Kesenjangan ekonomi antar wilayah
Pembangunan nasional
Sumber: Sjafrizal 2008
Gambar 2.1 Kurva U terbalik Kebenaran Hipotesis Neoklasik ini diuji kebenarannya oleh Jefrey G.
Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang kesenjangan ekonomi antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan
data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar
secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap
permulaan justru terjadi sebaliknya Sjafrizal, 2008.
2.2 Indikator Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat diukur menggunakan perhitungan indeks ketimpangan regional Williamson. Istilah indeks Williamson
muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar wilayah
pada negara maju dan negara sedang berkembang. Secara statistik, indeks Williamson ini adalah coefficient of variation yang biasa digunakan untuk
mengukur perbedaan. Indeks ini menggunakan PDRB per kapita sebagai data
dasar karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok. Hal yang dipersoalkan bukan
antara kelompok kaya dan miskin, tetapi antara daerah maju dan terbelakang. Dari indeks Williamson dapat diketahui kesenjangan ekonomi antar
wilayah yang terjadi semakin melebar atau berkurang. Jika semakin tinggi nilai indeks Williamson, berarti kesenjangan ekonomi antar wilayah semakin besar,
dan sebaliknya. Batasan untuk tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah, yaitu: CVw 0,35 = Kesenjangan taraf rendah
0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang
CVw 0,5 = Kesenjangan taraf tinggi
Apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara masih tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi, maka harus segera dicari solusi untuk
mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebutkarena apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dibiarkan semakin tinggi, dapat menimbulkan konsekuensi
sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam rasa persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara.
2.3 Strategi Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Adanya indikasi kesenjangan ekonomi antar wilayah menandakan terdapat beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sedangkan beberapa daerah lain
mengalami pertumbuhan ekonomi lambat. Dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah tersebut, maka pemerintah dapat menyusun prioritas untuk
lebih membangun daerah-daerah yang tertinggal. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi wilayah mana saja yang masuk dalam kategori daerah yang tertinggal.
Setelah diketahui daerah-daerah tertinggal. Kemudian dilakukan analisis faktor- faktor yang mampu memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal
tersebut. Sehingga pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat untuk memajukan perekonomian daerah-daerah yang tertinggal tanpa menghambat
pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dikurangi.
2.3.1 Klassen Typology
Identifikasi wilayah dapat dilakukan menggunakan alat analisis Klassen Typology yang membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat
pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan PDRB per kapita daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat karateristik daerah yang berbeda, yaitu:
1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh high growth and high income
Merupakan daerah yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh daerah. Pada
dasarnya, daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang paling maju, baik dari segi tingkat pembangunan maupun kecepatan pertumbuhan. Pada umumnya
daerah tersebut mempunyai potensi pembangunan yang sangat besar dan telah dimanfaatkan secara baik untuk kemakmuran masyarakat.
2. Daerah maju tapi tertekan high income but low growth
Merupakan daerah-daerah yang memiliki pendapatan per kapita tinggi, tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan ekonomi daerahnya
menurun. Walaupun wilayah ini telah maju tetapi di masa mendatang diperkirakan pertumbuhannya tidak akan begitu cepat.
3. Daerah berkembang cepat high growth but low income
Merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan yang sangat besar tetapi masih belum diolah dengan baik. Walaupun tingkat pertumbuhan
ekonominya sangat tinggi, namun tingkat pendapatan per kapita yang mencerminkan tahap pembangunan yang telah dicapai masih relatif rendah
dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Wilayah ini diperkirakan akan mampu berkembang dengan pesat untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah maju.
4. Daerah relatif tertinggal low growth and low income
Merupakan daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah yang berada di bawah rata-rata. Ini artinya, baik
tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah ini masih rendah. Sjafrizal, 1997.
Setelah dilakukan analisis Klassen Typologi dapat diidentifikasi wilayah mana saja yang tergolong daerah tertinggal. Wilayah tersebut harus mendapat
perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah dalam penetapan kebijakan pembangunan ekonomi sehingga daerah tertinggal dapat mengejar ketertinggalan
dari daerah maju. Perlu juga dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan supaya kesenjangan ekonomi antar wilayah tidak semakin melebar.
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Todaro 2006, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-
menerus sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar.
Model pertumbuhan Neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang diminishing return dari input tenaga kerja dan modal jika
keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow memakai asumsi skala hasil tetap constant
return to scale. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya
pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Model pertumbuhan Neoklasik Solow
menggunakan fungsi produksi agregat standar, yakni :
Y = Ae
μt
K
α
L
1- α
Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja non terampil, A adalah suatu konstanta yang
merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan e
μ
melambangkan konstanta tingkat kemajuan teknologi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap
modal atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia. Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai
pangsa modal dalam total pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marjinalnya
sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan Neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang
diminishing returns. Menurut model pertumbuhan ini, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas
tenaga kerja melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan, penambahan modal melalui tabungan dan investasi, serta penyempurnaan teknologi
Todaro, 2006.
Bebrapa faktor yang diduga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, antar lain:
a. Sumber Daya Manusia
Input sumber daya manusia SDM merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan perekonomian. Menurut Todaro 2006, pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar
akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Pengaruh positif atau negatif
dari pertumbuhan penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian daerah dalam menyerap dan memanfaatkan pertambahan tenaga kerja yang
dipengaruhi oleh tingkat akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi.
Menurut BPS 2010, penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15 tahun ke atas, dibedakan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Angkatan kerja dikatakan bekerja bila mereka melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan dan lamanya
bekerja paling sedikit satu jam secara kontinu selama seminggu yang lalu. Sedangkan penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan disebut
menganggur. Jumlah tenaga kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang
tersedia maka akan meningkatkan total produksi di suatu daerah. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikan,
kesehatan, ataupun indikator-indikator lainnya. Rata-rata lama sekolah RLS
merupakan komponen yang mewakili tingkat pendidikan penduduk. Teori Human Capital mengemukakan pentingnya tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain penundaan
penerimaan penghasilan, orang yang melanjutkan pendidikan harus membayar biaya. Namun, setelah tamat dari pendidikan yang ditempuhnya, sangat
diharapkan orang tersebut dapat mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan berjuang pada pertumbuhan ekonomi di daerahnya Todaro, 2006.
Sedangkan angka harapan hidup AHH sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja
pemerintah dalam hal meningkatkan kesejahteraan penduduk di bidang kesehatan BPS, 2008. Tingkat kesehatan yang rendah akan
berdampak pada produktivitas penduduk tidak maksimal. Harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan
Todaro, 2006. Tingkat pendidikan yang baik dibarengi dengan tingkat kesehatan yang baik akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. b. Belanja Modal
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat.Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran
menyatakan bahwa Y = C + I + G + X-M. Variabel Y melambangkan pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan
variabel-variabel diruas kanan disebut permintaan agragat. Variabel G melambangkan pengeluaran pemerintah government expenditures. Dengan
membandingkan nilai G terhadap Y, serta mengamati dari waktu ke waktu dapat
diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional dan seberapa penting peranan
pemerintah dalam perekonomian nasional
.
Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja modal untuk pembangunan dari pemerintah daerah. Belanja modal BM terdiri dari
belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta jalan, irigasi, dan jaringan. Alokasi belanja modal untuk pengembangan infrastruktur
penunjang perekonomian akan mendorong produktivitas penduduk yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan penduduk.
c. Infrastruktur Infrastruktur merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan suatu daerah. Adanya fasilitas transportasi dapat membuka keterisolasian suatu daerah sehingga dapat menggerakan perekonomian daerah
tersebut dengan lancarnya transaksi perdagangan ke daerah lain. Ketersediaan listrik, air, dan telekomunikasi memungkinkan peningkatan produktivitas nilai
tambah bagi faktor-faktor produksi Prahara, 2010.
2.4 Penelitian Terdahulu
Supriyantoro 2005 menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah. Periode penelitian ini adalah tahun
1993-2003. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson berdasarkan data PDRB per kapita daerah yang dikelompokan berdasarkan pembagian sepuluh
wilayah pembangunan di Provinsi Jawa Tengah.
Tabel 2.1 Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993- 2003
Tahun CVw
1993 0,2864
1994 0,2991
1995 0,3018
1996 0,3129
1997 0,3182
1998 0,2830
1999 0,2828
2000 0,2787
2001 0,2808
2002 0,2768
2003 0,3427
Sumber: Supriyantoro, 2005
Hasil penelitian menunjukkan pada periode penelitian tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah tergolong rendah yang dilihat
dari nilai CVw yang kecil. Namun, dari tahun ke tahun ketimpangan pendapatan antarkabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami perkembangan yang
kurang baik karena nilai ketimpangan pendapatan antar wilayah tersebut cenderung meningkat.
Fabia 2006 menganalisis dampak otonomi daerah terhadap kondisi ketimpangan pendapatan antar kabupatenkota di Pulau Sumatera. Periode tahun
penelitian ini adalah tahun 1995, tahun 2001, dan tahun 2004. Metode yang digunakan yaitu analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda
dengan PDRB per kapita tahun analisis sebagai variabel dependen dan PDRB per kapita tahun dasar dan tingkat pendidikan sebagai variabel independen. Hasil
penelitian menunjukkan pendapatan antar kabupatenkota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Hal ini dilihat dari nilai koefisien regresi lebih kecil dari
nol. Hasil uji menunjukkan otonomi daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan konvergensi pendapatan dan menurunnya ketimpangan pendapatan
antar kabupatenkota di Pulau Sumatera. PDRB per kapita tahun dasar signifikan mempengaruhi PDRB per kapita tahun analisis sedangkan tingkat pendidikan
tidak signifikan. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan kurang mempengaruhi peningkatan konvergensi pada konvergensi bersyarat.
Satrio 2009 menganalisis ketimpangan pendapatan antar pulau di Negara Indonesia. Periode penelitian ini adalah tahun 1996-2006. Metode yang digunakan
yaitu indeks Williamson, trend ketimpangan, analisis korelasi dan koefisien determinan. Hasil penelitian yaitu ketimpangan pendapatan antar pulau di
Indonesia tergolong taraf rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261, yang berarti masih berada di bawah 0,35. Untuk ketimpangan
pendapatan yang terjadi di dalam setiap pulau berada pada ketimpangan taraf tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku Irian yaitu antara 0,521
sampai 0,996, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya rendah yaitu antara 0,050-0,109, sedangkan Pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara
0,379-0,498. Analisis trend ketimpangan pendapatan antar pulau menunjukkan trend yang menurun. Ketimpangan pendapatan menurut pulau juga menunjukkan
trend yang menurun kecuali Pulau Jawa dan Sulawesi. Hasil analisis korelasi dan koefisien determinan menunjukkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dengan
indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil yaitu sebesar 14 persen.
2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual