Pemanfaatan Minyak Goreng Jelantah Pada Pembuatan Sabun Cuci Piring Cair

(1)

PEMANFAATAN MINYAK GORENG JELANTAH

PADA PEMBUATAN SABUN

CUCI PIRING CAIR

TESIS

OLEH :

PRATIWI PUTRI LESTARI

087022006/ TK

 

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMANFAATAN MINYAK GORENG JELANTAH

PADA PEMBUATAN SABUN

CUCI PIRING CAIR

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Teknik

dalam Program Studi Teknik Kimia Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

OLEH :

PRATIWI PUTRI LESTARI

087022006/ TK

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 30 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Rumondang Bulan, MS

Anggota : 1. Dr. Zuhrina Masyithah, ST, M.Sc

2. Prof.Dr.Ir.Setiaty Pandia

3. Dr. Halimatuddahliana, ST. MSc


(5)

ABSTRAK

Minyak goreng merupakan salah satu bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, terutama di dalam rumah tangga. Bahaya konsumsi minyak goreng bekas menyebabkan berbagai penyakit maka dilakukan upaya untuk memanfaatkannya agar tidak terbuang dan mencemari lingkungan dengan mengolahnya kembali baik sebagai media penggorengan ataupun sebagai bahan baku pembuatan sabun cuci piring cair. Sampel yang digunakan adalah minyak goreng bekas menggoreng tahu dan tempe setelah pemakaian 1–4 kali penggorengan dari rumah tangga peneliti sendiri. Pemanfaatan minyak goreng bekas ini dilakukan dengan proses pemurnian yang terdiri dari tiga tahap yaitu proses penghilangan bumbu (despicing) kemudian minyak goreng bekas disaring, kemudian penetralisasian dengan mereaksikan minyak goreng hasil despicing dengan KOH 15% dan pemucatan dengan menggunakan karbon aktif 240 mesh sebanyak 7,5% dari berat minyak goreng bekas yang digunakan. Minyak goreng hasil pemurnian tersebut digunakan untuk pembuatan sabun cuci piring cair melalui proses penyabunan yang dilakukan dengan dua variabel yaitu konsentrasi KOH (%) : 10, 20, 30, 40, 50 dan temperatur proses (0 C) : 25, 35, 45, 55. Minyak goreng bekas dan minyak goreng hasil pemurnian dianalisa kadar asam lemak bebas (FFA), analisa bilangan iodin (IV), analisa warna dengan Lovibond Model E, dan analisa kadar air nya. Proses penyabunan dilakukan dengan metode OACS Cd 3b-76-200, Bahan yang digunakan adalah minyak goreng hasil pemurnian, KOH (%) : 10, 20,30, 40, 50, parfum non alkohol aroma apel sebanyak 1 ml, pewarna makanan apple green extra nomor 2093 (kadar warna 14%) sebanyak 1 ml, pewarna alami (pandan, sirih, kunyit) sebanyak 10 ml. Dari hasil penelitian, diperoleh hasil optimum pada minyak goreng bekas pemakaian 1 kali dengan menggunakan karbon aktif 240 mesh sebanyak 7,5%. Untuk analisa minyak goreng hasil pemurnian diperoleh kadar FFA = 0,27 %, IV = 46,47 meq, warna terdiri dari 3 pengamatan yaitu kuning = 39; merah = 4,3; biru = 0, kadar air = 0,35, telah memenuhi SNI 3741-1995 (standar mutu minyak goreng) yaitu untuk kadar FFA = max 0,3%, IV = 45-51 meq, kadar air = 0,3%. Analisa bilangan penyabunan dengan menggunakan KOH 30% dan temperatur operasi 45 – 550 C diperoleh bilangan peyabunan yang sesuai dengan syarat mutu sabun cuci piring cair SNI 06-3532-1994 yaitu bilangan penyabunan = 196–206.

Kata Kunci : Minyak goreng bekas, pemurnian, penghilangan bumbu, netralisasi, pemucatan, penyabunan, sabun cuci piring.


(6)

ABSTRACT

Cooking oil is one of the basic commodities, is highly needed by the Indonesian people, especially by housewives. Consuming reused cooking oil can cause serious diseases; therefore, there is an effort to use the reused cooking oil effectively in order that it does not soil the environment by reprocessing it as natural cooking oil or as materials from which liquid soap is made. The sample of the research was the reused cooking oil for frying tofu and tempe (soybean cake) after it had been reused one to four times in the researcher’s own house. This reused cooking oil was used by purifying process which consisted of three steps: despicing process, filtering process, and neutralizing process in which the despiced reused cooking oil was reacted with 15% KOH and bleached by using 240 mesh active carbon, 7,5% of the weight of the reused cooking oil. The purified-reused cooking oil was used to make liquid soap through saponification with two variables: KOH (%): 10, 20, 30, 40, 50 and the processing temperature (0C): 25, 35, 45, 55. The reused and the purified cooking oil’s free fatty acid (FFA), iodine value (IV), color, and water content were analyzed with Lovibond Mode E.The saponifying process was done by using OACS Cd 3b-76-200. The materials used were the purified cooking oil, KOH (%): 10, 20, 30, 40, 50, one of ml non-alcohol parfumenwith apple fragrance, one ml food dye with apple green extra number 2093 (14% color content), and 10 ml natural dyes (pandanus, betel vine,

and saffron).

The result of the research showed that the optimum result was obtained from one time use of the reused cooking oil by using 7,5% of 240 mesh active carbon. The analysis of the purified cooking oil showed that FFA content = 0,27%, IV = 46,47 meq; its color is comprised of yellow = 39, red = 4,3, and blue = 0, and its water = 0,35; all of them had fulfilled SNI 3741-1995 (the quality standard of cooking oil), i.e., FFA content = max 0,3%, IV = 45 – 51 meq, and water content = 0,3%. The saponifying value was analyzed by using 30% KOH and the operating temperature was 45 – 550C so that the saponifying value was relevant to the qua;ity standard of the liquid soap of SNI 06-3532-1994, i.e., the saponifying value = 196 – 206.

Keywords: Reused Cooking Oil, Purifying, Despicing, Neutralizing, Bleaching, Saponifying, Liquid Soap

Keywords : used frying oil, refining, removal of spices, neutralization, bleaching, saponification, soap for dishes.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur hanya berhak disampaikan kepada-Nya, karena hakikatnya segala kenikmatan dan pemberian hanya dari Allah SWT. Teriring pula ucapan Alhamdulillahi robbil’alamin atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Tulisan ini berjudul Pemanfaatan Minyak Goreng Jelantah Pada Pembuatan Sabun Cuci Piring Cair”.Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan perkuliahan di tingkat pascasarjana dan untuk memperoleh gelas Magister Teknik di Universitas Sumatera Utara. Tesis ini disusun setelah melalui tahapan penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Kimia, FMIPA USU, Laboratorium YP. Shafiyyatul Amaliyyah, dan PT.Agro Jaya Perdana. Untuk itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan fasilitas yang telah diterima. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Ibu Dr. Rumondang Bulan MS selaku pembimbing dan Ibu Dr.Zuhrina Masyithah,ST.MSc selaku Co-Pembimbing atas bantuan, bimbingan, curahan ilmu, asih dan asuh yang telah diberikan selama penyususnan tesis dan sepanjang penyelesaian perdidikan kesarjanaan ini. Pada kesempatan ini, disampaikan pula ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K) selaku rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Pendidikan Program Magister.


(8)

2. Prof.Dr.Ir.Bustami Syam, MSME selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi Mahasiswa Magister Teknik Kimia pada Sekolah Pascasarjana.

3. Prof.Dr.Ir.Setiaty Pandia, selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara.

4. Dr.Halimatuddahliana,ST,Msc Selaku Sekretaris Program Studi Magister Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara

5. Kedua Orangtua, Drs Yusnan Nasution dan Yulinar Harahap S.Pd, serta kakak (Indah), adik – adik (Dona dan Anggi) dan seluruh keluarga untuk dukungan moril dan doa yang begitu tulus.

6. Staf pengajar Magister Teknik Kimia dan MIPA Kimia, Universitas Sumatera Utara.

7. Rekan – rekan mahasiswa seluruh stambuk program magister teknik kimia, serta semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan baik tenaga, pikiran dan waktu, sehingga penulis dapat dengan baik menyelesaikan tesis. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, Penulis menyadari bahwa penulisan naskah tesis ini masih jau dari kesempurnaan, untuk itu saran yang korektif sangat Penulis harapkan dari semua pihak untuk perbaikan pada masa yang akan datang. Amin ya robbal alamin.

Medan, Agustus 2010

Penulis

Pratiwi Putri Lestari


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Binjai, Sumatera Utara, 29 Januari 1986. Penulis adalah anak ke-dua dari 4 bersaudara dari pasangan H.Drs.Yusnan Nasution dan Yulinar Hrp S.Pd

Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SD Negeri 028288 Binjai dari tahun 1991-1997. Penulis melanjutkan Pendidikan SMP di SMP Negeri 6 Binjai dari tahun 1997- 2000, serta melanjutkan SMU di SMU Swasta Taman Siswa Binjai

dari tahun 2001-2003.

Pada tahun 2003, Penulis diterima menjadi mahasiswa Universitas Sumatera Utara, FMIPA Jurusan Kimia Analis, dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006, Penulis melanjutkan kuliah S1 Program Teknik Kimia Ekstensi di Universitas Sumatera Utara Medan dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008 Penulis memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan Pascasarjana di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara pada program Studi Magister Teknik Kimia.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat Penelitian... 4

1.5 Lingkup Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Lemak dan Minyak... 7

2.2 Kandungan Minyak Goreng ... 11

2.3 Jenis Bahan Pangan yang Digoreng ... 12

2.4 Bahaya Minyak Goreng Bekas... 13

2.5 Pemurnian Minyak Goreng Bekas ... 15

2.5.1 Penghilangan Bumbu (despicing) ... 16

2.5.2 Netralisasi ... 16

2.5.3 Pemucatan (Bleaching) ... 16

2.6 Karbon Aktif ... 17

2.7 Sabun Cair ... 19

2.8 Sabun Cuci Piring Cair Bertindak Membersihkan ... 21

2.9 Bahan Pewarna ... 22


(11)

2.10.2 Penentuan Uji Banyak Busa ... 23

2.10.3 Penentuan Uji Daya Cuci... 23

2.10.4 Penentuan Uji Kualitas Sabun Cuci Piring Cair Dengan Penambahan Pewarna Alami (Pandan, Sirih, Kunyit)... 23

2.11 Penentuan Sifat Minyak dan Lemak ... 24

2.11.1 Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas... 24

vi 2.11.2 Penentuan Iodine Value (IV) ... 24

2.11.3 Penentuan Warna (colour) ... 24

2.11.4 Penentuan Kadar Air... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 26

3.1 Lokasi Penelitian... 26

3.2 Bahan dan Peralatan... 26

3.2.1 Pemurnian Minyak Goreng Bekas ... 26

3.2.2 Analisa Minyak Goreng Hasil Pemurnian ... 26

3.2.3 Pembuatan Sabun Cuci Piring Cair... 27

3.2.4 Analisa Sabun Cuci Piring Cair ... 27

3.2.5 Peralatan... 28

3.2.6 Rancangan Percobaan Berdasarkan Variabel Bebas... 29

3.3 Prosedur Penelitian ... 29

3.3.1 Pemurnian Minyak Goreng Bekas ... 29

3.3.1.1 Proses Penghilangan Bumbu (despicing) Minyak Goreng Bekas...29

3.3.1.2 Proses Netralisasi... 29

3.3.1.3 Proses Pemucatan (Bleaching)... 30

3.3.2 Analisa Minyak Goreng Hasil Pemurnian ... 30

3.3.3 Proses Pembuatan Sabun Cuci Piring Cair Proses Penyabunan ... 31

3.3.4 Proses Uji Sabun Cuci Piring Cair... 31

3.4 Bagan Alir Penelitian... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Analisa Kadar Asam Lemak Bebas (FFA) ... 37

4.2 Analisa Bilangan Iodin (IV)... 40

4.3 Analisa Warna (colour)... 43

4.4 Analisa Kadar Air (%) ... 47

4.5 Analisa Bilangan Penyabunan ... 49

4.6 Analisa Banyak Busa ... 50

4.7 Uji Daya Cuci ... 52

4.8 Uji Kualitas Warna Sabun Cuci Piring Cair Dengan Penambahan Pewarna Alami (Pandan, Sirih, Kunyit)... 54


(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 57 5.1 Kesimpulan ... 57 5.2 Saran ... 57 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Jenis Asam Lemak Berdasarkan Kejenuhannya... 8

Tabel 2.2 Standar Mutu Minyak Goreng ... 12

Tabel 2.3 Komposisi Tahu dan Tempe ... 12

Tabel 2.4 Syarat Mutu Sabun Cuci Piring Cair ... 22

Tabel 3.1 Perlakuan Variabel Bebas Sabun Cuci Piring Cair... 32

Tabel 4.1 Hasil Daya Tahan Pewarna Alami Dalam Sabun Cuci Piring Cair... 55


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Reaksi Saponifikasi ... 22 Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pemurnian Minyak Goreng Bekas ... 32 Gambar 3.2 Diagram Alir Analisa Minyak Goreng Hasil Pemurnian ... 33 Gambar 3.3. Diagram Alir Pembuatan Sabun Cuci Piring Cair

(Penyabunan) ... 34 Gambar 3.4 Diagram Alir Uji Sabun Cuci Piring Cair ... 35 Gambar 3.5 Diagram Alir Uji Daya Tahan Zat Warna Alami ... 36 Gambar 4.1 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap

Asam Lemak Bebas ... 37 Gambar 4.2 Senyawa Hasil Degradasi : Keton, Aldehid, polimer... 39 Gambar 4.3 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap

Bilangan Iodin ... 41 Gambar 4.4 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap

Kadar Warna Kuning Pada Minyak... 43 Gambar 4.5 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap

Kadar Warna Merah Pada Minyak ... 44 Gambar 4.6 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap

Kadar Warna Biru Pada Minyak... 45 Gambar 4.7 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap

Kadar Air Pada Minyak ... 47 Gambar 4.8 Kurva Hubungan Suhu PerlakuanTerhadap


(15)

Angka Penyabunan Pada n Kali Penggorengan... 49

Gambar 4.9 Kurva Hubungan Temperatur Proses Terhadap Kadar Busa

(KOH 30%) ... 51


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman LAMPIRAN A...xiii

PROSEDUR PEMBUATAN LARUTAN

LAMPIRAN B...xiv DATA HASIL ANALISA

LAMPIRAN C...xv ANALISA KOMPOSISI MINYAK GORENG CURAH MENGGUNAKAN ALAT KROMATOGRAFI GAS


(17)

ABSTRAK

Minyak goreng merupakan salah satu bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, terutama di dalam rumah tangga. Bahaya konsumsi minyak goreng bekas menyebabkan berbagai penyakit maka dilakukan upaya untuk memanfaatkannya agar tidak terbuang dan mencemari lingkungan dengan mengolahnya kembali baik sebagai media penggorengan ataupun sebagai bahan baku pembuatan sabun cuci piring cair. Sampel yang digunakan adalah minyak goreng bekas menggoreng tahu dan tempe setelah pemakaian 1–4 kali penggorengan dari rumah tangga peneliti sendiri. Pemanfaatan minyak goreng bekas ini dilakukan dengan proses pemurnian yang terdiri dari tiga tahap yaitu proses penghilangan bumbu (despicing) kemudian minyak goreng bekas disaring, kemudian penetralisasian dengan mereaksikan minyak goreng hasil despicing dengan KOH 15% dan pemucatan dengan menggunakan karbon aktif 240 mesh sebanyak 7,5% dari berat minyak goreng bekas yang digunakan. Minyak goreng hasil pemurnian tersebut digunakan untuk pembuatan sabun cuci piring cair melalui proses penyabunan yang dilakukan dengan dua variabel yaitu konsentrasi KOH (%) : 10, 20, 30, 40, 50 dan temperatur proses (0 C) : 25, 35, 45, 55. Minyak goreng bekas dan minyak goreng hasil pemurnian dianalisa kadar asam lemak bebas (FFA), analisa bilangan iodin (IV), analisa warna dengan Lovibond Model E, dan analisa kadar air nya. Proses penyabunan dilakukan dengan metode OACS Cd 3b-76-200, Bahan yang digunakan adalah minyak goreng hasil pemurnian, KOH (%) : 10, 20,30, 40, 50, parfum non alkohol aroma apel sebanyak 1 ml, pewarna makanan apple green extra nomor 2093 (kadar warna 14%) sebanyak 1 ml, pewarna alami (pandan, sirih, kunyit) sebanyak 10 ml. Dari hasil penelitian, diperoleh hasil optimum pada minyak goreng bekas pemakaian 1 kali dengan menggunakan karbon aktif 240 mesh sebanyak 7,5%. Untuk analisa minyak goreng hasil pemurnian diperoleh kadar FFA = 0,27 %, IV = 46,47 meq, warna terdiri dari 3 pengamatan yaitu kuning = 39; merah = 4,3; biru = 0, kadar air = 0,35, telah memenuhi SNI 3741-1995 (standar mutu minyak goreng) yaitu untuk kadar FFA = max 0,3%, IV = 45-51 meq, kadar air = 0,3%. Analisa bilangan penyabunan dengan menggunakan KOH 30% dan temperatur operasi 45 – 550 C diperoleh bilangan peyabunan yang sesuai dengan syarat mutu sabun cuci piring cair SNI 06-3532-1994 yaitu bilangan penyabunan = 196–206.

Kata Kunci : Minyak goreng bekas, pemurnian, penghilangan bumbu, netralisasi, pemucatan, penyabunan, sabun cuci piring.


(18)

ABSTRACT

Cooking oil is one of the basic commodities, is highly needed by the Indonesian people, especially by housewives. Consuming reused cooking oil can cause serious diseases; therefore, there is an effort to use the reused cooking oil effectively in order that it does not soil the environment by reprocessing it as natural cooking oil or as materials from which liquid soap is made. The sample of the research was the reused cooking oil for frying tofu and tempe (soybean cake) after it had been reused one to four times in the researcher’s own house. This reused cooking oil was used by purifying process which consisted of three steps: despicing process, filtering process, and neutralizing process in which the despiced reused cooking oil was reacted with 15% KOH and bleached by using 240 mesh active carbon, 7,5% of the weight of the reused cooking oil. The purified-reused cooking oil was used to make liquid soap through saponification with two variables: KOH (%): 10, 20, 30, 40, 50 and the processing temperature (0C): 25, 35, 45, 55. The reused and the purified cooking oil’s free fatty acid (FFA), iodine value (IV), color, and water content were analyzed with Lovibond Mode E.The saponifying process was done by using OACS Cd 3b-76-200. The materials used were the purified cooking oil, KOH (%): 10, 20, 30, 40, 50, one of ml non-alcohol parfumenwith apple fragrance, one ml food dye with apple green extra number 2093 (14% color content), and 10 ml natural dyes (pandanus, betel vine,

and saffron).

The result of the research showed that the optimum result was obtained from one time use of the reused cooking oil by using 7,5% of 240 mesh active carbon. The analysis of the purified cooking oil showed that FFA content = 0,27%, IV = 46,47 meq; its color is comprised of yellow = 39, red = 4,3, and blue = 0, and its water = 0,35; all of them had fulfilled SNI 3741-1995 (the quality standard of cooking oil), i.e., FFA content = max 0,3%, IV = 45 – 51 meq, and water content = 0,3%. The saponifying value was analyzed by using 30% KOH and the operating temperature was 45 – 550C so that the saponifying value was relevant to the qua;ity standard of the liquid soap of SNI 06-3532-1994, i.e., the saponifying value = 196 – 206.

Keywords: Reused Cooking Oil, Purifying, Despicing, Neutralizing, Bleaching, Saponifying, Liquid Soap

Keywords : used frying oil, refining, removal of spices, neutralization, bleaching, saponification, soap for dishes.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat ialah minyak goreng. Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan, berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung dan kedelai (Ketaren, 1986).

Minyak goreng dapat digunakan hingga 3 - 4 kali penggorengan. Jika digunakan berulang kali, minyak akan berubah warna. Zat warna dalam minyak terdiri dari dua golongan, yaitu zat warna alamiah dan warna dari hasil degradasi zat warna alamiah. Zat warna tersebut terdiri dari α dan βkarotein, xanthofil, klorofil dan anthosyanin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan dan kemerah – merahan (Djatmiko dan Widjaja, 1973, Ketaren, 1986).

Minyak yang baik adalah minyak yang mengandung asam lemak tak jenuh yang lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam lemak jenuhnya. Setelah penggorengan berkali-kali, asam lemak yang terkandung dalam minyak akan semakin jenuh. Dengan demikian minyak tersebut dapat dikatakan telah rusak atau dapat disebut minyak jelantah. Suhu yang semakin tinggi dan pemanasan yang semakin


(20)

lama akan meningkatkan kadar asam lemak jenuh dalam minyak. Minyak nabati lama lama akan meningkatkan kadar asam lemak jenuh dalam minyak. Minyak nabati dengan kadar asam lemak jenuh yang tinggi akan mengakibatkan makanan yang digoreng menjadi menjadi berbahaya bagi kesehatan, seperti deposit lemak yang tidak normal, kanker, kontrol tidak sempurna pada pusat syaraf (Djatmiko dan Widjaja, 1973, Ketaren, 1986).

Pertumbuhan jumlah penduduk, serta perkembangan industri, restoran, dan usaha fastfood akan menyebabkan dihasilkannya minyak goreng bekas dalam jumlah yang cukup banyak. Minyak goreng bekas ini apabila dikonsumsi dapat menimbulkan penyakit yang membuat tubuh kita kurang sehat dan stamina menurun. Namun apabila minyak goreng bekas tersebut dibuang sangatlah tidak efisien dan mencemari lingkungan. Karena itu minyak goreng bekas dapat dimanfaatkan kembali, salah satunya menjadi produk berbasis minyak seperti sabun cair.

Sabun merupakan senyawa natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani bebentuk padat, lunak atau cair, dan berbusa. Sabun dihasilkan oleh proses saponifikasi, yaitu hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam kondisi basa. Pembuat kondisi basa yang biasa digunakan adalah Natrium Hidroksida (NaOH) dan Kalium Hidroksida (KOH). Jika basa yang digunakan adalah NaOH, maka produk reaksi berupa sabun keras (padat), sedangkan basa yang digunakan berupa KOH maka produk reaksi berupa sabun cair (Ketaren,1986).


(21)

Garam dari alkali asam lemak merupakan sabun dari reaksi saponifikasi dengan cara memanaskan lemak dan Kalium Hidroksida (KOH) sampai terhidrolisis sempurna. Pada penelitian terdahulu, Nur Asyiah (2009), telah berhasil membuat sabun Natrium Hidroksida dengan konsentrasi NaOH 40% dan temperatur proses penyabunan 450 C dari minyak goreng bekas. Untuk proses pemurnian minyak

goreng bekas, dilakukan proses netralisasi dengan menambahkan NaOH 15% dan proses bleaching dengan menggunakan arang aktif buatan sendiri dari arang tempurung kelapa sebanyak 7,5% dari berat minyak goreng yang digunakan. Nur Asyiah menemukan bahwa konsentrasi NaOH dan temperatur proses pembuatan sabun mandi mempunyai pengaruh yang penting terhadap kualitas sabun yang dihasilkan, yaitu bila konsentrasi NaOH yang digunakan > 40% maka sabun yang dihasilkan adalah sabun keras yang dapat menimbulkan iritasi pada kulit. Sedangkan bila konsentrasi NaOH yang digunakan < 40% maka sabun yang dihasilkan adalah sabun yang sulit berbusa dan sukar membentuk sabun padat.

Pada penelitian ini dilakukan proses yang sama pada penelitian terdahulu (Nur Asyiah, 2009). Sampel minyak yang digunakan berupa minyak goreng bekas (menggoreng tahu, tempe) setelah pemakaian 1 – 4 kali penggorengan. Peneliti mencoba untuk mengamati pengaruh minyak jelantah pada beberapa kali pemakaian (1 – 4x) terhadap asam lemak bebas, bilangan iodin dan warna. Serta menganalisa kualitas sabun yang dihasilkan dengan penambahan pewarna alami yaitu pandan, sirih, dan kunyit terhadap sabun cuci piring cair. Sehingga menghasilkan sabun cuci


(22)

piring cair dengan karakterisasi yang sesuai syarat mutu sabun cuci piring cair SNI 06-3532-1994.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh minyak jelantah 1- 4x pemakaian tehadap asam lemak bebas, bilangan iodin, kadar air, dan warna pada pembuatan sabun cuci piring cair. Bagaimana warna sabun cuci piring cair yang dihasilkan dengan penambahan pewarna alami yaitu pandan, sirih, dan kunyit.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

a. Untuk membuat sabun cuci piring cair.

b. Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas, bilangan iodin, kadar air, dan warna dari minyak jelantah pemakaian 1- 4 kali dalam proses pemurnian.

c. Untuk mengetahui kondisi proses penyabunan yang paling baik.

d. Untuk membandingkan daya tahan sabun cuci piring air dengan penambahan pewarna alami yaitu pandan, sirih, dan kunyit.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:

a. Sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi limbah rumah tangga, berupa minyak goreng bekas menggoreng tahu dan tempe, yang dapat digunakan


(23)

sebagai bahan baku pembuatan sabun cuci piring cair.

b. Sebagai informasi bahwa sabun cuci piring cair dapat dibuat pada percobaan ini dari minyak goreng bekas setelah melalui proses pemurnian yang sesuai dengan syarat mutu sabun cuci SNI 06-3532-1994.

1.5 Lingkup Penelitian

Penelitian pemanfaatan minyak goreng bekas menjadi sabun cuci piring cair ini dilakukan di laboratorium Kimia FMIPA USU, YP Shafiyyatul Amaliyyah, dan PT. Agro Jaya Perdana. Bahan – bahan yang digunakan untuk pembuatan sabun cuci piring cair yaitu minyak goreng bekas (menggoreng tahu dan tempe).

Bahan untuk pemurnian minyak goreng bekas berupa KOH 15%, karbon aktif dengan ukuran 240 mesh sebanyak 7,5 % dari berat minyak goreng bekas yang digunakan (Nur Aisyah, 2009). Bahan untuk pembuatan sabun cuci piring cair berupa minyak hasil pemurnian, aquades, parfum non alkohol sebanyak 1 ml, pewarna buatan apple green extra no.2093 sebanyak 1 ml, dan pewarna alami (pandan, sirih, kunyit) sebanyak 10 ml.

- Variable tetap

Pemurnian minyak goreng dilakukan menggunakan variabel tetap : karbon aktif ukuran : 240 mesh sebanyak 7,5 % dari berat minyak goreng bekas yang digunakan (Nur Asyiah, 2009).

- Variabel berubah

Variabel berubah dalam penelitian ini adalah: a. Minyak goreng : 1, 2, 3, 4 x pemakaian


(24)

b. Konsentrasi KOH (%b/v) : 10, 20, 30, 40, 50 c. Temperatur proses penyabunan (0 C) : 25, 35, 45, 55

d. Pewarna alami : pandan, sirih, dan kunyit

- Parameter

Parameter analisa minyak sebelum maupun sesudah hasil pemurnian dan analisa sabun cuci piring cair sebagai berkut:

1. Analisa minyak sebelum dan sesudah hasil pemurnian a. Kadar asam lemak bebas

b. Bilangan Iodin

c. Warna

d. Air

2. Analisa uji sabun cuci piring cair (SNI 06 – 2048 – 1990)

a. Uji bilangan penyabunan

b. Uji banyak busa

c. Uji daya cuci

d. Uji kualitas warna sabun cuci piring cair dengan penambahan


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak dapat dimakan dan dihasilkan oleh alam, yang dapat bersumber dari bahan nabati atau hewan. Lemak dan minyak adalah trigliserida, atau triasilgliserol, kedua istilah ini berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak dan minyak, pada temperatur kamar lemak berbentuk padat dan minyak bersifat cair. Sebahagian besar gliserida pada hewan adalah berupa lemak, sedangkan gliserida dalam tumbuhan cenderung berupa minyak, karena itu biasanya terdengar ungkapan lemak hewani dan minyak nabati. Asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisis suatu lemak dan minyak, yang disebut asam lemak mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang (Fessenden dan Fessenden, 1994). Menurut Ketaren (1986), lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan lipid yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut di dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non polar misalnya kloroform (CHCl3), benzene dan hidrokarbon lainnya, lemak dan minyak dapat larut

dalam pelarut yang disebutkan di atas karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut tersebut.

Berdasarkan ikatan kimianya, lemak dalam minyak goreng dibagi dua lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembagian jenuh dan tidak jenuh ini punya arti penting karena berpengaruh terhadap efek peningkatan kolesterol darah (Djatmiko, 1973, Luciana dkk, 2005).


(26)

Lemak dan minyak dapat dibedakan berdasaran kejenuhannya seperti pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Asam lemak berdasarkan kejenuhannya.

Jenis Asam Rumus Molekul Sumber (Asal)

Asam Lemak Jenuh

Asam Butirat CH3(CH2)2COOH Lemak susu sapi

Asam Palmitat CH3(CH2)14COOH Lemak hewani

dan nabati

Asam Stearat CH3(CH2)16COOH Lemak hewani

dan nabati Asam lemak tidak Jenuh

Asam Palmitoleat CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7COOH Minyak kacang

dan jagung Asam oleat CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH Lemak hewani

dan nabati

Asam Linoleat CH3(CH3)4CH=CHCH2CH=CH Minyak biji kapas

(CH2)7COOH 

Asam Linolenat CH3CH2CH=CHCH2CH=CH Minyak Perilla CH2= CH(CH2)7CO2H

Sumber: Ketaren,1986.

Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai karbonnya, mempunyai rantai zig zag yang dapat cocok satu sama lain sehingga gaya tarik vanderwaals tinggi dan biasanya berwujud padat. Sedangkan asam lemak tidak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung satu ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya. Asam lemak dengan lebih dari satu ikatan atau dua tidak lazim, terutama terdapat pada minyak nabati, minyak ini disebut poliunsaturate (trigliserida tidak jenuh ganda) cenderung berbentuk minyak


(27)

(Djatmiko, 1973, Fessenden dan Fessenden, 1994).

Minyak goreng mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak jenuh yang ada pada minyak goreng umumnya terdiri dari asam miristat, asam palmitat, asam laurat, dan asam kaprat. Asam lemak tidak jenuh dalam minyak goreng mengandung asam oleat dan asam linoleat (Soedarmo, 1985 dan Simson,

2007).

Lemak tidak jenuh banyak dijumpai didalam minyak goreng yang berasal dari biji zaitun, kacang, jagung, wijen, bunga matahari dan kedelai. Adapun minyak sawit yang merupakan bahan dasar utama minyak goreng yang saat ini banyak beredar mengandung lemak tidak jenuh hampir sama dengan kandungan lemak jenuhnya, dengan kata lain bukan termasuk minyak goreng tak sehat seperti yang diyakini

sebagian orang (Soedarmo, 1985).

Sayangnya, manfaat lemak tidak jenuh sebagai penurun kolesterol akan berkurang meskipun tidak seluruhnya jika digunakan untuk menggoreng (suhu pada saat menggoreng umumnya sekitar 1800 C). Ini terjadi karena panas pada proses

penggorengan dapat merusak strukur kimia ikatan tak jenuhnya.

Menurut Luciana (2005), minyak goreng agar tidak kehilangan manfaatnya sebagai penurun kolesterol dapat digunakan sebagai salad dressing. Karena tidak melibatkan proses pemanansan tinggi, maka manfaatnya sebagai penurunan kolesterol tidak hilang. Contoh penggunaan lain suhunya relative tidak setinggi


(28)

Lemak dan minyak merupakan senyawa organik yang penting bagi kehidupan makhluk hidup. Adapun fungsi lemak dan minyak ini antara lain:

a. Memberikan rasa gurih dan aroma yang spesifik (bau yang khas).

b. Sumber energi yang efektif dibandingkan dengan protein dan karbohidrat karena lemak dan minyak jika dioksidasi secara sempurna akan menghasilkan 9 kalori / liter lemak atau minyak. Sedangkan protein dan karbohidrat hanya menghasilkan 4 kalori tiap 1 gram protein dan karbohidrat.

c. Karena titik didih minyak yang tinggi, maka minyak biasanya digunakan untuk menggoreng makanan dimana bahan yang digoreng akan kehilangan sebagian besar air yang dikandungnya atau menjadi kering.

d. Memberikan konsistensi empuk, halus dan berlapis dalam pembuatan roti. e. Memberikan tekstur yang lembut dan lunak dalam pembuatan es krim. f. Minyak nabati adalah bahan utama pembuatan margarin.

g. Lemak hewani adalah bahan utama pembuatan susu dan mentega. h. Mencegah timbulnya penyumbatan pembuluh darah.

(Ketaren, 1986 dan Winarno, 1988).

Lemak dan minyak yang umum digunakan dalam pembuatan sabun adalah trigliserida dengan tiga buah asam lemak yang tidak beraturan diesterifikasi dengan gliserol. Asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linoleat terdapat dalam minyak goreng merupakan trigliserida yang dapat digunakan sebagai bahan baku alternatif pembuatan sabun cuci piring cair menggantikan asam lemak


(29)

bebas jenuh yang merupakan produk samping proses pengolahan minyak goreng (Djatmiko, 1973 dan Ketaren, 1986).

Masing – masing lemak mengandung sejumlah molekul asam lemak dengan rantai karbon panjang antara C12 (asam laurat) hingga C18 (asam Stearat) yang

mengandung lemak jenuh dan begitu juga dengan lemak tak jenuh. Campuran trigliserida diolah menjadi sabun melalui proses saponifikasi dengan larutan kalium hidroksida membebaskan gliserol (Ketaren, 1986).

2.2 Kandungan Minyak Goreng

Kandungan minyak goreng dibalik warnanya yang bening kekuningan, minyak goreng merupakan campuran dari berbagai senyawa. Komposisi terbanyak dari minyak goreng yang mencapai hampir 100% adalah lemak (Luciana, 2005).

Sebagian besar lemak dalam makanan (termasuk minyak goreng) berbentuk trigliserida. Jika terurai, trigliserida akan berubah menjadi satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak bebas. Semakin banyak trigliserida yang terurai semakin banyak asam lemak bebas yang dihasilkan (Morton dan Varela, 1988), pada proses oksidasi lebih lanjut, asam lemak bebas ini akan menyebabkan lemak atau minyak menjadi bau tengik (Ketaren,1986). Biasanya untuk menghilangkan atau memperlambat oksidasi yang menyababkan bau tengik ini, minyak goreng ditambah dengan vitamin A, C, D atau E (Luciana, 2005). Standar mutu minyak goreng dapat dilihat di Tabel 2.2.


(30)

Tabel 2.2 Standar Mutu Minyak Goreng

Disamping lemak, minyak goreng juga mengandung senyawa – senyawa

No Kriteria Uji Persyaratan

1. Bau Normal

2. Rasa Normal

3. Warna Muda Jernih

4. Cita Rasa Hambar

5. Kadar Air max 0,3% 6. Asam Lemak Bebas max 0,3%

7. Titik Asap max 2000

8. Bilangan Iodin 45 – 51 (sumber : SNI 3741 – 1995 Standar Mutu Minyak Goreng)

2.3 Jenis Bahan Pangan yang Digroreng

Tahu dan tempe adalah makanan sehari – hari di Indonesia baik sebagai lauk pauk ataupun sebagai makanan sembilan. Tahu dan tempe adalah makanan yang bergizi, berprotein tinggi dan mudah dicerna dalam tubuh (Rona, 1992). Komposisi tahu dan tempe dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel. 2.3 Komposisi Tahu dan Tempe

No Komponen didalam 100 g tahu didalam 100 g tempe 1. Energi 72 kalori -

2. Air 84,9 % 64%

3. Protein 7,8% 18,3%

4. Lemak 2,3% 4,0%

5. Serat - -

6. Abu 0,7% -

7. Vitamin 0,1% 50%

8. Karbohidrat - 12,7% (Sumber : Depkes, 1994)

Jika bahan yang digoreng berupa tahu dan tempe maka kulit bagian luar akan mengkerut. Kulit atau kerak tersebut dihasilkan akibat proses dehidrasi bagian


(31)

13

luar bahan pangan pada waktu menggoreng. Pembentukannya terjadi akibat panas dari lemak sehingga merupakan air yang terdapat pada bagian luar bahan. Pada kadar air 35 atau kurang akan terbentuk kerak dan bahan pangan akan menjadi masak (Ketaren, 1986).

2.4 Bahaya Minyak Goreng Bekas

Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi 1700 – 1800 C dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan

terjadinya proses oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi yang menghasilkan senyawa – senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid dan polimer yang merugikan kesehatan manusia. Proses – proses tersebut menyebabkan minyak mengalami kerusakan. Kerusakan utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), bilangan iodin (IV), timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa, hanya kotoran dari bumbu yang digunakan dan bahan yang digoreng (Ketaren, 1986).

Penggunaan minyak berkali – kali dengan suhu penggorengan yang cukup tinggi akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavour yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama penggorengan akan menurunkan nilai gizi dan mutu bahan yang digoreng. Namun jika minyak goreng bekas tersebut dibuang selain tidak ekonomis juga akan mencemari lingkungan (Ketaren, 1986 dan Susinggih, dkk, 2005).


(32)

14

Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aldehida, keton, hidrokarbon, alkohol, lakton serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir. Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena reaksi polimerisasi, adisi dari asam lemak tidak jenuh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya bahan menyerupai gum (gelembung) yang mengendap di dasar tempat penggoregan (Ketaren, 1986).

Selama penggorengan sebagian minyak akan teradsorbsi dan masuk ke bagian luar bahan yang digoreng dan mengisi ruangan kosong yang semula diisi oleh air. Hasil penggorengan biasanya mengandung 5% - 40% minyak. Konsumsi minyak yang rusak dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti pengendapan lemak dalam pembuluh darah (Artherosclerosis)dan penurunan nilai cerna lemak (Luciana, 2005 dan Nur, 2008).

Berdasarkan penelitian sebelumnya disebutkan kemungkinan adanya senyawa carcinogenic dalam minyak yang dipanaskan, dibuktikan dari bahan pangan berlemak teroksidasi yang dapat mengakibatkan pertumbuhan kanker hati. Selan itu selama penggorengan juga akan terbentuk senyawa Acrolein yang bersifat racun dan menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan (Luciana, 2005 dan Ratu, 2008).


(33)

15

mempunyai tekstur dan penampakan yang kurang menarik serta cita rasa dan bau yang kurang enak (Ketaren, 1986 dan Ratu, 2008).

Sehubungan dengan banyaknya minyak goreng bekas dari sisa industri maupun rumah tangga dalam jumlah tinggi dan menyadari adanya bahaya konsumsi minyak goreng bekas, maka perlu dilakukan upaya –upaya untuk memanfaatkan minyak goreng bekas tersebut agar tidak terbuang dan mencemari lingkungan. Pemanfaatan minyak goreng bekas ini dapat dilakukan pemurnian agar dapat digunakan kembali sebagai media penggorengan atau digunakan sebagai bahan baku produk berbasis minyak seperti sabun (Susinggih dkk, 2005).

2.5 Pemurnian Minyak Goreng Bekas

Pemurnian merupakan tahap pertama dari proses pemanfaatan minyak goreng bekas, yang hasilnya dapat digunakan sebagai minyak goreng kembali atau sebagai bahan baku produk untuk pembuatan sabun cuci piring cair. Tujuan utama pemurnian minyak goreng ini adalah menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak, warna yang kurang menarik dan memperpanjang daya simpan sebelum digunakan kembali (Susinggih dkk, 2005).

Pemurnian minyak goreng ini meliputi 3 tahap proses yaitu: 1. Penghilangan bumbu (despicing)

2. Netralisasi


(34)

16

2.5.1 Penghilangan bumbu (despicing)

Penghilangan bumbu (despicing) merupakan proses pengendapan dan pemisahan pemisahan kotoran akibat bumbu dan kotoran dari bahan pangan yang bertujuan menghilangkan patikel halus tersuspensi atau berbentuk koloid seperti protein, karbohidrat, garam, gula, dan bumbu rempah – rempah yang digunakan untuk menggoreng bahan pangan. Alat yang digunakan untuk proses penghilangan bumbu (despicing) pada percobaan ini adalah kertas saring.

2.5.2 Netralisasi

Netralisasi merupakan proses untuk menurunkan nilai asam lemak bebas (FFA) dari minyak goreng bekas dengan mereaksikan asam lemak bebas (FFA) tersebut dengan larutan basa. Sabun yang terbentuk pada awal proses netralisasi tidak dapat larut dalam minyak dan dapat dipisahkan dengan cara sentrifugasi. Selain itu proses netralisasi juga untuk menghilangkan bahan penyebab warna gelap, sehingga minyak menjadi lebih jernih. Bahan yang digunakan untuk proses penetralisasian pada percobaan ini adalah Kalium Hidroksida (KOH).

2.5.3 Pemucatan (Bleaching)

Pemucatan (Bleaching) adalah usaha untuk menghilangkan zat warna alami dan zat warna lain yang merupakan degradasi zat alamiah, pengaruh logam dan warna akibat oksidasi (Ketaren, 1986 dan Susinggih dkk, 2005). Pada percobaan ini karbon aktif yang digunakan berukuran 240 mesh 7,5% dari berat minyak goreng bekas yang digunakan.


(35)

17

2.6 Karbon Aktif

Karbon aktif adalah suatu bahan padat berpori yang merupakan hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon merupakan suatu bentuk arang yang telah melalui aktivasi dengan menggunakan gas CO2, uap air atau bahan – bahan

kimia sehingga pori – porinya terbuka dan dengan demikian daya asorpsinya menjadi lebih tinggi terhadap zat warna dan bau. Sampai tahap tertentu beberapa jenis arang aktif dapat direaktivasi kembali, meskipun demikian tidak jarang yang disarankan untuk sekali pakai (Ketaren, 1986 dan Wahyu, 2008).

Adsorpsi merupakan suatu proses di mana suatu partikel terperangkap ke dalam stuktur suatu media seolah – olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut, proses ini dijumpai terutama dalam media karbon aktif (Ketaren, 1986). Tempurung kelapa adalah salah satu bahan karbon aktif yang kualitasnya cukup baik dijadikan karbon aktif.

Karbon aktif yang berasal dai serbuk gergaji dan lignite mempunyai struktur yang rapuh dan berbentuk bubuk. Sedangkan karbon aktif yang berbentuk granule, keras dan dipakai sebagai pengadsorpsi vapor biasanya berasal dari tempurung kelapa (Ketaren, 1986). Arang aktif yang merupakan adsorpsi suatu padatan berpori, yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing – masing berikatan secara kovalen. Dengan demikian, permukaan arang aktif bersifat non polar. Selain komposisi dan polaritas, strutur pori juga merupakan faktor yang penting berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori – pori arang aktif mengakibatkan luas permukaan semakin besar, dengan demikian kecepatan adsorpsi


(36)

18

bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorpsi, dapat digunakan arang aktif yang telah dihaluskan dan sifat arang aktif yang paling penting adalah daya serapnya (Ketaren, 1986 dan Mediawiki, 2001).

Karbon aktif mengandung 5% - 15% air, 2% - 3% abu dan sisanya terdiri dari karbon. Bahan baku karbon aktif dapat berasal dari bahan nabati atau turunannya dan bahan hewani. Diantaranya adalah tempurung kelapa, serbuk gergaji, ampas tebu dan bahan – bahan lain yang mengandung karbon.

Mutu karbon aktif yang dihasilkan dari tempurung kelapa adalah mempunyai daya serap tinggi, kerena arang ini berpori – pori dengan diameter yang kecil, sehingga mempunyai internal yang luas. Luas permukaan arang adalah 2 × 104 cm2 /

g, tetapi sesudah pengaktifan dengan bahan kimia mempunyai luas sebesar 5 × 106 sampai 1,5 × 107 cm2 / g (Hasanudin, 2008 dan Ketaren, 1986).

Menurut Susinggih, dkk (2005), Veronica & Yuliana (2008), bahwa adsorben atau bahan penyerap berupa karbon aktif yang digunakan dapat meningkatkan kembali mutu minyak goreng bekas, di mana karbon aktif akan bereaksi menyerap warna yang membuat minyak bekas menjadi keruh. Cara pelarutan yang terbaik adalah dengan menambahkan adsorben berupa karbon aktif sebanyak 10% dari bahan minyak goreng bekas yang digunakan. Adsorben dilarutkan dalam minyak selama 1 – 1,5 jam pada suhu 1500 C, kemudian minyak disaring.

Keuntungan penggunan karbon aktif sebagai bahan pemucat minyak goreng bekas karena lebih efektif untuk menyerap warna dibandingkan dengan adsorben lain


(37)

19

(bleaching earth, zeolit), sehingga arang aktif dapat digunakan dalam jumlah yang kecil (Ketaren, 1986 dan Tini, 1994).

2.7 Sabun Cair

Sabun adalah salah satu karbon yang sangat komersial baik dari sisi penggunaan dalam kehidupan sehari-hari maupun persaingan harga produk yang memberikan pengembangan yang cukup baik. Sabun merupakan surfaktan yang digunakan dengan air untuk mencuci dan membersihkan.

Sabun merupakan garam lokal alkali (biasanya garam Kalium) dari asam lemak, terutama mengandung garam C16 (asam palmitat) dan C18 (asam stearat)

namun juga dapat mengandung beberapa karboksilat dengan bobot atom lebih rendah (Fessenden, 1994 dan Ketaren, 1986).

Sabun dihasilkan dari proses saponifikasi, yaitu hirolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam KOH (minyak dipanaskan dengan KOH) sampai terhidrolisis sempurna. Asam lemak yang berikatan dengan Kalium ini dinamakan sabun. Hasil lain dari reaksi saponifikasi ialah gliserol, selain C12 dan C16, sabun juga

disusun oleh gugus asam karboksilat (Ketaren, 1986).

Sifat – sifat sabun yang dihasikan ditentukan oleh jumlah dan komposisi dari komponen asam - asam lemak yang digunakan yang sesuai dalam pembuatan sabun dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan. Pada umumnya, panjang rantai yang kurang dari 12 atom karbon dihindari penggunaannya karena dapat membuat iritasi pada kulit, sebaliknya panjang rantai yang lebih dari 18 atom karbon membentuk sabun yang sangat sukar larut dan sulit menimbulkan busa.


(38)

20

Sumber lemak dan minyak yang digunakan sebagai bahan dasar sabun dapat berasal dari hewani (lemak babi dan lemak sapi) maupun dari nabati (tumbuhan kelapa, palem dan minyak zaitun). Alkali yang digunakan pada percobaan ini adalah larutan KOH yang dapat membuat sabun menjadi cair, sedangkan alkali yang digunakan untuk membuat sabun padat digunakan larutan NaOH (Ketaren, 1986). Sabun cuci piring cair bisa ditambah dengan parfum, dan berbagai jenis filler yang lain tergantung tujuan. Sabun untuk mencuci merupakan sabun yang sedikit larut dalam air, tetapi tidak larut dalam pelarut lemak, seperti gasoline, eter dan benzena (Fessenden, 1994 dan Ida, 2005).

Terlalu besar bagian asam – asam lemak tidak jenuh menghasilkan sabun yang mudah teroksidasi bila terkena udara. Alasan – alasan di atas, faktor ekonomis, dan daya jual menyebabkan lemak dan minyak yang dapat dibuat menjadi sabun terbatas (Ketaren,1986 dan Parasuram, 1995). Reaksi saponifikasi dan struktur dasar senyawa sabun yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar.2.1 (Fessenden, 1994 & Ketaren, 1986).

      O

CH2 - O – C – R CH2 - OH

O

CH - O – C – R + 3KOH 3RCOOK + CH – OH

O

CH2 - O – C – R CH2 – OH

1. Ester 2. Kalium Hidroksida 3. Garam Kalium 4. Alkohol

(Minyak atau Lemak) (alkali) asam lemak (sabun) (gliserol)  

 


(39)

21

2.8 Sabun Cuci Piring Cair Bertindak Membersihkan

Sabun termasuk salah satu jenis surfaktan yang terbuat dari minyak atau lemak. Surfaktan mempunyai struktur bipolar, bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Karena sifat inilah sabun mampu mengangkat kotoran (biasanya lemak) dari piring dan alat lainnya (Lehninger, 1982).

Setiap molekul sabun memiliki gugus hidrofil dan hidrofob ditulis sebagai RCOOK+. Bagian yang berperan aktif dalam sifat deterjennya (busa) ialah RCOO-.

Fungsi dari sabun ialah sebagai pembersih untuk menghilangkan kotoran dari piring dan alat lainnya (Parasuram, 1995).

Sabun yang dilarutkan dalam air akan terurai kepada ion – ionnya, hal ini menyebabkan tegangan permukaan air akan dikurangkan. Permukaan yang hendak dibersihkan dapat dibasahi oleh air dengan lebih dulu. Buih air sabun akan membantu mengapungkan kotoran dalam air, selain itu struktur sabun terdiri dari bahagian hidrokarbon yang hanya larut dalam minyak akan mengepung kotoran berminyak dan ion yang hanya larut dalam air di mana kotoran berminyak yang dikepung oleh ion sabun itu akan terlepas dari permukaan yang dibersihkan dan tersebar di dalam air

(Djatmiko dan Widjaja, 1984).

Syarat mutu sabun cuci piring yang ditetapkan SNI 06 -3532 – 1994 dapat dilihat pada Tabel 2.4.


(40)

22

Tabel.2.4 Syarat Mutu Sabun Cuci piring cair

No Uraian

1. Kadar Air (%) maks 15 2. Jumlah Asam Lemak (%) 64 – 70

3. Alkali bebas

- dihitung dalam NaOH (%) maks 0,1

- dihitung sebagai KOH (%) maks 0,14 4. Asam lemak bebas atau lemak netral (%) < 2,5

5. Bilangan penyabunan 196 - 206 (Sumber: SNI 06-3532-1994)

2. 9 Bahan Pewarna

Bahan Pewarna yang digunakan pada pembuatan sabun cuci piring cair ini menggunakan bahan alami dan buatan. Bahan alami ini sengaja dipilih dengan alasan yang sangat nyata. Contohnya seperti pada kunyit, warna yang dihasilkan dari kunyit akan sama dengan warna alami dari tumbuhan itu. Begitu juga dengan pandan yang menghasilkan warna hijau muda, dan kunyit menghasilkan warna orange.

2.10 Penentuan Karakterisasi atau Mutu Sabun Cuci Piring Cair 2.10.1 Penentuan Uji Bilangan Penyabunan

Bilangan penyabunan dapat dipergunakan untuk menentukan berat molekul minyak dan lemak secara kasar. Minyak yang disusun oleh asam lemak berantai C pendek berarti mempunyai berat molekul relatif kecil akan mempunyai berat molekul relatif kecil akan mempunyai angka penyabunan yang besar dan sebaliknya minyak dengan berat molekul besar mempunyai angka penyabunan relatif kecil. Bilangan penyabunan = angka penyabunan dinyatakan sebagai banyaknya (mg) KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram minyak atau lemak, alkohol yang ada dalam


(41)

23

KOH berfungsi untuk melarutkan asam lemak hasil hidrolisa dan mempermudah reaksi dengan basa sehingga terbentuk sabun (Ketaren, 1986 dan PT. Agro, 2007).

2.10.2 Penentuan Uji Banyak Busa

Tujuan proses jumlah busa pada sabun Cuci cair untuk mengetahui seberapa banyak busa yang dihasilkan dari larutan sabun yang beberapa menit. Analisa ini dilakukan untuk sabun dibuat dari proses penyabunan yang dikocok dengan alat shasker dalam kalium hidroksida campuran dari minyak goreng bekas yang telah dimurnikan dengan proses bleaching. Larutan sabun yang dibuat dari proses penyabunan dimasukkan ke dalam gelas ukur ditutup dengan plastik dan karet, lalu dikocok dengan alat shaker untuk menghasilkan busa dari larutan sabun yang dibuat dari proses penyabunan (Raskita, 2008).

2.10.3 Penentuan Uji Daya Cuci

Larutan sabun yang telah terbentuk dicoba uji daya cucinya dengan melakukan pengujian langsung terhadap piring, gelas, dan lain- lain yang mengandung lemak dan minyak. lalu dikelompokkan berdasarkan jenis kotorannya. Dihitung jumlah larutan sabun yang dibutuhkan untuk setiap jenis kotoran (P. Asuh, 2008).

2.10.4 Penentuan Uji Kualitas Sabun Cuci Piring Cair dengan Penambahan Pewarna Alami (Pandan, Sirih, Kunyit)

Larutan sabun yang telah terbentuk ditambah dengan pewarna makanan apple green extra nomor 2093, lalu diamati ketahanannya terhadap penambahan pewarna ini. Dilakukan perlakuan yang sama untuk pewarna alami : pandan,


(42)

24

sirih, dan kunyit dalam campuran sabun tersebut. Dibandingkan ketahanannya dengan pewarna alami, pewarna mana yang paling baik. (P.Asuh, 2008).

2.11 Penentuan Sifat Minyak dan Lemak

2.11.1 Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram minyak atau lebih. Angka asam yang besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar yang berasal dari hidrolisa minyak atau karena proses pengolahan yang kurang baik, semakin tinggi angka asam semakin rendah kualitasnya.

2.11.2 Penentuan Iodine Value (IV)

Bilangan iod mencerminkan ketidak jenuhan asam lemak penyusunan lemak dan minyak. Asam lemak tidak jenuh mampu mengikat iod dan membentuk senyawaan yang jenuh. Banyaknya iod yang diikat menunjukkan banyaknya ikatan rangkap. Angka iod dinyatakan sebagai banyaknya gram iod yang diikat oleh 100 gram minyak atau lebih.

2.11.3 Penentuan Warna (colour)

Penentuan warna minyak goreng bekas adalah untuk mengetahui warna minyak dari minyak goreng bekas dengan menggunakan alat lovibond Tintometer Model E yang terdiri dari gelas – gelas berwarna 3 bagian yaitu warna merah (red/R), kuning (yellow/Y), dan biru (blue/B).


(43)

25

2.11.4 Penentuan Kadar Air

Penentuan kadar air minyak goreng bekas adalah mengetahui kadar air yang terdapat pada minyakgoreng dengan menggunakan hot plate dan cawan pada suhu 1500C selama 30 menit.


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian pemanfaatan minyak goreng bekas menjadi sabun cuci piring cair dilakukan dilaboratorium Kimia, FMIPA, Laboratorium YP. Shafiyyatul Amaliyyah, PT. Agro Jaya Perdana. Penelitian dilakukan selama ± 6 bulan.

3.2 Bahan dan Peralatan

3.2.1 Pemurnian Minyak Goreng Bekas

Bahan yang digunakan dalam analisa pemurnian minyak goreng bekas adalah: 1. Minyak Goreng Bekas

2. KOH (15%) 3. Akuades

4. Karbon aktif 240 mesh sebanyak 7,5% dari berat minyak goreng bekas yang digunakan.

3.2.2 Analisa Minyak Goreng Hasil Pemurnian

Bahan yang digunakan dalam analisa minyak goreng hasil pemurnian adalah: 1. Bahan Analisa Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Alkohol 96% yang telah dinetralkan dengan KOH,indikator fenolftalein, KOH 0,1N 2. Bahan Analisa Pemeriksaan Iodin Value (IV)

Sikloheksana, Asam Asetat, Wijs Solution, Iodin 0,1 N, akuades, Natrium Tiosulfat 0,1 N, Larutan indikator Amilum (tepung kanji).


(45)

27

3. Bahan Pemeriksaan Kadar Warna

4. Bahan Pemeriksaan Kadar Air

Minyak goreng bekas dan minyak goreng hasil pemurnian. 3.2.3 Pembuatan Sabun Cuci Piring Cair

Bahan yang digunakan dalam pembuatan sabun cuci piring cair adalah: 1. Minyak goreng hasil pemurnian

2. Kalium Hidroksida dengan konsentrasi KOH (%) : 10, 20, 30, 40, 50

3. Akuades

4. Parfum non alkohol sebanyak 1 ml.

5. Pewarna Alami : pandan, sirih dan kunyit masing – masing sebanyak 10 ml dan pewarna apple green extra sebanyak 1 ml

3.2.4Analisa Sabun Cuci Piring Cair

Bahan yang digunakan dalam analisa sabun cuci piring cair adalah: 1. Analisa Angka Penyabunan

Minyak goreng hasil pemurnian KOH-alkohol 0,5 N, indikator fenolftalein

2. Analisa Banyak Busa

Larutan sabun (penyabunan) 3. Analisa Pemeriksaan Daya Cuci

Larutan sabun, air

4. Analisa kualitas warna sabun cuci piring cair Larutan sabun, pandan, sirih dan kunyit.


(46)

28

3.2.5 Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat – alat yang umum digunakan : Buret, Gelas Ukur, Desikator, Hot Plate, Labu alas, Erlenmeyer, Mixer, Termometer, Alat titrasi, Oven, Lovibon Model E dan Alat shaker, Stopwatch, Lumpang dan Alu, Corong, Saringan, Beakerglass, Plastik dan Karet. Selain Peralatan – peralatan yang umum digunakan, penelitian ini juga menggunakan peralatan seperti berikut ini:

1. Neraca analitik untuk menimbang berbagai senyawa dalam penelitian ini. 2. Oven digunakan untuk mengeringkan bahan dan alat yang digunakan. 3. Hot plate digunakan untuk memanaskan larutan berdasarkan suhu yang telah

ditetapkan pada penelitian ini.

4. Kertas saring whatman no.41 digunakan untuk menyaring kotoran dari minyak goreng bekas dan endapan hasil proses pemurnian.

5. Alat titrasi untuk proses analisa minyak goreng bekas dan minyak goreng hasil pemurnian.

6. Lovibond model E digunakan untuk mengetahui warna minyak goreng bekas dan minyak goreng hasil pemurnian.

7. Alat shaker 200 rpm digunakan untuk memanaskan larutan sabun (penyabunan) pada proses pengujian kekuatan dan stabilitas busa.

8. Lumpang dan Alu digunakan untuk menghaluskan bahan pewarna alami.


(47)

29

3.2.6 Rancangan Percobaan Berdasarkan Variabel Bebas

10. Stopwatch digunakan untuk menghitung lama pengaruh bahan pewarna alami dan buatan terhadap larutan sabun.

11. Saringan digunakan untuk menyaring campuran minyak dengan absorben. 12. Labu alas digunakan untuk membuat larutan (pengenceran).

13. Plastik dan karet digunakan untuk tempat menyimpan sampel.  

Pembuatan sabun cuci piring cair dirancang berdasarkan variabel bebas seperti

pada tabel 3.1.

Tabel.3.1 Perlakuan Variabel Bebas Sabun Cuci Piring Cair

Perlakuan Variabel Bebas

Konsentrasi KOH (% b/v) 10 20 30 40 50 Temperatur Proses penyabunan (0 C) 25 35 45 55 (dilakukan pada setiap sampel minyak n kali penggorengan hasil bleaching)

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pemurnian Minyak Goreng Bekas

3.3.1.1 Proses Penghilangan bumbu (Despicing) Minyak Goreng Bekas Prosedur proses penghilangan bumbu minyak goreng bekas adalah: a. Ditimbang 100 g minyak goreng bekas yang akan dimurnikan kemudian

dimasukkan ke dalam gelas ukur 1000 ml.

b. Dipisahkan minyak dari kotorannya dengan menggunakan kain saring. 3.3.1.2 Proses Netralisasi

Prosedur proses netralisasi minyak goreng bekas adalah:


(48)

30

b. Minyak goreng hasil penghilangan bumbu (despicing) dipanaskan pada suhu ± 40 0C (hangat – hangat kuku ), lalu dimasukkan larutan KOH 15%

ke dalam minyak hasil despicing dengan perbandingan minyak : KOH = 100 g minyak : 5 ml KOH.

c. Campuran diaduk dengan Mixer selama 10 menit, kemudian disaring dengan kertas saring whatman nomor 41 untuk memisahkan kotoran. 3.3.1.3 Proses Pemucatan (Bleaching)

Prosedur proses pemucatan (Bleaching) minyak goreng bekas adalah: a.Dipanaskan minyak goreng hasil netralisasi sampai suhu 700 C.

b.Karbon aktif 240 mesh sebanyak 7,5% dari 100 g minyak goreng hasil netralisasi dimasukkan ke dalam larutan minyak goreng hasil netralisasi.

c. Larutan diaduk dengan mixer selama 60 menit dan dipanaskan pada suhu 1500 C

d. Kemudian disaring dengan kertas saring whatman nomor 41 untuk memisahkan kotoran. Minyak goreng pemurnian siap digunakan. 3.3.2 Analisa Minyak Goreng Hasil Pemurnian

Analisa minyak goreng hasil pemurnian dapat dilihat pada Lampiran B. Pada

Lampiran B ini dapat diperoleh hasil berupa: a. Hasil Analisa Asam Lemak Bebas

b. Hasil Analisa Iodin Value c. Hasil Analisa Kadar Warna d. Hasil Analisa Kadar Air (%)


(49)

31

3.3.3 Proses Pembuatan Sabun Cuci Piring Cair Proses Penyabunan (Susinggih, dkk, 2005)

Prosedur pembuatan sabun cuci piring pada proses penyabunan sebagai berikut: a. Dibuat larutan KOH dengan konsentrasi (%) 10, 20, 30, 40,50

b. Minyak goreng hasil pemurnian dipanaskan pada suhu proses (0 C):

25, 35, 45, 55.

c. Lalu dimasukkan masing – masing larutan KOH dengan konentrasi (%) : 10, 20, 30, 40, 50 ke dalam minyak goreng hasil pemurnian pada masing -

masing suhu proses (0 C) : 25, 35,45, 55 dengan perbandingan minyak : KOH =

1: 0,5 (100 g minyak : 50 ml KOH).

d. Campuran diaduk dengan mixer selama 45 menit e. Parfum non alkohol apel dimasukkan (1 ml parfum per 100 g minyak) dan pewarna makanan apple green extra nomer 2093 (kadar warna 14%) (1 ml pewarna makanan per 100 gram minyak) ke dalam campuran dan diaduk dengan mixer selama 5 menit.

Dilakukan perlakuan yang sama untuk pewarna alami:

10 ml masing – masing pewarna alami (pandan, sirih dan kunyit) per 100 gram minyak kedalam campuran dan diaduk

3.3.4 Analisa Uji Sabun Cuci Piring Cair

Analisa uji sabun cuci piring cair dapat dilihat pada Lampiran B, terdiri dari:

a. Hasil Analisa Bilangan Penyabunan


(50)

32

3.4 Bagan Alir Penelitian

3.4.1 Pemurnian Minyak Goreng Bekas

Bagan alir pemurnian minyak goreng bekas dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1

Minyak goreng bekas

Pemisahan (kain saring)

Minyak goreng hasil penghilangan bumbu (despicing)

Pemanasan (± 400 C)

filtrasi Larutan KOH 15%

(Minyak : KOH = 100 g : 5 ml)

Pengadukan dengan mixer (10 menit)

Minyak Goreng hasil netralisasi Pemanasan (± 700 C)

Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pemurnian Minyak Goreng Bekas

filtrasi

Minyak goreng jernih (minyak goreng hasil pemucatan / bleaching) Karbon aktif 240 mesh

(7,5% dari berat minyak) 

Pengadukan (60 menit) dan dipanaskan (± 1500 C)


(51)

34

3.4.3 Diagram Alir Pembuatan Sabun Cuci Piring Cair (Penyabunan)

Bagan alir pembuatan sabun cuci piring cair (penyabunan) dapat dilihat pada gambar 3.3.

Minyak goreng hasil Penjernihan (pemucatan / bleaching)

Penyabunan (45 menit) Konsentrasi Larutan KOH (%):

10, 20, 30, 40,50

Pemanasan (0C) : 25, 35, 45, 55

Pengadukan ( 5 menit) Sabun kental Parfum non alkohol (minyak : parfum =

100 g : 1 ml) dan pewarna alami / buatan

Hasil


(52)

35 

3.4.4 Analisa Uji Sabun Cuci Piring Cair

Bagan alir uji sabun cuci piring cair dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.4.                    Analisa Bilangan Penyabunan Ditambah KOH Dititrasi dengan HCl 0,5 N

Dicatat volume

Analisa Banyak Busa Analisa Daya Cuci

Diukur 50 ml larutan sabun (penyabunan) lalu dimasukkan ke

dalam gelas ukur 250 ml (ditutup dengan plastik dan karet

Hasil Ditambah indikator fenolftalei Larutan sabun Dilakukan pencucian terhadap gelas, piring, dll

Diukur kebersihannya berdasarkan jumlah larutan sabun yang digunakan tiap

penucian, Diaduk ± 30 detik dan 60 detik

dengan alat shaker 200 rpm

Volume busa dicatat setelah 30

detik dan 60 detik Hasil


(53)

36 

 

Bagan alir uji daya tahan zat warna alami (pandan, sirih, kunyit) dapat diamati pada gambar 3.5.

Diamati daya tahan zat warna (jam) Ditambah pewarna alami

(Pandan,Sirih,Kunyit)masing masing sebanyak 10 ml

Larutan sabun (KOH konsentrasi 30%)

Hasil


(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisa Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Analisa Asam Lemak bebas pada setiap perlakuan pemurnian minyak goreng mengalami perubahan, yang menunjukkan bahwa kadar FFA semakin baik. Kadar asam lemak bebas (FFA) pada minyak goreng bekas 4 kali pemakaian sebesar 1,58 % dan pada minyak goreng bekas 1 kali pemakaian sebesar 0,3% . Setelah dilakukan pemurnian maka kadar asam lemak bebas (FFA) untuk 4 kali pengorengan menjadi 1,25 dan 1 kali penggorengan menjadi 0,27. Gambar analisa FFA ini dapat ditunjukkan seperti Gambar 4.1.

1,6

1,4

1,2

1

0,8

0,6

0,4

0,2

0

    1  2  3  4   

       

Gambar 4.1 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap AsamLemak Bebas y

x


(55)

38

Asam lemak bebas yang diizinkan di dalam minyak goreng curah berdasarkan

SNI yaitu max 0,3%. Minyak goreng bekas akibat pemanasan yang berulang kali (1-4x) seperti Gambar 4.1 maka asam lemak bebas untuk setiap hasil penggorengan akan semakin tinggi yaitu 0,3 ; 0,34 ; 1,22 ; 1,58. Ikatan asam lemak tidak jenuh yang terdapat pada minyak akan semakin tidak baik sehingga asam lemak bebaspun tidak sesuai lagi dengan yang diizinkan SNI. Setelah proses netralisasi dengan penambahan KOH 15% dan proses bleaching maka minyak goreng hasil bleaching asam lemak bebasnya menjadi yaitu 0,27 ; 0,3 ; 1,06 ; 1,25.

Kadar FFA rendah yang diperoleh dari penggorengan 4 kali pemakaian disebabkan karena seringnya minyak mengalami pemanasan dengan suhu berkisar 1700 C dalam waktu 7 menit sehingga bau pada minyak goreng menjadi tengik dan

terbentuknya gelembung – gelembung pada penggorengan. Ini menandakan telah terjadinya proses oksidasi dengan tingkat tinggi yang mengandung asam lemak tidak jenuh rendah sehingga menghasilkan banyak asam lemak bebas (FFA) yang ditandai dengan rasa getir pada minyak goreng.

Menurut Ketaren (1986), selama penggorengan minyak goreng yang mengalami pemanasan pada suhu 170 – 2050 C dalam waktu lama yang

menyebabkan terjadinya proses oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi menghasilkan senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid, dan polimer. Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena reaksi polimerisasi asam lemak tidak jenuh, terbukti dengan terbentuknya bahan menyerupai gum (gelembung) di dasar tempat penggorengan. Reaksi senyawa hasil degradasi akibat pemanasan


(56)

39

minyak goreng (170 – 2050C ) dalam waktu lama dapat dilihat dari Gambar 4.2.

CH2.CH2.COOH.COOH > R.CO.CH2.COOH > R.CO.CH3

R – C – C – R1 R – C – C – R1 R – COOH + R1COOH

O O O + R1 – CHO

O H

- CH = CH - + HOO – R - CH = CH – O+ – OR

H - CH – CH(OH)- O R

Gambar 4.2 Senyawa Hasil Degradasi: Keton, Aldehid, Polimer

keton  

O2

H H2

Aldehid

Polimer

Selain itu, minyak goreng mengandung karoten, tokoferol dan alkohol dalam jumlah yang kecil. Senyawa ini dapat membentuk kadar asam lemak bebas menjadi tinggi jika terurai dan dapat mengganggu kesehatan, untuk mengurangkan senyawa – senyawa tersebut dapat dilakukan dengan proses pemurnian (Sugito.J, 1992).

Minyak goreng bekas yang digunakan dengan pemakaian lebih sedikit yaitu 1 kali pemakaian mengalami proses oksidasi lebih kecil sehingga minyak goreng bekas yang dimurnikan dengan KOH 15% lebih mudah menurunkan kadar asam lemak bebasnya dibandingkan dengan minyak goreng pemakaian 3 dan 4 kali.


(57)

40

pemurnian ini telah sesuai dengan syarat mutu sabun cuci piring cair yang ditetapkan SNI 06-532-1994 bahwa untuk kadar asam lemak bebas (FFA) < 2,5% (pada

Tabel.3.3).

Berdasarkan percobaan Cammarata & Martin (1993), bahwa minyak goreng hasil pemurnian yang mengandung kadar asam lemak bebas < 2,5% masih memiliki ±

25% gliserin yang berfungsi untuk melembabkan, melembutkan dan meminyaki kulit sehingga baik untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun cuci piring, sedangkan pada industri gliserinnya diambil untuk dijual terpisah karena harganya lebih mahal.

Dari penelitian ini diperoleh bahwa analisa asam lemak bebas yang paling baik adalah minyak goreng hasil bleaching penggorengan 1 kali yaitu 0,27%. Sedangkan asam lemak bebas berdasarkan SNI adalah 0,3%.

4.2 Analisa Bilangan Iodin (IV)

Bilangan Iodin berpengaruh terhadap kejenuhan suatu trigliserida, karena trigliserida dengan tingkat tidak jenuh yang tinggi akan mengikat iod dalam jumlah yang tinggi pula.

Bilangan Iodin yang diizinkan di dalam minyak goreng curah berdasarkan SNI yaitu 45 – 51 meq. Minyak goreng bekas akibat pemanasan yang berulang kali (1-4x) seperti Gambar 4.3 maka bilangan iodin untuk setiap hasil penggorengan akan semakin rendah yaitu 29,12 ; 28,93 ; 28,61 ; 27,94. Asam lemak tidak jenuh yang


(58)

41

terdapat pada minyak bila semakin rendah maka akan mengikat iodin pun semakin rendah pula sehingga minyak tersebut tidak layak dalam pembuatan sabun.

Gambar analisa Iodine Value ini dapat ditunjukkan seperti Gambar 4.3.

y  

 

     

     

 

   

50 -- 40 – 30 – 20 – 10 –

0 x

n Penggorengan

  1 2 3 4

       

 

Gambar 4.3 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap Iodine Value

Setelah proses netralisasi dengan penambahan KOH 15% dan proses bleaching maka minyak goreng hasil bleaching bilangan iodinnya menjadi yaitu 46,47 ; 46,37 ; 46,16 ; 45,71. Trigliserida dinyatakan tidak jenuh apabila bilangan iodinnya berkisar 45 – 51, begitu sebaliknya apabila lebih kecil dari bilangan tersebut

maka minyak dinyatakan jenuh.

Dari hasil analisa gambar 4.3 setelah melalui proses pemurnian dengan menggunakan karbon aktif 240 mesh sebanyak 7,5% dari berat minyak goreng yang


(59)

42

digunakan, diperoleh kenaikan bilangan iodin pada minyak hasil pemurnian dari minyak bekas penggorengan 1, 2, 3, 4 kali masing – masing sebesar 46,47 meq ; 46,37 meq ; 46,16 meq ; 45,71 meq dan telah sesuai dengan standar mutu minyak goreng untuk bilangan minimum iodin sebesar 46 (Tabel 2.2). Bilangan iodine > 46 meg pada minyak goreng hasil pemurnian pada percobaan ini dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun yang menghasilkan sabun cair dan busa yang optimum.

Menurut Djatmiko (1984) & Ketaren (1986), bilangan iodine < 45 meq sukar untuk membentuk sabun dan busa karena merupakan trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh yang rendah sehingga tidak digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun.

Akibat banyak trigliserida yang terurai saat penggorengan (kadar asam lemak tidak jenuh kecil) maka asam lemak yang berikatan dengan larutan KOH ini agak sulit untuk membentuk sabun cuci piring cair dan busa dari proses penyabunan. Busa yang dihasilkan bergantung dari jumlah konsentrasi (%) KOH yang digunakan (lemak atau minyak dipanaskan dengan KOH sampai terhidrolisis sempurna). (Ketaren, 1986, Morton dan Varela, 1988).

Minyak dengan kandungan asam lemak rantai pendek dan ikatan tidak jenuh (C12 – C18) akan menghasilkan sabun padat sedangkan rantai panjang dan ikatan jenuh (<C12) menghasilkan sabun tidak berbentuk padat (Morton dan Varela, 1988).

Dari penelitian ini diperoleh bahwa Iodin yang paling baik adalah minyak goreng hasil bleaching penggorengan 1 kali yaitu 46,47 meq. Penelitian ini telah


(60)

43

sesuai berdasarkan standar minyak goreng di Indonesia diatur dalam SNI 3741-1995 (Tabel 2.2) sebesar 45 – 51.

4.3 Analisa Warna (colour) 

Pemakaian berulang pada minyak goreng menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perubahan warna minyak goreng bekas. Gambar 4.4 menunjukkan hubungan antara analisa warna terhadap pemakaian minyak goreng bekas (menggoreng tahu dan tempe).

 

      

   

   

   

1 2 3 4

Gambar.4.4 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap Kadar Warna Kuning Pada Minyak

n Penggorengan

80 – 70 – 60 – 50 – 40 –

        y

x   

Minyak goreng bekas akibat pemanasan yang berulang kali (1-4x) seperti Gambar 4.4 maka kadar warna kuning untuk setiap hasil penggorengan akibat oksidasi akan semakin tinggi yaitu 63, 66, 70, 75. Setelah proses netralisasi dengan penambahan KOH 15% dan proses bleaching maka minyak goreng hasil bleaching akan menjadi yaitu 59, 62, 67, 70.


(61)

44

Warna kuning kemerahan pada minyak disebabkan akibat teroksidasinya kerotenoid pada minyak goreng, yang bersifat larut dalam minyak dari persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh pada saat penggorengan, yang merupakan sumber vitamin A (Hartley, 1967 dan Ketaren, 1986).

                     

n kali penggorengan 

Gambar.4.5 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap Kadar Warna Merah Pada Minyak

        1          2       3      4

        y x 12‐  10‐  8‐  6‐  4‐  2‐  0‐   

Minyak goreng bekas akibat pemanasan yang berulang kali (1-4x) seperti Gambar 4.5 maka kadar warna merah untuk setiap hasil penggorengan akibat terurainya asam lemak dan hidrokarbon akan semakin tinggi yaitu 7,2;8,2;9,0;9,7. Setelah dilakukan penetralan dengan penambahan KOH 15% dan proses bleaching maka minyak goreng hasil bleaching akan menjadi yaitu 6,9;7,8;8,5;9,2.

Warna merah pada minyak disebabkan akibat terurainya asam lemak dan hidrokarbon pada minyak goreng, yang bersifat larut dalam minyak. Warna minyak


(62)

45

merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan mutu minyak. Pengukuran warna minyak goreng ini dilakukan dengan alat Lovibond Tintometer Model E. Warna merah dan kuning pada minyak goreng bekas ini dianalisa melalui gelas warna Lovibond untuk mengukur warna dasar (kuning jernih) pada minyak goreng, sedangkan warna biru menyatakan kekotoran atau warna keruh pada minyak goreng.                     0,8 - 0,7 - 0,6 - 0,5 - 0,4 - 0,3 - 0,2 - 0,1- x

 1  2  3  4 

n kali penggorengan 

0

Minyak goreng bekas akibat pemanasan yang berulang kali (1-4x) seperti Gambar 4.6 maka kadar warna biru hanya ada pada minyak goreng bekas penggorengan 3 dan 4 saja yaitu 0,48 dan 0,65. Pada proses netralisasi setelah penambahan KOH 15% maka kadar warna biru menjadi 0,18 dan 0,25. Sedangkan pada tahap bleaching kadar warna biru sudah tidak ditemukan lagi.

Gambar.4.6 Kurva Hubungan n Penggorengan Terhadap Kadar Warna Biru Pada Minyak


(63)

46

Warna pada minyak goreng bekas yang tertinggi (keruh/kecoklat – coklatan) terdapat pada minyak goreng bekas pemakaian 4 kali pemakaian, hal ini dikarenakan penggunaan minyak berkali – kali yang mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat pada minyak yang digunakan sedangkan pada minyak goreng dengan pemakaian 1 kali memiliki kadar warna yang lebih baik dari minyak goreng bekas 2, 3 dan 4 kali pemakaian.

Menurut Ketaren (1986) dan Susinggih dkk (2005) warna gelap pada minyak goreng bekas terjadi selama penggorengan menyebabkan oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E) yang disebabkan suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada waktu penggorengan sehingga sebagian minyak goreng bekas menggoreng tahu dan tempe teroksidasi menghasilkan warna kecoklatan.

Selama penggorengan asam lemak, sterol, hidrokarbon, yang dihasilkan dari hidrolisa trigliserida yang terurai dan larut akan bercampur dalam minyak (Ketaren, 1986), sehingga warna minyak goreng bekas menjadi merah dan keruh (kecoklat – coklatan). Untuk menghilangkan warna yang tidak diinginkan tersebut dapat dilakukan proses pemurnian terutama pada tahap pemucatan (bleaching) dengan

menggunakan karbon aktif.

Dari hasil pemucatan dengan karbon aktif terhadap minyak goreng bekas pada Gambar 4.6, diperoleh warna yang jauh lebih jernih dari warna sebelumnya meskipun masih terdapat kotoran yang menyebabkan warna masih sedikit kecoklatan (keruh). Warna kecoklatan ini tidak dapat dimurnikan lagi karena karbon aktif yang digunakan


(64)

47

telah jenuh (daya adsorben telah habis) untuk mengadsorben kotoran dan warna keruh pada minyak goreng bekas.

Dari penelitian ini diperoleh bahwa analisa warna yang paling baik adalah minyak goreng hasil bleaching penggorengan 1 kali yaitu: kuning = 59, merah = 6,9, dan biru = 0.

4.4 Analisa Kadar Air (%)

Analisa kadar air pada setiap perlakuan pemurnian minyak goreng mengalami perubahan, yang menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung dalam minyak semakin baik. kadar air pada minyak goreng bekas 4 kali pemakaian sebesar 2,01 % dan pada minyak goreng bekas 1 kali pemakaian sebesar 0,95% . Setelah dilakukan pemurnian maka kadar air untuk 4 kali pengorengan menjadi 0,81 dan 1 kali penggorengan menjadi 0,35. Gambar analisa Kadar Air dapat ditunjukkan seperti Gambar 4.7. 

 

2,1 – 1,8 – 1,5 – 1,2 – 0,9 – 0,6 –

0,3 –

0

  1  2  3  4 

       

x y


(65)

48

Gambar 4.7 dapat dilihat bahwa kadar air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari bahan pangan tersebut, oleh karena itu penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan yang tepat. Penentuan kadar air dalam penelitian ini dilakukan dengan metode pengeringan (oven biasa). Berat sampel yang dihitung setelah dikeluarkan dari oven harus didapatkan berat konstan, yaitu berat bahan yang tidak akan berkurang atau tetap setelah dimasukkan dalam oven. Berat sampel setelah konstan dapat diartikan bahwa air yang terdapat dalam sampel telah menguap dan yang tersisa hanya padatan dan air yang benar – benar terikat kuat dalam sampel, setelah itu dapat dilakukan perhitungan untuk

mengetahui % kadar air dalam bahan.

Kadar air yang berkurang pada setiap tahap pemurnian membuat kadar air dari minyak tersebut menjadi sebahagian minyak hasil penggorengan menjadi layak digunakan dalam pembuatan sabun cuci piring cair. Seperti pada proses netralisasi, kadar air ini berkurang akibat dari penambahan KOH 15% itu sendiri, yang berfungsi sebagai penetralisir, dan dilanjutkan dengan pemanasan T = 400 C. Sedangkan pada

proses bleaching, hasil dari netralisasi itu dilanjutkan dengan 2 kali pemanasan , yaitu pemanasan T = 700 C dan T = 1500 C. Akibat perlakuan ini, kadar air yang

terkandung dalam minyak pun semakin berkurang.

Dari penelitian ini diperoleh bahwa analisa kadar air yang paling baik adalah minyak goreng hasil bleaching penggorengan 1 kali yaitu 0,35%. Sedangkan kadar air berdasarkan SNI adalah 0,3%.


(66)

49

4.5 Analisa Bilangan Penyabunan

Analisa bilangan penyabunan untuk setiap penggorengan diperoleh angka penyabunan yang menunjukkan angka yang berbeda (dapat diamati pada Lampiran). Berdasarkan standar SNI yaitu antara 196 – 206, maka yang paling baik untuk menghasilkan sabun cair yang tidak menyebabkan iritasi bagi kulit adalah minyak goreng hasil bleaching dengan konsentrasi KOH 30% dan suhu 450 C – 550 C.

Gambar analisa bilangan penyabunan dapat dilihat seperti gambar 4.8.

y

204 - 202 - 200- 198- 196- 194- 192 – 190 – 188 –

 

25 35 45 55

KOH 30%

Suhu Perlakuan 

x

Gambar.4.8 Kurva hubungan Suhu Perlakuan Terhadap Angka Penyabunan pada n x Penggorengan

 

n kali Penggorengan

KOH 50% dapat mengikat trigliserida dengan sempurna sehingga dapat dikatakan sebagai penyabunan yang baik atau sempurna. Tetapi penyabunan yang


(67)

baik belum tentu penyabunan yang baik bagi kesehatan, seperti iritasi bagi kulit. Penyabunan antara 196 – 206 sudah dikategorikan sebagai sabun yang dapat bersifat membersihkan walaupun tidak sempurna, tetapi masalah kualitas sabun tersebut juga menjadi faktor utama. Sehingga KOH 30% lebih optimal dibanding KOH 50%.

Temperatur perlakuan setiap proses penyabunan berbanding lurus terhadap angka penyabunan. Angka penyabunan yang baik adalah ketika suhu 45 – 550 C.

Karena dapat menghasilkan sabun yang bersifat cair dan tidak bersifat iritasi bagi

kulit.

Kebanyakan masyarakat menyukai sabun yang murah dan sifat mekanisme kerjanya tahan lama habis terhadap air walaupun sering digunakan . Sabun seperti ini biasanya sabun yang mengandung asam oleat yang tinggi, tetapi kerugiannya adalah sabun ini dapat menyebabkan iritasi bagi kulit. Sedangkan sabun yang mengandung asam laurat yang tinggi mengandung bahan yang dapat melembutkan kulit meskipun sabun ini terbentuk lembek (lunak) sehingga mekanisme kerja sabun yang cepat habis terhadap air apabila digunakan, namun kerugiannya adalah sabun ini mahal harganya.

50

Sabun yang mengandung asam miristat (C14) dan asam Palmitat (C16) menghasilkan sabun yang juga dapat melembutkan kulit dan tidak terlalu cepat habis meskipun sering digunakan (Cammarata, Martin, 1993 dan Ketaren, 1986).

4.6AnalisaBanyakBusa

Busa yang dihasilkan dari sabun dapat mengelilingi kotoran sehingga bahan yang dicuci dapat menjadi bersih. Seperti pada penelitian ini, hasil yang sesuai dari angka penyabunan antara 196 -206 maka pada analisa banyak busa hanya melakukan


(68)

51

analisa terhadap KOH yang paling optimum, yaitu KOH 30% untuk setiap n kali penggorengan hasil bleaching.

Gambar Analisa banyak busa dapat dilihat seperti gambar 4.9. y .                         

Menurut Nur Asyiah (2009), minyak goreng hasil bleaching yang digunakan dengan mereaksikan KOH 50% pada temperatur proses 550C diperoleh angka

penyabunan yang optimum.

Hal ini terjadi karena pada saat proses penyabunan telah terhidrolsis sempurna dengan minyak goreng hasil pemurnian yang digunakan sehingga menghasilkan sabun cair dan busa yang dihasilkan banyak dan daya cuci (pembersih)

4 x penggorengan  3 x penggorengan  2 x penggorengan  1 x penggorengan 

 1,7 –  1,6  –  

 1,5 –  

 1,4 –  

 1,3 –   1,2  –   1,1  –  1      –  

0         x

Temperatur proses (0 C) 

Gambar 4.9 Kurva hubungan Temperatur Proses Terhadap Kadar Busa (KOH 30%)      25     35     45     55 


(1)

T = 550C 82,42 117,86 1,43 c. KOH 30%

T = 250 C 24,95 13,97 0,56 T = 350C 81,79 109,60 1,34 T = 450C 82,86 120,15 1,45 T = 550C 83,22 127,33 1,53 d. KOH 40%

T = 250 C 25,00 16,75 0,67 T = 350C 83,04 122.07 1,47 T = 450C 84,11 127,01 1,51 T = 550C 84,44 139,33 1,65 e. KOH 50%

T = 250 C 25,10 18,07 0,72 T = 350C 84,40 129,13 1,53 T = 450C 85,93 137,49 1,60 T = 550 C 86,19 148,25 1,72 3 x Penggorengan

a. KOH 10%

T = 250 C 24,15 9,18 0,38 T = 350 C 76,91 83,83 1,09 T = 450 C 80,85 96,21 1,19 T = 550C 81,00 103,68 1,28 b. KOH 20%

T = 250 C 24,21 10,65 0,44 T = 350 C 77,31 85,81 1,11 T = 450 C 81,24 99,93 1,23 T = 550C 81,35 109,01 1,34


(2)

c. KOH 30%

T = 250 C 24,32 12,40 0,51 T = 350 C 78,06 93,67 1,20 T = 450C 81,99 107,41 1,31 T = 550C 82,10 116,58 1,42 d. KOH 40%

T = 250 C 24,35 15,34 0,63 T = 350C 79,30 102,30 1,29 T = 450C 83,23 116,52 1,40 T = 550C 83,30 124,95 1,50 e. KOH 50%

T = 250 C 25,00 17,00 0,68 T = 350C 81,07 110,39 1,36 T = 450C 84,47 125,02 1,48 T = 550 C 84,50 135,51 1,58 4 x Penggorengan

a. KOH 10%

T = 250 C 23,85 6,92 0,29 T = 350 C 73,91 51,74 0,70 T = 450 C 80,00 80,00 1,00 T = 550 C 80,22 93,06 1,16 b. KOH 20%

T = 250 C 23,87 9,07 0,38 T = 350 C 74,30 74,00 1,36 T = 450 C 80,37 88,41 1,10 T = 550C 80,57 101,52 1,26 c. KOH 30%


(3)

T = 250 C 23,95 10,78 0,45 T = 350 C 78,06 78,79 1,05 T = 450 C 81,99 97,27 1,20 T = 550C 82,10 106,46 1,31 d. KOH 40%

T = 250 C 24,00 13,20 0,55 T = 350 C 76,19 89,90 1,18 T = 450C 82,20 105,22 1,28 T = 550C 82,42 113,74 1,38

e. KOH 50%

T = 250 C 24,15 14,49 0,60 T = 350 C 77,34 95,13 1,23 T = 450C 83,89 113,25 1,35 T = 550 C 83,92 121,68 1,45

Hasil Analisa Alkali Bebas Sabun Cuci Piring Cair

No KOH 30% Hasil (%) Perlakuan Penggorengan

1. 1 kali 0,130

2. 2 kali 0,139

3. 3 kali 0,139


(4)

Keterangan Lambang Komposisi Minyak Goreng

C12 : Asam Laurat C14 : Asam Miristat C16 : Asam Palmitat C18 : Asam Stearat C18F1 : Asam Oleat C18F2 : Asam Linoleat C18F3 : Asam Arakidat C20 : Asam Linolenat


(5)

General Linear Model: bilangan peny; kadar busa versus konsentrasi ; Temperatur Proses; n Penggorengan Metode Minitab 15

Factor Type Levels Values

konsentrasi KOH (%) Fixed 5 10; 20; 30; 40;

50

Temperatur Proses Fixed 4 25; 35; 45; 55

n penggorengan Fixed 4 1; 2; 3; 4

Analysis of Variance for bilangan penyabunan, using Adjusted SS for Tests

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

konsentrasi KOH (%) 4 369,90 369,90 92,47 77,60 0,000

Temperatur Proses 3 1187,01 1187,01 395,67 332,02 0,000

n penggorengan 3 30,64 30,64 10,21 8,57 0,000

Konsentrasi KOH (%)* Temperatur Proses (C)

12 0,02077 0,02077 0,00173 0,0011 0,000

Konsentrasi KOH (%)*n Penggorengan

12 0,02254 0,02254 0,00188 0,0005 0,000

Temperatur Proses(C) *n Penggorengan

9 0,10403 0,10403 0,01156 0,1210 0,000

Konsentrasi KOH (%)* Temperatur

Proses(C)* n Penggorengan

36 0,03733 0,03733 0,00104 0,0003 0,000

Total 79 1669,77

S = 0,09165 R-Sq = 98,45% R-Sq(adj) = 98,36%


(6)

bilangan

Obs penyabunan Fit SE Fit Residual St Resid

1 188,280 186,215 0,405 2,065 2,04 R 2 187,960 185,719 0,405 2,241 2,21 R 4 186,570 184,520 0,405 2,050 2,02 R 65 189,680 192,325 0,405 -2,645 -2,61 R 66 189,130 191,829 0,405 -2,699 -2,66 R 67 188,580 191,466 0,405 -2,886 -2,85 R 68 187,960 190,629 0,405 -2,669 -2,63 R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Analysis of Variance for kadar busa, using Adjusted SS for Tests

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

konsentrasi KOH (%) 4 1,0285 1,0285 0,2571 96,07 0,000

Temperatur Proses 3 10,5850 10,5850 3,5283 1318,34 0,000

n penggorengan 3 1,1965 1,1965 0,3988 149,02 0,000

Konsentrasi KOH (%)* 12 0,02077 0,02077 0,001 0,0011 0,000 Temperatur Proses ( C)

Konsentrasi KOH (%)*

n Penggorengan 12 0,02254 0,02254 0,00188 0,0005 0,000

Temperatur Proses ( C)* 9 0,10403 0,10403 0,01156 0,1210 0,000 n Penggorengan

Konsentrasi KOH (%)* 36 0,03733 0,03733 0,00104 0,0003 0,000

Temperatur Proses ( C)* n Penggorengan

Total 79 12,9946

S = 0,0517334 R-Sq = 98,58% R-Sq(adj) = 98,37%

Unusual Observations for kadar busa

Obs kadar busa Fit SE Fit Residual St Resid 8 0,70000 0,93913 0,01918 -0,23913 -4,98 R 14 1,56000 1,39112 0,01918 0,16888 3,51 R