Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Helicobacter pylori diketahui sebagai faktor resiko dan penyebab terkuat untuk terjadinya gastritis kronik. Yang selanjutnya akan menjadi ulkus peptikum dan kanker lambung bagian bawah sehingga Helicobacter pylori sebagai kuman penyebab utama gastritis kronik harus dieradikasi secara tuntas 1,2,4,5 . Indikasi untuk eradikasi kuman H pylori dikembangkan secara internasional melalui konsensus para pakar 3 . Salah satu indikasinya adalah terdapatnya ulkus baik itu di duodenum maupun di lambung. Helicobacter pylori yang menginfeksi kurang lebih 50 penduduk di seluruh dunia, yang menyebabkan inflamasi lambung kronis yang akan menjadi atrofi, metaplasia, displasia dan akhirnya kanker lambung. Inflamasi kronis tersebut melibatkan netrofil, limfosit sel T dan B, sel plasma, dan makrofag, sesuai dengan tingkat degenerasi dan kerusakan selnya. Mekanisme inflamasi lainnya melalui kontak langsung dengan sel epitel lambung dan merangsang pembentukan serta pelepasan sitokin inflamasi. Adanya inflamasi karena H pylori dapat ditunjukkan dengan peningkatan interleukin-1 β IL-1β, IL-2, IL-6, IL-8 dan TNF- α 1,2,12,26-28 . Adanya kuman berbentuk spiral dalam lambung manusia sebenarnya sudah dilaporkan sejak tahun 1875 oleh seorang sarjana Jerman yang mendapatkan kuman berbentuk spiral pada mukosa lambung. Pada tahun 1893, seorang sarjana Italia bernama Giulio Bizzozero melaporkan bakteri berbentuk spiral yang hidup dalam lambung anjing yang bersuasana asam Universitas Sumatera Utara kuat. Hubungan antara kuman spiral tersebut dengan penyakit lambung pertama kali dianjurkan oleh Professor Walery Jaworski dari Polandia yang meneliti kuman yang ditemukan dalam sedimen cairan lambung pada tahun 1899 yang pada waktu itu dinamakan Vibrio rugula 1,2,5,6,8 . Tetapi laporan tersebut tidak banyak mendapat perhatian karena ditulis dalam bahasa Polandia. Laporan-laporan itu tidak mendapat perhatian karena bertentangan dengan dogma yang banyak dianut oleh para dokter bahwa tidak ada kuman yang bisa hidup dalam lambung yang begitu asam suasananya. Kuman ini ditemukan kembali dan dilaporkan oleh Robin Warren seorang ahli patologi dari Australia pada tahun 1979. Selanjutnya pada tahun 1981, Warren melanjutkan penelitian tentang kuman tersebut bersama Barry Marshall, seorang residen Penyakit Dalam. Kedua orang tersebut berhasil membiakkan kuman spiral tersebut. Dalam laporan Marshall dan Warren pada tahun 1984 dalam majalah Lancet, mereka telah menyatakan bahwa kebanyakan ulkus lambung dan gastritis disebabkan oleh karena kuman tersebut 1,2,5,6,8 . Dalam usahanya untuk membuktikan bahwa kuman spiral tersebut menyebabkan penyakit lambung, Marshall telah melakukan percobaan terhadap dirinya sendiri. Dia telah menelan kuman H. pylori yang dibiakkan dan beberapa hari kemudian dilakukan endoskopi dan ternyata terjadi gastritis pada lambung Marshall yang disertai dengan adanya kuman H. pylori . Marshall kemudian mengobati dirinya sendiri dengan gabungan garam Bismuth dan Metronidazol selama 2 minggu dan akhirnya bebas dari kuman tersebut. Dalam laporan Warren dan Marshall, kuman lambung berbentuk spiral ini dinamakan Campylobacter pyloridis , dan kemudian dirubah menjadi Universitas Sumatera Utara C ampylobacter pylori . Kedua sarjana yang menemukan kembali kuman spiral yang kemudian dinamakan Helicobacter pylori ini telah menerima hadiah nobel dalam ilmu kedokteran pada tahun 2005 2,8,9 . Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari berbagai macam penyakit 4,10,12 . Prevalensi keluhan saluran cerna menurut suatu pengkajian sistematik atas berbagai penelitian berbasis populasi systematic review of population- based study menyimpulkan angka bervariasi dari 11-41. Jika keluhan terbakar di ulu hati dikeluarkan maka angkanya berkisar 4-14. Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek sehari – hari. Diperkirakan hampir 30 kasus pada praktek umum dan 60 pada praktek gastroenterologis merupakan kasus dispepsia 4,10,12 . Di Indonesia menunjukkan prevalensi 36-41 dengan usia termuda adalah 5 bulan. Pada kelompok usia muda dibawah 5 tahun, 5,3-15,4 telah terinfeksi, dan diduga infeksi pada usia dini berperan sebagai faktor resiko timbulnya degenerasi maligna pada usia yang lebih lanjut. Asumsi ini perlu diamati lebih lanjut, karena kenyataannya prevalensi kanker lambung di Indonesia relatif rendah, demikian pula prevalensi tukak peptik. Agaknya selain faktor bakteri, faktor pejamu dan faktor lingkungan yang berbeda akan menentukan terjadinya kelainan patologis akibat infeksi 1,2 . Universitas Sumatera Utara Secara umum telah diketahui bahwa infeksi Helicobacter pylori merupakan masalah global, tetapi mekanisme transmisi apakah oral atau fekal oral belum diketahui dengan pasti. Studi di Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi infeksi Helicobacter pylori, sedangkan data diluar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi dengan penyediaan atau sumber air minum 1,2,7 . Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi tukak peptik pada pasien dispepsia di Jakarta yang telah diendoskopi berkisar antara 5,78. Sedangkan di Medan sekitar 16,91. Pada kelompok pasien dispepsia non ulkus, prevalensi dari infeksi H.pylori yang dilaporkan berkisar antara 20 – 40 , dengan metoda diagnostik yang berbeda yaitu serologi, kultur dan histopatologi. Angka tersebut memberi gambaran bahwa pada infeksi di Indonesia tidak terjadi pada usia dini tetapi pada usia yang lebih lanjut tidak sama dengan pola negara berkembang lain seperti di Afrika. Tingginya prevalensi infeksi dalam masyarakat tidak sesuai dengan prevalensi penyakit saluran cerna bagian atas SCBA seperti tukak peptik ataupun karsinoma lambung. Diperkirakan hanya sekitar 10 -20 saja yang kemudian menimbulkan penyakit gastroduodenal 1,4,14,16 . Pemeriksaan dari Helicobacter pylori yang lain bersifat invasive; invasive yaitu mengambil spesimen biopsi mukosa lambung secara endoskopik. Diantara pemeriksan invasive ini adalah Histolopatologi, rapid urease test CLO test , pemeriksaan kultur, Polymerase Chain Reaction PCR . Pemeriksaan histopatologi dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi H. pylori serta menilai derajat inflamasi gastritis. Pemeriksaan histopatologi menjadi gold standar untuk mendeteksi H. pylori. Pewarnaan khusus secara Universitas Sumatera Utara Warthin – Starry memberikan gambaran H. pylori lebih jelas. CLO tes yaitu adanya enzym urease dari kuman H. pylori yang mengubah urea menjadi amonia yang bersifat basa sehingga terjadi perubahan warna menjadi merah. Kultur biasanya akan membantu untuk pengobatan kegagalan terapi eradikasi, sehingga dapat dipilih antibiotik yang sesuai. PCR juga dapat digunakan untuk menilai hasil terapi eradikasi, PCR merupakan pemeriksaan yang cukup canggih dengan biaya yang cukup mahal 1,4,8,9,42,43 . Infeksi mukosa lambung oleh Helicobacter pylori akan menghasilkan respon immun sistemik dan lokal, termasuk peningkatan kadar IgG dan IgA spesifik dalam serum dan peningkatan kadar IgM dan IgA sekretori di lambung . Hal ini memungkinkan pengembangan tes serologi untuk deteksi infeksi bakteri pada manusia 5,8-9,21 . Tes serologi terutama berguna untuk pemeriksaan penyaring sejumlah orang untuk kepentingan epidemilogi karena sifatnya yang tidak invasif, relatif cepat dan mudah dikerjakan, serta biayanya lebih murah dari pemeriksaan endoskopi dan biopsi 5,8-9,21 . Universitas Sumatera Utara

1.2. Perumusan Masalah