Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat Fisika dan Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Samosir

(1)

(2)

Judul Penelitian : Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat Fisika dan Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Samosir

Nama Mahasiswa : Purnama S Sagala

NIM : 091201018

Program Studi/ Minat : Kehutanan/ Budidaya Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Deni Elfiati SP., MP Dr. Delvian SP., MP

Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah S.Hut., M.Si, Ph. D Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

PURNAMA SARI SAGALA. Dampak Kebakaran HutanTerhadap Sifat Fisika dan Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Samosir. Di bawah bimbingan DENI ELFIATIdanDELVIAN.

Kerusakan hutan akibat kebakaran hutan dapat menimbulkan kerugian yang besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak terjadinya kebakaran hutan terhadap sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2014. Contoh tanah diambil di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan tipe kebakaran hutan yang terjadi adalah kebakaran tajuk. Setelah kebakaran hutan nilai pH tidak terlalu meningkat pada 5 periode tahun kebakaran yaitu dari masam menjadi bersifat agak masam-netral. Perubahan kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, P-Total, Ca, Mg setelah dibakar relatif kecil. Kandungan KTK, K, Na mengalami peningkatan setelah kebakaran. Hal ini terjadi karena pengaruh jenis tanah dan pH tanah. Pemanasan yang terjadi akibat kebakaran tidak merubah jenis tekstur tanah dan warna tanah. Kerapatan lindak setelah kebakaran relatif kecil. Kadar air tanah bekas kebakaran hutan lebih besar daripada tanah tidak terbakar. Kata kunci: kebakaran hutan, dampak, sifat fisik tanah, sifat kimia tanah


(4)

PURNAMA SARI SAGALA. The impact of forest fires on the Nature Physics and Soil Chemical Properties in Samosir. Under academic supervision by

DENI ELFIATI and DELVIAN.

Forest damage caused by forest fires could make a great harm. This result aims to determine the impact of forest fires on the physical properties and chemical soil. The result was conducted in May-July 2014. The soil samples were taken in Samosir, North Sumatra. Soil analysis carried out in the Central Laboratory of the Faculty of Agriculture, University of North Sumatra. The results showed the type of fires are fires canopy. After the pH value of forest fires is not too increased in 5-year period of surly be a fire that is slightly acid-neutral. Changes in content of organic C, total N, available P, P-Total, Ca, Mg after burned relatively small. The content of KTK, K, Na increased after the fire. This occurs because of the influence of soil type and soil pH. Warming caused by fire does not change the type of soil texture and color of the soil. Bulkdensity relatively small after the forest fire. Soil moisture former forest fires larger than unburned soil.

Keywords: forest fires, the impact, the physical properties of soil, soil chemical properties


(5)

Penulis dilahirkan di Gotong Royong pada tanggal 25 September 1991 dari ayah M.Sagala (Alm) dan ibu M.Sihaloho. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bahorok dan pada tahun yang sama penulis diterima masuk di Fakultas Pertanian USU melalui jalur Undangan. Penulis memilih minat studi Budidaya Hutan, Program Studi Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS), sebagai asisten Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan tahun 2012 dan asisten praktikum Dasar Perlindungan Hutan 2013. Penulis juga aktif dalam organisasi ekstra universitas yaitu Putra-putri Pencinta Alam dan Lingkungan Hidup (PARINTAL) sebagai anggota biasa. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi Gerakan Mahasiswa Bahorok (GMB). Penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Ekosisten Hutan (PEH) di Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan pada tahun 2011. Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Kph Banyuwangi Utara Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan Tongkoh Kabupaten Karo (Tanggal 17 Juli S/D 14 Agustus 2013 Dan 12 Nopember S/D 19 Nopember 2013).

Penulis melaksanakan penelitian dari bulan Mei 2014 sampai Juli 2014

dengan judul “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat Fisika dan Kimia Tanah di Kabupaten Samosir” dibawah bimbingan ibu Dr. Deni Elfiati SP., MP. dan


(6)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam skripsi ini, penulis akan meneliti mengenai dampak kebakaran hutan terhadap sifat fisik dan kimia tanah di Kabupaten Samosir.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Komisi pembimbing menulis yaitu Dr. Deni Elfiati, SP., MP. sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Delvian, SP., MP. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan selama penelitian hingga penulisan hasil penelitian ini selesai.

2. Ayah M. Sagala (Alm) dan ibu M. Sihaloho dan keluarga saya Jenny Citra Alam Sagala, S.Pd (kakak), Johan Ardiles Silaban, SH (abang ipar), Angra Anastasya Sagala, Amd (kakak), Buyung Pariaman Sitanggang, ST (abang ipar), dan Dara Anzelina Sagala (adik).

3. Novrianty Naomas Nainggolan, S.Hut, Adelina Sitompul, Rionaldo Melvin Silalahi, S.Hut, dan Rionaldo Damanik, S.Hut. Juga kepada teman-teman di program studi kehutanan khususnya stambuk 2009, serta seluruh pegawai di program studi Kehutanan.


(7)

(8)

No. Hal.

1. Analisis pH, C-Organik, dan KTK... 19

2. Analisis N-Total, P-Tersedia, dan P-Total ... 40

3. Analisis basa-basa dapat ditukar (Ca, Mg, K, Na) ... 43

4. Analisis tekstur tanah ... 47


(9)

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR ISI... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan... 4

Proses dan Tipe Kebakaran Hutan ... 4

Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 5

Sifat Fisik Tanah... 5

Tekstur Tanah ... 6

Warna Tanah... 6

Kerapatan Lindak (Bulk density) ... 8

Kadar Air Tanah ... 9

Sifat Kimia Tanah... 9

Reaksi Tanah (pH Tanah) ... 10

C-Organik ... 10

Kapasitas Tukar Kation (KTK)... 12

Nitrogen (N) Total ... 13

Posfat (P)... 14

Kalium (K) ... 15

Calsium (Ca) ... 16

Magnesium (Mg) ... 16

Tipe Kebakaran ... 17

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi dan Tanah... 18

Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 20

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Metode Penelitian... 23


(10)

Tekstur Tanah ... 24

Warna Tanah... 25

Kerapatan Lindak (Bulk density) ... 26

Kadar Air Tanah ... 27

Sifat Kimia Tanah... 28

Reaksi Tanah (pH Tanah) ... 28

C-Organik ... 28

Kapasitas Tukar Kation (KTK)... 29

Posfat Tersedia (P Tersedia) ... 30

Posfat Total (P Total) ... 30

Calsium (Ca2+) ... 31

Magnesium (Mg) ... 32

Kalium (K) ... 33

Nitrogen (N) Total ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN Karaktristik Sifat Kimia Tanah Bekas Kebakaran ... 35

Karaktristik Sifat Fisika Tanah Bekas Kebakaran…………... 46

Tekstur Tanah... 46

Warna Tanah ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 51

Saran ... 51 DAFTAR PUSTAKA


(11)

PURNAMA SARI SAGALA. Dampak Kebakaran HutanTerhadap Sifat Fisika dan Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Samosir. Di bawah bimbingan DENI ELFIATIdanDELVIAN.

Kerusakan hutan akibat kebakaran hutan dapat menimbulkan kerugian yang besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak terjadinya kebakaran hutan terhadap sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2014. Contoh tanah diambil di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan tipe kebakaran hutan yang terjadi adalah kebakaran tajuk. Setelah kebakaran hutan nilai pH tidak terlalu meningkat pada 5 periode tahun kebakaran yaitu dari masam menjadi bersifat agak masam-netral. Perubahan kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, P-Total, Ca, Mg setelah dibakar relatif kecil. Kandungan KTK, K, Na mengalami peningkatan setelah kebakaran. Hal ini terjadi karena pengaruh jenis tanah dan pH tanah. Pemanasan yang terjadi akibat kebakaran tidak merubah jenis tekstur tanah dan warna tanah. Kerapatan lindak setelah kebakaran relatif kecil. Kadar air tanah bekas kebakaran hutan lebih besar daripada tanah tidak terbakar. Kata kunci: kebakaran hutan, dampak, sifat fisik tanah, sifat kimia tanah


(12)

PURNAMA SARI SAGALA. The impact of forest fires on the Nature Physics and Soil Chemical Properties in Samosir. Under academic supervision by

DENI ELFIATI and DELVIAN.

Forest damage caused by forest fires could make a great harm. This result aims to determine the impact of forest fires on the physical properties and chemical soil. The result was conducted in May-July 2014. The soil samples were taken in Samosir, North Sumatra. Soil analysis carried out in the Central Laboratory of the Faculty of Agriculture, University of North Sumatra. The results showed the type of fires are fires canopy. After the pH value of forest fires is not too increased in 5-year period of surly be a fire that is slightly acid-neutral. Changes in content of organic C, total N, available P, P-Total, Ca, Mg after burned relatively small. The content of KTK, K, Na increased after the fire. This occurs because of the influence of soil type and soil pH. Warming caused by fire does not change the type of soil texture and color of the soil. Bulkdensity relatively small after the forest fire. Soil moisture former forest fires larger than unburned soil.

Keywords: forest fires, the impact, the physical properties of soil, soil chemical properties


(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja. Dengan kata lain terjadinya kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Hutan Tanaman Industri (HTI), penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini (Purbowaseso, 2004).

Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu proses nyala api yang dapat terjadi pada suatu kawasan hutan maupun lahan perorangan. Secara umum kebakaran hutan itu terjadi apabila setidaknya terdapat faktor penentu yaitu bahan yang mudah terbakar (materials), sumber api (imition) dan zat asam (oksigen) yang berinteraksi didalam proses pembakaran. Bagaimanapun keringnya kayu dan bahan organik lainnya bila tidak ada sumber api, tentunya kebakaran hutan masih dapat terhindarkan (Sagala, 1994).

Proses dan Tipe Kebakaran Hutan


(14)

partikel-partikel. Dapa apabila ada tiga unsur panas (heat). Bila (De Bano dan Folliot,

Prinsip ini dike merupakan kunci uta termasuk dalam upaya di hutan dalam jumlah tergantung kepada (Sumardi dan Widyast

Sifat Fisik dan Kimia T Sifat Fisik Tanah

Sifat-sifat fisik produksi tanaman. Kondi retensi air, drainase mempengaruhi sifat-si

apat dilihat bahwa terjadinya proses pembak unsur yang bersatu yaitu bahan bakar (fuel), oksige ila salah satu dari ketiganya tidak ot, 1998)

dikenal dengan istilah prinsip segitiga api (G utama dalam mempelajari kebakaran hutan da aya pengendalian kebakaran. Bahan bakar dan oksi

lah yang berlimpah, sedangkan sumber panas pe da kondisi alami suatu daerah dan keg

astuti, 2002).

Gambar 1. Prinsip Segitiga Api mia Tanah

isik tanah diketahui, sangat mempengaruhi pe Kondisi fisik tanah menentukan penetrasi akar nase, aerase dan nutrisi tanaman. Sifat fisi

t-sifat kimia dan biologi tanah Hakimet al (198

bakaran/kebakaran oksigen (oxygen) dan k akan terjadi

(Gambar 1) yang n dan lahan yang n oksigen tersedia s penyalaan sangat egiatan manusia

pertumbuhan dan kar di dalam tanah, fisika tanah juga (1986). Sifat-sifat


(15)

fisik tanah tergantung pada jumlah, ukuran, bentuk, susunan dan komposisi mineral dari partikel-partikel tanah; macam dan jumlah bahan organik, air dan udara menempati pori-pori waktu tertentu. Beberapa sifat fisika tanah yang terpenting adalah tekstur, struktur, kerapatan (density) porositas, konsistensi, warna dan suhu (Hardjowigeno, 2003).

a. Tekstur tanah

Tekstur tanah ialah perbandingan relatif (dalam persen) fraksi-fraksi pasir, debu dan liat. Tekstur tanah penting untuk diketahui, oleh karena komposisi ketiga fraksi butir-butir tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika, fisika-kimia dan fisika-kimia tanah. Sebagai contoh, besarnya lapangan pertukaran dari ion-ion di dalam tanah amat ditentukan oleh tekstur tanah (Hakimet al,1986).

Ukuran relatif partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah. Tekstur tanah adalah perbandingan relatif pasir, debu dan liat. Laju dan berapa jauh berbagai reaksi fisika dan kimia penting dalam pertumbuhan tanaman diatur oleh tekstur karena tekstur ini menentukan jumlah permukaan tempat terjadinya reaksi (Foth, 1994).

b. Warna Tanah

Warna tanah merupakan ciri morfologi tanah yang paling mudah dibedakan. Meskipun pengaruhnya yang langsung terhadap fungsi tanah hanya sedikit, tetapi seseorang dapat memperoleh keterangan banyak dari warna tanah, apalagi jika disertai dan dihubungan dengan ciri-ciri lain. Jika warna tanah hampir


(16)

bersifat menggantikan ciri-ciri penting lain yang sukar diamati teliti. Warna tanah merupakan pernyataan: (a) jenis dan kadar bahan organik, (b) keadaan drainase dan aerasi tanah dalam hubungan dengan hidrasi, oxidasi dan proses pelindian, (c) tingkat perkembangan tanah, (d) kadar air tanah termasuk pula dalamnya permukaan air tanah, dan atau (e) adanya bahan-bahan tertentu (Mega dkk, 2010).

Warna tanah merupakan petunjuk untuk beberapa sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna semakin gelap.Warna tanah ditentukan dengan menggunakan warna-warna baku yang terdapat dalam bukuMunsell Soil Color Chart. Dalam warna baku ini warna disusun oleh tiga variable yaitu: hue, value, dan chroma. Hue adalah warna spektrum yang dominan sesuai dengan panjang gelombangnya. Value

menunjukkan gelap terangnya warna, sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan.Chromamenunjukkan kemurnian atau kekuatan dari warna spektrum (hue) (Hardjowigeno, 2007).

Pada umumnya bahan organik memberikan warna kelam pada tanah, artinya jika tanah asalnya berwarna kuning atau coklat muda, kandungan bahan organik menyebabkan warnanya lebih cenderung ke arah coklat-kelam. Makin stabil bahan organik makin tua warnanya, sedang makin segar makin cerah warna tanah dan humus yang berwarna hitam. Tanah berwarna merah sekali biasanya terdapat dipermukaan tanah yang cembung (convex) terletak di atas batuan permeabel, tetapi meskipun demikian ada pula tanah-tanah merah yang warnanya berasal dari bahan induknya (Megaet al, 2010).


(17)

c. Kerapatan Lindak (Bulk density)

Kerapatan lindak adalah berat (massa) satu satuan volume tanah kering, umumnya dinyatakan dalam mg/m3 (Hillel, 1980). Volume tanah dalam hal ini termasuk volume butiran padat dan ruang pori. Bulk density merupakan rasio bobot kering mutlak (suhu 105oC) suatu unit tanah terhadap volume total. Menurut Hardjowigeno (2007), kerapatan lindak atau Bulk Density (BD) adalah berat tanah kering per satuan volume tanah (termasuk pori-pori tanah). Bulk density dapat digunakan untuk menghitung ruang pori total (total porosity) tanah dengan dasar bahwa kerapatan zarah (particle density) tanah = 2,65 g/cc.

Menurut Sarief (1986) dalam Mustofa (2007) nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan oleh alat-alat pertanian, tekstur, struktur, kandungan air tanah, dan lain-lain. Pengolahan tanah yang sangat intensif akan menaikkan bobot isi. Hal ini disebabkan pengolahan tanah yang intensif akan menekan ruang pori menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan tanah yang tidak pernah diolah.

Besaran bobot isi tanah dapat bervariasi dari waktu ke waktu atau dari lapisan ke lapisan sesuai dengan perubahan ruang pori atau struktur tanah. Keragaman itu menunjukkan derajat kepadatan tanah (Foth, 1994), karena tanah dengan ruang pori berkurang dan berat tanah setiap satuan bertambah menyebabkan meningkatnya bobot isi tanah. Tanah dengan bobot yang besar akan sulit meneruskan air atau sulit ditembus akar tanaman, sebaliknya tanah dengan bobot isi rendah, akar tanaman lebih mudah berkembang (Hardjowigeno, 2007).


(18)

d. Kadar Air Tanah

Hasibuan (2006) menyatakan bahwa nilai-nilai pF yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah berkisar dari 2-4. Pada pF 2,0 keadaan air terlalu basah, keadaan udara mulai terbatas dan air mulai turun merembes. Pada pF 2,54 adalah keadaan air pada kapasitas lapang, sedang pada pF 4,2 atau 15 atm keadaan kritis, akar mulai tidak dapat mengisap air dan mulai layu secara permanen (titik layu permanen). Air yang tersedia bag tanaman adalah pada keadaan diantara pF 2,54-pF 4,2.

Tidak semua kadar air tanah tersedia secara efektif untuk tanaman. Air tersedia biasanya dianggap berkisar antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Kapasits lapang, adalah jumlah air yang ditahan dalam tanah sesudah air yang berlebihan di drainase keluar dan kecepatan bergerak kebawah tellah sangat diperlambat. Kapasitas lapang tidak tetap dan dipengaruhi oleh tekstur, struktur, kandungan bahan organik, keseragaman dan kedalaman lahan (Guslim, 2008).

Sifat Kimia Tanah

Seperti halnya dengan sifat fisik tanah, komponen kimia tanah juga berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Uraian kimia tanah dalam hal ini bertujuan untuk menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang mengangkut masalah-masalah ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Hakim et al, 1986). Sifat kimia tanah merupakan sifat-sifat dari tanah yang ditinjau secara kimiawi seperti kemasaman tanah, kejenuhan basa, unsur-unsur hara dalam tanah, dan lain-lain (Sutanto, 2005).


(19)

a. Reaksi tanah (pH Tanah)

Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion Hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut, dan jumlah ion OH- di dalam tanah berbanding terbalik dengan jumlah ion H+. Pada tanah-tanah yang masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada jumlah ion OH-, sedang pada tanah alkalis sebaliknya. Bila kandungannya sama maka tanah bereaksi netral, yaitu mempunyai pH = 7 (Hardjowigeno, 2003).

Kemasaman tanah merupakan salah satu sifat penting, sebab terdapat beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat beberapa hubungan antara pH dan semua pembentukan serta sifat-sifat tanah. Sejumlah organisme mempunyai toleransi lain dapat toleran terdapat kisaran pH yang lebar. Penelitian-penelitian telah memperlihatkan bahwa konsentrasi aktual H+ dan OH -tidak begitu penting, kecuali dalam lingkungan yang ekstrim. Hal ini merupakan kondisi yang berkaitan dari suatu nilai tertentu yang terpenting (Foth, 1994).

b. C-Organik

Bahan organik adalah segala bahan-bahan atau sisa-sisa yang berasal dari tanaman, hewan dan manusia yang terdapat di permukaan atau di dalam tanah dengan tingkat pelapukan yang berbeda (Hasibuan, 2006). Bahan organik merupakan bahan pemantap agregat tanah yang baik. Sekitar setengah dari Kapasitas Tukar Kation (KTK) berasal dari bahan organik (Hakimet al, 1986).


(20)

Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya tanaman. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik. Selain itu, menurut Kohnke (1968) dalam Utami (2009) menyatakan bahwa fungsi bahan organik adalah sebagai berikut : (i) sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme, (ii) membantu keharaan tanaman melalui perombakan dirinya sendiri melalui kapasitas pertukaran humusnya, (iii) menyediakan zat-zat yang dibutuhkan dalam pembentukan pemantapan agregat-agregat tanah, (iv) memperbaiki kapasitas mengikat air dan melewatkan air, (v) serta membantu dalam pengendalian limpasan permukaan dan erosi.

Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Musthofa (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2 persen, agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik antara lain sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas Tukar Kation) dan dapat meningkatkan KTK tanah. Tanpa pemberian bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah.

Secara umum karbon dari bahan organik tanah terdiri dari 10-20% karbohidrat, terutama berasal dari biomasa mikroorganisme, 20% senyawa


(21)

mengandung nitrogen seperti asam amino dan gula aminom 10-20% asam alifatik, alkane, dan sisanya merupakan karbon aromatik. Karena fungsinya yang sangat penting, maka tidak mengherankan jika dikatakan bahwa faktor terpenting yang mempengaruhi produktifitas baik tanah yang dibudidayakan maupun tanah yang tidak dibudidayakan adalah jumlah dan kedalaman bahan organik tanah (PaulandClark, 1989).

c. Kapasitas Tukar Kation

Kemampuan tukar kation adalah ukuran total kation-kation dapat dipertukarkan yang tersedia dalam tanah, dan dinyatakan sebagai jumlah mili equivalen (me) dalam 100 gram tanah (equivalen sama dengan berat gram atom kation dibagi valensinya). Jumlah kapasitas pertukaran kation tergantung pada adanya muatan negatif pada partikel tanah dan sangat berkorelasi dengan jumlah luas permukaan partikel, terutama pada lempung koloid dan bahan organik. Kenyataan menunjukkan bahwa KTK dari berbagai tanah sangat beragam, bahkan tanah sejenisnyapun berbeda KTKnya. Besarnya KTK tanah dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri yang menurut Hakim et al (1986), antara lain adalah:

1. Reaksi tanah atau pH

2. Tekstur tanah atau jumlah liat 3. Jenis mineral liat

4. Bahan organik


(22)

d. Nitrogen (N) Total

Nitrogen adalah unsur hara makro utama yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak, diserap tanaman dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat

(NO3-). Pada umumnya Nitrogen merupakan faktor pembatas dalam tanaman

budidaya. Biomassa tanaman rata-rata mengandung N sebesar 1 sampai 2% dan mungkin sebesar 4 sampai 6%. Dalam hal kuantitas total yang dibutuhkan untuk produksi tanaman budidaya, N termasuk keempat di antara 16 unsur essensial (Gardneret al., 1991).

Unsur Nitrogen penting bagi tanaman dan dapat disediakan oleh manusia melalui pemupukan. Menurut Hardjowigeno (2003), nitrogen di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yaitu protein (bahan organik), senyawa-senyawa amino, amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Bentuk N yang diabsorpsi oleh

tanaman berbeda-beda. Ada tanaman yg lebih baik tumbuh bila diberi NH4+ ada

pula tanaman yang lebih baik diberi NO3- dan ada pula tanaman yang tidak

terpengaruh oleh bentuk-bentuk N (Leiwakabessy dan Wahyudin, 2003).

Menurut Leiwakabessy dan Wahyudin (2003), pemberian N yang banyak akan menyebabkan pertumbuhan vegetatif berlangsung hebat sekali dan warna daun menjadi hiijau tua. Kelebihan N dapat memperpanjang umur tanaman dan memperlambat proses pematangan karena tidak seimbang dengan unsur lainnya seperti P, K dan S. Fungsi N adalah untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman (tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N akan berwarna lebih hijau) dan membantu proses pembentukan protein. Kemudian gejala-gejala kebanyakan N lainnya yaitu batang menjadi lemah, mudah roboh dan dapat mengurangi daya tahan tanaman terhadap penyakit (Hardjowigeno, 2007).


(23)

e. Fosfor (P)

Beberapa peranan fosfor yang penting ialah dalam proses fotosintesa, perubahan-perubahan karbohidrat dan senyawa-senyawa yang berhubungan dengannya, glikolisis, metabolisme asam amino, metabolisme lemak, metabolisme sulfur, oksidasi biologis dan sejumlah reaksi dalam proses hidup. Fosfor betul-betul merupakan unsur yang sangat penting dalam proses transfer energi, suatu proses vital dalam hidup dan pertumbuhan (Leiwakabessy dan Wahyudin, 2003).

Sering terjadi kekurangan P di dalam tanah yang disebabkan oleh jumlah P yang sedikit di tanah, sebagian besar terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman dan terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis. Gejala-gejala kekurangan P yaitu pertumbuhan terhambat (kerdil) karena pembelahan sel terganggu, daun-daun menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun, terlihat jelas pada tanaman yang masih muda (Hardjowigeno, 2007).

Kadar P organik dalam bahan organik kurang lebih sama kadarnya dalam tanaman yaitu 0,2 - 0,5 %. Tanah-tanah tua di Indonesia (podsolik dan litosol) umumnya berkadar alami P rendah dan berdaya fiksasi tinggi, sehingga penanaman tanpa memperhatikan suplai P kemungkinan besar akan gagal akibat defisiensi P (Hanafiah, 2007). Menurut Foth (1994) jika kekurangan fosfor, pembelahan sel pada tanaman terhambat dan pertumbuhannya kerdil.


(24)

f. Kalium (K)

Kalium diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Muatan positif dari kalium akan membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan negatif nitrat, fosfor, atau unsur lainnya. Hakim et al (1986), menyatakan bahwa ketersediaan kalium merupakan kalium yang dapat dipertukarkan dan dapat diserap tanaman yang tergantung penambahan dari luar, fiksasi oleh tanahnya sendiri dan adanya penambahan dari kaliumnya sendiri. Ketersediaan hara kalium di dalam tanah dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu kalium relatif tidak tersedia, kalium lambat tersedia, kalium sangat tersedia.

Kalium dalam tanaman berperan sebagai pembentukkan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan stomata (mengatur pernapasan dan penguapan), proses fisiologis dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan, dan penyakit perkembangan akar (Hardjowigeno, 2007). Kalium tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang mengandung kalium melalui proses dekomposisi bahan tanaman dan jasad renik maka kalium akan larut dan kembali ke tanah. Selanjutnya sebagian besar kalium tanah yang larut akan tercuci atau tererosi dan proses kehilangan ini akan dipercepat lagi oleh serapan tanaman dan jasad renik.

Beberapa tipe tanah mempunyai kandungan kalium yang melimpah. Kalium dalam tanah ditemukan dalam mineral-mineral yang terlapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion adsorpsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanaman. Tanah-tanah organik mengandung sedikit Kalium (Hakimet al., 1986).


(25)

g. Calsium (Ca)

Kalsium tergolong dalam unsur-unsur mineral essensial sekunder seperti Magnesium dan Belerang. Calsium diserap tanaman dalam bentuk Ca2+. Ca2+ dalam larutan dapat habis karena diserap tanaman, diambil jasad renik, terikat oleh kompleks adsorpsi tanah, mengendap kembali sebagai endapan-endapan sekunder dan tercuci (Leiwakabessy, 1988). Mineral Ca, Mg, dan K bersaing untuk memasuki tanaman. Apabila salah satu unsur berada pada jumlah yang lebih rendah dari pada yang lain, maka unsur yang kadarnya lebih rendah sukar diserap (Leiwakabessy dan Wahyudin, 2003). Di dalam tanah kalsium berada dalam bentuk anorganik, namun dalam jumlah yang cukup signifikan juga berasosiasi dengan materi organik dalam humus (Sutcliffe dan Baker, 1975).

Adapun manfaat dari kalsium adalah mengaktifkan pembentukan bulu-bulu akar dan biji serta menguatkan batang dan membantu keberhasilan penyerbukan, membantu pemecahan sel, membantu aktivitas beberapa enzim. Biasanya tanah bersifat masam memiliki kandungan Ca yang rendah. Kalsium ditambahkan untuk meningkatkan pH tanah. Sebagian besar Ca berada pada kompleks jerapan dan mudah dipertukarkan. Pada keadaan tersebut kalsium mudah tersedia bagi tumbuhan. Pada tanah basah kehilangan Ca terjadi sangat nyata (Soepardi, 1983).

h. Magnesium (Mg)

Di dalam tanah magnesium berada dalam bentuk anorganik (unsur makro), Magnesium diserap tanaman dalam bentuk Mg2+ (Hardjowigeno, 2007).


(26)

dan Mg yang terangkut ke tanaman juga meningkat. Unsur Ca dan Mg biasa dihubungkan dengan masalah kemasaman tanah dan pengapuran. Magnesium merupakan unsur yang sangat banyak terlibat pada kebanyakan reaksi enzimatis. Mg terdapat pada mineral: amfibol, biotit, dolomit, hornblende, olivin, dan serpentin.

Magnesium merupakan unsur pembentuk klorofil. Seperti halnya dengan beberapa hara lainnya, kekurangan magnesium mengakibatkan perubahan warna yang khas pada daun. Kadang-kadang pengguguran daun sebelum waktunya merupakan akibat dari kekurangan magnesium (Hanafiah, 2007). Selain itu, masnesium merupakan pembawa posfat terutama dalam pembentukan biji berkadar minyak tinggi yang mengandung lesitin (Agustina, 2004). Selain itu magnesium juga berfungsi sebagai sistem enzim dan pembentukan minyak (Hardjowigeno, 2007).

Tipe Kebakaran Hutan

1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan kontrol. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling merusak lingkungan. Tipe kebakaran ini didominasi oleh proses smoldering

(Soemardi dan Widyastuti, 2004). 2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembakaran dan bahan bakar lainnya yang terdapat di lantai hutan. Energi


(27)

kebakaran dapat rendah sampai tinggi. Dalam penjalarannya, dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke tajuk pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan (Soemardi dan Widyastuti, 2004). 3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon berikutnya. Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api menjalar dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya terjadi pada tegakan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin. Disamping itu kebakaran tipe ini juga dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin dan menimbulkan kebakaran baru di tempat lain (De Banoet al, 1998).

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi dan Tanah

Dampak buruk kebakaran hutan dan lahan sangat banyak. Kerusakan dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman sampai hancurnya pepohonan secara keseluruhan berikut vegetasi lainnya. Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya plasma nutfah (sumber daya genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan hancurnya vegetasi tersebut. Selain itu kebakaran dapat melemahkan daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang menderita luka bakar meskipun tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena serangan penyakit/pembusukan atau menjadi merana (Sagala, 1994).


(28)

Kebakaran hutan dan lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sifat fisik dan kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur tanah akan mengalami kerusakan karena kebakaran hutan. Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila terjadi hujan, maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapat energi pukulan air hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah (Purbowaseso, 2004).

Menurut Pyne et al (1996), dampak kebakaran hutan terhadap tanah sangat bervariasi tergantung pada kandungan dari bahan bakar, jenis tanah dan tipe kebakaran terutama dari frekuensi kebakaran, intensitas kebakaran dan waktu terjadinya kebakaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Adapun terhadap sifat fisik yang ditimbulkan yaitu diantaranya kenaikan suhu tanah, perubahan pada struktur tanah dan terhambatnya proses tanah dalam menyerap dan menampung air yang masuk kedalam tanah. Kerusakan ini terjadi tergantung pada bagaimana lapisan atas tanah rusak terbakar. Lapisan tanah yang terbuka akan mengalami pemanasan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lapisan yang sama sekali tidak terbuka.

Rusaknya struktur tanah juga akan menyebabkan massa tanah dan bahan organik yang tergandung di dalamnya terbawa oleh limpasan aliran permukaan atau dengan kata lain akan munculnya erosi pada musim penghujan. Seperti diketahui bahwa erosi akan menyebabkan tanah menjadi kritis, akibat terkikisnya secara terus menerus lapisan tanah atas. Penelitian di Kalimantan Timur yaitu di Taman Nasional Kutai tahun 1982-1983 menunjukkan kecepatan erosi meningkat


(29)

sepuluh kali lipat dibanding dengan hutan primer yang tidak terbakar. Oleh karena itu, pada saat hujan lebat meningkatkan sedimen pada Sungai Mahakam. Hal ini tampak dengan air sungai yang keruh oleh adanya kandungan sedimen. Namun, kebakaran hutan yang mempengaruhi sifat fisik tanah ini hingga sedang kurang memberikan dampak terhadap menurunnya sifat fisik tanah (Purbowaseso, 2004).

Secara umum kebakaran hutan juga akan menurunkan kualitas lingkungan tanah karena hilangnya mikroorganisme tanah. Hilangnya mikroorganisme tanah menyebabkan terhambatnya proses dekomposisi serasah, sehingga akan terjadi akumulasi serasah. Serasah yang tidak mengalami proses dekomposisi akan menyebabkan lambatnya proses pembentukan tanah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap proses suksesi vegetasi yang ada di atasnya (Purbowaseso, 2004).

Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pangururan

Lokasi penelitian dilaksanakan pada areal terbakar di desa Siogung-ogung dan desa Sosor Dolok, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2012 di kawasan Hutan Lindung desa Siogung-ogung mencapai 0,5 Ha. Pada tahun 2013, kebakaran di lahan masyarakat dan kawasan hutan desa Sosor Dolok mencapai 60 Ha.

Data curah hujan di daerah Kecamatan Simanindo menurut Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April dan curah hujan terendah terjadi bulan Juni dan Juli. Wilayah Kabupaten


(30)

290C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk Kecamatan Pangururan yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Samosir. Sebaran jenis tanah di wilayah Pangururan didominasi oleh jenis tanah litosol, podsolik, danregosol(Badan Pusat Statistik, 2013).

Kecamatan Simanindo

Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar di desa Sijambur Nabolak dan Curaman Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera. Sedangkan untuk lokasi penelitian pada areal yang tidak terbakar (kontrol) dilaksanakan di desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2010 di kawasan Hutan Lindung desa Sijambur Nabolak mencapai 93 Ha. Pada tahun 2011 dan tahun 2014, kebakaran di kawasan Hutan Lindung desa Curaman Tomok mencapai 3 Ha.

Kecamatan Simanindo berada di hamparan dataran dan struktur tanahnya labil berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik. Wilayah Kabupaten Samosir memiliki angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Data curah hujan di daerah Kecamatan Simanindo Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dan curah hujan terendah terjadi bulan Februari. Seperti halnya Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo juga tergolong beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 170C-290C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk. Sebaran jenis tanah di wilayah Simanindo didominasi oleh jenis tanah


(31)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2014. Contoh tanah diambil di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Pengambilan tanah tidak terbakar dan tanah bekas kebakaran hutan dilakukan berdasarkan waktu terjadinya kebakaran pada kurun waktu 5 tahun terakhir, yaitu tahun 2010-2014. Data lokasi kebakaran hutan di Kabupaten Samosoir diperoleh dari Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Tanah tidak terbakar dan tanah bekas kebakaran tahun 2010 diambil di daerah Sijambur Nabolak, tahun 2011 di Curaman Tomok, tahun 2012 di Siogung-ogung, tahun 2013 di Sosor Dolok, dan tahun 2014 di Curaman Tomok. Analisis tanah dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel tanah dari hutan bekas kebakaran dan tidak terjadi kebakaran, bahan pengujian tanah untuk analisa tanah di laboratorium seperti aquades, natrium pirofosfat, amil alkohol, K2Cr2O7

H2SO4,H3PO4, FeSO4, NH4OAc, paraffin cair, NaOH, indikator cunwai, larutan

fisiologis, pasir, pereaksi nessler.

Alat yang digunakan dalam penelitian terbagi dua yaitu alat yang digunakan untuk pengambilan contoh tanah seperti ring sample, kantong plastik, kertas label, meteran, parang, cangkul, gunting, alat tulis dan kedua; peralatan yang digunakan untuk analisa tanah di laboratorium seperti ayakan 10 mesh,


(32)

pH meter, pipet tetes, buret, pengaduk gelas saringan, labu ukur, labu didih, cawan petri, kertas label, kalkulator, alat tulis, dan kertas millimeter.

Metode Penelitian

a. Penentuan Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan sampel tanah dilakukan pada tempat pengambilan contoh tanah terbakar dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (tahun 2010-2014) dan sebagai pembandingnya diambil contoh tanah hutan yang tidak terbakar pada daerah tersebut.

b. Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah dari tanah bekas kebakaran dilakukan secara zigzag. Kemudian tanah dikompositkan dengan membuat petak sebanyak 3 buah tiap tahun terjadinya kebakaran. Petak tersebut berukuran 20 x 20 meter dan titik pengambilan sampel tiap petak ada 6 titik. Pada setiap titik diambil ± 500 g tanah pada kedalaman 0-20 cm setelah dibersihkan tumbuhan diatasnya, sedangkan pengambilan contoh tanah utuh diambil dengan menggunakan ring sample. Pengambilan contoh tanah utuh diambil sebanyak 3 titik secara acak dari lahan terbakar maupun hutan normal. Sampel tanah dari hutan terbakar yang diambil dari setiap titik tersebut dicampurkan secara merata dan ditempatkan pada plastik yang bersih sedangkan contoh tanah dari hutan normal diletakkan pada plastik yang terpisah dan dicampur secara merata. Perlakuan selanjutnya adalah mengeringudarakan tanah-tanah tersebut sebelum dilakukan analisa tanah di laboratorium.


(33)

c. Parameter Pengamatan 1. Sifat Fisik Tanah

Parameter yang diamati untuk sifat fisik tanah yaitu: 1. Tekstur tanah

2. Warna tanah

3. Kerapatan lindak (pengambilan sampel dengan menggunakanring sample) 4. Kadar air tanah (kapasitas lapang, titik layu permanen, kadar air tersedia) 2. Sifat Kimia Tanah

Parameter yang diamati untuk sifat kimia tanah yaitu: pH tanah, C-Organik, KTK, N total, P tersedia, P total, Kalium (K), Calsium (Ca), Magnesium (Mg), Natrium (Na).

Prosedur penelitian 1. Sifat Fisik Tanah

a) Tekstur Tanah

1. Ditimbang 25 g tanah kering udara yang telah diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian masukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml.

2. Ditambahkan 50 ml larutan natrium pirofosfat, kocok sampai rata, lalu biarkan selama 24 jam.

3. Goncang pada alat penggoncang (shaker) selama 15 menit.

4. Selanjutnya pindahkan ke dalam silinder (gelas ukur) volume 500 ml dan tambahkan aquades sampai tanda garis.


(34)

5. Kocok 20 kali sebelum pembacaan, bila perlu dapat ditambahkan amil alkohol untuk menghilangkan buih yang dapat menggangu pembacaan.

6. Dimasukkan hydrometer ke dalam silinder dengan hati-hati untuk pembacaan pertama setelah 40 detik dari saat pengocokan.

7. Setelah 3 jam masukkan lagi hydrometer untuk pembacaan yang kedua, untuk mendapatkan jumlah.

8. Selanjutnya dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut: % Liat + debu =Pembacaan hydrometer I

Berat Contoh Tanah x 100% % Liat =Pembacaan hydrometer II

Berat Contoh Tanah x 100% % debu = % (liat + debu) % liat % pasir = 100% % (liat + debu) b) Warna Tanah

Penentuan warna tanah diperlukan suatu patokan warna sebagai pembanding, dengan menggunakan Munsell Soil Color Chart. Munsell

Soil Color Chart yang terdiri dari 9 kartu dengan hue antara kuning (yellow) dan merah (red) berturut-turut mulai dari 5 Y, 2,5 Y, 10 YR, 7,5 YR, 5 YR, 2,5 YR, 10 %, 7,5 R dan 5 R. Masing-masing kartu disusun dengan interval value mulai dari 1 sampai dengan 8, dan dengan interval

chroma mulai dari 2 sampai 8 atau mulai 0 sampai 8 tanpa angka 5. Makin tinggi valuemakin cerah warnanya, sedangkan makin besar angka


(35)

Cara menentukan warna tanah adalah dengan membandingkan warna tanah dengan warna pembanding dalam kartu Munsell Soil Color Chart, dengan mendekatkan contoh tanah atau memasukkan contoh tanah ke dalam lubang yang telah tersedia di dekat masing-masing kertas warna pembanding. Penulisan warna ditulis menurut urutan hue,value,chroma, misalnya 10 YR ¾ (coklat).

c) Kerapatan Lindak

1. Diambil contoh tanah dari lapang yang dilakukan dengan tabung besi (ring sample).

2. Diambil contoh tanah dengan tabungnya (x gram). 3. Diketahui bobot tabung sebelumnya (y gram). 4. Bobot tanah basah (BB) = x-y gram.

5. Berat kering tanah (BKM) = x BB gram

KA ditetapkan dengan mengambil sebagian contoh tanah dari ring, yaitu:

KA = x 100% B = Bobot contoh tanah BK = Bobot contoh kering KA = Kadar Air


(36)

d) Kadar Air Tanah

1. Ditimbang sebanyak 10 gr tanah kering udara dan dimasukkan kedalam botol timbang atau cawan timbang yang telah diketahui beratnya.

2. Dimasukkan cawan timbang kedalam oven selama 24 jam dengan suhu 105oC.

3. Setelah 24 jam, diketahui cawan yang berisi tanah dari dalam oven lalu dimasukkan ke eksikator sebentar, kemudian ditimbang. 4. Kadar air tanah dapat dihitung sebagai berikut:

Kadar Air =Berat basah Berat kering

Berat Kering x 100 % • Kadar Air kapasitas Lapang

1. Dimasukkan pasir kedalam beker gelas dengan hati-hati sejumlah 1/3 dari tinggi gelas.

2. Diletakkan pipa kaca ditengah-tengahnya, kemudian tuangkan contoh kering udara setinggi 2/3 dari beker gelas, pipa kaca berfungsi untuk mengalirkan udara.

3. Disiramkan air dengan hati-hati menggunakan botol semprot pada permukaan tanah sampai air merembes ke pasir.

4. Ditutup dengan plastic untuk mencegah penguapan air dan diletakkan ditempat sejuk selama 24 jam.

5. Setelah 24 jam, dipindahkan sejumlah tanah dari beker gelas ke cawan timbang yang telah diketahui beratnya. Sebaiknya tanah yang diambil adalah tanah yang terletak agak ke tengah, sisipkan terlebih dahulu tanah yang dipermukaan.


(37)

6. Ditimbang contoh tanah beserta cawan timbangnya.

7. Dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 105oC. 8. Setelah 24 jam cawan yang berisi tanah dikeluarkan dari oven,

masukkan ke eksikator sebentar, lalu ditimbang.

9. Maka kadar air kapasitas lapang dapat dihitung sebagai berikut: Kadar AirKL= x 100%

Dimana:

BTKL : Berat Tanah Kapasitas Lapang BTKO: Berat Tanah Kering Oven

2. Sifat Kimia Tanah a. pH Tanah

1. Dimasukkan 10 gr tanah ke dalam botol kocok, sebanyak 3 botol. 2. Ditambahkan aquades sebanyak 25 ml.

3. Dikocok dengan menggunakan shaker selama 10 menit. 4. Kemudian diukur pH- nya dengan menggunakan ph meter. b. C- Organik

1. Ditimbang 0,5 g tanah kering udara tekah diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500ml.

2. Ditambahkan 10ml K2Cr2O7 (menggunakan pipet), goncang dengan

tangan.

3. Ditambahkan 20ml H2SO4 pekat, kemudian goncang 2-3 menit,


(38)

4. Ditambahkan 200 ml air 10 ml H3PO4 85%, ditambahkan 20 tetes

difenilamin, goncang (larutan berwarna biru tua).

5. Dititrasi dengan FeSO4 0,5 N dari buret hingga warna berubah menjadi

hijau.

6. Dibuat juga blanko dan titrasi. 7. Dihitung:

%C = 5 (1-T/S) x 0,78 --- untuk tanah 0,5 gr Dimana: T = titrasi

S = blanko

% Bahan Organik = 1,72 x % C c. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

1. Ditimbang 5 gr contoh tanah kering udara dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 100 ml.

2. Ditambahkan 20 ml larutan NH4OAc N pH 7,0. Diaduk dengan

pengaduk gelas sampai merata dan dibiarkan selama 24 jam.

3. Diaduk kembali lalu di sentrifuse selama 10 menit sampai 15 menit dengan kecepatan 2.500 rpm.

4. Ekstrak NH4OAc didekantasi, disaring lewat saringan dan filtrate

ditampung di dalam labu ukur 100 ml.

5. Penambahan NH4OAc N pH 7,0 diulangi sampai 4 kali. Setiap kali

penambahan diaduk merata, diisentrifuse dan ekstraknya didekantasi ke dalam labu ukur 100 ml.


(39)

d. Fosfat Tersedia (P Tersedia)

1. Ditimbang 2 gr contoh tanah dan tempatkan pada segelas Erlenmeyer 250 cc.

2. Tambahkan larutan Bray I sebanyak 20 ml, dan goncang pada shaker

selama 30 menit.

3. Saring dengan kertas saring Whatman No.42

4. Pipet filtrate sebanyak 5 ml dan tempatkan pada tabung reaksi.

5. Tambahkan pereaksi fosfat B sebanyak 10 ml. Biarkan selama 5 menit. 6. Ukur transmitan pada sprectronic dengan panjang gelombang 600nm. 7. Pada saat yang bersamaan pipet juga masing-masing 5 ml larutan standar

P 0 - 0,5 – 1.0 – 2.0 – 3,0 – 4,0 dan 5,0 ppm P ke tabung reaksi, kemudian tambahkan 10 ml pereaksi fosfat B.

8. Ukur juga transmitran standar pada spectronic dengan panjang gelombang yang sama yaitu 600 nm.

9. Perhitungan:

Pavl (ppm) = Pelarut x 20

2 x faktor pengencer (bila ada) e. Fosfat total (P Total)

1. Timbang 5 g tanah halus (lolos ayakan 2.0 mm) kering udara. 2. Tambahkan 25 mL HCl 25%.

3. Kocok selama 6 jam dengan pengocok elektrik.

4. Saring dengan kertas saring Whatman 42 dan biarkan semalam bila larutan keruh.


(40)

6. Pipet 5 mL ekstraksi tanah dari pengenceran (no.5) tersebut, atau 5 ml deret standar atau 5 mL blanko dimasukkan kedalam tabung reaksi 50 mL, tambahkan 25 mL aquadest dan 8 ml pereaksi B.

7. Kemudian tambahkan aquadest sampai tanda batas.Kocok supaya bercampur dengan baik.

8. Diamkan selama 30 menit, kemudian dibaca pada spek trometer dengan panjang gelombang 720 nm.

P tersedia = 4 x a x 100

100 % air(gr/gr tanah kering oven)

f. Ca2+

1. Perlakuan pendahuluan terhadap ekstrak tanah NH4OAc pH 7,0

2. Pipet 10 ml ekstrak tanah (filtrat hasil penjenuhan tanah dengan NH4OAc pH 7) dan tuangkan ke dalam cawan porselin atau beaker glass 100 ml.

3. Uapkan hingga kering di atas hot plate pada suhu ± 150° C atau dengan penangas air.

4. Tambahkan ± 5 ml aqua-regia (campuran 3 bagian HCl pekat dan 1 bagian HNO3 pekat), uapkan serta keringkan di atas penangas air atau hot plate.

5. Gangguan oleh bahan organik dan NH4OAc dapat juga dihilangkan dengan jalan menempatkan filtrat yang telah diuapkan dan dikeringkan di atas hot plate ke dalam tanur listrik 500° C selama 15 menit dan bilamana endapan masih keruh, tambahkan beberapa ml aqua-regia, uapkan dan keringkan di atas hot plate.


(41)

6. Larutkan endapan dengan 2 ml HCl 6 N dan tuangkan ke dalam labu ukur 25 ml, tambahkan aquadest hingga garis batas.

7. Pipet 5 ml filtrat bebas B.O dan NH4OAc ke dalam labu erlenmeyer 125 ml. Tambahkan air suling hingga volume akhir ± 25 ml.

8. Tambahkan 10 tetes Calcon 0,4%, 10 tetes KCN 1%, 10 tetes trethanolamin, 2,5 ml NaOH 2,5 N.

9. Lalu titrasi dengan larutan standard EDTA ± 0,01 N hingga terjadi perubahan warna dari violet menjadi biru.

10. Hitung Ca2+ dengan rumus:

Ca2 + ( me

100grtanah kering oven = (ml EDTA x N EDTA)1500

100 + k. a 100

g. Mg

1. Perlakuan pendahuluan terhadap ekstrak tanah NH4OAc pH 7,0

2. Pipet 10 ml ekstrak tanah (filtrat hasil penjenuhan tanah dengan NH4OAc pH 7) dan tuangkan ke dalam cawan porselin atau beaker glass 100 ml. 3. Uapkan hingga kering di atas hot plate pada suhu ± 150° C atau dengan

penangas air.

4. Tambahkan ± 5 ml aqua-regia (campuran 3 bagian HCl pekat dan 1 bagian HNO3 pekat), uapkan serta keringkan di atas penangas air atau hot plate. 5. Gangguan oleh bahan organik dan NH4OAc dapat juga dihilangkan

dengan jalan menempatkan filtrat yang telah diuapkan dan dikeringkan di atas hot plate ke dalam tanur listrik 500° C selama 15 menit dan bilamana endapan masih keruh, tambahkan beberapa ml aqua-regia, uapkan dan keringkan di atas hot plate.


(42)

6. Larutkan endapan dengan 2 ml HCl 6 N dan tuangkan ke dalam labu ukur 25 ml, tambahkan aquadest hingga garis batas.

7. Pipet 5 ml filtrat bebas bahan organik dan NH4OAc ke dalam erlenmeyer 125 ml. Tambahkan air suling hingga volume akhir adalah ± 25 ml.

8. Tambahkan 5 ml larutan penyanggah NH4Cl - NH4OH 9. Tambahkan 20 tetes larutan KCN 1%.

10. Tambahkan 4 tetes larutan indikator Eriochrom black T.

11. Titrasi dengan EDTA. Perhatikan perubahan warna dari violet menjadi biru atau hijau.

12. Hitung Mg2+ dengan rumus:

(me/100 gr. tanah kering oven) = (ml EDTA (Ca + Mg) ml EDTA Ca)x N EDTA x 1500(100 + k. a) 100

h. K

1. Baca pada flame fotometer filtrat contoh yang diperoleh dari penjenuhan tanah dengan NH4OAc. 1 N (pada penetapan KTK).

2. Baca larutan deret standard K pada flame fotometer.

3. Buat kurva standard hubungan antara pembacaan dengan konsentrasi larutan standard. Hitung konsentrasi K contoh dari kurva standard.

Perhitungan:

Kadar K tanah =A (100 + k. a) 100 Dimana :

A = ppm contoh dari kurva standard i. Nitrogen Total


(43)

2. Tambahkan 2 gr katalis campuran dan tambahkan H2O 10ml; kemudian

tambahkan lagi 10ml campuran H2SO4 – asam salisilat. Biarkan 1

malam.

3. Destruksi pada alat digestor dengan suhu rendah dan dinaikkan secara bertahap hingga larutan jernih (temperatur < 200o C). setelah larutan jernih suhu dinaikkan dan dilanjutkan selama 30 menit.

4. Didinginkan dan encerkan dengan menambahkan 15ml H2O.

5. Tahapan Destilasi. Tempatkan tabung destruksi pada alat destilasi.

6. Pipet 25 ml H3BO3 4%, tempatkan pada erlenmeyer 250 cc dan

tambahkan 3 tetes indicator campuran; dan tempatkan sebagai penampung hasil destilasi.

7. Tambahkan NaOH 40% ± 25ml ke tabung destilasi dan langsung didestilasi.

8. Amoniak hasil destilasi akan ditampung di erlenmeyer yang berisi H3BO3. Destilasi dihentikan bila larutan di erlenmeyer berwarna hijau

dan volumenya ± 75 ml.

9. Tritrasi. Pindahkan erlenmeyer hasil destilasi dan tritrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir tritrasi ditandai oleh perubahan warna dari hijau menjadi merah.

10. Perhitungan: N (%) =


(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karaktristik Sifat Kimia Tanah Bekas Kebakaran A.1. pH, C-Organik, dan Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Hasil analisis pH, C-Organik, dan KTK terhadap tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir tahun 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, dan tanah yang tidak terbakar sebagai kontrol dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis pH, C-Organik, dan KTK Sampel pH Kriteria C-Organik

(%) Kriteria

KTK

(me/100g) Kriteria Tanah tidak

terbakar

5,56 Agak Masam 1,21 Rendah 10,10 Rendah Terbakar

tahun 2010

5,47 Masam 1,13 Rendah 7,20 Rendah

Terbakar tahun 2011

5,64 Agak Masam 1,38 Rendah 16,20 Rendah Terbakar

tahun 2012

4,90 Masam 6,39 Sangat Tinggi 23,10 Sedang Terbakar

tahun 2013

6,65 Netral 1,36 Rendah 22,10 Sedang

Terbakar tahun 2014

4,98 Masam 0,79 Sangat Rendah 22,70 Sedang Sumber kriteria: Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria agak masam sampai dengan netral (4,90-6,65) dan pH tanah tidak terbakar termasuk dalam kriteria agak masam (5,56). Hasil analisis pH memperlihatkan bahwa setelah kebakaran hutan nilai pH tidak terlalu meningkat pada 5 periode tahun kebakaran yaitu dari masam menjadi bersifat agak masam-netral. Hal ini dipengaruhi oleh tipe kebakaran hutan yang terjadi yaitu kebakaran tajuk yang intensitas kebakarannya rendah dan juga diduga dari jumlah abu yang dihasilkan dari pembakaran yang lebih sedikit, disebabkan karena pencucian permukaan oleh curah hujan yang tinggi (curah hujan rata-rata lebih dari


(45)

Opio (2003) menyatakan pembakaran cenderung menaikkan pH tanah apabila terjadi pada suhu tinggi (400-500oC). Penelitian Widyasari (2008) menunjukkan nilai rata-rata pH mengalami peningkatan sebesar 0,37 yaitu 3,08 pada tanah tidak terbakar menjadi 3,45 pada tanah bekas terbakar 2 tahun. Ini menunjukkan bahwa dengan kejadian kebakaran hutan, pH tanah menjadi meningkat sehingga unsur hara tertentu yang dibutuhkan bagi tanaman menjadi tersedia dan pH akan turun kembali mendekati pH awal setelah 5 tahun (Iswanto, 2005), jika pH mendekati pH awal maka ketersediaan unsur hara tertentu bagi tanaman menjadi sulit tersedia bagi tanaman. Chandler et al., (1983) dalam Sugato (2005) mengatakan bahwa abu sisa pembakaran dapat meningkatkan pertukaran kation sehingga cenderung menaikkan pH tanah.

Selain itu hal yang menyebabkan setelah kebakaran hutan tidak meningkatkan nilai pH tanah pada 5 periode tahun kebakaran adalah sifat dasar dari tanah tersebut yaitu litosol, regosol pH antara 5 7 (netral, agak masam masam), dan podsolik pH antara 4,2-4,8 (sangat masam sampai masam) (Dudal dan Suparaptoharjo, 1957 dalam Fiantis, 2012). Iklim tropis yang panas dengan curah hujan tinggi mengakibatkan unsur hara penting mudah tercuci dengan sangat cepat sehingga tanah kembali menjadi masam. Hasil penelitian Yudasworo (2001) menunjukkan bahwa nilai pH mengalami peningkatan pada saat terbakar, dan setelah 8 bulan kebakaran yaitu dari 4,40 menjadi 4,60 pada saat terbakar dan menjadi 4,80 setelah 8 bulan kebakaran. Peningkatan nilai pH ini dipengaruhi oleh abu dari sisa pembakaran yang masih tersedia didalam maupun dipermukaan tanah dan tingginya curah hujan. Besar dan kecepatan


(46)

banyaknya abu (Sanzhec, 1993). Peningkatan pH tanah yang terjadi tidak begitu besar karena lokasi penelitian merupakan jenis tanah podsolik merah kuning (PMK) yang mempunyai potensi kemasaman yang tinggi (Yudasworo, 2001).

Dari hasil penelitian didapatkan nilai pH pada tahun 2013 termasuk kriteria netral. Hal ini disebabkan karena ketersediaan unsur hara kalium dan natrium pada tanah terbakar tahun 2013 sangat tinggi. Reaksi tanah/pH tanah menggambarkan tingkat ketersediaan unsur hara makro maupun mikro dalam tanah yang akan menjadi unsur tersedia bagi pertumbuhan tanaman. pH tanah yang berada pada kisaran netral dapat memberikan ketersediaan unsur hara tanah pada tingkat optimum karena sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air (Njurumanaet al., 2008)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa C-organik tanah setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria sangat rendah (terbakar tahun 2014), rendah (terbakar tahun 2010, 2011, 2013), dan sangat tinggi (terbakar tahun 2012) dan organik tanah tidak terbakar termasuk dalam kriteria rendah. Hasil analisis C-organik memperlihatkan bahwa perubahan kandungan C-C-organik setelah dibakar relatif kecil yang disebabkan dalam proses pembakaran yang hanya membakar tajuk sehingga penguraian bahan organik menjadi tidak sempurna. Kandungan C-organik yang rendah merupakan indikator rendahnya jumlah bahan C-organik tanah yang tersedia dalam tanah. Selain itu rendahnya kandungan C-organik disebabkan karena terjadinya pencucian unsur hara pada saat hujan, sehingga menghanyutkan partikel-partikel tanah yang ada. Penelitian Yudasworo (2001) menunjukkan kandungan C-organik menurun sesaat setelah kebakaran dari 3,81 % menjadi 2,93 % dan meningkat setelah 8 bulan dibakar menjadi 3,56 %. Penurunan C-organik


(47)

sesaat setelah pembakaran diduga karena terbakarnya bahan organik akibat pembakaran. Peningkatan C-organik setelah 8 bulan dibakar disebabkan melapuknya vegetasi tanah. Pembakaran juga mengakibatkan pembebasan mineral dan karbon yang tertinggal dalam bentuk abu (Brown and Davis, 1973

dalam Yudosworo, 2001). Penelitian Widyasari (2008) menunjukkan nilai rata-rata C-organik mengalami peningkatan sebesar 3,71 % yaitu 52,49 % pada tanah tidak terbakar menjadi 56,20 % pada tanah bekas terbakar 2 tahun. Peningkatan C-organik ini dapat dipengaruhi oleh adanya penumpukan bahan-bahan organik dalam tanah karena pemindahan bahan-bahan organik dari bahan bakar yang terbakar pada saat terjadi kebakaran. Selain itu, peningkatan bahan organik juga berasal dari bahan bakar sisa pembakaran yang komponen utamanya berupa hemiselulosa, selulosa, dan lignin yang menjadi senyawa karbon dioksida (CO2)

dan karbonat (CO3), CO2 dilepas dalam bentuk gas, sedangkan CO3 akan

terakumulasi pada abu sehingga kandungan karbon di tanah akan meningkat (Lutz dan Chandler, 1961dalamIswanto, 2005).

Pada kebakaran tahun 2012 nilai C-organik sangat tinggi. Hal ini diakibatkan karena tanah bekas kebakaran tahun 2012 berwarna gelap yang menunjukkan tingginya kandungan bahan organik tanah didaerah tersebut. Njurumana et al., (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah semakin gelap. Kandungan C-organik yang tinggi merupakan indikator tingginya jumlah bahan organik tanah yang tersedia dalam tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah dengan kandungan bahan


(48)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria rendah (terbakar tahun 2010, 2011), dan kriteria sedang (terbakar tahun 2012, 2013, 2014), dan KTK tanah tidak terbakar termasuk dalam kriteria rendah (10,10 me/100g). Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Harjowigeno, 2003 dalam Iswanto, 2005). Hasil analisis memperlihatkan bahwa kandungan KTK mengalami peningkatan setelah kebakaran. Hal ini terjadi karena pengaruh jenis tanah dan pH tanah. Tanah pada lokasi penelitian merupakan jenis tanah litosol, regosol pH antara 5 7 (netral, agak masam masam), dan podsolik pH antara 4,2-4,8 (sangat masam sampai masam) (Dudal dan Suparaptoharjo, 1957 dalam Fiantis, 2012). Apabila nilai pH rendah maka KTK rendah.

Penelitian yang dilakukan Hatta (2009) menunjukkan bahwa KTK pada hutan bekas kebakaran lebih tinggi (10,503 me/100g) dari tanah hutan utuh (8,567 me/100g). Hal ini disebabkan karena jenis tanahnya adalah oxisol yang memiliki KTK rendah karena koloidnya banyak terdiri dari seskuioksida. Menurut Hardjowigeno (2003)dalamIswanto (2005), menyatakan bahwa KTK merupakan sifat kimia yang erat kaitannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa Ca, Mg, K, dan Na.

Nilai KTK pada tanah terbakar tahun 2012, 2013, dan 2014 termasuk dalam kriteria sedang, yaitu 23,10; 22,10; 22,70 me/100g. Nilai KTK pada tanah terbakar tahun 2012 termasuk kriteria sedang karena dipengaruhi oleh keberadaan


(49)

C-organik yang tinggi sehingga hasil dekomposisinya dapat menghasilkan kation-kation basa sehingga KTK meningkat. Semakin meningkat bahan organik maka kapasitas tukar kation tanah akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan literatur Mukhlis (2007) yang menyatakan bahwa semakin tinggi bahan organik maka KTK tanah akan semakin tinggi. Nilai KTK pada tanah terbakar tahun 2013, 2014 termasuk kriteria sedang dipengaruhi oleh kandungan basa Kalium (K) dan Natrium (Na) yang termasuk sangat tinggi sehingga bisa meningkatkan KTK tanah. Kemampuan tanah dalam menahan unsur hara yang ada dalam tanah sangat tinggi karena KTK bernilai sedang. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa Ca, Mg, K, dan Na.

A.2. N-Total, P-Tersedia, dan P-Total

Hasil analisa N-Total, P-Tersedia, dan P-Total terhadap tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir tahun 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, dan tanah yang tidak terbakar sebagai kontrol dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis N-Total, P-Tersedia, dan P-Total

Sampel N-Total

(%) Kriteria

P-Tersedia

(ppm) Kriteria

P-Total

(%) Kriteria Tanah tidak terbakar 0, 10 Rendah 5, 11 Sangat Rendah 0, 26 Sangat Tinggi Terbakar tahun 2010 0, 10 Rendah 6, 17 Sangat Rendah 0, 41 Sangat Tinggi Terbakar tahun 2011 0, 16 Rendah 4, 19 Sangat Rendah 0, 13 Sangat Tinggi Terbakar tahun 2012 0, 24 Sedang 17, 45 Sedang 2, 01 Sangat Tinggi Terbakar tahun 2013 0, 14 Rendah 5, 56 Sangat Rendah 0, 33 Sangat Tinggi Terbakar tahun 2014 0, 11 Rendah 5, 41 Sangat Rendah 0, 31 Sangat Tinggi

Sumber kriteria: Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa N-total setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria rendah sampai dengan sedang (0,10-0,24 %) dan N-total tanah tidak terbakar termasuk dalam kriteria rendah (0,10 %). Hasil analisis N-total memperlihatkan bahwa perubahan kandungan N-N-total setelah kebakaran


(50)

panas dengan curah hujan tinggi menyebabkan meningkatnya nilai nitrogen karena nitrogen dapat berasal dari curah hujan.

Hasil penelitian Widyasari (2008) menunjukkan nilai N-total pada areal tidak terbakar sebesar 0,92 % meningkat menjadi 1,82 % pada areal terbakar tahun 2006. Peningkatan yang terjadi dapat diperkirakan adanya suplai dari hasil sisa pembakaran dan proses dekomposisi. Dekomposisi nitrogen merupakan sumber utama nitrogen tanah, disamping itu nitrogen juga dapat berasal dari hujan (Hakim et al., 1986), tetapi peningkatan ini tidak terlalu nyata karena setelah kebakaran terjadi hilang terbawa oleh air akibat pencucian (leching). Pada penelitian Yudasworo (2001) kandungan N-total menunjukkan penurunan sesaat setelah dibakar (0,31 %) dan periode 8 bulan setelah dibakar (0,29 %) dari tanah tidak terbakar (0,36 %). Pembakaran dapat menaikkan suhu tanah yang menyebabkan nitrogen berupa amonium (NH4) dan nitrat (NO3) menguap.

Nitrogen akan menguap pada suhu 200oC (Whiteet al., 1973dalamYudasworo, 2001).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa P-tersedia tanah setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria sangat rendah sampai dengan sedang (4,19-17,45 ppm) dan P-tersedia tanah tidak terbakar termasuk dalam kriteria sangat rendah (5,11 ppm). Bentuk posfor organik tanah lebih sedikit dan sukar larut. Walaupun terdapat CO2di dalam tanah tetapi mineralisasi mineral-mineral fosfat tetap sukar,

sehingga dengan demikian P yang tersedia dalam tanah relatif rendah. P organik dengan proses dekomposisi akan menjadi bentuk anorganik (Hakim et al., 1986). Penelitian Widyasari (2008) nilai P-tersedia pada areal tidak terbakar sebesar 1,59 ppm kemudian mengalami peningkatan menjadi 1,74 ppm pada areal yang


(51)

terbakar tahun 2006. Peningkatan ini diduga sisa dari hasil pembakaran dan dekomposisi dari bahan organik. Setelah kebakaran mikroorganisme akan aktif kembali melakukan dekomposisi. Dekomposisi dari bahan organik tanah melepaskan unsur hara yang semula berbentuk organik menjadi bentuk-bentuk anorganik yang tersedia bagi tanaman (Hakimet al., 1986).

Sebaliknya pada penelitian Yudasworo (2001), kandungan P-tersedia menurun sesaat setelah terbakar dari 1,8 ppm (sebelum kebakaran) menjadi 0,3 ppm. Penurunan kandungan fosfor ini disebabkan bahan-bahan organik yang mengandung fosfor telah terbakar habis, sehingga kandungan fosfor yang tertinggal dalam tanah berkurang. Peningkatan kandungan fosfor 8 bulan setelah dibakar disebabkan adanya penambahan unsur fosfor dari penguraian bahan-bahan organik abu sisa pembakaran. Sifat kelarutan fosfor yang rendah juga dapat melindungi fosfor dari pencucian.

Pada tanah terbakar tahun 2012 nilai N-total (0,24 %) dan P-tersedia (17,45 ppm) termasuk kriteria sedang. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan C-organik yang termasuk kriteria sangat tinggi (6,39 %). N didalam tanah semuanya berasal dari dekomposisi bahan organik. P didalam tanah selain berasal dari pelapukan mineral juga berasal dari dekomposisi bahan organik. N-total termasuk kriteria sedang terjadi karena tingginya kandungan C-organik pada lokasi pengamatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Dharmawan, et al., (2005) yang menyatakan bahwa C-organik dan N-total mempunyai korelasi positif dan berbeda nyata. Kandungan P-tersedia termasuk kriteria sedang. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan unsur hara fosfat di dalam


(52)

asam-asam organik ini akan mengikat logam-logam seperti Al, Fe dan Ca sehingga ion-ion fosfat akan bebas dari pengikatan logam tersebut dan akhirnya menjadi tersedia di dalam tanah (Sutanto, 2005 dan Mangunsong, 2010).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa P-Total tanah setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria sangat tinggi (0,13-2,01 %) dan P-Total tanah tidak terbakar juga termasuk dalam kriteria sangat tinggi (0,26 %). Hal ini disebabkan karena adanya penambahan unsur hara setelah kebakaran. Menurut Chandleret al

(1983) dalam Priandi (2006) terjadinya peningkatan secara relatif pada unsur-unsur hara disebabkan karena adanya penambahan unsur-unsur hara sisa abu/arang kebakaran dari material organik.

A.3. Basa-basa dapat ditukar (Ca, Mg, K, Na)

Hasil analisis basa-basa dapat ditukar (Ca, Mg, K, Na) terhadap tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir tahun 2010, 2011, 2012, 2013, 2014 dan tanah yang tidak terbakar sebagai kontrol dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis basa-basa dapat ditukar (Ca, Mg, K, Na)

Sampel Ca (me/100g) Kriteria Mg (me/100g) Kriteria K (me/100g) Kriteria Na (me/100g) Kriteria Tanah tidak terbakar

1, 05 Sangat Rendah

0, 09 Sangat Rendah

0, 42 Sedang 0, 28 Rendah

Terbakar tahun 2010

1, 38 Sangat Rendah

0, 06 Sangat Rendah

0, 29 Rendah 0, 10 Rendah

Terbakar tahun 2011

1, 06 Sangat Rendah

0, 19 Sangat Rendah

0, 76 Tinggi 0, 37 Rendah

Terbakar tahun 2012

1, 37 Sangat Rendah

0, 05 Sangat Rendah

0, 23 Rendah 0, 10 Rendah

Terbakar tahun 2013

1, 77 Sangat Rendah

0, 12 Sangat Rendah

2, 08 Sangat Tinggi

1, 27 Sangat Tinggi Terbakar

tahun 2014

1, 05 Sangat Rendah

0, 07 Sangat Rendah

1, 42 Sangat Tinggi

0, 59 Sedang

Sumber kriteria: Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor dan BPP- Medan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kalsium (Ca) setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria sangat rendah (1,05-1,77 me/100g) dan Ca pada tanah tidak terbakar termasuk dalam kriteria sangat rendah (1,05 me/100g). Hasil analisis Ca memperlihatkan bahwa perubahan nilai Ca setelah kebakaran relatif


(53)

kecil yang disebabkan dalam proses pembakaran yang hanya membakar tajuk. Ca merupakan kation yang paling cocok untuk mengurangi kemasaman atau menaikkan pH tanah (BKS. PTN, 1991 dalam Sianturi, 2006). Penelitian Yudasworo (2001) menunjukkan nilai Ca sesaat setelah kebakaran mengalami penurunan sesaat setelah dibakar dari 2,27 me/100g (sebelum dibakar) menjadi 0,81 me/100g dan periode 8 bulan setelah terbakar kandungan Ca meningkat dari 2,27 me/100g (sebelum dibakar) menjadi 2,61 me/100g. Pelapukan dan penguraian mineral-mineral tanah akan dipercepat dengan adanya suhu api yang tinggi. Setelah pembakaran, kation basa (Ca) didalam abu akan menyebabkan peningkatan basa (Ca) dapat ditukar yang luar biasa besar (Sanchez, 1992).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Magnesium (Mg) setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria sangat rendah (0,05-0,19 me/100g) dan Mg pada tanah tidak terbakar termasuk dalam kriteria sangat rendah (0,09 me/100g). Hasil analisis Mg memperlihatkan bahwa perubahan nilai Mg setelah kebakaran relatif kecil yang disebabkan dalam proses pembakaran yang hanya membakar tajuk. Mg merupakan kation yang paling cocok untuk mengurangi kemasaman atau menaikkan pH tanah (BKS. PTN 1991dalamSianturi 2006). Penelitian Widyasari (2008), kadar magnesium pada areal yang tidak terbakar sebesar 6,07 me/100g kemudian meningkat menjadi 7,10 me/100g pada areal yang terbakar tahun 2006. Peningkatan ini sama halnya dengan Ca, dapat diduga dari lepasnya senyawa Mg yang terkandung dalam tanaman setelah kebakaran berbentuk abu, dan dapat juga diduga dari naiknya nilai pH maka dapat diduga abu yang dihasilkan dari sisa pembakaran banyak sehingga kadar Mg juga akan meningkat (BKS. PTN 1991


(54)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kalium (K) setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria rendah-sangat tinggi (0,23-2,08 me/100g) dan K pada tanah tidak terbakar termasuk dalam kriteria sedang (0,42 me/100g). Hasil analisis K memperlihatkan bahwa perubahan nilai K meningkat setelah kebakaran. Setelah pembakaran, kation basa (K) didalam abu akan menyebabkan peningkatan basa (K) dapat ditukar yang luar biasa besar (Sanchez, 1992). Penelitian Widyasari (2008) menunjukkan nilai kalium pada areal tidak terbakar sebesar 0,25 me/100g kemudian mengalami peningkatan menjadi 0,30me/100g pada areal yang terbakar tahun 2006. Peningkatan kandungan kalium setelah pembakaran disebabkan adanya suplai kalium dari abu sisa hasil pembakaran yang meresap ke dalam tanah. Suplai kalium berasal dari jaringan-jaringan bahan bakar yang ada di permukaan tanah. (Hakim et al., 1986). Yudasworo (2001) mengatakan peningkatan kandungan basa-basa total dalam tanah tidak terlalu berarti karena pembakaran yang terjadi belum cukup mampu meningkatkan suhu tanah secara nyata sehingga penguraian bahan organik menjadi tidak sempurna.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan Natrium (Na) setelah kebakaran hutan termasuk dalam kriteria rendah-sangat tinggi (0,10-1,27 me/100g) dan Na pada tanah tidak terbakar termasuk dalam kriteria rendah (0,28 me/100g). Hasil analisis Na memperlihatkan bahwa perubahan nilai Na meningkat setelah kebakaran. Setelah pembakaran, kation basa (Na) didalam abu akan menyebabkan peningkatan basa (Na) dapat ditukar yang luar biasa besar (Sanchez, 1992). Peningkatan nilai Na diikuti dengan peningkatan nilai pH. Penelitian Yudasworo (2001) kandungan natrium sebelum dibakar sebesar 0,26 me/100g, sesaat setelah dibakar sebesar 0,3me/100 dan 8 bulan setelah dibakar


(55)

sebesar 0,87 me/100g. Akibat pembakaran serasah dan tumbuhan bawah akan memberikan sumbangan basa-basa dari penguraian bahan organik atau humus, terutama dari abu sisa-sisa pembakaran serasah.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kandungan K dan Na pada tahun 2013 termasuk kriteria sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh nilai pH yang termasuk kriteria netral. pH tanah yang berada pada kisaran netral dapat memberikan ketersediaan unsur hara tanah pada tingkat optimum karena sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air (Njurumana et al., 2008). Peningkatan pH disebabkan adanya proses dekomposisi bahan organik. Hasil perombakan tersebut akan menghasilkan kation-kation basa yang mampu meningkatkan pH. Soepardi (1983) dalam Nazari (2007) menyatakan bahwa hasil akhir sederhana dari perombakan bahan organik antara lain kation-kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na. Pelepasan kation-kation basa ke dalam larutan tanah akan menyebabkan tanah jenuh dengan kation-kation tersebut dan pada akhirnya akan meningkatkan pH tanah. Selanjutnya Richie (1989) dalam Nazari (2007) menyatakan bahwa peningkatan pH akibat penambahan bahan organik karena proses mineralisasi dari anion organik menjadi CO2 dan H2O atau karena sifat alkalin dari bahan organik

tersebut.

B. Karaktristik Sifat Fisika Tanah Bekas Kebakaran B.1 Tekstur Tanah

Hasil analisis tekstur terhadap tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir tahun 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, dan tanah yang tidak terbakar sebagai kontrol dapat dilihat pada Tabel 4.


(56)

Tabel 4. Hasil analisis tekstur tanah

Sampel Liat (%) Debu (%) Pasir (%) Tekstur

Tanah tidak terbakar 13, 60 25, 28 61, 12 Lempung berpasir Terbakar tahun 2010 7, 60 15, 28 77, 12 Lempung berpasir Terbakar tahun 2011 13, 60 31, 28 55, 12 Lempung berpasir Terbakar tahun 2012 9, 60 25, 28 65, 12 Lempung berpasir Terbakar tahun 2013 9, 60 21, 28 69, 12 Lempung berpasir Terbakar tahun 2014 21, 60 27, 28 51, 12 Lempung liat berpasir

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kandungan pasir, debu, dan liat antara tanah tidak terbakar dan tanah bekas kebakaran hutan. Persentase pasir paling tinggi terdapat pada areal bekas kebakaran tahun 2010 dan paling rendah terdapat pada areal bekas kebakaran tahun 2014. Persentase debu paling tinggi terdapat pada areal hutan bekas kebakaran tahun 2011 dan paling rendah terdapat pada areal kebakaran tahun 2010. Sedangkan untuk persentase liat paling tinggi terdapat pada areal bekas kebakaran tahun 2014 dan paling rendah terdapat pada areal bekas kebakaran tahun 2010. Berdasarkan segitiga tekstur, tekstur tanah pada areal tidak terbakar adalah lempung berpasir dan pada areal bekas kebakaran hutan adalah lempung berpasir (2010-2013) dan lempung liat berpasir (2014). Dari hasil penelitian bila dibandingkan dengan tanah pada areal yang tidak terbakar, pemanasan yang terjadi akibat kebakaran tidak merubah jenis tekstur tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hatta (2009) bahwa perubahan pada tekstur tanah yang terjadi dalam kurun waktu yang panjang, beda halnya pada struktur tanah, sehingga perbedaan tekstur tanah bukan karena adanya kebakaran tetapi karena kompsisi fraksi-fraksi debu, liat, dan pasir. Hasil penelitian Prakoso (2004) menunjukkan tekstur tanah pada areal tegakan akasia terbakar, areal tegakan akasia tidak terbakar, dan areal terbakar tanpa tegakan adalah bertekstur liat. Hal ini disebabkan kebakaran tidak secara nyata mengubah jenis tekstur tanah.


(57)

B.2 Warna Tanah, Kerapatan Lindak, dan Kadar Air

Hasil analisis warna tanah, kerapatan lindak, dan kadar air terhadap tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir tahun 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, dan tanah yang tidak terbakar sebagai kontrol dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisa warna tanah, kerapatan lindak, dan kadar air Tahun

Kebakaran

Warna Tanah Kerapatan Lindak (g/cm3)

KA (%) Terbakar

tahun 2010

7,5 YR 3/4 (Coklat Gelap) 1,34 7,31

Terbakar tahun 2011

10 YR 4/2 (Coklat Gelap Keabu-abuan) 1,42 31,05 Terbakar

tahun 2012

25 YR 2,5 (Hitam) 1,42 29,16

Terbakar tahun 2013

10 YR 3/4 (Coklat Gelap Kekuning-kuningan) 1,00 19,90 Terbakar

tahun 2014

5 YR 4/4 (Coklat Kemerah-merahan) 1,03 32,09 Tanah tidak

terbakar

2,5 YR 4/2 (Coklat Gelap Keabu-abuan) 1,08 3,02 Hasil penelitian menunjukkan warna tanah coklat gelap (2010), coklat gelap keabu-abuan (2011 dan tanah tidak terbakar), hitam (2012), coklat gelap kekuning-kuningan (2013), coklat kemerah-merahan (2014). Warna tanah tidak terbakar dengan tanah bekas kebakaran hutan tidak berbeda jauh. Dari hasil penelitian bila dibandingkan dengan tanah pada areal yang tidak terbakar, pemanasan yang terjadi akibat kebakaran tidak merubah warna tanah karena kebakaran yang terjadi adalah kebakaran tajuk. Warna tanah pada penelitian ini adalah warna asal dari tanah tersebut. Tanah bekas kebakaran tahun 2012 berwarna hitam disebabkan karena tingginya kandungan bahan organik tanah didaerah tersebut. Warna tanah menunjukkan kandungan bahan organik tanah tersebut. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap (Njurumana et al., 2008). Hasil penelitian Hatta (2009) menunjukkan terjadi


(58)

berwarna coklat sedangkan tanah hutan bekas kebakaran berwarna coklat kehitaman. Perubahan tersebut diakibatkan karena adanya sisa-sisa pembakaran berupa arang yang terurai pada proses pembakaran. Semakin tua warna tanah itu menunjukkan semakin tinggi pula kesuburannya, penilaian demikian tentunya jika penyebabnya adalah bahan organik dan menunjukkan penumpukan hara-hara yang terjadi (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2005).

Hasil penelitian menunjukkan kerapatan lindak tanah tidak terbakar sebesar 1,08 g/cm3, tanah pada bekas kebakaran tahun 2010 sebesar 1,34 g/cm3, tanah pada bekas kebakaran tahun 2011 sebesar 1,42 g/cm3, tanah pada bekas kebakaran tahun 2012 sebesar 1,42 g/cm3, tanah pada bekas kebakaran tahun 2013 sebesar 1,00 g/cm3, tanah pada bekas kebakaran tahun 2014 sebesar 1,03 g/cm3. Dari data yang diperoleh kerapatan lindak yang paling tinggi terdapat pada tanah bekas kebakaran tahun 2011 dan 2012. Semakin padat suatu tanah semakin tinggi kerapatan lindak, yang berarti semakin sulit meloloskan air.

Hasil penelitian Prakoso (2004) menunjukkan nilai kerapatan lindak paling tinggi terdapat pada tanah di areal terbakar pada kedalaman 15-30 cm (1,03 g/cc), sedangkan nilai kerapatan lindak terendah terdapat di areal tegakan akasia tidak terbakar 0-15 cm (0,88 g/cc). Semakin dalam lapisan tanah pada areal terbakar dan tidak terbakar memiliki kerapatan lindak yang semakin tinggi. Tanah pada areal terbakar memiliki nilai kerapatan lindak yang lebih tinggi dari areal yang tidak terbakar pada kedalaman yang sama (0-15 cm dan 15-30 cm). Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pemanasan pada tanah akibat kebakaran permukaan (surface fire). Pemanasan akibat kebakaran ini menimbulkan peningkatan suhu permukaan tanah yang tinggi yang akan menyebabkan kerusakan struktur


(59)

permukaan tanah dabn berkurangnya ruang pori tanah yang secara nyata akan berpengaruh pada peningkatan bobot isi tanah. Semakin tinggi bobot isi tanah akan meningkatkan kerapatan lindak pada tanah tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan kadar air tanah bekas kebakaran hutan lebih besar daripada tanah tidak terbakar. Kadar air tanah tidak terbakar sebesar 3,02 %; tanah pada bekas kebakaran tahun 2010 sebesar 7,31 %, tanah pada bekas kebakaran tahun 2011 sebesar 31,05 %, tanah pada bekas kebakaran tahun 2012 sebesar 29,16 %, tanah pada bekas kebakaran tahun 2013 sebesar 19,90 %, dan tanah pada bekas kebakaran tahun 2014 sebesar 32,09 %. Kadar air paling tinggi terdapat pada tanah bekas kebakaran tahun 2011. Hal ini diduga karena kemampuan menyerap dan meloloskan air yang lebih baik pada tanah hutan bekas kebakaran. Hal ini sesuai menurut Hardjowigeno (2003), air terdapat di dalam tanah karena ditahan/diserap oleh massa tanah, tertahan oleh lapisan kedap air, atau karena keadaan drainase yang kurang baik.

Hasil penelitian Widyasari (2008) menunjukkan nilai air tersedia areal terbakar rata-rata kedalaman 0-5 cm cenderung lebih rendah, yaitu 20,15 % dan 20,31 % untuk areal yang tidak terbakar, hal ini disebabkan pada kedalaman 0-5 cm air mudah mengalami pengeringan sehingga nilai air tersedianya lebih rendah dibandingkan dengan kedalaman 5-10 cm dan 10-15 cm. Pada kedalaman 5-10 cm, air tersedia rata-rata mengalami peningkatan dimana air tersedia pada areal yang terbakar rata-rata 23,14 % dan 20,35 % pada areal tidak terbakar, hal ini disebabkan karena sistem perakaran tumbuhan yang semakin banyak dan aktifitas mikroorganisme tanah (Sianturi, 2006).


(60)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tipe kebakaran hutan yang terjadi adalah kebakaran tajuk.

2. Setelah kebakaran hutan nilai pH tidak terlalu meningkat pada 5 periode tahun kebakaran yaitu dari masam menjadi bersifat agak masam-netral. Perubahan kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, P-Total, Ca, Mg setelah dibakar relatif kecil. Kandungan KTK, K, Na mengalami peningkatan setelah kebakaran. Hal ini terjadi karena pengaruh jenis tanah dan pH tanah.

3. Pemanasan yang terjadi akibat kebakaran tidak merubah jenis tekstur tanah dan warna tanah. Kerapatan lindak setelah kebakaran relatif kecil. Kadar air tanah bekas kebakaran hutan lebih besar daripada tanah tidak terbakar.

Saran

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi informasi tentang dampak sifat fisika dan sifat kimia pada tanah bekas terbakar.


(1)

HASIL ANALISIS TANAH KEBAKARAN HUTAN TAHUN 2010, 2011, 2012, 2013, 2014 DAN TANAH TIDAK TERBAKAR DI KABUPATEN SAMOSIR

NAMA : PURNAMA S SAGALA NIM : 091201018

JURUSAN : KEHUTANAN

DOPING : DR. DENI ELFIATI, SP, MP

Parameter Satuan

NO Lab

14660 14661 14662 14663 14664 14665

No Lapangan/ Tahun

2010 I 2011 I 2012 I 2013 I 2014 I Kontrol I

Pasir % 77. 12 55. 12 65. 12 69. 12 51. 12

61. 12

Debu % 15. 28 31. 28 25. 28 21. 28 27. 28

25. 28

Liat % 7. 60 13. 60 9. 60 9. 60 21. 60

13. 60

Tekstur --- Lp Lp Lp Lp Llip

Lp pH (H2O)

--- 5. 47 5. 64 4. 90 6. 65 4. 98 5. 56

C-organik % 1. 13 1. 38 6. 39 1. 36 0. 79 1. 21

N-total % 0. 10 0. 16 0. 24 0. 14 0. 11 0. 10

C/N --- 11. 30 8. 63 26. 63 9. 72 7. 18 12. 10

P-(Bray II)

ppm 6. 17 4. 19 17. 45 5. 56 5. 41 5. 11

K-exch me/100 0. 290 0. 765 0. 231 2. 083 1. 421 0. 425

Na-exch me/100 0. 107 0. 372 0. 109 1. 276 0. 597 0. 280

Ca-exch me/100 1. 387 1. 064 1. 375 1. 775 1. 056 1. 055


(2)

Mg-exch me/100 0. 068 0. 191 0. 059 0. 120 0. 079 0. 094

CEC me/100 7. 20 16. 20 23. 10 22. 10 22. 70 10. 10

Base Sat. % 25. 72 14. 77 7. 68 23. 77 13. 69 18. 36

P2O5 % 0. 419 0. 138 2. 019 0. 333 0. 311 0. 268

Keterangan:

Lp : Lempung Berpasir Llip : Lempung Liat Berpasir


(3)

(4)

(5)

(6)