Kondisi Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan ekonomi telah menjadi permasalahan yang umum terjadi di suatu negara, baik di negara berkembang maupun negara maju. Kesenjangan ekonomi yang terjadi di negara maju timbul karena dianutnya sistem ekonomi kapitalis pada negara tersebut. Sistem tersebut justru menyebabkan kesenjangan semakin melebar, bahkan menimbulkan krisis seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa.

Ketimpangan ekonomi antar wilayah yang terjadi pada negara berkembang umumnya muncul karena adanya proses pembangunan yang sedang berlangsung. Pembangunan ekonomi lebih banyak dilakukan pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang baik. Sedangkan potensi sumber daya di setiap daerah berbeda. Kemampuan yang dimiliki setiap wilayah untuk membangun daerahnya sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut, misalnya sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan (modal dan infrastruktur), sumber daya sosial yang meliputi ekonomi, budaya, adat istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, letak geografis, sarana dan prasarana yang tersedia serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan pembangunan dan mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dicapai masyarakat di setiap daerah berbeda.


(2)

Pembangunan ekonomi merupakan cara bagi suatu negara untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan ekonomi dilakukan secara berkesinambungan dan terencana untuk dapat menciptakan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Program pembangunan ekonomi sebaiknya dilakukan di seluruh penjuru negara agar lebih merata. Pembangunan ekonomi bukan hanya dikerjakan di wilayah pusat pemerintahan saja, tetapi juga di daerah-daerah lain agar manfaatnya dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Program yang sebaiknya dijalankan oleh suatu negara adalah dengan cara memacu sektor industri terutama yang berbasis padat karya, sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang banyak dan akan mengurangi pengangguran. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) juga dapat dijadikan program untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Negara yang telah sukses mengembangkan program ini adalah India dengan koperasi susunya.

Pemerintah juga harus memperhatikan infrastruktur yang ada di wilayahnya. Infrastruktur yang memadai dapat menarik pemodal untuk menginvestasikan dananya di wilayah tersebut. Infrastruktur juga salah satu modal yang dimiliki suatu daerah dalam meningkatkan produktivitasnya. Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi pembangunan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Malaysia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi tinggi dan tingkat inflasi rendah. Pertumbuhan ekonomi yang baik ini didukung oleh tenaga terdidik dan trampil yang cukup banyak, serta kondisi politik yang stabil. Pemerintah Malaysia telah mengadakan investasi yang besar dalam bidang pendidikan. Berkat keberhasilan investasi pendidikan dan


(3)

3   

program penciptaan lapangan kerja, Malaysia memiliki angka kemiskinan yang tergolong rendah di kalangan negara-negara berkembang, yaitu sekitar 15 persen.

Program yang dilakukan oleh Cina pada tahun 1975 untuk meningkatkan perekonomiannya dikenal dengan istilah “Program Empat Modernisasi”. Program ini bertujuan untuk melipatgandakan produksi pertanian secara cepat, mengembangkan industri, memacu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperkuat pertahanan nasional. Pada tahun 1980, disahkan rencana pembangunan yang mencakup pengembangan reformasi pertanian (pemberian hak sewa tanah dalam jangka panjang dan pemberian ijin kepada para petani untuk melakukan spesialisasi dalam bercocok tanam serta terlibat aktif dalam berbagai kegiatan nonpertanian), hak swamanajemen, pengenalan persaingan pasar yang lebih besar, keringanan pajak bagi perusahaan swasta, dan pemberian aneka fasilitas kemudahan bagi pengusaha Cina untuk menjalin hubungan langsung dengan mitra-mitranya atau semua pengusaha di mancanegara. Reformasi ini membuahkan keberhasilan yang besar. Tingkat pendapatan nasional, output pertanian dan industri meningkat 10 persen per tahun selama periode 1980-1990. Pendapatan riil petani meningkat dua kali lipat, penghasilan para pekerja di perkotaan naik setengahnya. Cina juga berhasil dalam swasembada pangan. Sektor industri di pedesaan berkembang pesat dan mampu menyerap surplus tenaga kerja (Todaro, 2003).

Penelitian pertama mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia dilakukan oleh Hendra Esmara pada tahun 1975 menggunakan Indeks Williamson sebagai ukuran ketimpangan antar wilayah. Namun penelitian ini belum menghasilkan kesimpulan yang jelas karena keterbatasan data. Kemudian penelitian dilanjutkan


(4)

oleh Uppal dan Handoko pada tahun 1986, dari penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia lebih tinggi daripada di negara maju. Selain itu, indeks ketimpangan cenderung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan antar wilayah di Indonesia belum mencapai puncaknya. Peningkatan ketimpangan antar wilayah membawa implikasi negatif dan mendorong timbulnya kecemburuan sosial daerah terbelakang terhadap daerah maju yang dapat menimbulkan permasalahan sosial dan politik apabila tidak segera diatasi (Sjafrizal, 2008).

Provinsi Jawa Timur menjadi penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali. Lokasi Jawa Timur yang strategis menjadikan provinsi ini sebagai pintu gerbang perdagangan antara Kawasan Tengah, Kawasan Timur dan Kawasan Barat Indonesia. Sehingga Jawa Timur memiliki peluang yang besar dalam pembangunan ekonomi.Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diduga dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi. Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat kedua setelah DKI Jakarta yang memiliki laju pertumbuhan paling tinggi.

Tabel 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Nasional Tahun 2004-2010 (dalam persen)

Daerah Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

DKI Jakarta 5,65 6,01 5,95 6,44 6,23 5,02 6,51

Jawa Barat 4,77 5,60 6,02 6,48 6,21 4,19 6,09

Banten 5,63 5,88 5,57 6,04 22,53 4,69 5,94

Jawa Tengah 5,13 5,35 5,33 5,59 5,61 5,14 5,84

DI Yogyakarta 5,12 4,73 3,70 4,31 5,03 4,43 4,87

Jawa Timur 5,83 5,87 5,80 6,11 6,16 5,01 6,68

Nasional 5,05 5,60 5,19 5,67 6,43 4,74 6,08 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Jawa Timur terus mengalami


(5)

5   

kemajuan. Meskipun perekonomian di Jawa Timur menunjukkan kemajuan, tetapi berdasarkan hasil pendapatan daerah, namun kemajuan ekonominya tidak diimbangi dengan adanya pemerataan antar kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan bahwa Provinsi Jawa Timur tidak terbebas dari masalah ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota.

Kesenjangan ekonomi antar wilayah masih banyak terjadi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat memberikan dampak negatif, misalnya adanya urbanisasi dari desa ke kota.Menurut Todaro (2003), migrasi dapat memperburuk ketidakseimbangan struktural antara desa dan kota secara langsung. Dalam sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui batasan pertumbuhan penduduk. Kehadiran para pendatang cenderung melipatgandakan tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sementara persediaan tenaga yang sangat bernilai di pedesaan semakin berkurang.

Ketidakseimbangan struktural akibat migrasi dalam sisi permintaan yaitu penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal daripada penciptaan lapangan kerja di pedesaan, sehingga permintaan tenaga kerja di perkotaan cenderung menurun. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh migrasi dapat memperburuk tingkat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan keterbelakangan di pedesaan. Migrasi meningkatkan pengangguran di perkotaan yang dapat menimbulkan permasalahan sosial, seperti kriminalitas. Oleh karena itu, masalah ketimpangan ekonomi antar wilayah penting untuk segera diatasi oleh pemerintah, agar tidak terjadi migrasi penduduk dari desa ke kota.


(6)

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan ketimpangan ekonomi di Indonesia sudah muncul sejak tahun 1970-an.Perbedaan potensi sumber daya yang dimiliki setiap daerah di Indonesia menjadi salah satu penyebab ketimpangan yang terjadi di negara ini.Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, perbedaan pengelolaan ekonomi wilayah, kondisi demografis juga menjadi penyebab lain dari ketimpangan ekonomi antar wilayah. Masalah ketimpangan ekonomi antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur pernah menjadi isu politik bahkan menimbulkan gerakan separatisme. Adanya perbedaan pembangunan antara Indonesia bagian barat dengan timur menimbulkan kecemburuan dari masyarakat di Indonesia bagian timur. Pembangunan lebih diutamakan di daerah Indonesia bagian barat, termasuk Pulau Jawa. Sehingga masyarakat di kawasan Indonesia timur melakukan tindakan separatisme dengan membentuk suatu perkumpulan seperti Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kesenjangan sosial-ekonomi bukan hanya terjadi diantara Pulau Jawa dengan Luar Jawa. Permasalahan ini juga muncul di dalam Pulau Jawa, khususnya Provinsi Jawa Timur.

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk mencapai pemerataan sejak tahun 1969 dengan adanya program pembangunan jangka panjang yang disebut Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Namun pada saat itu, pemerataan belum menjadi prioritas utama. Sejak memasuki Pelita III (1979-1984) hingga Repelita VI (1994-1999), pemerataan menjadi prioritas utama. Akan tetapi, program ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kesejahteraan masyarakat di Indonesia meningkat daripada masa-masa sebelumnya, tetapi


(7)

7   

peningkatan ini tidak dengan sendirinya mengurangi ketimpangan ekonomi. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah pada masa Orde Baru dalam mengatasi ketimpangan ekonomi adalah dengan membuat kebijakan mengenai Otonomi Daerah, kemudian dibentuklah Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada Undang-undang ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Meskipun telah dibentuk UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, namun pada kenyataannya yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia, ketergantungan Pemerintah Daerah masih relatif tinggi terhadap Pemerintah Pusat.

Setelah masa Orde Baru berakhir, UU No. 5 Tahun 1974 kemudian digantikan oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah. Keberadaan Otonomi Daerah memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk membangun wilayahnya dengan lebih baik dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat di daerahnya. Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk melakukan pembangunan ekonomi dalam rangka mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Karena wewenang ada pada Pemerintah Daerah maka diharapkan kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat lebih merata dan tepat sasaran, sehingga pada akhirnya akan mengurangi kesenjangan antar wilayah.


(8)

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa masih ada jarak yang cukup jauh antara PDRB per kapita kabupaten/kota di Jawa Timur. Hal ini terlihat dari nilai PDRB per kapita tertinggi pada tahun 2010 diduduki oleh Kota Kediri dengan nilai sebesar 88,65 juta rupiah. Sedangkan PDRB per kapita terendah hanya sebesar 2,66 juta rupiah, sangat jauh dari rata-rata provinsi yang sebesar 9,49 juta rupiah. Hal ini menunjukkan masih belum meratanya distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

Tabel 1.2 PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 (juta Rupiah)

No. Kode Kabupaten/Kota Nilai 1. 71 Kota Kediri 88,65 2. 78 Kota Surabaya 33,33 3. 73 Kota Malang 18,33 4. 15 Kab. Sidoarjo 14,37 5. 25 Kab. Gresik 14,12 6. 77 Kota Madiun 12,50 7. 76 Kota Mojokerto 10,78 8. 74 Kota Probolinggo 9,54 9. 16 Kab. Mojokerto 8,15 10. 4 Kab. Tulungagung 8,00 11. 72 Kota Blitar 7,67 12. 79 Kota Batu 7,56 13. 10 Kab. Banyuwangi 7,07 14. 23 Kab. Tuban 6,86 15. 8 Kab. Lumajang 6,39 16. 13 Kab. Probolinggo 6,34 17. 75 Kota Pasuruan 6,19 18. 7 Kab. Malang 6,16 19. 12 Kab. Situbondo 5,45

No. Kode Kabupaten/Kota Nilai 20. 18 Kab. Nganjuk 5,23 21. 17 Kab. Jombang 5,21 22. 6 Kab. Kediri 5,21 23 20 Kab. Magetan 5,10 24. 24 Kab. Lamongan 5,04 25. 5 Kab. Blitar 5,03 26. 9 Kab. Jember 4,94 27. 22 Kab. Bojonegoro 4,81 28. 29 Kab. Sumenep 4,57 29. 14 Kab. Pasuruan 4,56 30. 19 Kab. Madiun 4,50 31. 3 Kab. Trenggalek 4,42 32. 11 Kab. Bondowoso 4,40 33. 2 Kab. Ponorogo 3,84 34. 26 Kab. Bangkalan 3,72 35. 21 Kab. Ngawi 3,69 36. 27 Kab. Sampang 3,30 37. 1 Kab. Pacitan 2,75 38. 28 Kab. Pamekasan 2,66 Rata-rata Provinsi Jawa Timur 9,49 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Kesenjangan masih menjadi persoalan yang penting untuk diatasi oleh pemerintah Provinsi Jawa Timur. Apabila kesenjangan tidak segera diselesaikan, maka masalah ini dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa permasalahan yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah:


(9)

9   

1. Bagaimana kecenderungan ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur?

2. Apabila ketimpangan ekonomi antar wilayah semakin melebar atau telah berkurang namun masih cukup tinggi, berapa banyak daerah yang termasuk daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah yang tertinggal?

4. Bagaimana implikasi kebijakan yang tepat dalam memacu pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.

2. Mengidentifikasi daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi

di daerah-daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan.

4. Merumuskan implikasi kebijakan yang tepat dalam memacu pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur dalam


(10)

merumuskan dan menentukan kebijakan yang tepat, sehingga dapat mengatasi kesenjangan ekonomi di masa yang akan datang. Penelitian ini diharapkan juga dapat berguna bagi masyarakat yang akan melakukan penelitian sejenis sebagai bahan acuan untuk pengembangan pembangunan ekonomi khususnya di Provinsi Jawa Timur dan wilayah lain secara umum.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menganalisis ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Salah satu cara untuk mengurangi ketimpangan ekonomi adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah tertinggal di Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu, analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan hanya pada daerah-daerah yang tertinggal.


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah

Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan muncul karena adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Sehingga kemampuan suatu daerah dalam proses pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu, pada setiap daerah terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Ketimpangan juga memberikan implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah yang akan mempengaruhi formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah (Sjafrizal, 2008).

Beberapa faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi menurut Sjafrizal (2008) adalah:

a. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam

Adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing daerah mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Perbedaan kandungan sumberdaya alam mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumberdaya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah


(12)

dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam lebih rendah. Sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat.

b. Perbedaan Kondisi Demografis

Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah.

c. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi. Apabila mobilitas tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Migrasi yang kurang lancar dapat menyebabkan kelebihan tenaga kerja pada suatu daerah. Akibatnya daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

d. Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah yang memiliki konsentrasi kegiatan ekonomi cukup besar. Kondisi ini


(13)

13   

akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

e. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

Investasi merupakan salah satu yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. daerah yang mendapat alokasi investasi yang lebih besar dari pemerintah atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat.

Upaya untuk menanggulangi ketimpangan ditentukan oleh faktor-faktor penyebab ketimpangan yang telah diuraikan sebelumnya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketimpangan yaitu (a) penyebaran pembangunan prasarana perhubungan; (b) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (c) pengembangan pusat pertumbuhan; dan (d) pelaksanaan otonomi daerah.

Menurut Todaro (2003), pertumbuhan ekonomi uang dihasilkan oleh beberapa orang saja akan menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan yang semakin parah. Kemiskinan dan ketimpangan akan menimbulkan pengaruh negatif yang dapat merugikan masyarakat. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim menyebabkan inefisiensi ekonomi, masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai pendidikan bagi anak mereka ataupun mengembangkan bisnis.

Disparitas (kesenjangan) pembangunan antar daerah dapat dilihat dari kesenjangan dalam: (a) pendapatan perkapita, (b) kualitas sumber daya manusia, (c) ketersediaan sarana dan prasarana seperti transportasi, energi dan telekomunikasi, (d) pelayanan sosial seperti kesehatan, pendidikan, dsb., dan (e)


(14)

akses ke perbankan. Kesenjangan pembangunan antar daerah yang terjadi selama ini terutama disebabkan oleh: (a) distorsi perdagangan antar daerah, (b) distorsi pengelolaan sumber daya alam dan (c) distorsi sistem perkotaan-perdesaan. Distorsi sistem perkotaan-perdesaan menggambarkan tidak berfungsinya hierarki sistem kota, sehingga menimbulkan over-concentration pertumbuhan pada kota-kota tertentu, terutama kota-kota-kota-kota besar dan metropolitan di Pulau Jawa. Di sisi lain, pertumbuhan kota-kota lain dan perdesaan relatif lebih tertinggal. Padahal idealnya, sebagai suatu sistem perkotaan-perdesaan, terdapat keterkaitan dan interaksi yang positif baik antar tipologi kota maupun antara perkotaan dengan perdesaan. Dalam perspektif tersebut, perkotaan perdesaan merupakan satu kontinum (Daryanto, 2003).

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang pertama kali dikemukakan adalah Indeks Williamson pada tahun 1966. Indeks ini digunakan oleh Jeffrey G. Williamson untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah


(15)

15   

selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut, juga ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah (Tarigan, 2004).

Boediono (1985) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, jadi persentase pertambahan output harus lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Ada ahli ekonomi yang membuat definsi lebih ketat yaitu pertumbuhan harus bersumber dari proses interen perekonomian tersebut, ketentuan yang terakhir ini sangat penting di perhatikan dalam ekonomi wilayah karena bisa saja suatu wilayah mengalami pertumbuhan tetapi petumbuhan itu tercipta karena banyaknya bantuan/suntikan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan itu terhenti apabila suntikan dana dihentikan. Dalam kondisi seperti ini sulit dikatakan ekonomi wilayah itu bertumbuh. Wajar apabila suatu wilayah terbelakang mendapat suntikan dana dalam proporsi yang lebih besar di bandingkan wilayah lain. Akan tetapi setelah suatu jangka waktu tertentu, wilayah tersebut harus tetap bisa tumbuh walaupun tidak memperoleh alokasi yang berlebihan.

Menurut Mankiw (2004), untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data produk domestik bruto (PDB), yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana tabungan, pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi mempengaruhi tingkat output perekonomian serta pertumbuhannya


(16)

sepanjang waktu. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, tingkat tabungan perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal dan tingkat produksinya. Semakin tinggi tingkat tabungan, semakin tinggi pula persediaan modal dan semakin tinggi output.

k c

Investasi = sf(k) Output = f(k)

Depresiasi = δk y

i

Sumber: Mankiw, 2004

Gambar 2.1 Hubungan Output, Konsumsi, dan Investasi dalam Pertumbuhan Ekonomi

Terdapat dua kekuatan yang mempengaruhi persediaan modal, yaitu investasi (i) dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, hal ini menyebabkan persediaan modal bertambah. Depresiasi mengacu pada penggunaan modal, sehingga menyebabkan persediaan modal berkurang. Setiap nilai k, jumlah output ditentukan oleh fungsi produksi f(k), dan alokasi output itu di antara konsumsi (c) dan tabungan ditentukan oleh tingkat tabungan s.

Dumairy (1996) menuliskan bahwa PDB secara umum disebut agregat ekonomi, yang berarti angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu negara. Dari agregat ekonomi ini dapat diukur pertumbuhan ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil, harus menghilangkan pengaruh


(17)

17   

perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat ekonomi menurut harga berlaku, sehingga terbentuk angka agregat ekonomi menurut harga konstan.

Pola pertumbuhan ekonomi dapat dianalisis menggunakan Klassen

Typology. Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama,

yaitu laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Terdapat empat karakteristik pola pertumbuhan ekonomi dalam tipologi ini, yaitu daerah maju dan pertumbuhan cepat, daerah maju tapi tertekan, daerah berkembang cepat, dan daerah relatif tertinggal.

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Kemampuan suatu daerah dalam memajukan wilayahnya pasti dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi perlu diteliti agar dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. Apabila pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat dipacu, maka diharapkan hal ini dapat mengurangi bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

2.3.1 Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu modal yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut penelitian Prahara (2010), sumber daya yang dicerminkan pada kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber daya manusia berhubungan dengan proses produksi. Tenaga kerja dianggap sebagai faktor


(18)

positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja merupakan modal utama bagi suatu daerah untuk berproduksi.

Kualitas sumber daya manusia juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Apabila kualitas sumber daya manusia di suatu daerah baik, maka diharapkan perekonomiannya juga akan lebih baik. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari kualitas pendidikan, kesehatan, atau indikator-indikator lainnya. Tingkat pendidikan yang baik akan mempengaruhi perekonomian melalui peningkatan kapabilitas penduduk, sehingga akan meningkatkan produktivitas dan kreativitas, serta menentukan kemampuan dalam menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi.

Kualitas pendidikan yang tinggi tidak akan berarti jika tingkat kesehatan masyarakat relatif rendah. Tingkat kesehatan yang rendah akan memberikan dampak pada produktivitas yang tidak maksimal. Sehingga kualitas kesehatan harus dijaga dengan cara memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Sehingga produktivitas tenaga kerja semakin baik dan mampu meningkatkan produksi yang berarti akan meningkatkan perekonomian.

2.3.2 Infrastruktur

Infrastruktur merupakan penunjang utama terselenggaranya proses usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya. Infrastruktur menjadi elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu daerah karena infrastruktur memfasilitasi dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan ekonomi. Contoh-contoh infrastruktur adalah jalan raya, fasilitas air bersih, telekomunikasi, pertanian teririgasi, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, infrastruktur dianalisis melalui panjang jalan, produksi air yang disalurkan kepada masyarakat, dan luas sawah


(19)

19   

yang teririgasi. Kondisi jalan yang baik dapat memperlancar mobilitas barang dan jasa. Fasilitas irigasi dapat memperbaiki kualitas lahan pertanian, sehingga produktivitasnya akan meningkat. Ketersediaan air bersih merupakan penunjang bagi masyarakat untuk dapat hidup sehat. Selain itu air bersih juga menjadi penunjang proses produksi suatu komoditi (Todaro, 2003).

2.3.3 Anggaran Pembangunan

Anggaran pembangunan merupakan dana yang dialokasikan untuk pembangunan bagi suatu daerah. Pada penelitian yang dilakukan Prahara (2010), anggaran pembangunan menjadi salah satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Anggaran tersebut menjadi salah satu alat yang berperan penting dalam peningkatan pembangunan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah. Masyarakat yang sejahtera merupakan salah satu indikator bahwa daerah tersebut telah berkembang dan mengalami kemajuan perekonomian. 2.3.4 Tabungan

Menurut model pertumbuhan Solow tingkat tabungan dalam jangka panjang pada perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal. Semakin tinggi tingkat tabungan, semakin tinggi pula persediaan modal dan semakin tinggi output (Mankiw, 2004). Dalam model Solow, kenaikan tingkat tabungan memunculkan periode pertumbuhan yang cepat, tetapi akhirnya pertumbuhan itu melambat ketika kondisi mapan yang baru dicapai. Sehingga tabungan diduga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah.


(20)

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai ketimpangan regional untuk tingkat nasional pernah dilakukan oleh Prasasti (2006) dengan menggunakan formulasi Williamson. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah kesenjangan ekonomi antar provinsi di Indonesia selama periode 1993-2003 semakin merata, sebagaimana terlihat pada Indeks Williamson yang semakin menurun. Nilai ketimpangan distribusi PDRB per kapita pada tahun 1993 sebesar 1,5247. Nilai ketimpangan hingga pada tahun 1996 terus mengalami peningkatan menjadi 1,6794. Namun nilai ketimpangan pada tahun 1997 menjadi 1,6778 dan terus mengalami penurunan. Sehingga pada tahun 2003 nilai ketimpangan ini menjadi 0,8974. Hasil perhitungan konvergensi yang bernilai negatif menunjukkan bahwa PDRB per kapita di daerah miskin tumbuh lebih cepat daripada daerah kaya dan telah terjadi penurunan kesenjangan. Besarnya laju konvergensi adalah 4,5 persen per tahun selama periode 1993-2003.

Fitria (2006), melakukan penelitian yang menganalisis kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 1993-2004 dengan menggunakan formulasi Williamson. Dari hasil analisis diperoleh bahwa tingkat kesenjangan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa sebelum krisis ekonomi periode 1993-1998 tinggi, sedangkan setelah krisis pada periode 1998-2004 tingkan kesenjangan mulai menurun. Pada tahun 1993 tingkat kesenjangan pendapatan sebesar 0,9908, sedangkan pada tahun 1996 menurun menjadi 0,9900. Pada periode setelah krisis tahun 1998, tingkat kesenjangan kembali meningkat menjadi 0,9924, namun pada tahun 2004 kesenjangan menurun menjadi 0,9910. Menurunnya tingkat kesenjangan ini disebabkan oleh faktor sosial ekonomi yang


(21)

21   

lebih baik dan kualitas sumberdaya manusia yang meningkat juga. Perubahan sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistis juga turut memberikan pengaruh terhadap adanya penurunan kesenjangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan pada masing-masing wilayah untuk dapat mengembangkan potensi sehingga daerahnya semakin maju dan pembagian pendapatn lebih merata. Hasil analisis konvergensi kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 1993-2004 menunjukkan tidak ada konvergensi, dengan kata lain terjadi divergensi. Nilai koefisien regresi lebih besar dari nol, maka tingkat pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak merata. Hasil pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan PDRB adalah: untuk periode 1993-1994 faktor yang signifikan yaitu tingkat pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan PDRB periode 1997-1998 adalah pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan pendidikan. Pada periode 2003-2004 yang signifikan berpengaruh adalah jumlah penduduk. Untuk periode tahun 1993-2004 yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan PDRB antar kabupaten/kota di Pulau Jawa adalah tingkat pendapatan dan jumlah penduduk.

Penelitian yang dilakukan oleh Bhinadi (2003) mengenai disparitas pertumbuhan ekonomi Jawa dengan luar Jawa menggunakan metode fixed effect menunjukkan bahwa perbedaan angka pertumbuhan pendapatan per kapita riil antara Jawa dengan luar Jawa terutama disebabkan oleh perbedaan produktivitas faktor total. Pertumbuhan kapital secara positif juga signifikan di dalam mempengaruhi pertumbuhan pendapatan per kapita dan mempunyai peran paling besar dibandingkan pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kualitas sumber daya manusia. Peran pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kualitas SDM


(22)

sangat kecil dan tidak signifikan di dalam model pertumbuhan ekonomi regional. Pertumbuhan tenaga kerja mempunyai kontribusi negatif, dan kontribusi pertumbuhan kualitas SDM kontribusinya positif. Hasil pengujian secara statistik menggunakan uji t dan uji F untuk mengetahui ada tidaknya disparitas regional di Indonesia memberikan hasil bahwa tidak terdapat disparitas pertumbuhan pendapatan per kapita antara Jawa dengan luar Jawa.

Permasalahan ketimpangan di Provinsi Jawa Timur pernah diteliti oleh Kristiyanti (2007). Dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur”, Kristiyanti mengatakan bahwa ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1 (satu). Penelitian ini difokuskan pada sektor basis di Provinsi Jawa Timur. Alat analisa yang digunakan yaitu Location Quotient(LQ)untuk mengetahui sektor basis ekonomi di Provinsi Jawa Timur dan Indeks Williamson untuk menghitung tingkat ketimpangan pendapatan daerah.

Hasil perhitungan nilai LQ diseluruh sektor perekonomian berdasarkan indikator pendapatan daerah atau PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2004-2005 terdapat tiga sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar


(23)

23   

dari 1 (satu) dan berarti bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan ekspor daerah.

Sektor basis yang memiliki peranan besar dalam mengurangi tingkat pendapatan terbesar di Jawa Timur adalah sektor pertanian dengan rata-rata sebesar 19 persen. Sektor basis lainnya seperti sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat ketimpangan rata-rata di bawah 3 persen. Namun sektor industri dan pengolahan, dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata selama perode pengamatan sebesar 45 persen.

Purnamasyari (2010) melakukan penelitian mengenai kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2001-2008 dengan menggunakan Indeks Ketimpangan Williamson, Klassen Typology dan model data panel. Indeks Ketimpangan Williamson digunakan untuk mengukur tingkat kesenjangan pendapatan serta menganalisa trend kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota. Berdasarkan Indeks Ketimpangan Williamson pada periode pengamatan tahun 2001-2008 kesenjangan pendapatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,61 sampai 0,69 yang berarti berada di atas 0,50 sebagai batas kesenjangan taraf sedang. Ketimpangan selama periode analisis berfluktuasi dan cenderung menurun dengan penurunan sebesar 0,03 poin pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2001. Klassen Typology digunakan untuk mengetahui kecenderungan pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota. Berdasarkan Klassen Typology, selama periode analisis kondisi terbaik terjadi


(24)

pada tahun 2002 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah maju dan pertumbuhan cepat sebanyak 18,18 persen dari jumlah total kabupaten/kota. Sedangkan kondisi terburuk terjadi pada tahun 2007 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah kurang berkembang sebanyak 63,64 persen dari jumlah total kabupaten/kota di Jawa Barat. Sedangkan model data panel digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang dapat mendorong untuk membantu peningkatan PDRB terutama bagi daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan. Hasil analisis menggunakan data panel menunjukkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif secara signifikan terhadap PDRB, sedangkan pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri berpengaruh negatif secara signifikan terhadap PDRB. Indeks pendidikan dan indeks kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB.

2.5 Kerangka Pemikiran

Karakteristik alam, ekonomi, sosial, dan budaya yang beraneka ragam pada masing-masing daerah menimbulkan pola pembangunan ekonomi yang berbeda. Hal ini menyebabkan adanya beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat sementara wilayah lain tumbuh dengan lambat. Perbedaan kemampuan untuk bertumbuh menimbulkan kesenjangan ekonomi seperti ketimpangan pendapatan antar wilayah, sektor, golongan, dan desa-kota. Desentralisasi sistem pemerintah merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi ketimpangan. Melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki wewenang dalam mengatur pembangunan wilayahnya. Setiap daerah diharapkan dapat


(25)

25   

mengembangkan potensi yang dimiliki oleh daerahnya agar dapat meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan pendapatan.

Tujuan pembangunan ekonomi dapat dicapai melalui suatu perencanaan yang baik dan terkendali. Perencanaan yang dibuat harus sesuai dengan karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh setiap daerah. Potensi yang ada diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi yang besar dalam penerimaan dan pengeluaran pemerintah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, penelitian ini berupaya menjawab beberapa tujuan yaitu mengukur tingkat kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan Indeks Williamson. Besarnya nilai ketimpangan ekonomi setiap tahun selama periode penelitian dapat diketahui, kemudian diplot ke dalam sebuah grafik agar terlihat trend ketimpangan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.

Analisis pola pertumbuhan ekonomi dilakukan menggunakan Klassen

Typology. Klassen Typology dianalisis menggunakan data PDRB per kapita dan

laju pertumbuhan ekonomi dari masing-masing daerah di Provinsi Jawa Timur. Sehingga diperoleh hasil wilayah-wilayah yang mengalami kemajuan atau kemunduranpada tahun 2010.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju PDRB di setiap kabupaten/kota yang masuk ke dalam daerah tertinggal pada Klassen Typologydianalisis menggunakan metode data panel dengan beberapa indikator yaitu kualitas pendidikan, kesehatan, jumlah pekerja, panjang jalan, produksi air yang disalurkan, luas pertanian teririgasi, tabungan, dan anggaran pembangunan. Setelah diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju PDRB, diharapkan pemerintah dapat


(26)

menentukan kebijakan yang sesuai agar terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya mampu mengurangi ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Analisis Ketimpangan Ekon (Indeks Williamson)

omi

• Daerah maju dan pertumbuhan cepat • Daerah berkembang cepat

• Daerah maju tetapi tertekan • Daerah relatif tertinggal

Rekomendasi Kebijakan Pemerintah

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB Daerah Tertinggal Klasifikasi Pertumbuhan

Ekonomi Daerah (Klassen Typology

Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota Ketidakseimbangan Pertumbuhan


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2001-2010 mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten dan kota yang dianalisis berjumlah 38, terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. Data yang diperlukan meliputi: (1) jumlah penduduk, (2) PDRB, (3) jumlah pekerja, (4) luas pertanian teririgasi, (5) panjang jalan, (6) anggaran pembangunan daerah, (7) produksi air yang disalurkan, (8) tabungan, (9) rasio murid terhadap guru, (10) rasio dokter setiap puskesmas. Sumber data tersebut diperoleh dari: (1) BPS Pusat, (2) BPS Provinsi Jawa Timur, dan (3) literatur lain yang mendukung. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2010

dan software Eviews 6.

3.2 Metode Analisis

Metode yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah, analisis trend ketimpangan, dan analisis pola pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan metode deskriptif. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan PDRB. 3.2.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah

Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur diukur menggunakan Indeks Williamson. Rumus Indeks Williamson adalah sebagai berikut:


(28)

∑ .

CVW =

Dimana:

CVW : Indeks Williamson

fi : Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i (jiwa) f : Jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur (jiwa) Yi :PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i (Rp juta) Y : PDRB per kapita Provinsi Jawa Timur (Rp juta)

Apabila nilai ketimpangan kurang dari 0,35 maka di daerah tersebut terdapat ketimpangan namun rendah. Jika nilai ketimpangan di atas 0,5 maka ketimpangan yang ada di daerah tersebut termasuk tinggi. Kriteria yang digunakan untuk menentukan taraf ketimpangan adalah:

CVW < 0,35 : Kesenjangan taraf rendah 0,35 < CVW< 0,5 : Kesenjangan taraf sedang CVW > 0,5 : Kesenjangan taraf tinggi

Trend ketimpangan diamati dari perkembangan nilai indeks ketimpangan ekonomi antar wilayah yang diperoleh dari hasil perhitungan Indeks Williamson yang digambarkan dalam sebuah grafik. Kemudian dianalisis secara deskriptif bagaimana trend ketimpangan dalam grafik tersebut dapat terjadi.

Pada penelitian ini terdapat dua indeks Williamson, yaitu nilai indeks Williamson berdasarkan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dan nilai indeks Williamson kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tanpa Kota Kediri dan Kota Surabaya. Apabila menggunakan nilai indeks Williamson yang pertama, maka nilai yang dihasilkan yaitu lebih dari 1 (Lampiran 5) sehingga tidak sesuai


(29)

29   

dengan teori yang menyebutkan bahwa nilai indeks Williamson yaitu antara 0 hingga 1. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis nilai indeks Williamson yang kedua, tanpa Kota Kediri dan Kota Surabaya, karena nilai yang dihasilkan sesuai dengan teori. Nilai PDRB per kapita di Kota Kediri dan Kota Surabaya yang sangat jauh dari rata-rata merupakan penyebab dari nilai indeks Williamson yang melebihi 1. Sehingga penelitian ini tidak memasukkan Kota Kediri dan Kota Surabaya ke dalam perhitungan nilai indeks Williamson yang dianalisis.

3.2.2 Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Klasifikasi pertumbuhan ekonomi daerah dianalisis menggunakan Klassen

Typology (Tipologi Klassen). Tipologi Klassen membagi daerah berdasarkan dua

indikator utama, yaitu laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Melalui analisis ini diperoleh empat karakteristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda, yaitu:

1. Daerah maju dan pertumbuhan cepat, adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan provinsi.

2. Daerah berkembang cepat, adalah daerah yang memiliki tingkatpertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi pendapatan per kapitanya lebih rendahdibandingkan provinsi.

3. Daerah maju tetapi tertekan, adalah daerah yang memiliki tingkatpertumbuhan ekonomi rendah sedangkan pedapatan per kapitanya lebih tinggi dibandingkan provinsi.


(30)

4. Daerah relatif tertinggal, adalah daerah yang memiliki tingkatpertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah dibandingkan provinsi.

Tabel 3.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Menurut Tipologi Klassen PDRB per Kapita

Laju Pertumbuhan

Pendapatan per Kapita di Atas Rata-rata Provinsi

Pendapatan per Kapita di Bawah Rata-rata Provinsi Laju Pertumbuhan di atas

Rata-rata Provinsi

Daerah Maju dan Pertumbuhan Cepat

Daerah Berkembang Cepat

Laju Pertumbuhan di bawah Rata-rata Provinsi

Daerah Maju Tetapi

Tertekan Daerah Relatif Tertinggal Sumber: Sjafrizal, 2008

3.2.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB

Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju PDRB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur maka menggunakan analisis panel data. Faktor-faktor yang dianalisis adalah kualitas pendidikan, kesehatan, jumlah pekerja, panjang jalan, produksi air yang disalurkan, luas pertanian teririgasi, tabungan, dan anggaran pembangunan.

LPDRBit = α + β1 PDKit + β2KESit + β3 LNTKit + β4 LNJLNit + β5 LNAIRit + β6 LNPTNit + β7 LNTABit + β8 LNPEMit + eit

Dimana:

α : Intersep

β : Slope

i : Individu ke-i

t : Periode waktu ke-t

LPDRB : Laju PDRB (persen)

LNDIK : Logaritma natural rasio murid terhadap guru (orang)


(31)

31   

LNTK : Logaritma natural jumlah pekerja (jiwa) LNJLN : Logaritma natural panjang jalan (km) LNAIR : Logaritma natural produksi air bersih (m3) LNPTN : Logaritma natural luas pertanian teririgasi (Ha) LNTAB : Logaritma natural tabungan (Rupiah)

LNPEM : Logaritma natural anggaran pembangunan (Rupiah)

e : Error

Berdasarkan hasil analisis data panel akan didapat besarnya nilai t-statistik, F-statistik, dan R2. Nilai t-statistik menunjukkan apakah variabel bebas berpengaruh signifikan secara nyata terhadap variabel terikat. Sedangkan F-statistik menunjukkan apakah variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh signifikan secara nyata terhadap variabel terikat. Nilai R2 digunakan untuk melihat sejauh mana keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel terikat.

Menurut Baltagi (1995), keunggulan penggunaan metode panel data dibandingkan time series dan cross-section adalah:

1. Estimasi data panel dapat menunjukkan adanya heterogenitas dalam tiap individu.

2. Dengan data panel, data lebih informatif dan bervariasi, sehingga mengurangi kolinearitas antar variabel dan meningkatkan derajat kebebasan (degree of freedom), serta lebih efisien.

3. Studi data panel lebih memuaskan untuk menentukan perubahan dinamis dibandingkan dengan studi berulang dari cross-section.


(32)

4. Data panel mampu mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diukur oleh data time series atau cross-section. 5. Data panel membantu menganalisis perilaku yang lebih kompleks. 6. Data panel mampu meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi

individu karena unit data yang banyak.

Dalam analisis model data panel terdapat tiga macam pendekatan yaitu

Pooled Least Square (PLS), Model Efek Tetap (Fixed Effect Model), dan Model

Efek Acak (Random Effect Model). Ketiga pendekatan pada model data panel akan dijelaskan berikut ini:

1. Pooled Least Square (PLS)

Dalam pendekatan ini terdapat regressor (K) dalam (xit), kecuali konstanta. Jika efek individual (αi) konstan sepanjang waktu (t) dan spesifik terhadap setiap unit (i) maka modelnya akan sama dengan model regresi biasa. Jika nilai αi sama untuk setiap unitnya, maka OLS akan menghasilkan estimasi yang konsisten dan efisien untuk α dan β. PLS merupakan pendekatan yang sederhana, namun hasilnya tidak memadai karena setiap pengamatan diperlakukan seperti pengamatan yang berdiri sendiri.

2. Fixed Effect Model (FEM)

Asumsi intersep dan slope yang konsisten pada model data panel umumnya sulit terpenuhi. Variabel dummy berguna dalam mengatasi masalah tersebut, sehingga perbedaan nilai parameter pada


(33)

33   

memasukkan variabel dummy ini dikenal dengan istilah fixed effect

model (FEM) atau Least Square Dummy Variable (LSDV).

3. Random Effect Model (REM)

Keputusan untuk memasukkan variabel dummy dalam FEM dapat mengurangi besarnya derajat kebebasan, sehingga efisiensi dari parameter yang diestimasi akan berkurang. Model data panel yang di dalamnya melibatkan korelasi antar error term akibat berubahnya waktu karena berbedanya observasi dapat diatasi dengan pendekatan model efek acak (random effect model).

Untuk menentukan model yang layak digunakan maka model diuji menggunakan uji Hausman. Uji Hausman adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan FEM atau REM. Uji Hausman dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : REM H1 : FEM

Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan Statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:

m = (β - b)(M0 - M1)-1(β - b) ~X2 (K)

Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed

effect modeldan M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model.

Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari X2-Tabel, atau nilai Hausman Test


(34)

). ij2

terhadap H0. Sehingga model yang digunakan adalah fixed effect, demikian pula sebaliknya.

3.3 Pengujian Penyimpangan Asumsi Klasik 3.3.1 Multikolinearitas

Multikolinearitas berarti terdapatnya hubungan linier yang sempurna diantara beberapa variabel yang menjelaskan model regresi. Indikasi multikolinearitas tercermin dari nilai t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F-hitung signifikan, maka patut dicurigai adanya multikolinearitas. Tanda-tanda penyebab multikolinearitas yaitu :

• R2 tinggi tetapi uji individu tidak banyak yang nyata atau bahkan tidak ada yang nyata.

• Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (Rij tinggi • R2< R

Nilai koefisien korelasi tidak boleh melebihi rule of thumb 0,8 karena diduga mengandung multikolinearitas, namun hal ini dapat diabaikan dengan uji

Klen yaitu apabila nilai R2 lebih besar daripada koefisien korelasi variabel eksogen.

3.3.2 Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dan ruang. Akibat dari autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dan estimatornya. Dampak lain dari autokorelasi pada model adalah varian residual yang diperoleh akan lebih rendah daripada


(35)

35   

semestinya sehingga menyebabkan R2 menjadi lebih tinggi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat menggunakan uji Breusch-Godfrey Correlation LM

atau dengan melihat nilai Durbin-Watson.

Hipotesis pada uji Breusch-Godfrey Correlation LM adalah sebagai berikut : H0 : β = 0, tidak ada autokorelasi

H1 : β≠ 0, ada autokorelasi

Cara menguji autokorelasi dengan Durbin-Watson (DW) yaitu dengan melihat nilainya. Apabila nilainya mendekati 2, maka menunjukkan tidak ada autokorelasi.

3.3.3 Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model BLUE adalah semua variasi dari faktor pengganggu adalah sama. Jika pada model dijumpai hetersokedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, apabila regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan tetap terjadi

misleading (Gujarati, 2003).

Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada pengolahan data panel yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) yaitu dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum

Squared Resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted

Statistics lebih kecil dari Sum Squared Resid Unweighted Statistics, maka terjadi

heteroskedastisitas.  


(36)

4. 1 Kondisi Geografis

Provinsi Jawa Timur membentang antara 111°0’ BT - 114°4’ BT dan 7° 12’ LS - 8°48’ LS, dengan ibukota yang terletak di Kota Surabaya. Bagian utara Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, dan daerah Barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Letak Jawa Timur yang strategis memberikan keuntungan bagi daerah ini karena menjadi penghubung antara wilayah Indonesia bagian barat dengan bagian tengah.

Topografi di Provinsi Jawa Timur beragam, ada yang berupa pegunungan, perbukitan, dan kepulauan. Oleh karena itu, wilayah ini memiliki sumber daya pertanian, kelautan, kehutanan, dan pertambangan yang potensial. Iklim di daerah Jawa Timur termasuk dalam tropis lembab dengan curah hujan rata-rata 2.100 mm setiap tahun. Suhu udara di daerah ini berkisar antara 18°-35° Celcius.

Struktur geologi di Provinsi Jawa Timur didominasi oleh batuan sedimen Alluvium. Batuan hasil gunung berapi juga tersebar di bagian tengah wilayah Jawa Timur sehingga daerah ini relatif subur. Beragam jenis batuan yang tersebar di Jawa Timur menyebabkan besarnya ketersediaan bahan tambang di wilayah ini.

4.2 Wilayah Administratif dan Kependudukan

Provinsi Jawa Timur memiliki 229 pulau dengan luas wilayah daratan sebesar 47.130,15 km2 dan wilayah lautan seluas 110.764,28 km2. Provinsi ini


(37)

37   

terbagi menjadi 29 kabupaten, meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, serta 9 kota, yaitu Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo dan Mojokerto.

Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Jawa Timur (Bakorwil) dibentuk guna memantapkan dan meningkatkan koordinasi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan serta dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di seluruh wilayah Jawa Timur. Terdapat empat Bakorwil yaitu, Bakorwil-I yang berkedudukan di Kota Madiun, dengan wilayah kerja meliputi Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Blitar, Kota Blitar, dan Kabupaten Nganjuk. Bakorwil-II berkedudukan di Kabupaten Bojonegoro, dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Tuban, Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Kediri, dan Kota Kediri. Bakorwil-III berkedudukan di Kota Malang, dengan wilayah kerja meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Bondowoso. Bakorwil-IV berkedudukan di Kabupaten Pamekasan, dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Bangkalan,


(38)

Kabupaten Sumenep, Kabupaten Sampang, Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Sidoarjo.

Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur pada tahun 1998 dari hasil proyeksi penduduk oleh BPS Jawa Timur adalah sebanyak 33.447.470 jiwa. Kota Surabaya menjadi daerah yang mempunyai jumlah penduduk paling besar, yaitu 2.373.082 jiwa. Sedangkan daerah dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Mojokerto dengan 107.123 jiwa. Jumlah penduduk dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2005, jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur mencapai 37.070.731 jiwa. Dari data sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur sebanyak 37.476.757 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki berdasarkan data tersebut sebesar 49,37 persen dan penduduk perempuan sebesar 50,63 persen.

Sejak tahun 2000, pertumbuhan penduduk di Jawa Timur sudah berada di bawah satu persen, yaitu sebesar 0,7 persen per tahun. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Timur selama sepuluh tahun terakhir, periode 2000-2010, seluruh kabupaten/kota mengalami peningkatan laju penduduk kecuali Kabupaten Lamongan. Kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Kabupaten Sidoarjo dengan laju sebesar 2,21 persen per tahun. Sepuluh kabupaten/kota yang memiliki laju pertumbuhan penduduk di atas 1 persen adalah Kabupaten Gresik dengan laju 1,59 persen, Kabupaten Sampang dengan laju 1,58 persen, Kabupaten Pamekasan dengan laju 1,44 persen, Kota Probolinggo dengan laju 1,26 persen, Kota Batu dengan laju 1,22 persen, Kabupaten Mojokerto dengan laju 1,20 persen, Kabupaten Bangkalan dengan laju 1,20 persen, Kota Pasuruan dengan laju 1,02 persen, Kota Blitar dengan laju 1,01 persen, dan Kabupaten Pasuruan dengan laju 1,00 persen. Sedangkan


(39)

39   

kabupaten/kota lainnya memiliki laju pertumbuhan penduduk di bawah 1 persen, dan yang paling rendah lajunya adalah Kabupaten Lamongan dengan laju minus 0,02 persen.

4.3 Kondisi Sosial

Kondisi sosial di Jawa Timur berkaitan dengan kualitas pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat di daerah ini. Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah perguruan tinggi negeri terbanyak di Indonesia. Kota Surabaya memiliki lima perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Negeri Surabaya, Politeknik Negeri Surabaya dan IAIN Sunan Ampel. Sedangkan di Malang terdapat empat perguruan tinggi negeri. Selain itu masih banyak lagi perguruan tinggi negeri yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di Provinsi Jawa Timur diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah ini.

Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Timur pada tahun 1999 adalah 61,8 menduduki peringkat ke 22. Nilai IPM Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, nilai IPM Jawa Timur sebesar 69,18 menduduki peringkat 20. Sedangkan pada tahun 2010, nilai IPM sebesar 71,62 berada di peringkat 18 dari 33 provinsi.

Kondisi kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pengetahuan tentang pola hidup sehat, upaya pencegahan dan pengobatan penyakit, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang terjangkau, ketersediaan tenaga medis dan paramedis, apotik dan toko obat, lingkungan hidup, tempat tinggal yang sehat dan bersih, dan lain-lain. Pelayanan kesehatan diberikan


(40)

oleh Dinas Kesehatan bagi masyarakat di Provinsi Jawa Timur. Pemantauan kesehatan pada anak balita dan anak pra sekolah dilakukan melalui deteksi dini tumbuh kembang. Pemeriksaan tumbuh kembang di Jawa Timur pada tahun 2010 telah dilakukan pada 2.321.542 anak balita dan pra sekolah. Sedangkan pelayanan kesehatan untuk anak usia sekolah difokuskan pada Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

Kualitas kesehatan didukung juga oleh keberadaan sarana kesehatan. Terdapat 10 jenis sarana kesehatan yang ada di Provinsi Jawa Timur, yaitu Rumah Sakit sebanyak 309 unit, Puskesmas sebanyak 950 unit, Puskesmas Pembantu sebanyak 2.273 unit, Puskesmas Keliling sebanyak 1.063, Pondok Kesehatan Desa sebanyak 1.608 unit, Desa Siaga sebanyak 8.501 unit, Posyandu sebanyak 45.603 unit, Pondok Bersalin Desa sebanyak 4.580 unit, Rumah Bersalin sebanyak 236 unit, dan Balai Pengobatan Klinik 804 unit. Selain itu, kualitas kesehatan untuk masyarakat juga didukung oleh banyaknya tenaga kesehatan di Jawa Timur yang mencapai 64.400 orang.

4.4 Kondisi Perekonomian

Angka pertumbuhan ekonomi diperoleh dari perubahan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah yang dinilai atas dasar harga konstan, sehingga dinamika perekonomian yang terjadi benar-benar berasal dari pertambahan jumlah barang dan jasa yang diproduksi. Semakin banyak jumlah barang dan jasa yang diproduksi, maka semakin tinggi sisi permintaan barang dan jasa dari konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pertumbuhan ekonomi.


(41)

41   

Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur saat ini relatif stabil. Berdasarkan Gambar 4.1 laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004-2006 cenderung konstan. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada tahun 2009, terjadi penurunan laju pertumbuhan ekonomi, namun hal ini dapat diatasi, karena pada tahun 2010 laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur kembali meningkat.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010 0

1 2 3 4 5 6 7 8

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Laju

 

PDRB

 

(persen)

Tahun

Gambar 4.1 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2006-2010 (persen)

Laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur pada tahun 1998 mencapai angka negatif yaitu sebesar -6,71 persen. Hal ini terjadi karena adanya krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. Sehingga laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis. Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi mencapai nilai positif pada tahun 2001. Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001 memiliki laju pertumbuhan ekonomi sebesar 3,37. Daerah dengan laju pertumbuhan paling tinggi pada saat itu adalah Kabupaten Madiun


(42)

sebesar 10,11 persen. Sedangkan daerah yang memiliki laju pertumbuhan paling rendah adalah Kabupaten Sampang dengan laju sebesar 1,53 persen.

Pada tahun 2010, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur mencapai 6,68 persen. Laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang tertinggi saat itu sebesar 10,97 persen terjadi di Kabupaten Bojonegoro. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi yang paling rendah sebesar 5,40 persen di Kabupaten Sampang.

Kondisi perekonomian daerah juga dapat dilihat dari PDRB tiap sektor. Sektor yang memberikan kontribusi besar dalam PDRB Jawa Timur pada tahun 1998 adalah sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran. Sektor tersebut memberikan kontribusi sebesar 32.069.409,12 juta rupiah. Selain sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran, sektor Industri Pengolahan, sektor Jasa-jasa, dan sektor Pertanian turut berperan besar dalam pembentukan PDRB Jawa Timur. Sektor Industri Pengolahan memberikan kontribusi sekitar 17,25 persen terhadap PDRB, sektor Jasa-jasa berkontribusi sebesar 13,59 persen bagi PDRB, dan sektor Pertanian memiliki kontribusi sebesar 11,24 persen bagi PDRB Jawa Timur. Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi paling kecil adalah sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 0,57 persen. Kontribusi yang kecil ini terjadi karena pada masa itu, sektor Pertambangan dan Penggalian belum terlalu dieksploitasi karena masih minimnya teknologi yang dimiliki.

Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran memberikan kontribusi yang tinggi bagi pembentukan PDRB di Provinsi Jawa Timur, hal ini disebabkan karena letak Jawa Timur yang strategis. Provinsi Jawa Timur menjadi penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali dan Pulau Kalimantan.


(43)

43   

Sehingga sektor perdagangan terus berkembang pesat dan memberikan dampak yang besar bagi pembentukan PDRB. Peranan sektor ini pada tahun 1998 hingga 2002 menunjukkan peningkatan mencapai 42 persen. Namun pada tahun 2003, peranannya menurun menjadi 27 persen. Sebaliknya, sektor Industri Pengolahan justru menunjukkan peningkatan kontribusi terhadap PDRB yaitu sebesar 28 persen. Tiga sektor dengan kontribusi paling tinggi dalam pembentukan PDRB tahun 2010 adalah sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran dengan kontribusi sebesar 31 persen, sektor Industri Pengolahan berkontribusi sebesar 25 persen, dan sektor Pertanian dengan kontribusi sekitar 15 persen.

Tabel 4.1 Peranan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Persen)

Lapangan Usaha Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Pertanian 17,43 16,71 16,24 15,81 15,65 14,99

Pertambangan dan Penggalian 1,96 2,02 2,11 2,17 2,21 2,26 Industri Pengolahan 27,55 27,27 26,92 26,52 25,96 25,38 Listrik, Gas, dan Air Bersih 1,72 1,33 1,43 1,39 1,36 1,36

Konstruksi 3,47 3,49 3,34 3,24 3,21 3,21

Perdagangan, Hotel, dan Restauran 29,07 28,55 29,17 29,75 29,91 31,03 Pengangkutan dan Komunikasi 5,66 6,31 6,41 6,60 7,10 7,32 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 4,94 5,19 5,30 5,40 5,42 5,45

Jasa-jasa 8,17 9,10 9,07 9,10 9,17 8,97

Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2011  


(44)

5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur

Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dihitung menggunakan data PDRB Provinsi Jawa Timur. Jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun juga mempengaruhi PDRB per kapita yang diperoleh dari pembagian antara PDRB Provinsi Jawa Timur dengan jumlah penduduk.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2001-2010 (diolah)

Ga upaten/Kota di Provinsi

Trend ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur diamati melalui indeks ketimpangan antar wilayah yang dihitung dengan teori Williamson (Lampiran 5). Nilai tersebut kemudian digambarkan dalam sebuah grafik. Grafik pada Gambar 5.1 yang berfluktuasi menunjukkan adanya perbedaan ketimpangan pendapatan yang berbeda setiap tahun. Trend ketimpangan pada

0.48 0.5 0.52 0.54 0.56 0.58 0.6

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Nilai

 

CVW

Tahun

mbar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kab Jawa Timur Tahun 2001-2010


(45)

45   

ndeks Williamson yang kecil menggambarkan tingkat kesenjangan renda

5.2 lasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur

diana

gambar cenderung menurun meskipun terjadi peningkatan pada tahun 2002. Namun mulai tahun 2004 hingga 2009 trend ketimpangan cenderung terlihat stabil pada nilai 0,54. Hasil akhir analisis trend ketimpangan berdasarkan grafik tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan mengalami penurunan sebesar 0,015 pada akhir periode analisis yaitu tahun 2010. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur mengalami penurunan, meskipun masih termasuk dalam karakteristik ketimpangan dengan taraf tinggi.

Nilai I

h ataupemerataan yang baik, dan sebaliknya nilai Indeks Williamson yang besar maka tingkat kesenjangan semakin tinggi. Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur menunjukkan nilai lebih dari 0,5 yang berarti ketimpangan ekonomi di daerah tersebut tinggi. Nilai indeks tertinggi diperoleh pada tahun 2003 sebesar 0,59. Namun nilai Indeks Williamson dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan. Hal ini menandakan adanya peningkatan pemerataan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur. Sedangkan nilai Indeks Williamson yang terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 0,52. Meskipun masih dalam taraf kesenjangan yang tinggi, tetapi Provinsi Jawa Timur telah berhasil mengurangi ketimpangan yang terjadi di daerahnya.

K

Pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur lisis menggunakan Tipologi Klassen.Tipologi Klassen dilakukan dengan cara membandingkan PDRB per kapita masing-masing kabupaten/kota dengan


(46)

Tahun 2010 Menurut Tipologi Klassen

PDRB per Kapita Provinsi Jawa Timur dan membandingkan laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data pada lampiran 6, Provinsi Jawa Timur dapat dibagi menjadi empat klasifikasi Tipologi Klassen sebagai berikut:

Tabel 5.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur PDRB per kapita (y) y1> y y1< y

Laju Pertumbuhan (r)

r1> r Daerah maju dan pertumbuhan cepat: ƒ ƒ ggo to Daerah berkembang cepat: ƒ

ƒ Kab. Tulungagung Kab. Gresik

Kota Malang

ƒ Kota Probolin ƒ

ƒ Kota Mojoker ƒ Kota Madiun ƒ Kota Surabaya

Kab. Pacitan Kab. Malang ƒ Kab. Mojokerto ƒ Kab. Jombang ƒ Kab. Bojonegoro ƒ Kab. Lamongan ƒ Kota Batu ƒ Kota Blitar r1< r Daerah maju tetap

tertekan: ƒ ƒ Kot latif l: ƒ K

ƒ Kab. Trenggalek

ng i oso

an

i Daerah re

Kab. Sidoarjo a Kediri

tertingga ab. Ponorogo ƒ Kab. Blitar ƒ Kab. Kediri ƒ Kab. Lumaja ƒ Kab. Jember ƒ Kab. Banyuwang ƒ Kab. Bondow ƒ Kab. Situbondo ƒ Kab. Probolinggo ƒ Kab. Pasuruan ƒ Kab. Nganjuk ƒ Kab. Madiun ƒ Kab. Magetan ƒ Kab. Ngawi ƒ Kab. Tuban ƒ Kab. Bangkal ƒ Kab. Sampang ƒ Kab. Pamekasan ƒ Kab. Sumenep ƒ Kota Pasuruan


(47)

47   

Berdasarkan Tabel 5.2, terdapat enam daerah yang m asi daerah maju dan pertumbuhan cepat. Lima daerah yang termasuk ke dalam daerah maju dan pertumbuhan cepat merupakan wilayah perkotaan dan satu wilayah

enunjukkan bahwa daerah perkotaan bertumbuh lebih cepat dan m

ilan daerah. Sisanya berada pada kategori daerah maju tapi tertekan, yaitu sebesar 5,26 pe

Fokus utama yang dianalisis pada penelitian ini adalah melihat seberapa besar pengaruh kualitas pendidikan, kesehatan, jumlah pekerja, panjang jalan, produksi air yang disalurkan, luas pertanian teririgasi, tabungan, dan anggaran latif tertinggal di Provinsi Jawa Timur yang diperoleh dari hasil analisis Tipologi Klassen. Faktor-faktor yang mempengaruhi

asuk dalam klasifik

kabupaten. Hal ini m

aju daripada daerah kabupaten. Sedangkan pada daerah relatif tertinggal didominasi oleh daerah kabupaten. Terdapat 21 wilayah yang masuk ke dalam daerah relatif tertinggal, 20 wilayah merupakan daerah kabupaten dan satu daerah perkotaan, yaitu Kota Pasuruan.

Daerah relatif tertinggal memiliki persentase sebesar 55,26 persen. Sedangkan daerah maju dan pertumbuhan cepat memiliki persentase sebesar 15,80 persen. Kabupaten/kota yang termasuk dalam daerah berkembang cepat ada 23,68 persen atau sebanyak semb

rsen. Dari perbandingan persentasi pada masing-masing kategori wilayah, terlihat bahwa jumlah daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur masih sangat banyak, sedangkan hanya beberapa daerah saja yang maju. Hal ini membuktikan bahwa ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur masih tinggi.

5.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRBDaerah Tertinggal di Provinsi Jawa Timur


(48)

laju P

itian. Heterogenitas unit cross sectionyang ditun

DRB pada daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur dianalisis agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut. Sehingga daerah-daerah relatif tertinggal dapat memacu pertumbuhan ekonominya dengan membuat kebijakan yang sesuai dan pada akhirnya dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Kabupaten/kota yang termasuk dalam daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur diestimasi menggunakan metode data panel. Keunggulan dari metode data panel adalah model ini memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk melihat heterogenitas tiap unit cross section dari contoh penel

jukkan oleh perbedaan antar kabupaten/kota dapat diperoleh dengan pendekatan fixed effect ataupun pendekatan random effect. Uji Chow tidak digunakan dalam penelitian ini karena apabila menggunakan pendekatan pooled

least square, heterogenitas tiap unit cross section tidak dapat diestimasi. Dasar

statistika untuk memutuskan apakah akan menggunakan pendekatan fixed effect atau random effect menggunakan Uji Hausman. Nilai probabilitas Uji Hausman sebesar 0,0000, lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Artinya tolak H0, maka model yang digunakan adalah model fixed effect.

Tabel 5.2 Hasil Uji Hausman

Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

32.934585 8 0,0001

Hasil estimasi menggunakan fixed effect model dapat dilihat pada Tabel 5.4. Berdasarkan tabel tersebut, terdapat lima variabel yang berpengaruh signifikan aerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur. secara statistik terhadap PDRB d


(49)

49   

R-squ efisien deter hasil estimasi se 0,466575

yang menunjukkan PDRB daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur dapat dijela

Daerah Relatif Tertinggal menggunakan Fixed Effect Model

Variabel Koefisien Std. Error t-Statistik Prob.

ared (R²) atau ko minasi pada besar

skan oleh variabel-variabel bebas dalam model sebesar 46,66 persen. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Pada tingkat kepercayaan 95 persen (taraf nyata 5 persen), nilai probabilitas F-statistic yaitu 0,000000 lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dan dapat dinyatakan pula bahwa hasil estimasi tersebut mendukung keabsahan model. Uji signifikansi individu (uji t) menggunakan t-statistik dengan taraf nyata 5 persen yang dibandingkan dengan nilai mutlak t-statistik dari hasil estimasi, menunjukkan bahwa empat variabel penjelas signifikan mempengaruhi variabel terikat. Satu variabel penjelas lainnya signifikan pada taraf nyata 10 persen dan terdapat tiga variabel yang tidak signifikan dari delapan variabel bebas yang digunakan.

Tabel 5.3 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB di

LNAIR LNJLN LNPEM 0,146504 0,300261 0,083601 0,094421 0,190789 0,029128 1,551596 1,573783 2,870121 0,1225 0,1173 0,0046* LNDIK LNKES LNPTN LN C -0,380196 -0,417015 -0,114202 -17,98781 0,119492 0,094195 0,249117 5,378209 -3,181757 -4,427126 -0,458425 -3,344573 0,0017* 0,0000* 0,6472 0,0010 LNTAB TK -0,028604 1,364902 0,016568 0,275378 -1,726493 4,956470 0,0860** 0,0000*

Kriteria Statistik Nilai

R A -sq F-Pr isti D tson -squared

djusted R uared statistic

ob(F-stat c) urbin-Wa stat

0,466575 0,384056 5,654159 0,000000 1,453012

∗ S pad a 5 p

** S pad a 10

ignifikan a taraf nyat ersen ignifikan a taraf nyat persen


(50)

Men t Guj ), u pe l y k harus memenuhi asumsi regresi klasik, model harus terbebas dari asalah dalam itu heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. Untuk mengetahui ada atau tidaknya heteroskedastisitas, diberikan perlakuan

bandingkan Sum Square Resid pada Weig

kan.

si sebagai berikut:

uru arati (2003 ntuk mem roleh mode ang bai masalah-m regresi ya

Generalized Least Square (GLS) dan mem

hted Statistics dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistics. Karena

model fixed effect yang digunakan telah diberi perlakuan GLS dengan

Cross-section weights maka asumsi adanya heteroskedastisitas dapat dihilangkan.

Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statistik dan nilai probabilitas F-statistik. Dari hasil regresi, empat variabel bebas signifikan pada taraf nyata 5 persen dan satu variabel signifikan pada taraf nyata 10 persen, sedangkan nilai probabilitas F-statistik signifikan pada taraf nyata 10 persen. Sehingga asumsi adanya multikolinearitas dapat diabai

Untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi, maka dideteksi dengan melihat nilai Durbin-Watson statistik. Nilai Durbin-Watson sebelum diberi bobot dibandingkan dengan nilai sesudah diberi bobot. Apabila nilai Durbin-Watson setelah diberi bobot lebih besar, maka asumsi adanya autokorelasi dapat diabaikan.

Berdasarkan estimasi dan pengujian asumsi regresi klasik terhadap model

fixed effect, maka dapat disimpulkan bahwa model tersebut layak untuk

digunakan. Berdasarkan hasil estimasi model data panel dengan menggunakan

fixed effect setelah melalui serangkaian uji, maka diperoleh model terbaik dengan


(51)

51   

LPDR

ggal di Provinsi Jawa Timur antara lain : kualitas endidikan (LNDIK), kesehatan (LNKES), jumlah pekerja (LNTK), anggaran pembangunan (LNPEM), dan tabungan (LNTAB). Sedangkan interpretasi dari hasil estimasi adalah sebagai berikut:

Tabel 5.4 Notasi Variabel Bebas dan Deskripsi pada Model Estimasi Laju Bit = 0,1465 LNAIRit – 0,3802 LNDIKit + 0,3003 LNJLNit – 0,4170

LNKESit + 0,0836 LNPEMit – 0,1142 LNPTNit - 0,0286 LNTABit + 1,3649 LNTKit - 17,9878 + [CX=F] + eit

Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi laju PDRB daerah relatif tertin

p

PDRB di Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur No. Notasi

Variabel Deskripsi

1. LNDIK Setiap peningkatan rasio murid terhadap guru sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan berkurang sebesar 0,3802 satuan (ceteris paribus).

sebesar 1 satuan 2.

7. 8.

LNKES

NPTN

Setiap peningkatan rasio jumlah penduduk terhadap dokter maka laju PDRB akan berkurang sebesar 0,4170 satuan (ceteris paribus).

(ceteris

paribus).

3. LNTK Setiap peningkatan jumlah pekerja sebesar 1 orang maka laju PDRB akan meningkat sebesar 1,3649 satuan

4. 5. 6. LNPEM LNTAB LNAIR LNJLN L

Setiap peningkatan anggaran pembangunan sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan meningkat sebesar 0,0836 satuan (ceteris paribus).

Setiap peningkatan tabungan sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan berkurang sebesar 0,3802 satuan (ceteris

paribus).

Produksi air bersih tidak berpengaruh nyata terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.

Panjang jalan tidak berpengaruh nyata terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.

Lahan pertanian teririgasi tidak berpengaruh nyata terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.


(52)

5.4 Implikasi Kebijakan untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Re tin

1. Sumber Daya

Su a

be bu ga

embangunan ekonomi. Pekerja yang memiliki produktivitas tinggi dapat empengaruhi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah

an jumlah pekerja akan mampu meningkatkan produ

2006 2007 2008 2009 2010 latif Ter ggal di Provinsi Jawa Timur

Manusia

mber day manusia merupakan modal bagi pertumbuhan ekonomi karena rhu ngan den n faktor produksi. Pekerja merupakan salah satu modal dalam p

m

pekerja memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, peningkat

ktivitas, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dipacu. Agar jumlah pekerja dapat meningkat, maka perlu meningkatkan lapangan kerja. Pemerintah daerah sebaiknya memperhatikan sektor apa saja yang memiliki potensi. Sehingga sektor-sektor yang berpotensi tersebut dapat dikembangkan dengan baik agar memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di daerahnya.

Tabel 5.5 Peranan Sekotor-sektor Perekonomian Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur

Lapangan Usaha Tahun

Pertanian

Perdagangan, Hotel, dan Restauran Industri Pengolahan Lainnya 37,79 22,69 13,13 26.39 37,34 23,43 13,08 26,15 37,24 23,41 14,24 25,11 36,80 23,65 14,16 25,39 36,07 23,92 14,06 25,95 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)

Sekto nggulan di Provinsi Jawa Timur adalah sektor perdagangan, hotel, dan restauran, sektor pertanian, dan sektor industri

. Namun pada daer if ter , pe ma

pengembangan pada sektor pertanian perlu dilakukan oleh pemerintah agar dapat r-sektor yang menjadi u

pengolahan ah relat tinggal rtanian sih menjadi sektor yang memiliki peranan cukup besar terhadap perekonomian. Oleh karena itu,


(53)

53   

aing daer if ter . Selain itu, peranan dari industri perlu ditingkatkan, indu il b padat karya sehingga membutuhkan jumlah pekerja yang lebih banyak. Kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah yaitu mengembangkan lapangan pekerjaan di sektor pertanian dengan basis padat karya agar dapat mempekerjakan orang lebih banyak.

Peningkatan jumlah pekerja dinilai mampu meningkatkan laju PDRB bagi daerah relatif tertinggal, namun peningkatan ini juga harus diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia berhubungan dengan kualitas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Agar kualitas sumber daya manusia membaik dan memiliki potensi dalam memajukan perekonomian daerahnya maka kualitas pendidikan dan kesehatan harus ditingkatkan.

Jumlah guru di daerah tertinggal harus ditingkatkan, sehingga rasio murid terhadap guru akan berkurang dan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Agar jumlah guru di daerah tertinggal dapat meningkat, maka pemerintah daerah dapat memberikan insentif bagi guru-guru yang berkenan mengajar di daerah tersebut. Misalnya memberikan rumah dinas, kendaraan dan fasilitas-fasilitas lainnya agar banyak guru yang mau mengajar di daerah tertinggal.

Berdasarkan Departemen Pendidikan Nasional, rasio murid terhadap guru di Indonesia yaitu sebesar 1:14, sedangkan rasio murid terhadap guru di daerah relatif tertinggal Provinsi Jawa Timur yaitu 1:16. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan jumlah guru agar rasionya berkurang. Pemerataan jumlah guru juga meningkatkan daya s ah relat tinggal


(1)

Lampiran 6. Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010

Kode Kabupaten/ Kota

Laju Pertumbuhan PDRB (Persen)

PDRB per kapita (Rupiah) 1 Kab. Pacitan 6,66 2.751.463 2 Kab. Ponorogo 5,89 3.840.217 3 Kab. Trenggalek 6,16 4.423.334 4 Kab. Tulungagung 6,65 8.000.429 5 Kab. Blitar 6,12 5.036.522 6 Kab. Kediri 6,07 5.213.229 7 Kab. Malang 6,57 6.162.108 8 Kab. Lumajang 5,94 6.387.774 9 Kab. Jember 6,16 4.949.431 10 Kab. Banyuwangi 6,26 7.076.065 11 Kab. Bondowoso 5,69 4.401.970 12 Kab. Situbondo 5,89 5.448.050 13 Kab. Probolinggo 6,25 6.344.982 14 Kab. Pasuruan 6,23 4.565.888 15 Kab. Sidoarjo 5,92 14.372.750 16 Kab. Mojokerto 6,87 8.156.361 17 Kab. Jombang 6,65 5.213.428 18 Kab. Nganjuk 6,32 5.232.560 19 Kab. Madiun 5,96 4.499.142 20 Kab. Magetan 5,81 5.105.785 21 Kab. Ngawi 6,19 3.695.464 22 Kab. Bojonegoro 10,97 4.811.073 23 Kab. Tuban 6,30 6.863.538 24 Kab. Lamongan 6,86 5.047.904 25 Kab. Gresik 6,89 14.119.228 26 Kab. Bangkalan 5,47 3.723.310 27 Kab. Sampang 5,40 3.305.630 28 Kab. Pamekasan 5,77 2.662.163 29 Kab. Sumenep 5,51 4.575.250 71 Kota Kediri 5,99 88.649.988 72 Kota Blitar 6,66 7.672.403 73 Kota Malang 6,60 18.335.823 74 Kota Probolinggo 6,41 9.543.549 75 Kota Pasuruan 5,99 6.194.105 76 Kota Mojokerto 6,66 10.783.241 77 Kota Madiun 6,97 12.503.151 78 Kota Surabaya 7,47 33.331.726 79 Kota Batu 7,16 7.561.791

Provinsi 6,68 9.488.443


(2)

71   

Lampiran 7. Hasil Uji Hausman

H0 : Model Random Effect H1 : Model Fixed Effect

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ01

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 32.934585 8 0.0001

Nilai Prob (0,0001) < α 5% maka tolak H0, artinya model yang dipilih adalah model Fixed Effect.


(3)

Lampiran 8. Hasil Estimasi Model

Dependent Variable: LPDRB

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/18/12 Time: 22:33

Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 21

Total panel (balanced) observations: 210 Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNAIR 0.146504 0.094421 1.551596 0.1225

LNDIK -0.380196 0.119492 -3.181757 0.0017

LNJLN 0.300261 0.190789 1.573783 0.1173

LNKES -0.417015 0.094195 -4.427126 0.0000

LNPEM 0.083601 0.029128 2.870121 0.0046

LNPTN -0.114202 0.249117 -0.458425 0.6472

LNTAB -0.028604 0.016568 -1.726493 0.0860

LNTK 1.364902 0.275378 4.956470 0.0000

C -17.98781 5.378209 -3.344573 0.0010

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.466575 Mean dependent var 1.682097

Adjusted R-squared 0.384056 S.D. dependent var 0.627735

S.E. of regression 0.255320 Sum squared resid 11.79911

F-statistic 5.654159 Durbin-Watson stat 1.453012

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.423570 Mean dependent var 1.495141


(4)

73   

Lampiran 9. Cross Section Effect

Daerah CROSSID Effect

Kab. Ponorogo 1 0.045778 Kab. Trenggalek 2 0.345440 Kab. Blitar 3 -0.086570 Kab. Kediri 4 -0.900387 Kab. Lumajang 5 -0.134400 Kab. Jember 6 -1.213286 Kab. Banyuwangi 7 -0.866002 Kab. Bondowoso 8 0.198859 Kab. Situbondo 9 0.318449 Kab. Probolinggo 10 0.126292 Kab. Pasuruan 11 -0.785522 Kab. Nganjuk 12 -0.174383 Kab. Madiun 13 0.527946 Kab. Magetan 14 0.240138 Kab. Ngawi 15 0.178651 Kab. Tuban 16 -0.025408 Kab. Bangkalan 17 0.137540 Kab. Sampang 18 0.150267 Kab. Pamekasan 19 0.169234 Kab. Sumenep 20 -0.684677 Kota Pasuruan 21 2.432044


(5)

SOULMA ARUM MARDIANA. H14080055. Kondisi Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan di

Provinsi Jawa Timur (dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN

HUTAGAOL).

Ketimpangan ekonomi antar wilayah disebabkan oleh ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah. Trend ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2001 hingga 2010 yang dianalisis menggunakan Indeks Williamson menunjukkan adanya konvergensi. Namun, terdapat perbedaan yang sangat jauh antara PDRB per kapita tertinggi dengan terendah pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, sehingga kecenderungan ketimpangan di Provinsi Jawa Timur masih cukup tinggi. Oleh karena itu, salah satu upaya dalam mengatasi ketimpangan ekonomi antar wilayah adalah dengan memacu pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, mengidentifikasi daerah relatif tertinggal dan memacu pertumbuhan ekonomi agar dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) pusat dan Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dan kuantitatif, yakni tujuan pertama diukur menggunakan Indeks Williamson, tujuan kedua

diidentifikasi menggunakan Klassen Typology, dan tujuan ketiga dianalisis

menggunakan metode data panel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang diukur menggunakan Indeks Williamson cenderung menurun, namun masih termasuk dalam ketimpangan taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,52-0,58. Ketimpangan ekonomi selama periode analasis berfluktuasi dan cenderung menurun sebesar 0,034 poin pada tahun 2010 apabila dibandingkan dengan tahun 2001. Berdasarkan klasifikasi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010

menggunakan Klassen Typology, terdapat enam kabupaten/kota yang masuk

daerah maju dan pertumbuhan cepat dengan persentase sebesar 15,80 persen dari jumlah total kabupaten/kota, sembilan kabupaten/kota masuk dalam daerah berkembang cepat dengan persentase sebesar 23,68 persen dari jumlah kabupaten/kota, dua kabupaten/kota masuk daerah maju tetapi tertekan dengan persentase sebesar 5,26 persen dari jumlah keseluruhan kabupaten/kota, dan 21 kabupaten/kota masuk daerah relatif tertinggal dengan persentase sebesar 55,26 persen dari keseluruhan kabupaten/kota. Berdasarkan analisis regresi data panel mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi daerah relatif tertinggal, kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, jumlah pekerja, tabungan dan anggaran pembangunan signifikan berpengaruh terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.


(6)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan pemerintah yang sebaiknya dilakukan yaitu meningkatkan jumlah guru di daerah tertinggal agar kualitas pendidikan dapat meningkat dengan cara memberikan insentif dan fasilitas yang memadai kepada guru yang mau mengajar di daerah tersebut, meningkatkan jumlah dokter di daerah tertinggal agar kualitas kesehatan dapat meningkat dengan cara memberikan tunjangan maupun rumah dinas bagi dokter yang bersedia mengabdi di daerah tersebut, dan mengembangkan sektor-sektor yang memiliki peranan besar terhadap pertumbuhan ekonomi agar dapat meningkatkan lapangan pekerjaan di daerah relatif tertinggal. Misalnya mengembangkan sektor pertanian yang memiliki peranan paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Pengembangan agribisnis dengan basis padat karya sebaiknya dilakukan agar lapangan pekerjaan di daerah tertinggal dapat meningkat dan hal ini juga dapat meningkatkan daya saing dari komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Pemerintah juga perlu meningkatkan anggaran pembangunan di daerah relatif tertinggal untuk pembiayaan perbaikan dan pengembangan infrastruktur maupun kualitas pendidikan dan kesehatan, serta sektor-sektor lain yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sehingga pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat dipacu lebih cepat.