan bahwa apabila terbuka kesempatan untuk berprestasi, 126 maka akan menimbulkan dorongan psikologis untuk meningkatkan dedikasi serta pemanfaatan potensi yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas kerja Sedarmayanti, 2011. Upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui berbagai cara salah satunya adalah perbaikan kinerja ekonomi menjadi kunci utama dalam menopang keberhasilan pengembangan SDM, baik dari aspek kualitas maupun kuantitasnya. Karena telah terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki peran besar dalam menggerakkan seluruh aspek dalam pembangunan. Oleh karena itu tingkat penghasilan menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas kerja Tjiptoheriyanto, 2008. Namun bila penghasilan perawat di RSUD Cibinong dibawah UMK kabupaten maka beban kerja pun disesuaikan karena bila beban kerja terus meningkat sedangkan kebutuhan perawat tidak terpenuhi maka akan tercipta kualitas pelayanan kesehatan yang buruk di RSUD Cibinong Wahyuningtyas, 2013. Oleh karena itu perlunya kebijakan lintas sektor terkait tingkat penghasilan perawat di RSUD Cibinong guna terciptanya produktivitas kerja bagi perawat di RSUD Cibinong karena manfaat pemberian penghasilan atau gaji sesuai UMK untuk meningkatkan produktivitas kerja pegawai dengan cara mendorongmerangsang agar pegawai bekerja lebih bersemangat dan cepat, bekerja lebih disiplin dan bekerja lebih kreatif. Sedangkan manfaat bagi pegawai dengan pemberian penghasilan atau gaji sesuai UMK adalah Standar prestasi dapat diukur secara kuantitatif, Standar prestasi di atas dapat digunakan sebagai 127 dasar pemberian balas jasa yang diukur dalam bentuk uang dan pegawai harus lebih giat agar dapat menerima uang lebih besar. Dapat disimpulkan bahwa perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Cibinong dominan masih memiliki penghasilan rendah sebanyak 38 64,40 dari 59 perawat dan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara tingkat penghasilan dan produktivitas kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Cibinong. Hal ini dapat disebabkan karena perawat tersebut memiliki faktor pendorong lain yang lebih kuat sehingga mereka tetap memiliki produktivitas kerja baik yaitu motivasi, kesempatan berprestasi dan manajemen serta perawat yang dijadikan responden sebagian besar merupakan pegawai Non PNS yang gajinya masih dibawah UMK Bogor sebesar Rp 2.578.576,00. 6.2.4 Gambaran Lingkungan Kerja dan Hubungannya dengan Produktivitas kerja Di Ruang Rawat Inap RSUD Cibinong Menurut Supardi dalam Novita 2013 lingkungan kerja merupakan keadaan sekitar tempat kerja baik secara fisik maupun non fisik yang dapat memberikan kesan yang menyenangkan, mengamankan, menentramkan, dan betah kerja. Seperti halnya di rumah sakit yang bertugas sebagai instansi pelayanan kesehatan masyarakat yang melayani masyarakat. Jika ingin menghasilkan kualitas pelayanan yang bermutu yang harus diperhatikan adalah kualitas tenaga kesehatan yang harus didukung dengan lingkungan kerja yang baik. Lingkungan kerja itu mencakup hubungan kerja yang terbentuk antara sesama pegawai dan hubungan kerja antara bawahan dan atasan serta lingkungan 128 fisik tempat pegawai bekerja Supardi dalam Novita 2013. Jika perawat menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja, maka karyawan tersebut akan betah di tempat kerjanya, melakukan aktivitas sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif. Salah satu aspek penting lingkungan kerja dalam fungsi perawat adalah interdependen perawat yaitu tindakan perawatan berdasarkan pada kerjasama dengan tim perawatan atau tim kesehatan lain. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lain berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien. Berdasarkan hasil penelitian univariat didapatkan perawat yang memiliki lingkungan kerja kurang baik sebanyak 25 perawat 42,37 dari 59 perawat. Sedangkan perawat yang memiliki lingkungan kerja cukup baik sebanyak 34 orang 57,63 dari 59 perawat. Lingkungan kerja kurang baik terbanyak terdapat di ruang rawat inap anggrek 2 karena 11,9 memiliki hub. antar rekan kerja kurang baik, 16,9 memiliki kerjasama dlm melaksanakan tugas yang kurang baik, 33,9 memiliki fasilitas pendukung kerja yang kurang baik, 28,8 memiliki kondisi tempat kerja yang kurang baik, dan 20,3 memiliki proses kegiatan rapat yang kurang baik. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Carnadi 2010 yang menyatakan lingkungan kerja kurang baik lebih banyak daripada lingkungan kerja cukup baik. di Awal Bros Hospital Bekasi sebesar 61,7 dan lingkungan kerja baik 38,3. Namun tidak sejalan dengan penelitian Emanuel 1998 yang menyatakan lingkungan kerja cukup baik lebih banyak daripada lingkungan kerja kurang baik. Padahal lingkungan kerja yang baik akan mendorong perawat agar senang bekerja dan meningkatkan rasa tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan dengan lebih 129 baik menuju kearah peningkatan produktivitas. Menurut Hasibuan 2010, motivasi kerja perawat akan terdorong dari lingkungan kerja. Jika lingkungan kerja mendukung, maka akan timbul keinginan perawat untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Keinginan ini kemudian akan menimbulkan persepsi perawat dan kreativitas perawat yang diwujudkan dalam bentuk tindakan. Indikator penilaian lingkungan kerja dalam penelitian ini adalah hubungan antar rekan kerja, kerjasama dalam melaksanakan tugas, fasilitas pendukung kerja, kondisi tempat kerja dan proses kegiatan rapat Hakim, 2009. Lingkungan kerja yang rendah disebabkan oleh fasilitas pendukung kerja yang kurang baik. Hal ini dapat terlihat dari indikator penilaian lingkungan kerja dengan kategori kurang baik dan persentase terbesar adalah fasilitas pendukung kerja sebanyak 20 33,9 dari 59 perawat. Menurut Ferina 2008 dalam Nitisemito 2000 lingkungan kerja dibagi menjadi dua yaitu lingkungan kerja fisik dan non fisik. Lingkungan kerja lebih dititikberatkan pada keadaan fisik tempat kerja karena dengan tidak adanya gangguan dalam lingkungan bekerja maka perawat akan dapat bekerja dengan baik. terdapat disekeliling karyawan yang dapat dilihat dan dirasakan kemudian memberikan efek samping baik negatif maupun positif terhadap hasil dari pekerjaan. Menurut Handari 1990 fasilitas kerja merupakan suatu bentuk pelayanan perusahaan terhadap karyawan agar menunjang kinerja dalam memenuhi kebutuhan karyawan, sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerja karyawan. Adanya fasilitas kerja yang disediakan oleh perusahaan sangat mendukung 130 karyawan dalam bekerja. Menurut Handari 1990 dengan adanya fasilitas kerja karyawan akan merasa nyaman dalam bekerja dan menimbulkan semangat kerja untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh perusahaan. Variabel fasilitas kerja dapat dilihat dari adanya fasilitas pendukung seperti : fasilitas ibadah, toilet WC dan lain-lain. Cara meningkatkan fasilitas pendukung kerja dengan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh perawat pelaksana yang berguna sebagai alat atau sarana dan prasarana untuk membantu karyawan agar lebih mudah menyelesaikan pekerjaannya dan karyawan akan bekerja lebih produktif dan memelihara fasilitas yang telah ada. Menurut Mangkunegara 2004 manfaat lingkungan kerja adalah menciptakan gairah kerja sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang ditentukan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan, dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian bivariat diperoleh p = 0,091, ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lingkungan kerja dan produktivitas kerja. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Emanuel 1998 yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara lingkungan kerja dengan produktivitas kerja. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Praningrum 2007 dan Carnadi 2010 yang menyatakan adan hubungan lingkungan kerja dengan produktivitas kerja perawat pelaksana. Hal tesebut juga tidak sesuai dengan teori Sedarmayanti 2009 yang menyatakan bahwa lingkungan kerja yang baik akan mendorong pegawai agar 131 senang bekerja dan meningkatkan rasa tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik dan meningkatkan rasa tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik menuju kearah peningkatan produktivitas. Lingkungan kerja yang kondusif bagi pemanfaatan kompetensi pegawai secara optimal adalah adanya kepercayaan timbal balik antara manajemen dan pegawai, adanya komitmen pegawai terhadap visi, misi dan nilai-nilai organisasi, kesediaan manajemen puncak memberikan wewenang kepada pegawai untuk melakukan akses ke pusat informasi sehingga memungkinkan pegawai mengambil keputusan berkualitas, kesediaan manajemen puncak memberikan wewenang kepada karyawan untuk mengambil keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dan adanya sistem penghargaan berbasis kinerja bukan berbasisi posisi Mulyadi, 2007. Namun tidak demikian menurut Sofyan 2013 lingkungan kerja adalah faktor-faktor diluar manusia baik fisik mau pun non fisik dalam sesuatu organisasi. Menurut teori diatas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja masuk kedalam faktor di luar manusia yang mempengaruhi produktivitas kerja. Menurut Simanjutak 1985 lingkungan kerja termasuk dalam faktor sarana pendukung yang mempengaruhi produktivitas kerja. Namun faktor utama yang menyangkut kualitas dan kemampuan fisik karyawan meliputi motivasi, pendidikan dan pelatihan. Dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja tidak berhubungan dengan produktivitas kerja karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi produktivitas kerja perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Cibinong yaitu motivasi, kesempatan berprestasi dan manajemen. 132 Untuk membangun hubungan kerja yang baik di RSUD Cibinong diperlukan aktivitas untuk meningkatkan lingkungan kerja yang positif yaitu mengembangkan misi, sasaran dan objektif organisasi, membuat kepercayaan dan keterbukaan melalui komunikasi yang mencakup umpan balik dan merangsang motivasi segara dan sering, memberikan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang termasuk pengembangan karier dan program pendidikan berkelanjutan Swanburg,1993. Berdasarkan teori Swanburg,1993 disimpulkan bahwa pengelolaan hubungan kerja di tempat kerja sangat perlu untuk diperhatikan karena akan memberikan dampak terhadap prestasi kerja karyawan. Dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja kurang baik sebanyak 25 42 dari 59 perawat di ruang rawat inap RSUD Cibinong. Cara meningkatkan fasilitas pendukung kerja dengan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh perawat pelaksana yang berguna sebagai alat atau sarana dan prasarana untuk membantu karyawan agar lebih mudah menyelesaikan pekerjaannya dan karyawan akan bekerja lebih produktif dan memelihara fasilitas yang telah ada. Cara meningkatkan kondisi tempat kerja dengan menjaga kebersihan, keamanan dan kenyaman tempat kerja. Cara meningkatkan proses kegiatan rapat adalah mengadakan rapat dengan menghasilkan keputusan berdasarkan diskusi dari semua anggota rapat. Cara meningkatkan kerjasama dalam melaksanakan tugas adalah mengadakan kerja tim disetiap tugasnya. Cara meningkatkan hubungan antar rekan kerja adalah mengadakan team building diluar jam kerja Handari, 1990. 133 6.2.5 Gambaran Kesempatan berprestasi dan Hubungannya Dengan Produktivitas kerja di Ruang Rawat Inap RSUD Cibinong Kesempatan berprestasi adalah persepsi perawat terhadap peluangnya untuk mendapatkan prestasi kerja, apresiasi, dan sistem yang mendorong untuk mencapai prestasi tersebut dalam pekerjaannya. Menurut Herzberg dalam Siagian 2009 jika karyawan berpandangan positif terhadap tugas pekerjaannya, tingkat kepuasannya biasanya tinggi dan sebaliknya jika para karyawan memandang tugas pekerjaannya secara negatif maka tingkat kepuasannnya rendah. Salah satu peran perawat adalah mengembangkan diri secara terus- menerus untuk meningkatkan kemampuan professional yaitu menerapkan konsep- konsep professional dalam melaksanakan kegiatan keperawatan, melaksanakan kegiatan keperawatan dengan menggunakan pendekatan ilmiah, berperan sebagai pembaharu dalam setiap kegiatan keperawatan di berbagai tatanan pelayanan keperawatan atau kesehatan, mengikuti perkembangan dan menerapkan IPTEK secara terus-menerus melalui kegiatan yang menunjang dan berperan serta secara aktif dalam setiap kegiatan ilmiah yang relevan dengan keperawatan. Pengembangan diri merupakan salah satu indikator kesempatan berprestasi. Oleh karena itu kesempatan berprestasi merupakan faktor penting dalam pemenuhan peran perawat guna meningkatkan produktivitas kerja. Berdasarkan hasil penelitian univariat perawat yang memiliki kesempatan berprestasi kurang baik sebanyak 25 perawat 42,37 dari 59 perawat. Sedangkan perawat yang memiliki kesempatan berprestasi cukup baik sebanyak 34 orang 57,63 dari 59 perawat. Perawat yang memiliki kesempatan 134 berprestasi kurang baik terbanyak terdapat di ruang rawat inap flamboyan. Karena ruang rawat inap flamboyant 44,1 memiliki kesempatan mengembangkan diri yang kurang baik, 40,7 memiliki kemajuan naik pangkat yang kurang baik, 45,8 memiliki reward yang kurang baik dan 37,3 memiliki pekerjaan sesuai dengan pendidikan dan pelatihan yang kurang baik. Hal ini sesuai dengan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti kepada kepala komite keperawatan yang menjelaskan bahwa RSUD Cibinong melakukan pelatihan keperawatan baik internal maupun eksternal setahun sekali itupun tidak rutin diselenggarakan. Untuk kesempatan berprestasi baik perawat PNS maupun non PNS tidak dibedakan artinya semua perawat berhak memiliki kesempatan berprestasi yang sama untuk menunjang pengetahuan perawat. Padahal apabila terbuka kesempatan untuk berprestasi, maka akan menimbulkan dorongan psikologis untuk meningkatkan dedikasi serta pemanfaatan potensi yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas kerja Sedarmayanti, 2011. Indikator penilaian kesempatan berprestasi dalam penelitian ini adalah pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki seseorang, kesempatan mengembangkan diri dengan program pendidikan lanjutan yang dibiayai oleh organisasi tersebut, kemajuan kenaikan pangkat dan adanya reward Sedarmayanti, 2011. Indikator penilaian kesempatan berprestasi dengan presentase terbesar adalah reward sebanyak 27 45,8 dari 59 perawat. Menurut Panggabean dalam Tampubolon 2013 reward atau penghargaan dapat diberikan kepada mereka yang dapat bekerja melampui standar yang telah ditentukan dalam bentuk 135 finansial. Namun menurut artikel yang ditulis Hermansyah 2013 sebagai langkah nyata dalam hasil pembinaan maka diadakan pemberian penghargaan pegawai yang telah menunjukkan prestasi kerja yang baik. Adapun pengertian dari penghargaan dalam perusahaan kerap dalam bentuk pemberian berupa piagam dan sejumlah uang dari perusahaan pegawai yang mempunyai prestasi. Ada juga perusahaan yang memberikan penghargaan kepada pegawai karena masa kerja dan pengabdiannya dapat dijadikan teladan bagi pegawai lainnya. Pemberian penghargaan karena masa kerja pegawai bertujuan untuk memotivasi gairah dan loyalitas perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa adanya reward dapat meningkatkan kesempatan berprestasi. Cara menciptakan reward salah satunya melalui financial saja namun bisa juga memberikan predikat pegawai teladan yag bertujuan untuk meningkatkan kesempatan berprestasi perawat Edy, 2008. Menurut artikel Irawan 2009 bentuk penghargaan reward dapat dibagi 2 dua jenis, yaitu Penghargaan Umum dan Penghargaan Khusus. Penghargaan umum dapat diberikan kepada seluruh karyawan yang dinilai secara metode dapat diberikan untuk menilai kinerja karyawan secara objektif, sedangkan penghargaan khusus dapat diberikan kepada karyawan yang dianggap dinilai telah berkontribusi secara khusus kepada instansi. Bentuk penghargaan tersebut dapat dijadikan pilihan bagi RSUD Cibinong untuk terus meningkatkan produktivitas kerja perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Cibinong. Berdasarkan hasil penelitian bivariat diperoleh nilai p = 0,006, ini menunjukkan ada hubungan antara kesempatan berprestasi dan produktivitas kerja 136 perawat di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Cibinong. Hal ini sesuai dengan Sedarmayanti 2009 yang menyatakan apabila terbuka kesempatan untuk berprestasi, maka akan menimbulkan dorongan psikologis untuk meningkatkan dedikasi serta pemanfataan potensi yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas kerja. Menurut Herzberg dalam Siagian 2001 yang dikutip dalam Lukmanul Hakim 2009, jika para karyawan berpandangan positif terhadap tugas pekerjaannya, tingkat kepuasannya biasanya tinggi dan sebaliknya jika para karyawan memandang tugas pekerjaannya secara negatif maka tingkat kepuasannya rendah. Kepuasan yang bersifat instrinsik tidak banyak kaitannya dengan hal-hal yang bersifat materi,sehingga untuk meningkatkan kesempatan berprestasi mereka dapat dilakukan dengan memberikan pengakuan dan memberikan pekerjaan yang lebih menantang dengan cara mengadakan predikat pegawai berpretasi. Menurut Gollerman 1984 yang dikutip dalam Lukmanul Hakim 2009, pada dasarnya orang yang berorientasi pada prestasi kerja hanya ingin diberitahu apa yang diharapkan manajemen untuk mereka perbuat dan selanjutnya mereka berharap dibiarkan melakukannya sendiri. Dapat disimpulkan bahwa kesempatan berprestasi bagi perawat pelaksana di RSUD Cibinong perawat yang memiliki kesempatan berprestasi cukup baik sebanyak 34 orang 58 dari 59 perawat. Cara meningkatkan kesempatan berprestasi melalui reward adalah memberikan penghargaan kepada pegawai karena masa kerja dan pengabdiannya dapat dijadikan teladan bagi pegawai lainnya Panggabean dalam Pangkubolon, 2013. 137 6.2.6 Gambaran Manajemen Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Kerja Perawat Di Ruang Rawat Inap Rsud Cibinong Menurut Wahyuni 2007 manajemen keperawatan adalah persepsi perawat tentang model praktek keperawatan professional melalui tahapan yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Indikator manajemen dalam penelitian ini adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian Siagian,1995. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan perawat yang memiliki persepsi manajemen kurang baik sebanyak 23 perawat 39 dari 59 perawat. Sedangkan perawat yang memiliki persepsi manajemen cukup baik sebanyak 36 orang 61 dari 59 perawat. Walaupun 61 perawat di RSUD Cibinong memiliki persepsi manajemen yang cukup baik namun 39 masih memiliki persepsi manajemen yang kurang baik. Persepsi manajemen kurang baik dengan persentase terbanyak terdapat di ruang rawat inap dahlia. Hal ini disebabkan karena 40,7 memiliki perencanaan yang kurang baik, 39 memiliki pengorganisasian yang kurang baik, 37,3 memiliki pengarahan yang kurang baik dan 42,4 memiliki pengendalian yang kurang baik. Indikator penilaian persepsi manajemen terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Oleh karena itu RSUD Cibinong harus memperbaiki manajemen pada fungsi pengendalian bagi perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Cibinong karena manjemen berperan penting dalam perencanaan, pengorganisasian organizing, memimpin leading dan pengendalian controlling berjalankan proses pelayanan di RSUD Cibinong. 138 Berdasarkan hasil penelitian indikator persepsi manajemen yang memiliki kontribusi paling besar dalam kurang baiknya persepsi manajemen adalah pengendalian. Pengendalian menjadi penting karena berdasarkan PP No. 23 tahun 2005, Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang danatau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Melakukan sistem pengendalian merupakan salah satu indikator mutu untuk meningkatkan efisiensi rumah sakit. Cara meningkatkan pengendalian dengan cara membuat form laporan kegiatan keperawatan baik kepala ruangan, ketua tim dan perawat pelaksana, melakukan evaluasi terkait laporan keperawatan dengan cara memeriksa dan menganalisis laporan keperawatan dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan oleh rumah sakit Ryuliana, 2009. Dengan memperbaiki manajemen perawat di ruang rawat inap, RSUD Cibinong memiliki manfaat untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan dengan cara aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan perusahaan dengan menetapkan sendiri sasaran kerja dan standar prestasi yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Peningkatan yang terjadi pada prestasi karyawan secara perorangan pada akhirnya akan mendorong kinerja sumber daya manusia secara keseluruhan yang direfleksikan dalam kenaikan produktivitas, merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil karya dan prestasi pribadi serta potensi karyawan dengan cara memberikan umpan balik pada mereka tentang prestasi kerjanya dan dapat menyusun program pengenbangan dan pelatihan karyawan yang lebih tepat guna. 139 Padahal menurut Sedarmayanti 2011 suatu organisasi apabila manajemennya tepat maka akan menimbulkan semangat yang lebih tinggi sehingga dapat mendorong pegawai untuk melakukan tindakan yang produktif. Berdasarkan penelitian Emanuel 1998 perawat yang memiliki manajemen cukup baik sebanyak 11 orang 23,9 sedangkan perawat yang memiliki manajemen kurang baik sebanyak 36 orang 76,1. Berdasarkan hasil penelitian bivariat diperoleh nilai p= 0,001 hal ini menunjukkan ada hubungan antara manajemen dan produktivitas kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian Fahriani 2011 dan Sinangun 1987 bahwa adanya hubungan antara manajemen dengan produktivitas kerja perawat pelaksana. Menurut artikel Kurnia 2012 manajemen menjadi penting dalam produktivitas karena kebanyakan strategi intervensi program perbaikan berasal dari rendahnya manajemen di suatu organisasi. Hal ini sesuai dengan pengamatan di berbagai institusi, sekitar 80-85 dari masalah produktivitas dalam institusi adalah lebih karena faktor-faktor sistem daripada faktor manusia. Contoh ketidakberhasilan penerapan gugus kendali manajemen sangat ditentukan oleh kesalahan manajemen. Implikasinya adalah perbaikan produktivitas dan mutu lebih banyak didasarkan pada sistemnya itu sendiri tidak selalu dari unsur manusianya. Dapat disimpulkan bahwa perawat yang memiliki persepsi manajemen cukup baik lebih dominan dari perawat yang memiliki persepsi manajemen kurang baik. Namun 25 42,37 dari 59 perawat masih memiliki persepsi manajemen yang kurang baik. Indikator persepsi manajemen yang memiliki kontribusi terbesar 140 dalam kurang baiknya manajemen adalah pengendalian. Cara meningkatkan pengendalian dengan cara membuat form laporan kegiatan keperawatan baik kepala ruangan, ketua tim dan perawat pelaksana, melakukan evaluasi terkait laporan keperawatan dengan cara memeriksa dan menganalisis laporan keperawatan dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan oleh rumah sakit Ryuliana, 2009. 6.2.6 Gambaran Status Gizi Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Kerja Di Ruang Rawat Inap RSUD Cibinong Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi salah satunya diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan. Salah satu faktor yang berhubungan dengan produktivitas adalah status kesehatan yang dalam hal ini berkaitan dengan faktor gizi seseorang. Penilaian gizi berupa proporsi badan dengan melihat berat badan dan tinggi badan Rismayanti, 2009. Kemampuan fisik pegawai dipengaruhi oleh keadaan gizi dan kesehatan pegawai yang baik akan memberikan kemampuan serta kesegaran fisik dan mental tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan. Semakin tinggi keadaan gizi dan kesehatan pegawai, cenderung semakin tinggi tingkat produktivitasnya Tjiptoheriyanto, 2008. Menurut Wardhani 2013 faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan kecukupan gizi kerja adalah ukuran tubuh tinggi dan berat badan, usia, jenis kelamin, kegiatan sehari-hari ringan, sedang, berat yang merupakan suatu beban kerja, kondisi tubuh tertentu, dan lingkungan kerja. Oleh karena itu status gizi pada penelian ini menggunakan IMT dengan mengukur berat dan tinggi badan. 141 Berdasarkan hasil penelitian univariat didapatkan perawat yang memiliki gizi kurang sebanyak 2 perawat 3 dari 59 perawat. Perawat yang memiliki gizi normal sebanyak 47 perawat 80 dari 59 perawat. Sedangkan perawat yang memiliki gizi lebih sebanyak 10 orang 17 dari 59 perawat. Perawat yang memiliki gizi kurang terbanyak terdapat di ruang rawat inap anggrek 2 dikarenakan sebagian besar perawat memiliki status pegawai non PNS. Padahal menurut Sedarmayanti 2011 apabila pegawai dapat dipenuhi kebutuhan gizinya dan berbadan sehat, maka akan lebih kuat bekerja, apalagi bila mempunyai semangat yang tinggi maka akan dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. Pegawai yang kurang makan akan lemah, baik daya kegiatan, pekerjaan- pekerjaan fisik, maupun daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi. Sekalipun seseorang memiliki kebiasaan malas, namun kurangnya gizi merupakan penyebab utama Agung, 2002. Bagi orang dewasa yang bekerja dengan energi yang melebihi dari kewajaran membanting tulang demi untuk memperoleh pendapatan yang lebih umumnya ia menggunakan cadangan energi dalam tubuhnya, akibat penggunaan tersebut dan tidak adanya penggantian energi dan energi cadangan sehubungan dengan kurangnya pemasukan zat makanan ke dalam tubuhnya, tentulah dari pekerjaorang dewasa yang bersangkutan tidak dapat diharapkan adanya produktivitas kerja yang dikehendaki. Oleh karena itu, bagi para pegawai yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja atau menjalankan pekerjaan yang dianggap berat, adanya pembatasan waktu kerja merupakan suatu kebijaksanaan instansi untuk mempertahankan produktivitas kerja yang dikehendaki organisasi dari para pegawainya Matjan, 2010 142 Berdasarkan hasil penelitian bivariat diperoleh nilai p = 0,165, ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dan produktivitas kerja. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Trisnawati 2012 dan Emanuel 1998 yang menyatakan ada hubungan antara status gizi dengan produktivitas kerja perawat pelaksana. Menurut Sudiarti dan Indrawani, 2007 cara melihat status gizi pada perawat selain dengan IMT bisa menggunakan defisiensi zat besi, energi dan Vitamin B1. Cara meningkatkan status gizi kurang dengan makan teratur 3 kali sehari dengan gizi seimbang, berolahraga secara teratur dan cukup istirahat. Cara mempertahankan status gizi normal dengan pertahankan kebiasaan makan dengan susunan menu gizi seimbang, pertahankan kebiasaan olah raga yang teratur dan tetap melakukan kebiasaan fisik sehari-hari. Cara menurunkan status gizi lebih dengan makan teratur dengan gizi seimbang, hindari minuman beralkohol, olah raga dan kegiatan fisik. Menurut Hidayat 1997 menyebutkan faktor gizi berperan untuk meningkatkan ketahanan fisik dan produktivitas kerja. Adapun keadaan gizi kurang dapat dikarenakan penyakit-penyakit endemis dan parasit, tingkat penghasilan yang rendah, dan beban kerja yang terlalu besar dan lingkungan kerja kurang membantu untuk produktivitas optimal tenaga kerja Siagian, 2009. Jadi berdasarkan teori tersebut status gizi yang mempengaruhi produktivitas kerja bukan hanya dilihat dari IMT Indeks Massa Tubuh saja melainkan dari tingkat penghasilan, beban kerja dan lingkungan. Hal tersebut juga bisa dilihat dari hasil penelitian univariat yang menyatakan bahwa perawat pelaksana 79,66 memiliki status gizi normal. Oleh karena itu status gizi tidak menjadi permasalahan bagi perawat pelaksana di RSUD Cibinong karena dalam penelitian 143 ini status gizi tidak berhubungan dengan produktivitas kerja. Namun faktor lain yang lebih dominan dalam penelitian ini yang berhubungan dengan produktivitas kerja adalah motivasi, kesempatan berprestasi dan manajemen. Dapat disimpulkan bahwa 3 perawat memiliki gizi kurang. Berdasarkan hasil penelitian bivariat menyatakan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dengan produktivitas kerja. Namun secara keseluruhan perawat di ruang rawat inap RSUD Cibinong memiliki gizi normal. 144

BAB VII PENUTUP