I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia mempunyai potensi perairan yang sangat besar. Potensi ini meliputi berbagai hasil perikanan darat dan laut, termasuk juga hasil non-
perikanan. Ikan, udang, rajungan, dan rumput laut merupakan hasil perairan yang sering dijadikan komoditas ekspor. Departemen Kelautan dan Perikanan
berhasil meningkatkan nilai ekspor perikanan Indonesia dari US 2,009 juta pada 2006 menjadi US 2,25 juta pada 2007 Rurit, 2008. Melihat besarnya
potensi hasil perairan, terutama perikanan, selayaknya Indonesia menjadi negara penghasil ikan yang besar. Apalagi jika ditambah dengan hasil
perikanan yang diambil secara ilegal oleh pihak-pihak yang tidak berwenang. Kenyataan bahwa besarnya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia
mendorong tumbuhnya berbagai industri pengolahan hasil perikanan. Industri ini hasil perikanan sebagai bahan baku utamanya. Industri sepertiti
pengalengan ikan, pembekuan, dan produk olahan perikanan merupakan jenis industri yang mengalami perkembangan pesat dalam sepuluh tahun terakhir.
Perkembangan ini tidak lepas dari dukungan pemerintah terhadap industri pengolahan perikanan di Indonesia Hutagalung, 2007. Semangat pemerintah
ini juga tertuang dalam tujuan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan RPPK yang dicanangkan sejak tahun 2005. Salah satu target yang
ingin dicapai dari program ini adalah peningkatan daya saing produk perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005.
Perusahaan pengolahan hasil perikanan sebagai salah satu pelaku dalam industri perikanan tentu memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan program
Revitalisasi Perikanan ini. Perusahaan akan selalu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas produk mereka. Apalagi jika produk yang
dihasilkan berorientasi ekspor, maka kualitas menjadi aspek utama yang harus terus ditingkatkan.
Kesadaran masyarakat, selaku konsumen, atas lingkungan yang berkualitas tidak dapat dipungkiri lagi. Kriteria produk berkualitas pun
menjadi bertambah, yakni dengan mengikutsertakan kepedulian terhadap
lingkungan. Dengan kata lain, produk yang ramah lingkungan dengan sendirinya akan meningkatkan citra kualitas produk itu sendiri. Kamil 2008
menyebutkan bahwa pasar Eropa, Amerika, dan Jepang lebih mengutamakan produk yang mempunyai label ramah lingkungan. Hal ini membawa angin
segar bagi keberlangsungan hidup manusia. Di sisi lain, pengikutsertaan kepedulian suatu perusahaan untuk menghasilkan produk yang ramah
lingkungan environmental friendly terkadang menjadi beban tersendiri karena biaya produksi menjadi bertambah.
Konsep halalan thayyiban pada produk pangan yang dikonsumsi telah menjadi suatu keharusan terutama bagi umat Islam, tetapi tidak menutup
kemungkinan bagi umat yang lain. Konsep ini tidak hanya sebatas komposisi bahan makanan yang digunakan dan kesehatan, tetapi juga dapat diperluas ke
aspek lain seperti kemasan dan dampaknya terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan selama ini kemasan berbahan plastik yang sulit didegradasi lebih
banyak digunakan karena harganya murah. Produk ikan beku, menurut SNI 01-4110-1996, adalah ikan segar yang
mengalami pencucian, penyiangan atau tanpa penyiangan, dan pembekuan secara cepat hingga suhu pusatnya maksimum -18 °C dengan atau tanpa
pengemasan. Namun, pada kenyataannya kebanyakan produk ikan beku dilengkapi kemasan dalam penjualannya. Kemasan yang dimaksud
mempunyai peran ganda, yakni sebagai pelindung sekaligus penambah daya tarik konsumen terhadap produk. Selain itu, produk yang diproses beku
mempunyai keunggulan sifatnya yang mendekati produk segar, terlebih jika dibandingkan dengan produk pangan olahan lain Hui et al., 2004.
Kendala dalam pemrosesan ikan beku adalah potensi terjadinya dehidrasi dan freezer burn selama pembekuan dan penyimpanan beku.
Dehidrasi merupakan suatu kondisi hilangnya kandungan air di dalam ikan. Freezer burn dapat terjadi akibat dari dehidrasi. Dehidrasi juga berakibat pada
turunnya berat, sifat fisik produk berubah, dan jaringan menjadi kering dan keras Hui et al, 2004. Pada produk berlemak, dehidrasi yang diikuti dengan
terbukanya struktur jaringan dapat mempercepat proses oksidasi.
2
Khitosan adalah salah satu jenis polisakarida turunan khitin yang mempunyai sifat dapat membentuk film yang kuat, elastis, fleksibel, dan sulit
dirobek Butler et al., 1996. Film yang terbentuk dapat digunakan sebagai bahan kemasan. Jenis kemasan yang banyak dibuat dari khitosan adalah jenis
edible filmcoating. Sifatnya yang edible dapat dimakan merupakan keunggulan khitosan sehingga dapat digolongkan ke dalam bahan kemasan
yang ramah lingkungan. Pemilihan khitosan sebagai bahan edible coating, selain disebabkan
karena sifatnya yang dapat dimakan, juga disebabkan keunggulan sifatnya yang lain. Khitosan merupakan barrier yang baik bagi gas dan uap air karena
struktur matriksnya Susanto, 1998. Sifat barrier khitosan ini lebih baik dari pada polimer berbasis makhluk hidup biobased polymer lainnya
McElhatton dan Marshall, 2007. Penghambatan terhadap uap air dapat dimanfaatkan untuk mencegah dampak dehidrasi yang biasa terjadi pada
produk ikan beku. Selain potensi terjadinya dehidrasi dan freezer burn, ikan yang diproses
dan disimpan beku juga masih menyimpan potensi perkembangbiakan mikroba. Surjadi et al. 1986 mengatakan bahwa bakteri pencemar pada hasil
laut ikan, kerang, dan udang dapat bertahan selama penyimpanan beku pada suhu -25 °C. Khitosan yang mempunyai sifat antimikrobial Steinbüchel dan
Rhee, 2005 dapat dimanfaatkan untuk mengurangi potensi ini. No et al. 2007 menyatakan bahwa penggunaan khitosan sebagai bahan
pengawet dan edible coating yang efektif untuk mencegah kerusakan kualitas dan memperpanjang umur simpan produk pangan sangatlah potensial. Hal ini
didukung oleh Hui et al. 2004 yang menyatakan bahwa penelitian tentang khitosan akan terus berkembang. Harga khitosan di pasar international
berkisar antara US10 – 150 per kg, tergantung pada kemurniannya. Dengan melihat potensi khitosan dan kebutuhan peningkatan kualitas
produk ikan beku, perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai alternatif solusi, terutama dalam hal kemasan dan keawetan produk. Salah satu alternatif
yang dimaksud adalah penggunaan khitosan sebagai bahan edible coating. Alternatif ini tentu tidak hanya dilihat dari aspek keamanan dan ekonomi
3
produk semata Lang, 1995, tetapi juga pada aspek lingkungan serta kualitas dalam arti yang lebih luas. Apalagi selama ini penelitian tentang ikan beku,
terutama penggunaan edible coating, masih jarang dilakukan.
B. TUJUAN PENELITIAN