Aplikasi kitosan dengan penambahan esensial oil kunyit sebagai pengawet dan edible coating produk tahu

(1)

APLIKASI KITOSAN DENGAN PENAMBAHAN ESENSIAL

OIL

KUNYIT SEBAGAI PENGAWET DAN

EDIBLE COATING

PRODUK TAHU

ERNI DANGGI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aplikasi Kitosan Dengan Penambahan Esensial Oil Kunyit Sebagai Koagulan Dan Edible Coating Produk Tahu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Erni Danggi


(3)

ABSTRACT

Tofu is a nutritious and digestible food that has been widely consumed in Indonesia. However it is a perishable food that has a short shelf life due to its rich nutrients and high moisture content. This characteristic makes both producers and consumers would like to prolong it. The objective of this research is to apply chitosan enriched with Curcuma Essential Oil (CEO) as curdling agent and as antimicrobial coating to prolong the shelf-life of tofu. Physicochemical film and antimicrobial properties of chitosan are studied. Antimicrobial activity was tested against food pathogenic and spoilage bacteria, namely Escherichia coli and Bacillus cereus, respectively. All characteristics of tofu except texture in the sensory evaluation, were not signicantly differences between the chitosan-tofu, chitosan-EO tofu and control tofu. The obtained results revealed that the application of chitosan enriched with CEO as coating and curdling agent had a little effect on the quality attributes. The shelf life of chitosan coated tofu is longer by 3 days than control tofu without chitosan.

Keyword : chitosan, tofu, curcuma longa oil, edible coating, edible film, curdling agent


(4)

RINGKASAN

ERNI DANGGI. Aplikasi Kitosan Dengan Penambahan Esensial Oil Kunyit Sebagai Pengawet dan Edible Coating Produk Tahu. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF dan NUGRAHA EDHI SUYATMA.

Tahu merupakan bahan pangan yang high perishable atau cepat rusak sehingga upaya-upaya pengawetan perlu dilakukan. Permintaan konsumen terhadap makanan dengan kualitas tinggi tanpa pengawet kimia terus mengalami peningkatan, sehingga menjadi suatu tantangan bagi industri pangan saat ini. Hal ini mendorong peningkatan usaha bagi penemuan pengawet dan antimikroba alami baru. Hingga saat ini, untuk lebih memperpanjang umur simpan dari tahu tersebut banyak produsen maupun pengecer tahu menambahkan bahan berbahaya ke dalam air rendaman, seperti formalin. Pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Berdasarkan hal tersebut, berbagai upaya dilakukan untuk menggantikan formalin dengan penggunaan pengawet bahan alami seperti penggunaan kitosan. Dimana pengujian efektifitas kitosan pada beberapa produk pangan telah dilakukan sebelumnya namun dibeberapa produk makanan menunjukkan kemampuan daya awet yang masih rendah. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan daya awet kitosan dengan penambahan esensial oil kunyit dan memperoleh metode aplikasi terbaik untuk penggunaan kitosan yang ditambahkan Curcuma longa oil sebagai bahan pengawet pada produk tahu. Kombinasi antara kitosan dan esensial oil (EO) ini diharapkan dapat bersifat sinergis dalam menghambat pertumbuhan mikroba dan sekaligus memberikan karakteristik fisik yang stabil pada produk tahu.

Aplikasi kitosan dilakukan menggunakan dua cara yaitu sebagai koagulan dan edible coating, masing-masing dengan 3 formulasi (0% kitosan, 2% kitosan, 2% kitosan + EO). Dua jenis kitosan (kitosan A dan kitosan B) yang digunakan dengan tingkat derajat deasetilasi yang diukur dengan metode infrared spectroscopy, yaitu 77.84% dan 96.98%. Aktivitas antibakteri kitosan terhadap bakteri patogen diuji menggunakan metode difusi sumur, sedangkan pengaruhnya terhadap keawetan produk tahu terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas mikroba pembusuk diuji dengan menggunakan Total Plate Count(TPC). Uji organoleptik dilakukan pula untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap produk tahu dengan pengawet kitosan.

Kedua jenis kitosan (kitosan A dan kitosan B) yang digunakan memiliki penghambatan terhadap bakteri patogen yang diujikan. Demikian pula setelah ditambahkan esensial oil, masing-masing menunjukkan adanya penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri walaupun relatif sama antara kitosan tanpa penambahan EO dengan kitosan yang ditambahkan esensial oil. Kecuali pada kitosan B, penghambatan pertumbuhan terhadap Bacillus cereus mengalami peningkatan yang signifikan setelah ditambahkan esensial oil.

Daya awet produk tahu ditentukan berdasarkan hasil TPC dari produk yang disimpan selama beberapa hari, dimana hasil pengamatan menunjukkan bahwa aplikasi kitosan sebagai coating lebih awet dibanding sebagai koagulan. Untuk penerimaan produk tahu dengan aplikasi kitosan baik sebagai koagulan maupun coating, masing-masing dapat diterima secara organoleptik. Walaupun


(5)

penggunaannya sebagai bahan campuran koagulasi memiliki tingkat penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara di-coating.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

APLIKASI KITOSAN DENGAN PENAMBAHAN ESENSIAL

OIL

KUNYIT SEBAGAI PENGAWET DAN

EDIBLE COATING

PRODUK TAHU

ERNI DANGGI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

(9)

Judul Tesis : Aplikasi Kitosan Dengan Penambahan Esensial Oil Kunyit Sebagai Pengawet dan Edible Coating Produk Tahu

Nama : Erni Danggi

NIM : F251050181

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S.


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 7 Juli 1980 dari ayah H. La Danggi dan ibu Hj. Wa Pili. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Kendari dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Haluoleo melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Agronomi, Fakultas Pertanian. Penulis lulus tahun 2004. Selanjutnya pada bulan Agustus 2005 atas dukungan orang tua, penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah pascasarjana IPB dengan mengambil Program Studi Ilmu Pangan.


(11)

PRAKATA

Dengan penuh rasa syukur penulis mengucapkan Alhamdullillah atas limpahan rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian dan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA sebagai komisi pembimbing atas

ketulusannya dalam memberikan bimbingan dan arahannya sejak awal penelitian hingga akhir penulisan tesis ini. Kepada Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc, penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menjadi penguji dan pemberi masukan bagi penulisan tesis ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan Tim Kitosan (Hana, Sumarto dan Betty), IPN 2005 (Yonathan, Emma, Henie, Cyntia, Fenny, Dian, Akhyar, Fitri dan Haris) dan IPN 2006 (Yoga, Ayusta, Aziz, dan Ray) atas kebersamaan dan kerjasamanya selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teknisi dan karyawan Lab. ITP atas segala bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian.

Doa dan terimakasih yang tiada terhingga penulis sampaikan untuk kedua orang tua, semoga Allah memberikan balasan kebaikan yang berlimpah atas segala pengorbanan yang telah diberikan selama mengikuti pendidikan. Terkhusus Bapak (Almarhum), terima kasih atas semangat dan doanya yang terucap menjelang akhir hidupnya karena telah menjadi motivasi bagi penulis selama menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada saudara-saudaraku (Imin, Udink, Ancu dan Cilo) atas dukungan dan doanya sejak awal pendidikan hingga akhir penulisan tesis.

Dan pada pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu dimana telah ikut membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis, penulis ucapkan terima kasih.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2008


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Kitosan ... 5

2.1.1 Ekstraksi kitosan ... 6

2.1.2 Sifat fisik kimia kitosan ... 9

2.2 Kunyit (Curcuma longa) ... 10

2.2.1 Ekstraksi Curcuma longa oil ... 12

2.3 Produk Tahu ... 13

2.3.1 Bahan utama pembuatan tahu ... 15

2.3.2 Proses pembuatan tahu ... 17

2.3.3 Kerusakan tahu ...19

2.3.4 Proses pembentukan gel tahu ... 20

2.5 Edible Coating ... 22

3 BAHAN DAN METODE ... 24

3.1 Bahan dan Alat ... 24

3.2 Waktu dan Tempat ... 24

3.3 Metodologi Penelitian ... 24

3.3.1 Persiapan bahan ... 24

3.3.2 Metode penelitian ... 24

3.3.2.1 Karakterisasi kitosan ... 25

3.3.2.2 Pengujian aktivitas antimikroba ... 26

3.3.2.3 Aplikasi kitosan pada produk tahu ... 28

3.3.3 Metode analisa ... 30

3.3.3.1 Rendemen ... 30

3.3.3.2 Kadar air ... 30

3.3.3.3 Kadar protein ... 30

3.3.3.4 Tekstur ... 31

3.3.3.5 Uji total bakteri ... 31

3.3.3.6 Uji organoleptik ... 31

3.3.3.7 Mikrostruktur edible coating ... 32

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 33

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

4.1 Karakterisasi Kitosan ... 34

4.1.1 Derajat deasetilasi ... 34


(13)

4.2 Pengaruh Penambahan EO Kunyit terhadap Daya

Antimikroba Kitosan ... 39

4.3 Pengaruh Aplikasi Kitosan Terhadap Produk Tahu ... 47

4.3.1 Rendemen basis basah ... 49

4.3.2 Rendemen basis kering ... 50

4.3.3 Kadar air ... 51

4.3.4 Kadar protein ... 51

4.3.2 Tekstur ... 53

4.4 Umur Simpan ... 54

4.5 Uji Organoleptik ... 56

4.5.1 Warna ... 57

4.5.2 Aroma ... 58

4.5.3 Tekstur ... 58

4.5.1 Overall ... 59

4.6 Pengujian Mikrostruktur Produk dengan SEM ... 59

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 63

5.1 Simpulan ... 63

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Aplikasi kitosan dan turunannya dalam industri pangan ... 6

2 Standar mutu kitosan ... 8

3 Sifat larutan kitosan larut asam ... 10

4 Komposisi gizi kunyit dalam 100 gram ... 12

5 Komposisi asam amino tahu dibandingkan dengan komposisi asam amino yang dianjurkan FAO/WHO ... 14

6 Komposisi gizi tahu dalam (g/100 g) ... 14

7 Syarat mutu tahu menurut SNI 01-3142-1998... 15

8 Spesifikasi kitosan komersil ... 38

9 Karakteristik edible film kitosan ... 39

10 Total plate count tahu ... 55

11 Respon panelis terhadap warna tahu ... 57

12 Respon panelis terhadap aroma tahu ………. 58

13 Respon panelis terhadap tekstur tahu ... 58


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur kitin [Poly (1, 4-2-acetamido-2-deoxy-ß-D-glucosamine)] ... 7

2 Struktur kitosan [Poly (1, 4-2-amino-2-deoxy-ß-D-glucosamine)] ... 7

3 Proses ekstraksi kitosan (Suptijah et al. 1992) ... 8

4 Equilibrium deprotonasi asam asetat dalam air ... 17

5 Metode Cina Tradisional untuk membuat susu kedelai dan tahu ... 18

6 Diagram alir penelitian ... 27

7 Aplikasi kitosan sebagai campuran koagulan pada pembuatan tahu ... 28

8 Aplikasi kitosan sebagai bahan edible coating pada produk tahu ... 29

9 Sampel Kitosan yang digunakan dalam penelitian, (a) DD 78,79%, dan (b) DD 97,8% ... 35

10 Konversi kitin menjadi kitosan ... 36

11 Spektrum FTIR kitosan : (a) Kitosan A DD 78,82 %, (b) Kitosan B DD 97,8% ... 37

12 Edible film kitosan ... 38

13 Diameter penghambatan bakteri kitosan dengan larutan asam asetat 5 % (rata-rata ± SD) ... 40

14 Diameter penghambatan bakteri kitosan dengan larutan asam asetat 2 % (rata-rata ± SD) ... 40

15 Peptidoglikan terdiri atas UDP N-setilglukosamin(G), UDP N-asetilmuramil (M), dan jembatan tetrapeptida ... 42

16 Zona penghambatan kitosan dengan penambahan ekstrak kunyit pada bakteri Bacillus cereus dan Escherichia coli ……….. 46

17 Persentase rendemen tahu berdasarkan basis basah ... 49

18 Persentase rendemen tahu berdasarkan basis kering ... 50

19 Persentase kadar air tahu ... 51

20 Persentase kadar protein tahu ... 51

21 Profil pengukuran daya iris dengan texture analizer ... 53

22 Tekstur tahu yang dinyatakan dengan nilai daya iris... 53

23 Permukaan produk tahu, a) tahu tanpa coating (kontrol), b) tahu coating kitosan + esensial oil kunyit ... 61

24 Mekanisme pengawetan produk tahu dengan edible coating terhadap kontaminasi mikroba ... 61


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Spektra infrared spectroscopy Kitosan A untuk pengukuran nilai A1320 … 70 2 Spektra infrared spectroscopy Kitosan A untuk pengukuran nilai A1420 … 70 3 Spektra infrared spectroscopy Kitosan B untuk pengukuran nilai A1320… 71

4 Spektra infrared spectroscopy Kitosan B untuk pengukuran nilai A1420 .... 71

5 Form kuisioner uji organoleptik tahu ... 72

6 Hasil uji hedonik warna tahu ... 73

7 Analisis sidik ragam parameter warna tahu ………... 73

8 Hasil uji hedonik aroma tahu ... 74

9 Analisis sidik ragam parameter Aroma tahu ... 74

10 Hasil uji organoleptik tekstur tahu ... 75

11 Analisis sidik ragam parameter tekstur tahu ………. 75

12 Hasil uji hedonik over all tahu ... 76


(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permintaan konsumen terhadap makanan dengan kualitas tinggi tanpa pengawet kimia merupakan suatu tantangan bagi industri pangan saat ini. Hal ini mendorong peningkatan usaha bagi penemuan pengawet dan antimikroba alami baru. Termasuk pada bahan pangan yang digolongkan dalam High Perishable Food atau mudah rusak.

Tahu merupakan satu diantara produk olahan kedelai yang paling diterima. Nilai gizinya tinggi terutama karena mutu protein dan daya cernanya yang tinggi. Kandungan genistein yang berasal dari kedelai memberikan nilai tambah bagi produk tahu. Genistein termasuk golongan isoflavon, yaitu senyawa estrogenik yang biasanya ditemukan pada tumbuhan. Akan tetapi, tahu merupakan bahan pangan yang perishable sehingga upaya-upaya pengawetan perlu dilakukan.

Salah satu cara yang diterapkan secara luas untuk mempertahankan kesegaran tahu oleh pengusaha dan pengecer tahu di Indonesia adalah merebus atau merendam tahu dalam air, dan mengusahakan tahu tetap dalam keadaan basah atau berair selama proses penjualan. Sebaliknya air perendam yang kurang bersih justru akan mempercepat pembusukan, sehingga tahu cepat menjadi asam. Winarno (2004) menyebutkan bahwa penelitian terhadap tahu yang tidak direbus hanya tahan disimpan selama dua hari bila dalam air sumur atau air kran yang bersih.

Untuk lebih memperpanjang umur simpan dari tahu tersebut, banyak produsen maupun pengecer tahu menambahkan bahan berbahaya ke dalam air rendaman, seperti formalin. Penggunaannya secara luas telah diketahui sejak tahun 1970 hingga tahun 2006. Penelitian Badan POM terhadap 700 sampel produk yang diambil dari Jawa, Sulawesi, dan Lampung menunjukkan bahwa 56% produk tersebut menggunakan formalin (Anonim 2006). Pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Formalin yang bersifat racun tersebut tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan makanan (additive) pada Codex Alimentarius, maupun yang


(18)

dikeluarkan oleh Depkes. Jadi, penggunaan formalin termasuk yang dilarang dalam makanan.

Kerusakan tahu tersebut berkaitan erat dengan aktivitas mikroorganisme. Kerusakan tahu dapat tergantung dari beberapa faktor antara lain: 1) adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan termodurik, 2) adanya kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses pembuatan sampai tahu siap dikonsumsi, 3) suhu penyimpanan, dan 4) adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh golongan bakteri tertentu (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Hal ini terbukti dari penelitian No et al. (2002) dengan mengisolasi tujuh bakteri dari tahu rusak yang diidentifikasi sebagai Bacillus sp. (S08), B. megaterium (S10), B. cereus (S17, S27, S28, S32), dan Enterobacter sakazakii (S35).

Berdasarkan hal tersebut, berbagai upaya dilakukan untuk menggantikan formalin dengan penggunaan pengawet bahan alami seperti penggunaan kitosan. Kitosan telah diuji coba dan digunakan untuk produk pangan seperti mayonise (Oh et al. 2000) yang dimaksudkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan mayonise antara lain Lactobacillus plantarum, Lactobacillus fructivorans dan Zygosaccharomyces baili. Selain itu kitosan juga digunakan pada buah-buahan (Noh et al. 2000), jus (Rhoades dan Roller 2000), mie basah (Oh et al. 2000). Di Indonesia kitosan telah diujicobakan dan digunakan untuk mengawetkan berbagai produk pangan salah satunya produk tahu, namun hanya bertahan selama 24 jam jika disimpan pada suhu ruang sedangkan jika disimpan pada suhu 4oC dapat mencapai 4 hari masa simpan (Hardjito 2006)

Usaha peningkatan daya hambat kitosan terhadap mikroba juga telah dilakukan, misalnya dengan penambahan bahan lain. Kombinasi penggunaan kitosan dengan bahan alam ekstrak alami tanaman pesisir Pemphis sp berhasil meningkatkan daya hambat kitosan terhadap S. aureus sekitar 2 kali lipat (Hardjito 2006).

Pada penelitian ini akan diujikan penambahan esensial oil dari ekstrak curcuma longa (kunyit) yang juga diketahui memiliki karakteristik antimikroba. Menurut Negi et al. (1999) bahwa aktivitas antibakteri dari esensial oil kunyit dapat menghambat pertumbuhan Bacillus cereus, Bacillus coagulans, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa.


(19)

Dimana senyawa yang paling banyak terkandung adalah ar-Turmerone, turmerone, dan curlone. Kombinasi antara kitosan dan esensial oil ini diharapkan dapat bersifat sinergis dalam menghambat pertumbuhan mikroba dan sekaligus memberikan karakteristik fisik yang tetap baik pada produk tahu.

Pembentukan karakteristik fisik tahu terutama berhubungan dengan sifat dari kitosan yang dapat membentuk gel. Ini juga didasarkan pada penelitian Chang et al. (2002) yang membuktikan bahwa kitosan memberikan pengaruh terhadap pembentukan gel pada tahu dimana kekuatan gel meningkat dan memperpanjang masa simpannya pada tingkat derajat deasetilasi tertentu.

Kemampuan kitosan dalam membentuk film juga telah banyak diteliti. Kitosan sebagai film biodegradable yang digunakan untuk mengemas mangga yang disimpan dengan teknik modifikasi atmosfer dapat memperpanjang masa

simpan hingga 9 hari dibanding tanpa menggunakan kitosan (Srinivasa et al. 2002). Dalam penelitian Dong et al. (2003) melaporkan bahwa

penggunaan kitosan sebagai peng-coating pada buah leci kupas dapat meningkatkan kualitas dan memperpanjang masa simpan dengan menekan kehilangan berat dan penurunan kualitas rasa.

Penggunaan kitosan untuk mengemas bahan pangan tersebut merupakan suatu inovasi dengan menggunakan konsep kemasan aktif biodegradabel. Dimana kemasan yang dikembangkan ini memiliki kemampuan untuk mengurangi ataupun menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan makanan. Durango et al. (2005) mengatakan bahwa edible film dengan berbahan dasar kitosan yang dicampurkan bahan lain (Dioscorea alata) mampu menghambat pertumbuhan mikroba Salmonella enteridis.

Oleh karena itu, selain penggunaan kitosan sebagai bahan campuran koagulan produk tahu maka akan dilakukan pula pengujian penggunaan kitosan yang diperkaya dengan esensial oil sebagai bahan edible coating.

1.2 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan daya pengawet kitosan dengan penambahan esensial oil kunyit dan memperoleh metode aplikasi terbaik untuk penggunaan kitosan yang ditambahkan Curcuma longa oil sebagai


(20)

bahan pengawet pada produk tahu dari dua metode yaitu sebagai koagulan dan ediblecoating.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai hal berikut :

1. Cara meningkatkan daya antimikroba dari kitosan komersil.

2. Salah satu jenis pengawet alami serta metode aplikasinya terbaik pada produk tahu.

1.4 Hipotesis

Kitosan yang ditambahkan esensial oil kunyit dapat meningkatkan umur simpan dan memperbaiki sifat gel tahu, dan diperoleh salah satu metode terbaik untuk aplikasinya.


(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitosan

Kitosan merupakan salah satu polisakarida kationik alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin yang banyak terdapat di alam. Kitin dapat diperoleh dari crustacean atau berbagai fungi. Kitin merupakan bentuk molekul yang hampir sama dengan selulosa yaitu suatu bentuk polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul glukosa sederhana yang identik. Ornum (1992) menjelaskan bahwa kitin berupa polimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer n-asetil D-glukosamin dalam ikatan β(1-4) atau 2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranol dengan rumus molekul (C8H13NO5)n. Kitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer, dan asam-asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida (Kurita 1998).

Proses produksi kitosan (dari sebelum terbentuknya kitin) meliputi demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Demineralisasi dilakukan dengan larutan asam encer yang bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku. Deproteinasi dilakukan dengan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang masih terdapat dalam bahan baku.

Janesh (2003) mengelompokkan kitosan berdasarkan BM dan kelarutannya sebagai berikut :

- kitosan larut asam dengan BM 800.000 sampai 1.000.000 Dalton - kitosan mikrokristalin (larut air) dengan BM sekitar 150.000 Dalton

- kitosan nanopartikel dengan BM 23.000 Dalton sampai 70.000 Dalton, dimana dapat berfungsi sebagai imunomodulator.

Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan fiber (Hirano et al. 1999; Ghanem dan Skonberg, 2002) karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer. Kitosan telah luas penggunaannya di industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta perlakuan pada air limbah. Di industri makanan kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan sebagainya. Aplikasi kitosan dan turunannya dalam bidang pangan dapat dilihat pada tabel 1.


(22)

Tabel 1 Aplikasi kitosan dan turunannya dalam industri pangan

Aplikasi Contoh

Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, pengukur

kontaminasi jamur pada komoditi pertanian.

Ediblefilm Mengatur perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat antimikroba, antioksidan, nutrisi, flavor, dan obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, pengatur suhu, menahan proses browning enzimatis pada buah.

Bahan aditif Mempertahankan flavor alami, bahan pengontrol tekstur, bahan pengemulsi, bahan pengental, stabilizer, dan penstabil warna.

Sifat nutrisi Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan dan tambahan makanan ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan anti grastitis (radang lambung), dan sebagai bahan makanan bayi. Pengolah limbah makanan padat Flokulan dan pemecah agar.

Pemurnian air Memisahkan ion-ion logam, pestisida, dan penjernihan.

Sumber: Shahidi et al. (1999). 2.1.1 Ekstraksi Kitosan

Deasetilasi kitin dilakukan dengan penambahan NaOH (Kolodziesjska et al. 1998; No et al. 2000; Chang et al. 1997). Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga kitosan bersifat polikationik. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Ornum 1992). Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan tersebut sangat berperan dalam aplikasinya misalnya sebagai bahan pengawet, penstabil warna, sebagai flokulan, dan membantu proses reverse osmosis dalam penjernihan air, sebagai bahan aditif untuk proses agrokimia dan pengawet benih (Shahidi et al. 1999).


(23)

Gambar 1 Struktur kitin [Poly (1, 4-2-acetamido-2-deoxy-ß-D-glucosamine)]

Gambar 2 struktur kitosan [Poly (1, 4-2-amino-2-deoxy-ß-D-glucosamine)]

Pada umumnya derajat deasetilasi yang diharapkan dalam standar mutu kitosan adalah 70-100%. Standar mutu kitosan dapat dilihat pada tabel 2.


(24)

Tabel 2 Standar mutu kitosan

Karakteristik Standar Penampakan

Ukuran Kadar air Kadar protein Kadar abu

Derajat deasetilasi Viskositas

Ketidaklarutan

Kadar logam berat: As Kadar logam berat: Pb pH

Bau

Bubuk putih atau kuning 25-200 mesh

< 10% < 0.3% < 0.5% 70-100% 50-500 cps

< 1% < 10 ppm < 10 ppm

7-9 tidak berbau Sumber : Dalwoo (2002)


(25)

2.1.2 Sifat fisik kimia kitosan

Dua faktor utama yang mencirikan kitosan adalah viskositas atau berat molekul dan derajat deasetilasi. Oleh sebab itu, pengontrolan kedua parameter tersebut dalam proses pengolahannya akan menghasilkan kitosan yang sangat bervariasi dalam aplikasinya diberbagai bidang. Misalnya kemampuan kitosan membentuk gel dalam N-methyl morpholine-N-oxide, akhir-akhir ini telah dimanfaatkan untuk formulasi obat. Derajat deasetilasi dapat didefinisikan sebagai rasio 2-amino-2-deoxy-D-glucopiranosa dan 2-acetamido-2-deoxy-D-glukopyranose, dan menunjukkan sejauh mana proses deasetilasi berjalan. Derajat deasetilasi dan berat molekul berperan penting dalam kelarutan kitosan, sedangkan derajat deasetilasi sendiri juga berkaitan dengan kemampuan kitosan untuk membentuk interaksi isoelektrik dengan molekul lain (Wibowo 2006).

Kitosan dapat dapat berinteraksi dengan bahan-bahan yang bermuatan seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak, asam empedu dan fosfolipid.

Kitosan larut asam dan larut air mempunyai keunikan membentuk gel yang stabil dan mempunyai muatan dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus NH (Kumar 2000). Menurut Wibowo (2006) kelarutan kitosan dipengaruhi oleh tingkat ionisasinya, dan dalam bentuk terionisasi penuh, kelarutannya dalam air meningkat karena adanya jumlah gugus yang bermuatan.

Pada pH asam, kitosan memiliki gugus amin bebas (-NH2) menjadi bermuatan positif untuk membentuk gugus amin kationik (NH3+). Dari sini dapat diketahui bahwa sifat larutan kitosan akan sangat tergantung pada dua kondisi di atas yaitu apakah dalam bentuk amin bebas –NH2 atau amina bermuatan positif – NH3+. Sifat kitosan larut asam dapat dilihat pada tabel 3. Dalam penelitian Hawab (2006) menjelaskan bahwa jika kitosan dilarutkan dalam asam maka secara proporsi atom hidrogen dari radikal amina primernya akan lepas sebagai proton, sehingga larutan akan bermuatan positif, dan bila ditambahkan molekul lain sebagai pembawa muatan negatif, maka akan terbentuklah polikationat, dan kitosan akan menggumpal. Sebagai contoh, natrium alginat (molekul pembawa bermuatan negatif), larutan-larutan bervalensi dua (sulfat, fosfat atau polianion)


(26)

dari ion mineral atau protein dapat membentuk senyawa kompleks dengan kitosan.

Tabel 3 Sifat larutan kitosan larut asam

Kondisi No.

Amin bebas (-NH2) Amin bermuatan positif (NH3+) 1.

2. 3. 4. 5.

Larut dalam larutan asam Tidak larut pada pH > 6.5 Tidak larut dalam H2SO4

Larut dalam jumlah terbatas dalam H3PO4

Tidak larut pada hampir seluruh pelarut organik

Larut pada pH < 6.5

Menjadi larutan yang kental (viscous) Larutan shear thinning

Membentuk gel dengan polianion Tetap menjadi larut dalam campuran alkohol dan air

Sumber: Sandford di dalam Skjak-Braek et al. (1989), Rinaudo et al. di dalam Skjak-Braek et al. (1989).

Menurut Sandford (1989) bahwa suasana asam, gugus amin bebas (NH2) dari kitosan akan terprotonasi membentuk gugus amino kationik (NH3). Kation dalam kitosan akan bereaksi dengan polimer anion membentuk kompleks elektrolit. Disamping sebagai bahan pengkoagulan, kitosan juga dapat berfungsi sebagai pengkelat logam-logam berat yang beracun seperti Fe, Hg, Cd, Pb, Ni, Mn dan lainnya.

Sebagai antibakteri, kitosan memiliki mekanisme penghambatan dimana kitosan berikatan dengan protein membran sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner, kitosan berikatan pula dengan pospholipid membraner, terutama fosfatidil kolin (PC) sehingga menyebabkan permeabilitas inner membran (IM) menjadi meningkat. Dengan meningkatnya permeabilitas IM memberi jalan yang mudah untuk keluarnya cairan sel. Pada E. coli setelah 60 menit komponen enzim

β galaktosidase dapat terlepas, hal ini berarti sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya atau dengan kata lain mengalami lisis. Sehubungan dengan meningkatnya lisis maka tidak akan terjadi pembelahan sel (regenerasi), hal ini bahkan dapat menyebabkan kematian bagi sel (Simpson 1997).

2.2 Kunyit (Curcuma longa)

Curcuma longa Auct. dikenal dengan nama daerah Kunyit (Melayu), Kunyet (Aceh), Kuning (Gayo), Hunik (Batak), Undre (Nias), Kakunye


(27)

(Enggano), Kunyir (Lampung), Kunyir, Koneng (Sunda), Kunir, Kunir bentis, Temu kuning (Jawa). Nama lain (sinonim) adalah Curcuma domestica Rumph.

Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan (perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Diperkirakan berasal dari Binar pada ketinggian 1300-1600 m dpl, ada juga yang mengatakan bahwa kunyit berasal dari India. Kata Curcuma berasal dari bahasa Arab Kurkum dan Yunani Karkom. Pada tahun 77-78 SM, Dioscorides menyebut tanaman ini sebagai Cyperus menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, dan sedikit pedas, tetapi tidak beracun. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Indonesia (Jawa), dan Filipina (Anonim 1994).

Tingginya dapat mencapai 0,75 sampai 1 meter, tumbuh membentuk rumpun. Batang semu, tegak, silindris, warnanya hijau kekuningan. Kelopak bunga silindris, bercangap tiga, tipis, berwarna ungu. Pangkal daun pelindung berwarna putih keunguan. Akar serabut,. berwarna coklat muda. Rimpang bercabang banyak, dari luar tampak berwarna jingga kecoklatan, di bagian dalamnya berwarna jingga terang atau kuning, rasanya agak getir dengan bau yang khas.

Tumbuhan ini tumbuh di banyak tempat, di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Tumbuh liar di ladang dan di hutan-hutan terutama di hutan jati dan sering juga ditanam di pekarangan-pekarangan sebagai tanaman untuk bumbu dan untuk keperluan obat-obatan. Sekarang sudah banyak ditanam secara monokultur, sebab kebutuhan akan kunyit semakin meningkat, bahkan tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga untuk keperluan ekspor.

Di daerah Jawa, kunyit banyak digunakan sebagai ramuan jamu karena berkhasiat menyejukkan, membersihkan, mengeringkan, menghilangkan gatal, dan menyembuhkan kesemutan. Manfaat utama tanaman kunyit, yaitu sebagai bahan obat tradisional, bahan baku industri jamu dan kosmetik, bahan bumbu masak, peternakan. Disamping itu rimpang tanaman kunyit itu juga bermanfaat sebagai anti inflamasi, antioksidan, antimikroba, pencegah kanker, anti tumor, dan menurunkan kadar lemak darah dan kolesterol, serta sebagai pembersih darah (Anonim 1994).


(28)

Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat manfaat lainnya. Kandungan Zat, kurkumin : R1 = R2 = OCH3 10 %, Demetoksikurkumin : R1 = OCH3, R2 = H 1-5 % Bisdemetoksikurkumin: R1 = R2 = H, sisanya minyak atsiri atau volatil oil (Keton sesquiterpen, turmeron, tumeon 60%, Zingiberen 25%, felandren, sabinen, borneol dan sineil), lemak 1-3%, karbohidrat 3%, protein 30%, pati 8%, vitamin C 45-55%, dan garam-garam Mineral (Zat besi, fosfor, dan kalsium).

Aktivitas antibakteri dari kunyit oil dari fraksinya yang dilarutkan ethyl asetat 5% dan hexane dengan metode pour plate dapat menghambat pertumbuhan Bacillus cereus, Bacillus coagulans, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, and Pseudomonas aeruginosa. gunakan ethyl asetat 5%. Dimana senyawa yang paling banyak terkandung adalah ar-Turmerone, turmerone, dan curlone (Negi et al. 1999).

Tabel 4 Komposisi gizi kunyit dalam 100 gram

Komposisi Jumlah air (g)

energi makanan (Kcal) protein (g) lemak karbohidrat (g) abu (g) kalsium (g) pospor (mg) sodium (mg) potasium (mg) besi (g) thiamin (mg) riboflavin (mg) niacin (mg)

asam askorbat (mg)

6.0 390 8.5 8.9 69.9 6.8 0.2 260 30 2000 47.5 0.09 0.19 4.8 50 Sumber : Peter (1999)

2.2.1 Ekstraksi Curcuma longa oil

Pelarut minyak yang biasa digunakan dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah petroleum eter, gasoline karbon disulfide, karbon tetra klorida, benzene, dan n-heksana (Winarni 1973).


(29)

Suatu zat dapat larut dalam pelarut jika mempunyai nilai polaritas yang sama, yaitu zat polar larut dalam pelarut bersifat polar dan tidak larut dalam pelarut nonpolar (Ketaren 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan ekstraksi adalah perlakuan pendahuluan seperti penghancuran, pengeringan dan penyerpihan, lama ekstraksi, jumlah pelarut, suhu pelarut, dan jenis pelarut yang digunakan (Benardini 1983). Jumlah minyak yang dapat diekstraksi tergantung pada suhu, kandungan air, teknik pengecilan ukuran dan sebagainya. Swern (1982) menjelaskan bahwa untuk mencapai efisiensi ekstraksi, bahan perlu dirajang lebih dahulu agar luas permukaan bahan semakin besar dan minyak mudah terekstraksi.

Menurut Sasikumar (2001) bahwa kunyit mengandung 3-5% minyak volatil jika diekstrak dengan cara distilasi uap dari bubuk kunyit selama 8 -10 jam. Minyak kunyit berwarna kuning pucat. Minyak tersebut mengandung 60% turmeron, 25% zingiberene dan sejumlah kecil d-α-phellandrene, d-sabinene, cineole dan forneol.

Ekstraksi curcuma longa oil dapat dilakukan dengan distilasi uap. Seperti isolasi esensial oil pada curcuma zedoaria yang dilakukan Mau et al. (2003) dengan menggunakan distilasi uap. Sehingga diperoleh 36 senyawa (17 terpen, 13 alkohol, dan 6 keton) yang juga diketahui memiliki aktivitas antioksidan.

2.3 Produk Tahu

Tahu adalah suatu produk berbahan dasar kedelai yang diekstrak dengan air dan dipresipitasi garam atau asam dalam bentuk gumpalan. Dalam basis basah, tahu mengandung 7.8% protein, 4.2% lemak, 2 mg/g calcium. Pada basis kering, mengandung 50% protein dan 27% lemak, komponen sisanya adalah karbohidrat dan mineral (Wang et al. 1983).

Pengertian tahu menurut SNI (1998) adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai dengan cara pengendapan proteinnya, dengan atau tidak ditambah bahan lain yang diizinkan. Pengertian lainnya menurut Shurtleff dan Aoyagi (1975), tahu merupakan gumpalan protein dari susu kedelai yang telah dipisahkan dari bagian yang tidak menggumpal (whey) dengan cara pengepresan. Sedangkan menurut Standar


(30)

Industri Indonesia (SII) dengan nomor 0270-80 menetapkan bahwa yang dimaksud dengan tahu adalah suatu jenis makanan padat yang terbuat dari kedelai dan dicetak dengan proses pengendapan protein pada titik isolistriknya, dengan atau tanpa penambahan zat lain yang diizinkan. Tahu juga didefinisikan sebagai gumpalan protein dari susu kedelai sesudah dipisahkan dari air tahu (whey) dengan cara pengepresan (Hadiah 1987).

Tahu memiliki kalori yang lebih rendah karena rasio protein/lemak lebih tinggi. Tahu juga bebas kolesterol, bebas lactose, dan lemak jenuh lebih rendah. Karena rasanya yang lembut dan teksturnya yang poros (menyerap), tahu dapat disiapkan dengan hampir semua makanan. Tahu juga mempunyai daya cerna yang sangat tinggi karena serat dan karbohidrat yang bersifat larut dalam air sebagian besar terbuang pada proses pembuatannya. Dengan daya cerna sekitar 95%, tahu dapat dikonsumsi dengan aman oleh semua golongan umur dari bayi hingga orang dewasa, termasuk orang yang mengalami gangguan pencernaan (Shurtleff dan Aoyagi 1975).

Tabel 5 Komposisi asam amino tahu dibandingkan dengan komposisi asam amino yang dianjurkan FAO/WHO

Jenis asam amino Anjuran FAO/WHO (mg/g)

Komposisi asam amino tahu (mg/g) Metionin dan sistin

Threonin Valin Lisin Leusin Isoleusin

Fenilalanin dan Tirosin Triptofan 220 250 310 340 440 250 380 60 156 178 264 333 448 261 490 96

Total 2250 2226

Metode pembuatan tahu ditemukan oleh Liu An pada zaman dinasti Han di Cina, kira-kita 164 tahun sebelum masehi. Sekitar 900 tahun kemudian, tahu menyebar ke Jepang dan kemudian ke negara-negara timur jauh. Sejak saat itu, tahu menjadi cara populer untuk menyediakan kedelai sebagai bahan makanan di timur jauh. Komposisi kimia tahu dapat dilihat pada tabel 6. Syarat mutu tahu berdasarkan Standar Industri Indonesia SII No. 0270-1990 dapat dilihat pada tabel 7.


(31)

Tabel 6 Komposisi gizi tahu dalam (g/100 g) Komposisi Jumlah Energi (kcal) Kadar Air Protein Lemak Karbohidrat Abu Serat 72 86.8 6.6 4.2 1.6 0.8 0.4 Sumber : Anonim (2000)

Tabel 7 Syarat mutu tahu, SII (0270-1990)

Jenis uji Persyaratan

Keadaan: - Bau - Rasa - Warna - Penampakan Abu

Protein (N x 6.25) Lemak

Serat kasar

Bahan tambahan makanan

Cemaran mikroba : - Angka lempeng total - E. Coli

- Salmonella

Normal Normal

Putih normal atau kuning normal Normal tidak berlendir dan tidak berjamur

Maksimal 1.0% (b/b) Minimal 9.0 % (b/b) Minimal 0.5 (b/b) Maksimal 0.1 % (b/b)

Sesuai SNI 01-0222-1995 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/1988

Maksimal 1.0 x 106 (koloni/g) Negatif/25 g (APM/g)

Negatif /25 g 2.3.1 Bahan utama pembuatan tahu

- Kedelai

Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan bagian asia seperti kecap, tahu dan tempe. Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara.


(32)

Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat meskipun kedelai praktis baru dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910.

Di Indonesia, kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama, meskipun Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai. Ini terjadi karena kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih. Kedelai putih bukan asli tanaman tropis sehingga hasilnya selalu lebih rendah daripada di Jepang dan Tiongkok. Pemuliaan serta domestikasi belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat fotosensitif kedelai putih. Di sisi lain, kedelai hitam yang tidak fotosensitif kurang mendapat perhatian dalam pemuliaan meskipun dari segi adaptasi lebih cocok bagi Indonesia (Anonim 2006)

Di antara jenis sereal dan legum, kedelai memiliki kandungan protein yang paling tinggi. Kandungan proteinnya sekitar 40% pada basis basah, sedangkan legum lain hanya sekitar 20-30%, sedangkan sereal kandungan proteinnya sekitar 8-15%. Kedelai juga mengandung 20% minyak, kedua tertinggi dari semua legum. Komponen yang terbanyak ketiga adalah karbohidrat (kira-kira 35%). Komponen lainnya yang terdapat dalam kedelai adalah phospolipid, vitamin, mineral dan fitokimia sebagai isoflavon-isoflavon.

Asam lemak yang paling banyak terdapat pada kedelai adalah asam linoleat yaitu sekitar 53%. Kemudian diikuti asam oleat (23%), palmitat (11%), linolenic (8%) dan asam stearat (4%).

Protein kedelai mengandung semua asam amino esensial seperti isoleusin, leusin, lisin, methionin, sistein, phenilalanin, tirosin, threonin, triptophan, valin, dan histidin. Semua asam amino ini hadir dalam jumlah yang cocok dengan yang dibutuhkan manusia. Jumlah asam amino yang terbatas (sedikit jumlahnya) adalah methionin dan sistein.

- Asam asetat

Asam asetat dikenal juga dengan nama ethanoic acid. Asam asetat adalah senyawa kimia organik yang paling dikenal memberikan rasa asam dan bau tajam. Tidak berwarna. Titik bekunya 16.7oC (62oF). Asam asetat bersifat korosif, dan uapnya menyebabkan iritasi pada mata, kering dan terbakar pada hidung, sakit


(33)

pada tenggorokan, sesak pada paru-paru, walaupun ini termasuk asam lemah yang mempunyai kemampuan untuk terdisosiasi dalam larutan cair.

Asam asetat adalah satu dari asam karboksilat yang paling sederhana (paling sederhana kedua setelah asam format). Asam asetat merupakan suatu pereaksi kimia yang penting dan industri kimia menggunakannya untuk memproduksi polyethylene terephthalate yang umumnya digunakan dalam botol minuman ringan. Selain itu juga untuk memproduksi selulosa asetat yang digunakan terutama untuk film fotografi. Polivinil asetat untuk lem kayu yang sama baiknya dengan serat sintetik. Dalam industri makanan asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman.

Sifat kimia dari asam asetat (dalam keasaman) yaitu atom Hidrogen (H) dalam kelompok karboksil (-COOH) dalam asam karboksilat seperti asam asetat dapat melepaskan ion H+ (proton), inilah yang memberikan sifat asamnya. Asam asetat termasuk asam lemah dengan nilai pKa 4.8. Dasar konjugasinya adalah asetat (CH3COO-).

Gambar 4 Equilibrium deprotonasi asam asetat dalam air

Dalam pembuatan tahu, asam asetat berfungsi sebagai koagulan. Chang et al. (2002) mengatakan bahwa asam asetat yang dicampurkan dengan kitosan akan menghasilkan tahu yang memiliki umur simpan yang lebih panjang dibandingkan jika dicampurkan bahan koagulan lainnya seperti Gypsum dan GDL (glucono-δ-lactone).

2.3.2 Proses Pembuatan tahu

Terdapat beberapa cara yang dalam pembuatan tahu, dan semuanya berasal dari metode Cina tradisional yang telah digunakan sekitar 2000 tahun lalu. Pada dasarnya, prosedurnya dimulai dengan penyiapan susu kedelai (soymilk) (lihat gambar 5). Setelah susu dipanaskan kira-kira 10 menit, kemudian dipindahkan pada wadah lainnya, dan dibiarkan dingin. Pada saat yang sama,


(34)

suspensi koagulan disiapkan dengan mencampurkan bubuk koagulan dengan air panas. Secara tradisional, bubuk koagulan yang umum digunakan adalah gypsum dan nigari. Ketika susu kedelai dingin kira-kira 78oC, larutan koagulan ditambahkan ke dalamnya sambil diaduk. Ketika terbentuk sedikit gumpalan (biasanya kurang dari 30 detik), wadah ditutup, dan koagulan didiamkan selama 30 menit. Gumpalan kedelai kemudian dipindahkan ke wadah berbentuk kotak dangkal yang dilapisi kain ditiap sudutnya. Keempat ujung kain ditarik dan dilipat ke bagian atas. Selanjutnya wadah ditutup dengan menggunakan papan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran dari wadah tersebut dan bagian atasnya ditempatkan batu (pemberat). Kira-kira 30 menit, whey akan tertekan keluar dan tahu menjadi keras. Tahu yang dingin kemudian dipotong dan siap untuk disajikan atau diimmersi dalam air dingin untuk penyimpanan waktu yang lama (Liu 1999).

Saat ini, metode tradisional masih popular digunakan pada tingkat rumah tangga atau pedesaan. Banyak metode baru yang dikreasikan untuk membuat tahu berbagai jenis tahu tetapi masih berdasarkan prinsip yang sama.


(35)

Berbagai macam jenis tahu antara lain tahu putih, tahu kuning, tahu sutra, tahu cina, tahu keras, dan tahu kori (Sarwono dan Saragih 2004). Dari berbagai jenis tahu tersebut dibedakan oleh rasio air:biji kedelai, jenis dan konsentrasi koagulan, cara penambahan koagulan, dan jumlah whey yang dikeluarkan.

Tiga tahap paling penting dalam pembuatan tahu adalah cara penyiapan susu kedelai, cara protein digumpalkan, dan cara tahu dipres dan dikemas.

Secara umum, faktor yang mempengaruhi penyiapan susu kedelai adalah varietas kedelai, tingkat panas yang diaplikasikan baik pada biji kedelai, bubur dan susu kedelai.

2.3.3 Kerusakan tahu

Tahu merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak sehingga digolongkan ke dalam High Perishable Food (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Menurut Dotson et al. (1977) bahwa tahu yang disimpan pada suhu rendah (15oC) hanya dapat mempertahankan kesegaran tahu 1-2 hari. Tahu yang dibiarkan pada udara terbuka tanpa perendaman di dalam air hanya bertahan sekitar 10 jam. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan berkurang, warna dan penampakan tidak cerah, dan kadang-kadang berjamur pada permukaannya (Prastawa et al. 1980). Dotson et al. (1977) mengatakan bahwa kerusakan ditandai dengan rasa asam dan diasosiasi dengan pertumbuhan bakteri

Kerusakan tahu mempunyai kaitan erat dengan aktivitas mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff (1978) bahwa mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan yang berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Shurtleff dan Aoyagi (1979) menyatakan penyebab utama kerusakan tahu adalah bakteri. Terdapatnya mikroba pada tahu yang baru saja keluar dari proses produksi tidak dapat dihindari, meskipun proses pembuatannya telah dilakukan dengan sanitasi yang baik. Jumlah koloni bakteri sering mencapai 100.000 per gram (Shurtleff dan Aoyagi 1979).

Sehubungan dengan aktivitas bakteri, kerusakan tahu dapat tergantung dari beberapa faktor antara lain: 1) adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan


(36)

termodurik, 2) adanya kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses pembuatan sampai tahu siap dikonsumsi, 3) suhu penyimpanan, dan 4) adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh golongan bakteri tertentu (Shurtleff dan Aoyagi 1979).

Tujuh bakteri diisolasi dari tahu rusak dan yang diidentifikasi sebagai Bacillus sp. (S08), B. megaterium (S10), B. cereus (S17, S27, S28, S32), dan Enterobacter sakazakii (S35) (No et al, 2002). Sedangkan Shin et al. (1992) menemukan Acinetobacter calcoaceticus var. anitrat dan Klebsiella pneumoniae subgrup pneumoniae, yang menjadi bakteri mayoritas yang muncul. Joo et al. (1998) melaporkan bahwa Acinetobacter calcoaceticus, Bacillus cereus, Klebsiella pneumoniae, dan Xenorhabdus luminescens yang mayoritas menyebabkan kerusakan tahu.

Dotson et al. (1977) mengembangkan kriteria untuk pengukuran seperti pembusukan dan dianggap bahwa ini disebabkan oleh bakteri asam laktat. Fouad dan Hegeman (1993) bahwa tahu dipengaruhi terutama oleh bakteri asam laktat, Serratia liquefaciens, dan spesies Pseudomonas.

2.3.4 Proses pembentukan gel tahu

Tahap pertama dalam pembentukan gel adalah denaturasi protein, dan tahap kedua adalah proses agregasi. Ada dua perlakuan sebagai penyebab proses penggumpalan protein susu kedelai yaitu pemanasan yang mendenaturasi protein dan penambahan bahan penggumpal untuk membantu atau mempercepat proses penggumpalan (Shurtleff dan Aoyagi 1979).

Denaturasi protein adalah perubahan protein yang disebabkan oleh panas. Selain itu, denaturasi dapat disebabkan oleh pH ekstrim misalnya pada beberapa pelarut organik seperti alkohol, atau aseton, oleh zat terlarut tertentu seperti urea, deterjen, atau hanya dengan pengguncangan intensif larutan protein (Lehninger 1993).

Perubahan konformasi struktur protein dapat disebabkan oleh panas, garam, perubahan pH, pelarut organik, dan agen denaturasi seperti garam guanidium. Ada jenis perubahan yang dapat terjadi, 1) interaksi rantai-rantai (diantara grup rantai samping dalam polipeptida) hasil dalam asosiasi, agregasi, flokulasi, koagulasi dan presipitasi. 2) interaksi rantai pelarut (diantara molekul


(37)

pelarut dan grup rantai samping) hasil dari kelarutan, disosiasi, pembengkakan, dan denaturasi (Wong 1989).

Protein kedelai terdiri dari campuran komponen protein yang mempunyai bobot molekul antara 8.000 sampai 600.000. Melalui ultrasentrifugasi, protein kedelai dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu protein 2S, 7S, 11S, dan 15S atas dasar laju pengendapannya (Wolf dan Cowan 1971).

Protein globulin adalah komponen utama dari protein kedelai yang jumlahnya hampir 50 persen dari total protein kedelai. Protein globulin ini terdiri dari fraksi 7S dan 11S yang jumlahnya masing 18.5% dan 31% dari total protein kedelai, dengan bobot molekul masing-masing 180.000 – 210.000 dan 600.000 (Wolf dan Cowan 1971).

Pemanasan larutan protein kedelai dalam air menyebabkan pembentukan agregat dari fraksi 11S, 15S dan sebagian 7S (Watanabe dan Nakayama 1962). Bila larutan 11S dipanaskan di atas 70oC, larutan menjadi keruh dan protein mengendap pada pemanasan 90oC (Wolf dan Cowan 1971).

Proses pengendapan ini terjadi pada saat titik isoelektrik yaitu muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol.

Pada tahu, faktor yang mempengaruhi penggumpalan adalah suhu pada saat koagulan ditambahkan, jenis dan konsentrasi koagulan, cara penambahan koagulan dan lama penggumpalan.

- Suhu Koagulasi

Suhu susu kedelai pada saat penambahan koagulan mempengaruhi kecepatan koagulasi. Pada suhu yang tinggi, protein memiliki energi aktif yang tinggi, yang menyebabkan koagulasi berlangsung cepat. Hasilnya tahu cenderung memiliki water holding capacity (WHC) yang rendah, tekstur yang kasar dan keras, hasil curah yang rendah. Ketika suhu koagulasi rendah, pengaruhnya berlawanan. Jika suhu terlalu rendah (dibawah 60oC) koagulasi menjadi tidak sempurna dan tahu mengandung terlalu banyak air dan terlalu lembut untuk mempertahankan bentuknya. Umumnya temperatur yang digunakan adalah 70-80oC (Beddows dan Wong 1987).


(38)

- Waktu Koagulasi

Setelah penambahan koagulan, campuran susu kedelai-koagulan didiamkan. Jika terlalu cepat maka koagulasi tidak akan sempurna. Sedangkan jika terlalu lama, suhu akan menurun yang selanjutnya akan sulit melakukan pengepresan. Umumnya untuk tahu lembut (Sutra) membutuhkan 30 menit, tahu reguler 20-25 menit dan untuk tahu keras 10-15 menit.

Pengukuran kekuatan gel dapat diklasifikasikan atas pengukuran kekerasan gel dan pengukuran daya tahan pecah gel. Kekerasan gel menunjukkan besarnya beban untuk melakukan deformasi gel sebelum terjadi pemecahan gel. Daya tahan pecah gel merupakan batas elastisitas gel yang menunjukkan besarnya daya tahan gel terhadap deformasi dimana gel menjadi sobek. Kalau dikaitkan dengan nilai pH, ternyata naiknya pH akan meningkatkan kekerasan dan daya tahan pecah gel, namun kenaikan yang semakin besar akan menurunkan kekerasan dan daya tahan pecah gel (Matz 1959).

2.5 Edible coating

Edible coating atau film merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Bahan ini digunakan di atas atau di antara produk dengan membungkus, merendam, menyikat atau menyemprot untuk memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap dan memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air dan memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Gennadious dan Weller 1990).

Komponen utama penyusun edible coating dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu hidrokoloid, lipid dan komposit (campuran). Yang termasuk hidrokoloid adalah protein (gelatin, kasein, protein kedelai, protein jagung dan gluten gandum) dan karbohidrat (pati, alginat, pektin, gum arab dan modifikasi karbohidrat lainnya). Sedangkan lipid yang biasa digunakan adalah lilin, beeswax, gliserol dan asam lemak (Donhowe dan Fennema 1994).

Edible coating yang berasal dari bahan kitosan mampu meningkatkan kualitas dan memperpanjang umur simpan pada buah lecy (Dong et al, 2004). Chien et al. (2005) melaporkan bahwa coating kitosan pada irisan buah mangga dapat meningkatkan kualitas dan mencegah keretakan permukaan.


(39)

Zivanovic et al. (2003) mengatakan bahwa coating kitosan-esensial oil memiliki potensi yang baik untuk mempertahankan kualitas dan memperpanjang masa simpan produk segar.

Beberapa teknik aplikasi ediblecoating menurut Krochta (1992), yaitu: 1) pencelupan (dipping)

Teknik ini biasanya digunakan pada produk yang memiliki permukaan yang kurang nyata. Setelah pencelupan, kelebihan bahan coating dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran. 2) penyemprotan (spraying)

Teknik ini dapat menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis dan lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk yang memiliki dua sisi permukaan, misalnya pizza.

3) pembungkusan (casting)

Teknik ini digunakan untuk membuat film yang berdiri sendiri, terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk non edible film.

4) pengolesan (brushing)

Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles ediblecoating pada produk.

Edible film atau coating telah diteliti kemampuannya dalam mengurangi kehilangan akan air, oksigen, aroma, dan bahan terlarut pada beberapa produk. Sehingga ini menjadi salah satu metode paling efektif untuk menjaga kualitas makanan. Kemampuan ini dapat ditingkatkan lagi dengan penambahan antioksidan, antimikroba, pewarna, flavor, fortified nutrient dan rempah (Pena dan Torres 1991; Han 2000).


(40)

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedelai, kitosan komersil, asam asetat, esensial oil kunyit, NaOH, Aquades, medium kultur mikroba dan lain-lain.

Alat-alat yang digunakan timbangan analitik, pisau, spatula, kain saring, gelas ukur, gelas piala, botol semprot, tabung reaksi, cawan petri, pipet, jarum ose, texture analizer, FT-IR, SEM, homogeniser, inkubator dan lain-lain.

3.2 Tempat dan Waktu

Waktu penelitian berlangsung bulan Mei 2007 hingga Januari 2008. Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.

3.3 Metodologi Penelitian

3.3.1 Persiapan Bahan

Tahap persiapan ini merupakan tahap mengektraksi kunyit. Rimpang kunyit yang telah dibersihkan diiris tipis-tipis dengan ketebalan ± 2 mm. Irisan tersebut kemudian dikeringkan dengan oven vakum dengan suhu 50 oC selama 24 jam. Setelah kering irisan kering kunyit diblender untuk mendapatkan ukuran yang lebih halus (bubuk). Menurut Benardini (1983) bahwa kecepatan ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penghancuran, pengeringan dan penyerpihan, jumlah pelarut, suhu pelarut, dan jenis pelarut.

Ekstraksi kunyit dilakukan dengan menggunakan pelarut etil asetat, masing-masing dengan perbandingan 1 : 4. Larutan dishaker selama 24 jam dengan kecepatan 25 rpm. Pelarut kemudian diuapkan dengan menggunakan evaporator dengan suhu 40oC.

3.3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan percobaan. Dimana tahapan percobaan pertama adalah karakterisasi kitosan yang termasuk penentuan derajat deasetilasi, analisis proximat, dan sifatnya sebagai edible film.


(41)

Dilanjutkan dengan tahapan kedua yaitu pengujian kemampuan antimikroba terhadap kitosan dan kitosan yang dikombinasikan dengan EO kunyit. Tahapan percobaan ketiga adalah aplikasi kitosan terhadap produk tahu. Berikut ini adalah penguraian dari masing-masing tahapan percobaan.

3.3.2.1 Karakterisasi Kitosan

Pada tahap karakterisasi kitosan meliputi beberapa sub tahapan pelaksanaan yaitu penentuan derajat deasetilasi, analisis proximat, pengujian aktivitas antimikroba. Sifat proximat yang diuji seperti kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak.

Penentuan derajat deasetilasi

Untuk mengetahui derajat deasetilasi kitosan digunakan uji Fourier Transform Infrared (FTIR). Pengukuran spektra dengan menggunakan sampel kitosan berbentuk serbuk. Pengukuran ini didasarkan pada perbandingan absorbansi panjang gelombang1320 cm-1 dan absorbansi pada panjang gelombang 1420 cm-1.

Derajat deasetilasi kitosan ditentukan dengan cara mencampurkan dua miligram serbuk dari sampel kitosan dengan 200 mg KBr untuk dijadikan pelet. Pelet dibuat dengan menggunakan hand press Shimadzu dengan tekanan kerja sebesar 8 ton selama 10 menit. Pengukuran spektrum FTIR dilakukan dengan menggunakan Spektrometer FTIR Tensor 37 (Bruker Spectrospin) yang dilengkapi dengan detektor DTGS. Personal komputer yang dilengkapi dengan software OMNIC versi 1.70 digunakan untuk mengontrol kerja spektrometer dalam menghasilkan spektrum pada range 400-4000 cm-1. Spektrum dihasilkan dengan kecepatan 30 detik dengan resolusi 4 cm-1. Puncak tertinggi diukur dari garis dasar yang dipilih untuk menentukan absorbansi yang dihitung dengan menggunakan rumus: 20 . 12 92 . 31 % 1420 1320 − ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = A A DA Dimana :

A1320 = Nilai absorbansi pada 1320 cm-1 A1420 = Nilai absorbansi pada 1420 cm-1


(42)

3.3.2.2 Pengujian aktivitas antimikroba

Pengujian daya antimikroba kitosan ditambah esensial oil, untuk memperoleh kitosan dengan DD yang terbaik pada medium kultur mikroba.

Persiapan Isolat Bakteri uji. Satu ose bakteri uji masing-masing diinokulasikan ke dalam 5 ml media LB, lalu inkubasi 37oC selama 24 jam. Sebanyak 10 μL kultur 24 jam tersebut diambil dan diinokulasikan ke dalam 10 ml media LB dan diinkubasi 37oC sampai akhir fase logaritmik (Escherichia coli, Bacillus cereus 12 jam).

Uji antibakteri menggunakan metode difusi sumur agar. Metode yang digunakan mengacu pada Carson dan Riley (1995). Kultur dengan jumlah bakteri 105 CFU/ml sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam cawan petri dan dituangkan media agar sebanyak 20 ml, dibiarkan membeku lalu dibuat sumur dengan diameter 8 mm. Sampel antibakteri dimasukkan ke dalam sumur, diinkubasi 37oC, dan diamati zona bening yang terbentuk setelah 20 jam.


(43)

(44)

3.3.2.3 Tahapan Percobaan Aplikasi Kitosan pada Produk Tahu

Pada tahapan kedua penelitian utama meliputi aplikasi kitosan pada produk tahu yang terbagi atas dua metode yaitu 1) aplikasi kitosan sebagai campuran bahan koagulan dan 2) aplikasi kitosan sebagai ediblecoating.

1) Aplikasi kitosan sebagai campuran bahan koagulan.

Kitosan ditimbang dengan berat 2 gram kemudian dimasukkan masing-masing ke dalam larutan asam asetat dengan konsentrasi 5% hingga membentuk larutan tersuspensi. Kemudian ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 100 ml.

Perlakuan yang diberikan pada sampel yang akan diuji : - tahu tanpa kitosan (kontrol)

- tahu dengan kitosan

- tahu dengan kitosan dan EO kunyit

Gambar 7 Aplikasi kitosan sebagai campuran koagulan pada pembuatan tahu (ket * : komposisi koagulan terdiri atas 3 macam, yaitu A; A dan B; A, B dan C)


(45)

2) Aplikasi kitosan sebagai ediblecoating :

Kitosan ditimbang dengan berat 2 gram kemudian dimasukkan masing-masing ke dalam larutan asam asetat dengan konsentrasi 2% hingga membentuk larutan tersuspensi. Kemudian ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 100 ml.

Perlakuan yang diberikan pada sampel yang akan diuji: - tahu tanpa ediblecoating (kontrol)

- tahu dengan ediblecoating kitosan

- tahu dengan ediblecoating kitosan dan esensial oil

Gambar 8 Aplikasi kitosan sebagai bahan ediblecoating pada produk tahu (ket * : komposisi coating ada 2 macam, yaitu A; A dan B


(46)

3.3.3 Metode Analisa

3.3.3.1 Pengukuran kadar air, metode oven (AOAC, 1994).

Cawan kosong dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan. Cawan dimasukkan dalam oven bersuhu 105 oC selama 6 jam. Cawan dan sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin. Cawan dan sampel dimasukkan kembali ke dalam oven, dikeringkan lagi sampai diperoleh berat yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus :

3.3.3.2 Kadar protein

Penetapan kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode kjeldahl.. Sebanyak 0.2 g sampel ditempatkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml.Ke dalam labu yang sama juga ditambahkan 1.9 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, 2,0 ± 0.1 ml H2SO4. Sampel didihkan selama 1 – 1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah proses ini selesai labu kemudian didinginkan dengan cara menambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan. Isi labu kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H2BO3 dan 4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dan satu bagian metil biru 0.2% dalam alkohol) diletakkan dalam kondensor, ujung tabung kondensor terendam di bawah larutan H2BO3. Sebanyak 8 – 10 ml NaOH-Na2S2O3 ditambahkan ke dalam tabung destilasi, kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 50 ml destilata dalam erlenmeyer. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai perubahan warna menjadi abu-abu.

sampel HCl blanko

HCl

mg

x x

normalitas x

ml ml

N ( ) ( ) 14.007 100

% = −


(47)

3.3.3.3 Tekstur (texture analyzer)

Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan. Kadang-kadang tekstur lebih penting dibandingkan dengan bau, rasa dan warna karena mempengaruhi citra makanan.

Pengukuran tekstur dilakukan dengan menggunakan textur analyzer TA-XT2. Sampel dipotong berbentuk kubus dengan panjang sisi ± 2.5 cm. Sampel diletakkan dibawah probe yang berbentuk pisau dengan kecepatan 1 mm/detik dan jarak 9.4 mm.

3.3.3.4 Uji total bakteri [Total Plate count (TPC)] (Fardiaz 1989).

Contoh sebanyak 1 gr ditimbang dan dihancurkan, kemudian secara aseptis contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi pengencer 9 ml. setelah dikocok, diambil dengan pipet steril 1 ml untuk pengenceran berikutnya.

Pemupukan dilakukan dengan metode agar tuang (pour plate), yaitu sebanyak 1 ml contoh yang telah diencerkan sampai pada tingkat tertentu, diambil dengan pipet steril secara aseptis, dan dipindahkan ke dalam cawan petri. Media PCA cair dengan suhu kira-kira 45 oC dituang ke dalam petri. Setelah dingin diinkubasi selama 48 jam. Penetapan total mikroba berdasarkan pada metode standard plate count.

3.3.3.5 Uji organoleptik.

Sedangkan analisis subjektif yaitu uji organoleptik. Organoleptik dilakukan dengan uji hedonik (Larmond 1974 dan Soekarto 1985), parameter uji hedonik yang diamati warna, aroma, dan rasa. Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan dari sampel uji. Selain itu juga dilakukan uji deskriptif terhadap tekstur.

Skala yang digunakan pada uji hedonik untuk parameter warna, aroma, dan over all yaitu : 1) sangat tidak suka, 2) tidak suka, 3) agak tidak suka, 4) netral, 5) agak suka, 6) suka, dan 7) sangat suka. Sedangkan untuk parameter tekstur digunakan skala : 1) Sangat keras, 2) keras, 3) sedikit keras, 4) agak keras, 5) tidak keras dan 6) lunak tidak keras.


(48)

3.3.3.6 Mikrostruktur ediblecoating (Modifikasi Lin et al. 2002)

Pengamatan terhadap mikrostruktur edible coating yang terbentuk pada produk tahu diamati dengan Scanning Electron Microscopy (SEM).

Prinsip alat ini yaitu pancaran elektron yang diradiasi terhadap spesimen akan menyebabkan adanya elektron yang meloncat dan sebagian yang lain diserap. Jika sampel tidak memiliki konduktivitas elektrik, elektron yang diserap akan memberikan arus pada spesimen. Hal ini menyebabkan terjadinya kesalahan pengamatan. Sehingga untuk menghindari kesalahan ini dilakukan pelapisan metal dalam ruang hampa, pengamatan dengan accelerating voltage rendah, dan pengamatan dalam tingkat kehampaan untuk mencegah spesimen menerima arus.

Analisis ini menggunakan alat SEM (JEOL JSM 5310 LV Scanning Microscope). Preparasi sampel untuk pengamatan ini dimulai dengan pengeringan sampel dengan freeze drying sampai kadar air mencapai 2 % atau kurang. Sampel dipotong dengan ukuran 0,5 cm x 0.5 cm. Setelah preparasi, sampel diletakkan pada logam yang dilapisi karbon untuk selanjutnya dilakukan pelapisan emas (Au) 300 Å di dalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum. Pada proses vakum terjadi loncatan logam emas ke arah sampel, sehingga melapisi sampel. Sampel yang telah dilapisi emas diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron, dan dengan terjadinya tembakan elektron ke arah sampel, maka akan terekam ke dalam monitor dan kemudian dilakukan pemotretan.

3.4 Rancangan percobaan dan Analisis data

Rancangan percobaan yang akan digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor dengan tiga kali ulangan. Perlakuan terdiri atas kontrol, kitosan, kitosan + esensial oil. Untuk melihat pengaruh perlakuan pada masing-masing metode aplikasi digunakan analisis sidik ragam (ANOVA) pada taraf 0.05. Perlakuan yang memberikan respon nyata dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 0.05.

Model RAL faktor tunggal yang digunakan adalah sebagai berikut :

ε

μ

ε

τ

μ

+

+

=

+

=

i ij ij i

ij

Y


(49)

dimana: i =1, 2, …, t dan j =1, 2, …,r

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i = μi - μ


(50)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi Kitosan 4.1.1 Derajat Deasetilasi

Di antara beberapa karakteristik kitosan, derajat deasetilasi (DD) adalah salah satu dari karakteristik kimia yang paling penting, dimana berpengaruh terhadap daya guna kitosan di berbagai aplikasinya. Derajat deasetilasi

menunjukkan tingkat pelepasan kandungan gugus amino bebas dalam polisakarida (Li et al. 1992), yang selanjutnya dapat digunakan untuk membedakan antara kitin

dan kitosan. Derajat deasetilasi kitosan berkisar antara 56% sampai 99% dengan rata-rata 80%, tergantung pada spesies crustacea dan metode preparasinya (No 2000; No dan Meyers 1995). Berbeda dengan pernyataan Li et al. (1997) bahwa kitin dengan derajat deasetilasi di atas 70% dianggap sebagai kitosan. Sedangkan menurut Knaul et al. (1999), kitin dengan derajat deasetilasi 75% digolongkan sebagai kitosan.

Sejumlah metode telah digunakan untuk menentukan derajat deasetilasi, seperti linear potentiometric titration (Ke dan Chen 1990), infrared spectroscopy (Baxter et al. 1992), nuclear magnetic resonance spectroscopy (Hirai et al. 1991), pyrolysis-mass spectrometry (Nieto et al. 1991), UV-spectrophotometry (Muzzarelli dan Rocchetti 1985), dan titrimetry (Raymond et al. 1993). Metode yang paling sering digunakan adalah infrared spectroscopy karena kemudahannya.

Dalam penelitian ini digunakan metode infrared spectroscopy. FTIR spektrometer yang digunakan untuk merekam spektra adalah FT-IR 1720 yang

berasal dari Nicolet. Berdasarkan hasil pengukurannya pada frekuensi 4000 - 400 cm-1 bahwa dua jenis kitosan yang digunakan dalam penelitian ini

diketahui memiliki derajat deasetilasi yang berbeda. Nilai derajat deasetilasi masing-masing kitosan adalah 78,79 % dan 97,8 %. Perbedaannya juga terlihat pada penampakan fisik kitosan. Lihat gambar 9.

Temperatur atau konsentrasi larutan yang digunakan untuk menghilangkan gugus asetil dari kitin (misalnya sodium hydroksida) akan mempengaruhi sifat molekul kitosan (Baxter et al. 1992; Mima et al. 1983). Derajat deasetilasi


(51)

terutama tergantung dari metode pemurnian dan kondisi reaksi (Baxter et al. 1992; Li et al. 1997), oleh karena itu karakterisasi kitosan merupakan hal yang esensial dengan penentuan derajat deasetilasi sebelum penggunaannya.

(a) (b)

Gambar 9 Sampel Kitosan yang digunakan dalam penelitian, (a) DD 78,79%, dan (b) DD 97,8%

Metode infrared spectroscopy yang pertama kali digunakan Moore dan Robert (1980), ini merupakan metode yang umum digunakan untuk estimasi nilai DD kitosan. Metode ini memiliki sejumlah kelebihan dan kekurangan. Pertama, relatif cepat karena tidak memerlukan pemurnian sampel untuk pengujian dan

juga tidak memerlukan pelarut sampel kitosan dalam pelarut encer (Baxter et al. 1992). Meskipun demikian, metode IR menggunakan baseline untuk

menghitung DD dimana ini memungkinkan terdapat argumen dari baseline berbeda yang akan berkontribusi terhadap variasi nilai DD. Kedua, dalam preparasi sampel tipe instrumen dan kondisinya memungkinkan berpengaruh terhadap analisis sampel. Kitosan bersifat higroskopis di alam dan sampel dengan DD yang rendah dapat mengabsorbsi kelembaban dibanding kitosan dengan DD lebih tinggi, sehingga diutamakan agar sampel dianalisis dalam kondisi yang kering (Khan et al. 2001; Blair et al. 1987).

Dalam proses deasetilasi, gugus asetil yang berasal dari rantai molekul kitin dilepaskan sehingga terbentuk gugus amino. Proses tersebut dapat dilihat pada gambar 10.


(52)

Gambar 10 Konversi kitin menjadi kitosan

Menurut No dan Meyer (1989) deasetilasi adalah proses untuk mengubah kitin menjadi kitosan dengan menghilangkan gugus asetil. Umumnya dicapai melalui perlakuan dengan konsentrat sodium atau larutan potassium hidroksid (40 – 50 %). Biasanya pada 100oC atau lebih tinggi selama 30 menit atau lebih untuk sebagian atau semua gugus asetil dari polimer. Muzzarelli (1977) mengatakan bahwa gugus N-asetil tidak dapat dihilangkan dengan reagen asam tanpa hidrolisis polisakarida, jadi metode alkali berfungsi sebagai N-deasetilasi. Selanjutnya No et al. (1989) menjelaskan deasetilasi dapat dicapai melalui reaksi demineralisasi kitin dari cangkang kerang atau kepiting dengan larutan 50% NaOH (w/w) pada suhu 100o C selama 30 menit dalam udara yang solid menjadi pelarut pada rasio 1:10 (w/v). Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat deasetilasi antara lain temperatur dan waktu deasetilasi, konsentrasi alkali, perlakuan-perlakuan awal terhadap isolasi kitin, dan ukuran partikel (Rigby 1936).

Menurut Chang et al. (2003) bahwa reaksi dalam larutan alkalin/basa pada temperatur tertinggi atau periode terlama menghasilkan sampel kitosan dengan DD yang tertinggi. ini dikarenakan deasitilasi pada temperatur yang ditinggikan


(53)

dalam larutan alkalin merusak ikan glikosidik dalam molekul kitosan. Sebagai konsekuensinya, viskositas intrinsik dan berat molekul kitosan menurun dengan meningkatnya DD.

Nilai DD tidak hanya tergantung pada sumber dan metode purifikasi tapi juga tipe metode analisa, persiapan sampel, dan tipe alat yang digunakan, dan kondisi lain yang mempengaruhi DD (Khan et al. 2002). Dalam penentuan derajat deasetilasi kitosan menggunakan spektrum FTIR. Pengukuran absorbansi pada frekuensi 1655 cm-1 dan absorbansi pada frekuensi 3450 cm-1. Berikut adalah gambar spektrum FTIR kitosan.

Gambar 11 Spektrum FTIR kitosan : (a) Kitosan A DD 78,82 %, (b) Kitosan B DD 97,8%

Karakterisasi kitin dan kitosan sangat sulit dan telah banyak didiskusikan dalam literatur. Untuk kitosan yang larut dalam medium encer, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tetapi ada beberapa metode yang dianggap lebih utama yaitu potentiometry, 1 H NMR, UV spectroscopy dan infrared spectroscopy (Brugnerotto et al. (2001). Infrared spectroscopy adalah metode yang paling banyak didiskusikan karena kesederhanaannya, namun demikian metode ini memerlukan kalibrasi dan teknik


(54)

yang absolut. Validasi spektum IR terhadap unit struktur polimer yaitu dengan penentuan baseline dan karakteristik frekuensi.

Menurut Brugnerotto et al. (2001) bahwa rasio absorbsi A1320/A1420 menunjukkan hasil superior. Dengan berdasarkan perhitungan pada rasio absorbansi A1320/A1420 dalam menentukan nilai DA, untuk selanjutnya melakukan penghitungan DD maka diketahui nilai derajat deasetilasi untuk kitosan A dan kitosan B masing-masing adalah 77.84% dan 96.98%.

20 . 12 92 . 31 % 1420 1320 − ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = A A DA

Penyiapan kitosan, jenis instrumen yang digunakan, dan kondisi akan mempengaruhi analisis (Khan et al. 2002). Pada tabel 8 tertera spesifikasi kitosan komersil.

Tabel 8 Spesifikasi kitosan komersil

Ciri Parameter

Kitosan A Kitosan B

ukuran partikel Derajat deasetilasi kadar air kadar abu Kadar protein Kadar Lemak

serpihan sampai bubuk 78,82% 12,35% 0,46% 36,87% 0,02% bubuk 97,8% 10,41% 2,148% 41,03% 0,10% 4.1.2 Karakteristik Kitosan Sebagai Edible Film

Gambar 12 Edible film kitosan

Menurut Shahidi et al. (1998) bahwa kitosan berhasil digunakan sebagai pengemas makanan karena sifat film yang terbentuk. Pada penelitian ini hasil karakterisasi edibel film kitosan yang dibentuk dari pelarut asam asetat 1% disajikan pada tabel 9.


(55)

Tabel 9 Karakteristik edible film kitosan

Karakteristik Unit Kuat tarik

% elongasi WVTR O2TR

Warna - L - a - b Kadar air aw pH 21.2152 mpa 26.34 %

238.5758 (g/m2/24 jam) 2.2729 (cc/m2/24 jam)

80.54 1.15 22.64 26.34 % (b.k) 0.624 4.03

Dari beberapa penelitian menyebutkan kemampuan film atau coating kitosan untuk memperpanjang masa simpan dan mengontrol kerusakan buah dan sayuran lebih baik dengan menurunkan kecepatan respirasi, menghambat pertumbuhan kapang, dan atau menghambat pematangan dengan mengurangi produksi etilen dan karbondioksida. Pada penelitian Smith et al. (1994) dilaporkan bahwa kitosan memiliki kemampuan untuk membentuk film yang sesuai sebagai pengawet makanan dengan menghambat patogen psikotrofik. Penelitian yang dilakukan Jiang et al. (2005) membuktikan bahwa coating kitosan (2% kitosan dalam 5% asam asetat) mampu menghambat penurunan kandungan antosianin dan

peningkatan aktivitas polyphenol oxidase pada penyimpanan leci. El Ghaouth et al. (1992) juga melaporkan bahwa coating kitosan (1% dan 2 %

dalam 0.25 N HCl) mengurangi kecepatan respirasi dan produksi etilen pada tomat. Tomat yang di-Coating dengan kitosan lebih keras, titrasi keasaman lebih tinggi, dan lebih sedikit pigmentasi merah dibandingkan kontrol setelah penyimpanannya selama 4 minggu pada suhu 20oC.

Penelitian yang dilakukan Astuti (2008) dalam memperbaiki sifat barrier terhadap uap air dan sifat mekanik dari edible film kitosan dapat dilakukan dengan penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat dalam pelarut asam asetat. Selain itu penambahan zat lain seperti kunyit yang diketahui memiliki sifat antimikroba terbukti mampu meningkatkan daya penghambatan dari edible film kitosan terhadap pertumbuhan mikroba.

4.2 Pengaruh Penambahan EO Kunyit Terhadap Daya Antimikroba Kitosan

Dua jenis sampel kitosan yang digunakan pada penelitian ini masing-masing dengan konsentrasi yang sama yaitu 2% (b/v). Pengujian daya


(56)

antimikrobanya menggunakan metode difusi sumur pada media agar padat. Dimana sampel sebanyak 60 μL dimasukkan dalam sumur agar untuk diamati adanya zona bening di sekitar sumur. Munculnya zona bening menunjukkan adanya aktivitas penghambatan kitosan terhadap bakteri. Aktivitas penghambatan bakteri tersebut dinyatakan dengan diameter penghambatan (mm) yang merupakan hasil pengurangan diameter luar zona bening dengan diameter lubang sumur. Pada Gambar 13 dan 14 menunjukkan hasil pengukuran aktivitas penghambatan antibakteri. 0 5 10 15 20 25 30

KA KA+EO KB KB+EO

z ona p e ngha m ba ta n ( m m ) E. coli Basillus cereus

Gambar 13 Diameter penghambatan bakteri kitosan dengan larutan asam asetat 5 % (rata-rata ± SD)

0 5 10 15 20 25

KA KA+EO KB KB+EO

Zona pe ngha m ba ta n ( m m ) E. coli Bacillus cereus

Gambar 14 Diameter penghambatan bakteri kitosan dengan larutan asam asetat 2 % (rata-rata ± SD)


(1)

Lampiran 3 Spektra

infrared spectroscopy

Kitosan B untuk pengukuran nilai

A

1320

Lampiran 4 Spektra

infrared spectroscopy

Kitosan B untuk pengukuran nilai

A

1420

20

.

12

92

.

31

%

1420 1320

=

A

A

DA

02

.

3

20

.

12

193

.

0

092

.

0

92

.

31

=

⎥⎦

⎢⎣

=

]

100

[

%

DA

DD

=

98

.

96

]

02

.

3

100

[

=

=


(2)

Lampiran 5 Form kuisioner uji organoleptik tahu

Uji O rg a no le ptik Ta hu

Na m a Pa ne lis :

No . HP :

Ta ng g a l

:

Ma re t 2008 Instruksi :

1.

Ama ti sa mp e l sa tu p e r sa tu, ke mud ia n b e rila h p e nila ia n

te rha d a p p a ra me te r wa rna , a ro ma d a n te kstur, se rta o ve r a ll.

2.

Nya ta ka n p e nila ia n a nd a d e ng a n me mb e rika n a ng ka se sua i

d e ng a n ting ka t ke suka a n a nd a b e rd a sa rka n ta b le

ke te ra ng a n p e nila ia n.

3.

Pe ne ntua n

te kstur

d e ng a n c a ra d ite ka n me ng g una ka n ib u

ja ri d a n ja ri te lunjuk.

4. Ja ng a n m e m b a nding ka n a nta r sa m pe l!! Ko de Sa m pe l Pe ng ujia n

852 421 546 644 256 603

Wa rna

Aro ma

Te kstur

O ve r

All

Ke te ra ng a n Pe nila ia n :

Ting ka t ke suka a n untuk wa rna ,

a ro m a , da n o ve r All

Nila i

Sa ng a t Suka 7

Suka 6

Ag a k Suka 5

Ne tra l 4

Ag a k Tid a k Suka 3

Tid a k Suka 2

Sa ng a t Tid a k Suka 1 Ting ka t ke ke ra sa n untuk Te kstur Nila i

Luna k tid a k ke ra s 6

Tid a k ke ra s 5

Ag a k ke ra s 4

Se d ikit ke ra s 3

Ke ra s 2

Sa ng a t ke ra s 1

Ko me nta r: ………...

………...


(3)

Lampiran 6 Hasil uji hedonik warna tahu

Skor Warna Nama

852 546 644 603

Ade irma s 4 6 2 2

Akhmad arief sadikin 5 6 5 2

Aris Dwi Toha 4 6 2 2

M.T. Assyaukani 4 4 5 5

Hamigia Zulkhair 4 4 2 1

Angga 6 6 3 1

Hans Ceisar W. 4 4 2 2

Mariance 6 4 2 2

Friska Syaiful 6 6 5 2

Mathelda Kurniaty R. 7 7 5 4

Via 6 5 4 3

Findya 6 6 5 3

Heni Budi Wijayanti 6 6 7 6

Gina Panikulata 4 6 3 2

Denny S. Agustin 7 6 3 2

Ria Noviar Triana 3 5 2 1

Novia 5 5 4 3

Hana 7 7 2 6

Rosliana M 6 7 4 5

Nanang 5 6 5 2

Yoga 6 6 6 2

Sofie 4 4 5 4

Ayusta 5 6 3 3

Qia 6 6 5 3

Wahid Achsan 5 6 3 6

Lampiran 7 Analisis sidik ragam parameter warna tahu

Source df

Sum

of

Square

Mean

Square

F Siginficance

Model 27

194,750

7.213 6.11 0.0001

Panelis 24 79,040

3.293 2.79 0.0004

Sampel 3

115,710

38.570 32.66 0.0001

Error 72

85,040

1.181


(4)

Lampiran 8 Hasil uji hedonik

aroma tahu

Skor Aroma Nama

852 546 644 603

Ade irma s 6 5 4 6

Akhmad arief sadikin 6 5 3 3

Aris Dwi Toha 6 5 6 3

M.T. Assyaukani 5 4 3 5

Hamigia Zulkhair 5 3 2 1

Angga 5 6 5 3

Hans Ceisar W. 6 3 2 2

Mariance 6 4 2 3

Friska Syaiful 5 5 6 2

Mathelda Kurniaty R. 6 7 6 5

Via 6 5 3 4

Findya 6 6 6 4

Heni Budi Wijayanti 6 6 7 6

Gina Panikulata 6 6 3 3

Denny S. Agustin 4 4 6 2

Ria Noviar Triana 4 3 4 1

Novia 6 6 4 4

Hana 5 5 4 6

Rosliana M 6 5 3 4

Nanang 5 5 5 2

Yoga 6 6 2 2

Sofie 5 3 3 4

Ayusta 5 5 5 4

Qia 4 5 5 2

Wahid Achsan 5 6 3 6

Lampiran 9 Analisis sidik ragam parameter Aroma tahu

Source df

Sum

of

Square

Mean

Square

F Siginficance

Model 27

122.650 4.542 3.71 0.0001

Panelis 24

67.660 2.819 2.30 0.0036

Sampel 3

54.990 18.330 14.95 0.0001

Error 72

88.260 1.226


(5)

Lampiran 10 Hasil uji organoleptik

tekstur tahu

Skor Tekstur Nama

852 546 644 603

Ade irma s 5 7 2 6

Akhmad arief sadikin 5 4 6 5

Aris Dwi Toha 6 4 6 2

M.T. Assyaukani 6 2 5 5

Hamigia Zulkhair 6 5 6 5

Angga 5 2 5 2

Hans Ceisar W. 6 3 6 1

Mariance 5 4 6 4

Friska Syaiful 5 3 4 4

Mathelda Kurniaty R. 6 4 6 4

Via 5 5 3 3

Findya 6 5 6 3

Heni Budi Wijayanti 6 7 6 6

Gina Panikulata 6 5 6 3

Denny S. Agustin 7 6 3 2

Ria Noviar Triana 1 3 2 2

Novia 5 5 6 3

Hana 7 6 7 3

Rosliana M 5 5 5 6

Nanang 4 4 6 3

Yoga 6 6 6 2

Sofie 6 5 5 3

Ayusta 6 2 4 3

Qia 3 5 3 6

Wahid Achsan 6 5 6 3

Lampiran 11 Analisis sidik ragam parameter tekstur tahu

Source df Sum

of

Square

Mean

Square

F Siginficance

Model 27

112.710 4.174 2.48 0.0012

Panelis 24

66.040 2.752 1.64 0.0570

Sampel 3

46.670 15.556 9.25 0.0001

Error 72

121.080 1.681


(6)

Lampiran 12 Hasil uji hedonik

over all

tahu

Skor over all Nama

852 546 644 603

Ade irma s 4 6 3 3

Akhmad arief sadikin 6 5 5 4

Aris Dwi Toha 5 4 5 2

M.T. Assyaukani 6 5 6 7

Hamigia Zulkhair 5 3 2 1

Angga 6 5 3 2

Hans Ceisar W. 5 3 2 1

Mariance 6 4 2 3

Friska Syaiful 6 5 6 2

Mathelda Kurniaty R. 6 6 5 5

Via 5 5 3 3

Findya 6 6 5 4

Heni Budi Wijayanti 6 6 7 5

Gina Panikulata 3 5 3 3

Denny S. Agustin 4 3 3 3

Ria Noviar Triana 1 2 2 1

Novia 5 5 4 4

Hana 7 6 6 3

Rosliana M 6 6 4 5

Nanang 4 5 5 2

Yoga 6 6 5 2

Sofie 4 4 4 4

Ayusta 1 6 3 3

Qia 4 6 4 3

Wahid Achsan 6 6 5 6

Lampiran 13 Analisis sidik ragam parameter

over all

tahu

Source df Sum

of

Square

Mean

Square

F Siginficance

Model 27

167.850 6.216 5.83 0.0001

Panelis 24

119.340 4.972 4.67 0.0001

Sampel 3

48.510 16.170 15.17 0.0001

Error 72

76.740 1.065