Kondisi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah dan Implikasi Kebijakannya Terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Tengah
1.1 Latar Belakang
Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena global yang sering terjadi di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Bahkan masalah kesenjangan ekonomi ini telah menjadi pembahasan utama dalam penetapan kebijakan pembangunan ekonomi di negara berkembang sejak puluhan tahun lalu. Perhatian ini timbul karena ada kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara.
Secara teoritik, masalah kesenjangan ekonomi tersebut dapat dijelaskan menggunakan hipotesis Neoklasik. Dari teori ini, muncul sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan suatu negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah. Menurut Bort (1960) dalam model analisisnya dengan menggunakan teori Neoklasik menunjukkan pada proses awal pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung melebar (divergen). Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) kurang berjalan lancar sehingga terkonsentrasi di daerah yang maju. Bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya infrastruktur maka mobilitas faktor produksi akan semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah akan berkurang (convergen). Dapat disimpulkan sementara, pada wilayah berkembang umumnya kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan wilayah maju kesenjangannya akan menjadi lebih rendah. Kondisi tersebut dapat digambarkan dalam kurva yang membentuk U terbalik (Sjafrizal, 2008).
(2)
Hipotesis Neoklasik tersebut, kemudian diuji kebenarannya oleh Williamson (1966) melalui studi tentang kesenjangan regional pada negara maju dan negara sedang berkembang menggunakan data time series dan cross section. Ukuran kesenjangan yang digunakan adalah Indeks Williamson. Hasil penelitiannya menunjukkan hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis terbukti benar secara empirik. Ini berarti proses pembangunan suatu negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap awal justru terjadi peningkatan kesenjangan (Sjafrizal, 2008).
Seperti di negara berkembang, kesenjangan ekonomi antar wilayah juga terjadi di Indonesia. Kesenjangan ini berkaitan dengan strategi pembangunan Indonesia yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi sejak masa orde baru. Sasaran pembangunan diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi, namun tidak memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun aspek pemerataan sempat mendapatkan perhatian ketika urutan prioritas trilogi pembangunan diubah dari pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas pada Pelita II (1974-1979) menjadi pemerataaan, pertumbuhan, dan stabilitas dari pada Pelita III (1979-1984), namun inti tumpuan pembangunan Indonesia tetap saja pertumbuhan (growth bukan equity). Dalam praktiknya, pemerintah hanya menetapkan target tingkat pertumbuhan yang hendak dicapai, namun tidak menetapkan target mengenai tingkat kemerataan. (Dumairy, 1996).
Kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi dalam berbagai dimensi, diantaranya kesenjangan antar kawasan, dimana kualitas hidup di Kawasan Barat dan Tengah Indonesia lebih baik dibandingkan Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan gambar 1.1 Indeks Mutu Hidup (IMH) Kawasan Barat dan Tengah
(3)
Indonesia lebih tinggi dari
Timur Indonesia lebih rendah dari nilai IMH Indonesia.
Sumber: BPS, 1990
Gambar 1.1 Nilai IMH Antar Kawasan di I Kesenjangan ekonomi
Jawa. Ini tampak nyata berkenaan ekonomi di Indonesia yang terpusat di Pulau Jawa pertumbuhan ekonomi yang Pulau Jawa memiliki kontribusi Domestik Bruto (PDB) Indonesia. kerja terampil dari luar Jawa tinggi, namun akan timbul
kawasan kumuh, dan meningkatnya angka krimi Tabel 1.1 PDRB ADHK Ja
(Juta Rupiah) Wilayah Jawa
Luar Jawa Indonesia Sumber: BPS, 2010
0 10 20 30 40 50 60 70 80 1980 IM H
tinggi dari nilai IMH Indonesia, sedangkan nilai IMH bih rendah dari nilai IMH Indonesia.
Antar Kawasan di Indonesia Tahun 1980 dan 1985
Kesenjangan ekonomi di Indonesia juga terjadi antara Jawa dan nyata berkenaan dengan implementasi kebijakan pembangunan Indonesia yang cenderung Jawa sentris. Aktivitas ekonomi
Jawa sehingga beberapa wilayah di Pulau Jawa men ekonomi yang lebih cepat dibanding wilayah lain di luar memiliki kontribusi yang tinggi sebesar 61 persen terhadap
(PDB) Indonesia. Hal ini dapat memicu arus perpindahan uar Jawa ke Jawa. Meskipun PDRB di Pulau Jawa akan timbul masalah seperti bertambahnya pengangguran,
an meningkatnya angka kriminalitas.
Tabel 1.1 PDRB ADHK Jawa dan Luar Jawa di Indonesia Tahun 2009 dan 2010
2009 2010 1.356.252.622 1.275.913. 865.351.236 818.402.440 2.221.603.860 2.094.316. 1985 Tahun
Kawasan Barat Indonesi Kawasan Tengah Ind Kawasan Timur Indonesi Indonesia
nilai IMH Kawasan
Jawa dan Luar kebijakan pembangunan ekonomi lebih Jawa mengalami lain di luar Jawa. terhadap Produk perpindahan tenaga Pulau Jawa menjadi pengangguran, muncul
di Indonesia Tahun 2009 dan 2010 2010
1.275.913.846 818.402.440 2.094.316.286 Kawasan Barat Indonesia Kawasan Tengah Indonesia
(4)
Ketidakmerataan kesejahteraan di Indonesia tersebut, dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik dan kerawanan disintegrasi antar wilayah. Bila dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, kesenjangan ekonomi antar wilayah harus mendapatkan penanganan dari pemerintah. Setidaknya harus dicari cara mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah sampai pada taraf rendah karena kesenjangan ekonomi itu sendiri tidak dapat dihilangkan secara sekaligus.
1.2 Perumusan Masalah
Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan masalah klasik di Indonesia. Permasalahan ini menjadi tantangan bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Proses pembangunan ekonomi yang berjalan tidak merata di seluruh wilayah Indonesia dapat menimbulkan permasalahan sosisal dan ekonomi yang menganggu kestabilan perekonomian negara.
Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Pada program Pelita II (1974-1979), pembangunan difokuskan pada pembangunan berimbang antardaerah. Kebijakan yang dikeluarkan antara lain program Inpres berupa bantuan pembangunan, pendirian Bappenas, dan pembentukan Bappeda Tingkat I pada tahun 1974. Pada Pelita III (1979-1984), pemerintah mengganti urutan prioritas pembangunan yang pertama menjadi pemerataan, oleh karena itu pemerintah lebih meningkatakan program Inpres yang sudah dijalankan sebelumnya, membentuk lembaga-lembaga pembangunan desa, serta pendidiran Bappeda Tingkat II pada tahun 1980. Kemudian pada Pelita VI (1994-1999),
(5)
pembangunan ekonomi di Indonesia dititikberatkan pada pembangunan desa terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan adalah program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya di seluruh daerah Indonesia.
Upaya pemerintah tersebut ternyata kurang efektif dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Berbagai kebijakan pembangunan diputuskan secara terpusat dengan instrumen utama Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Sentralisasi pengambilan keputusan pada pemerintah pusat ini justru memperbesar inefisiensi karena banyak program pembangunan daerah yang dilakukan tidak sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah yang bersangkutan.
Pada era Reformasi pemerintah menetapkan kebijakan otonomi daerah yang diharapkan efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Tujuan kebijakan otonomi daerah adalah memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk fokus pada kebijakan makro strategis. Sedangkan pemerintah daerah ditantang untuk meningkatkan kemandirian sehingga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi daerah. Pemerintah daerah beserta masyarakat lokal lebih mengetahui potensi dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Sehingga pelaksanaan otonomi daerah dapat menghasilkan kebijakan pembangunan daerah yang efektif di seluruh wilayah Indonesia.
Pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan laju PDRB dan PDRB per kapita yang cukup tinggi di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah setelah pelaksanaan otonomi daerah.
(6)
Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Tengah Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan PDRB
(Persen)
PDRB Per Kapita (Rupiah)
1998 2010 1998 2010
Kab.Cilacap -5,20 5,65 1.312.744 7.915.518
Kab.Banyumas -6,80 5,77 701.319 2.994.244
Kab.Purbalingga -8,27 5,95 772.048 2.975.283
Kab.Banjarnegara -4,15 4,89 1.016.178 3.324.296
Kab.Kebumen -13,03 4,15 749.777 2.539.670
Kab.Purworejo -6,49 5,01 922.476 4.337.763
Kab.Wonosobo -9,37 4,46 740.991 2.502.120
Kab.Magelang -3,14 4,51 956.704 3.483.379
Kab.Boyolali -9,51 3,59 1.009.232 4.565.187
Kab.Klaten -11,35 1,73 1.035.396 4.285.881
Kab.Sukoharjo -11,23 4,65 1.458.601 6.039.837
Kab.Wonogiri -4,67 3,14 756.054 3.221.855
Kab.Karanganyar -11,29 7,40 1.484.226 6.704.946
Kab.Sragen -9,10 6,06 781.799 3.575.655
Kab.Grobogan -9,74 5,04 569.012 2.485.984
Kab.Blora -5,16 5,19 819.407 2.549.473
Kab.Rembang -9,56 4,45 841.869 3.862.232
Kab.Pati -4,02 5,11 839.078 3.845.406
Kab.Kudus -11,79 4,33 4.354.798 16.271.812
Kab.Jepara -0,03 4,52 1.036.906 3.891.674
Kab.Demak -10,52 4,12 764.890 2.861.766
Kab.Semarang -17,79 4,90 1.196.885 5.974.417
Kab.Temanggung -10,57 4,31 1.020.047 3.400.465
Kab.Kendal -9,29 7,43 1.746.668 5.990.100
Kab.Batang -10,17 4,97 1.108.922 3.342.675
Kab.Pekalongan -8,66 4,27 1.114.130 3.851.979
Kab.Pemalang -1,63 4,94 846.519 2.739.687
Kab.Tegal -9,02 4,63 646.710 2.600.442
Kab.Brebes -2,28 4,94 748.051 3.176.366
Kota Magelang -7,29 6,12 2.383.047 9.376.907
Kota Surakarta -13,93 5,94 2.342.395 10.221.325
Kota Salatiga -1,51 5,01 2.318.184 5.360.237
Kota Semarang -1,82 6,52 3.381.894 13.731.386
Kota Pekalongan -8,13 6,12 1.094.877 7.415.998
Kota Tegal -6,12 4,58 1.019.231 5.348.637
(7)
Namun, permasalahannya adalah peningkatan PDRB per kapita tersebut tidak merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah sehingga pada tahun 2010 terdapat adanya gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi yaitu Kabupaten Kudus sebesar 16.271.812 rupiah daengan wilayah memiliki PDRB per kapita terendah yaitu Kabupaten Grobogan sebesar 2.485.984 rupiah sehingga Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita tujuh kali lipat lebih tinggi dari PDRB per kapita di Kabupaten Grobogan. Adanya gap tersebut mengindikasikan kesenjangan ekonomi antar wilayah masih terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Sehingga perlu adanya upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
Pemahaman pertama yang perlu ditelaah yaitu bagaimana kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah apakah semakin melebar atau berkurang, serta tingkat kesenjangannya apakah masih tergolong rendah, sedang, atau tinggi. Apabila tingkat kesenjangannya masih tinggi, maka pemerintah harus membuat kebijakan untuk menguranginya. Terjadinya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sementara di sisi lain terdapat daerah yang masih tertinggal karena mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat. Oleh karena itu dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah, pemerintah harus menyusun prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi daerah-daerah yang tertinggal.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Setelah diketahui daerah tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya dalam rangka mengejar ketertinggalan daerah maju. Sehingga kesenjangan
(8)
ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat dikurangi. Beberapa faktor yang nampaknya berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia (SDM), belanja modal/pembangunan, dan infrastruktur.
Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, seperti yang ada pada latar belakang dan perumusan masalah, dapat dirumuskan beberapa masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana trend kesenjangan ekonomi antar wilayah yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah?
2. Bagaimana klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang tertinggal?
3. Faktor apa saja yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
4. Bagaimana implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
2. Menganalisis klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah untuk mengidentifikasi wilayah yang masuk dalam kategori daerah tertinggal.
3. Mengestimasi faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal di Provinsi Jawa Tengah.
4. Merumuskan implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
(9)
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberi informasi kepada pemerintah daerah mengenai:
a. Gambaran kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah sehingga dapat membantu memberikan alternatif pemecahan masalah apakah setiap wilayah memerlukan penangan yang sama atau tidak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b. Gambaran klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang tepat untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal.
2. Dapat menambah perbendaharaan penelitian yang telah ada serta dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dan implikasi kebijakannya terhadap kebijakan pembangunan di Provinsi Jawa Tengah. Hal yang dibahas adalah khusus kesenjangan dari sudut ekonomi antar wilayah. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak tercakup dalam penelitian ini. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi hanya difokuskan di daerah-daerah yang tertinggal saja karena daerah ini mempunyai pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan daerah lain di Provinsi Jawa Tengah sehingga perlu untuk diprioritaskan.
(10)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi suatu negara. Terdapat kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah. Kesenjangan ekonomi antar wilayah sering menjadi permasalahan serius karena beberapa daerah dapat mencapai pertumbuhan ekonomi cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan lambat. Hal ini dapat memicu migrasi penduduk dari wilayah terbelakang ke wilayah maju sehingga timbul permasalahan sosial ekonomi di wilayah maju. Selain itu, kemajuan perekonomian yang tidak sama di setiap wilayah dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik antar wilayah. Apabila dibiarkan semakin parah, dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara
Secara teoritik, permasalahan kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dijelaskan menggunakan Hipotesis Neoklasik. Penganut Hipotesis Neoklasik menyatakan pada permulaan proses pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai kesenjangan tersebut mencapai titik puncak. Bila proses pembangunan berlanjut, maka secara berangsur-angsur kesenjangan ekonomi antar wilayah akan menurun. Hal tersebut dikarenakan pada waktu proses pembangunan baru dimulai di NSB, peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang
(11)
kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedang daerah yang tertinggal tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas SDM. Karena pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan maka kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Keadaan yang berbeda terjadi di negara maju dimana kondisi daerahnya umumnya dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana serta kualitas SDM. Dalam kondisi demikian, setiap peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya, proses pembangunan pada negara maju akan mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah.
Bort (1960) menjadi pelopor yang mendasarkan analisisnya pada teori ekonomi Neoklasik, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah. Bort menyatakan pada awal pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) kurang berjalan lancar. Dampaknya modal dan tenaga kerja akan terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah melebar (divergen). Bila pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya fasilitas maka mobilitas faktor produksi semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah akan berkurang (convergen). Kondisi tersebut dapat digambarkan dalam kurva kesenjangan ekonomi antar wilayah yang berbentuk U terbalik.
(12)
Kesenjangan ekonomi antar wilayah
Pembangunan nasional Sumber: Sjafrizal (2008)
Gambar 2.1 Kurva U terbalik
Kebenaran Hipotesis Neoklasik ini diuji kebenarannya oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang kesenjangan ekonomi antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi sebaliknya (Sjafrizal, 2008).
2.2 Indikator Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat diukur menggunakan perhitungan indeks ketimpangan regional Williamson. Istilah indeks Williamson muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang. Secara statistik, indeks Williamson ini adalah coefficient of variation yang biasa digunakan untuk mengukur perbedaan. Indeks ini menggunakan PDRB per kapita sebagai data
(13)
dasar karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok. Hal yang dipersoalkan bukan antara kelompok kaya dan miskin, tetapi antara daerah maju dan terbelakang.
Dari indeks Williamson dapat diketahui kesenjangan ekonomi antar wilayah yang terjadi semakin melebar atau berkurang. Jika semakin tinggi nilai indeks Williamson, berarti kesenjangan ekonomi antar wilayah semakin besar, dan sebaliknya. Batasan untuk tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah, yaitu: CVw < 0,35 = Kesenjangan taraf rendah
0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang CVw > 0,5 = Kesenjangan taraf tinggi
Apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara masih tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi, maka harus segera dicari solusi untuk mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebutkarena apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dibiarkan semakin tinggi, dapat menimbulkan konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam rasa persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara.
2.3 Strategi Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Adanya indikasi kesenjangan ekonomi antar wilayah menandakan terdapat beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sedangkan beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan ekonomi lambat. Dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah tersebut, maka pemerintah dapat menyusun prioritas untuk lebih membangun daerah-daerah yang tertinggal. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi wilayah mana saja yang masuk dalam kategori daerah yang tertinggal.
(14)
Setelah diketahui daerah-daerah tertinggal. Kemudian dilakukan analisis faktor-faktor yang mampu memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal tersebut. Sehingga pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat untuk memajukan perekonomian daerah-daerah yang tertinggal tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dikurangi.
2.3.1 Klassen Typology
Identifikasi wilayah dapat dilakukan menggunakan alat analisis Klassen Typology yang membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat karateristik daerah yang berbeda, yaitu:
1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income)
Merupakan daerah yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh daerah. Pada dasarnya, daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang paling maju, baik dari segi tingkat pembangunan maupun kecepatan pertumbuhan. Pada umumnya daerah tersebut mempunyai potensi pembangunan yang sangat besar dan telah dimanfaatkan secara baik untuk kemakmuran masyarakat.
2. Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth)
Merupakan daerah-daerah yang memiliki pendapatan per kapita tinggi, tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan ekonomi daerahnya menurun. Walaupun wilayah ini telah maju tetapi di masa mendatang diperkirakan pertumbuhannya tidak akan begitu cepat.
(15)
3. Daerah berkembang cepat (high growth but low income)
Merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan yang sangat besar tetapi masih belum diolah dengan baik. Walaupun tingkat pertumbuhan ekonominya sangat tinggi, namun tingkat pendapatan per kapita yang mencerminkan tahap pembangunan yang telah dicapai masih relatif rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Wilayah ini diperkirakan akan mampu berkembang dengan pesat untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah maju. 4. Daerah relatif tertinggal (low growth and low income)
Merupakan daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah yang berada di bawah rata-rata. Ini artinya, baik tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah ini masih rendah. (Sjafrizal, 1997).
Setelah dilakukan analisis Klassen Typologi dapat diidentifikasi wilayah mana saja yang tergolong daerah tertinggal. Wilayah tersebut harus mendapat perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah dalam penetapan kebijakan pembangunan ekonomi sehingga daerah tertinggal dapat mengejar ketertinggalan dari daerah maju. Perlu juga dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan supaya kesenjangan ekonomi antar wilayah tidak semakin melebar.
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar.
(16)
Model pertumbuhan Neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow memakai asumsi skala hasil tetap (constant return to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Model pertumbuhan Neoklasik Solow menggunakan fungsi produksi agregat standar, yakni :
Y = AeμtKα L1-α
Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja non terampil, A adalah suatu konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan eμ melambangkan konstanta tingkat
kemajuan teknologi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap
modal (atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai
pangsa modal dalam total pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan
kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marjinalnya sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan Neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang (diminishing returns). Menurut model pertumbuhan ini, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi (Todaro, 2006).
(17)
Bebrapa faktor yang diduga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, antar lain:
a. Sumber Daya Manusia
Input sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan perekonomian. Menurut Todaro (2006), pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian daerah dalam menyerap dan memanfaatkan pertambahan tenaga kerja yang dipengaruhi oleh tingkat akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi.
Menurut BPS (2010), penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15 tahun ke atas, dibedakan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja dikatakan bekerja bila mereka melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara kontinu selama seminggu yang lalu. Sedangkan penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan disebut menganggur. Jumlah tenaga kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang tersedia maka akan meningkatkan total produksi di suatu daerah.
Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, ataupun indikator-indikator lainnya. Rata-rata lama sekolah (RLS)
(18)
merupakan komponen yang mewakili tingkat pendidikan penduduk. Teori Human Capital mengemukakan pentingnya tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain penundaan penerimaan penghasilan, orang yang melanjutkan pendidikan harus membayar biaya. Namun, setelah tamat dari pendidikan yang ditempuhnya, sangat diharapkan orang tersebut dapat mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan berjuang pada pertumbuhan ekonomi di daerahnya (Todaro, 2006).
Sedangkan angka harapan hidup (AHH) sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal meningkatkan kesejahteraan penduduk di bidang kesehatan (BPS, 2008). Tingkat kesehatan yang rendah akan berdampak pada produktivitas penduduk tidak maksimal. Harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan (Todaro, 2006). Tingkat pendidikan yang baik dibarengi dengan tingkat kesehatan yang baik akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
b. Belanja Modal
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat.Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran menyatakan bahwa Y = C + I + G + (X-M). Variabel Y melambangkan pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variabel-variabel diruas kanan disebut permintaan agragat. Variabel G melambangkan pengeluaran pemerintah (government expenditures). Dengan membandingkan nilai G terhadap Y, serta mengamati dari waktu ke waktu dapat
(19)
diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional dan seberapa penting peranan pemerintah dalam perekonomian nasional.
Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja modal untuk pembangunan dari pemerintah daerah. Belanja modal (BM) terdiri dari belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta jalan, irigasi, dan jaringan. Alokasi belanja modal untuk pengembangan infrastruktur penunjang perekonomian akan mendorong produktivitas penduduk yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan penduduk.
c. Infrastruktur
Infrastruktur merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu daerah. Adanya fasilitas transportasi dapat membuka keterisolasian suatu daerah sehingga dapat menggerakan perekonomian daerah tersebut dengan lancarnya transaksi perdagangan ke daerah lain. Ketersediaan listrik, air, dan telekomunikasi memungkinkan peningkatan produktivitas nilai tambah bagi faktor-faktor produksi (Prahara, 2010).
2.4 Penelitian Terdahulu
Supriyantoro (2005) menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah. Periode penelitian ini adalah tahun 1993-2003. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson berdasarkan data PDRB per kapita daerah yang dikelompokan berdasarkan pembagian sepuluh wilayah pembangunan di Provinsi Jawa Tengah.
(20)
Tabel 2.1 Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993- 2003
Tahun CVw
1993 0,2864
1994 0,2991
1995 0,3018
1996 0,3129
1997 0,3182
1998 0,2830
1999 0,2828
2000 0,2787
2001 0,2808
2002 0,2768
2003 0,3427
Sumber: Supriyantoro, 2005
Hasil penelitian menunjukkan pada periode penelitian tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah tergolong rendah yang dilihat dari nilai CVw yang kecil. Namun, dari tahun ke tahun ketimpangan pendapatan antarkabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami perkembangan yang kurang baik karena nilai ketimpangan pendapatan antar wilayah tersebut cenderung meningkat.
Fabia (2006) menganalisis dampak otonomi daerah terhadap kondisi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Periode tahun penelitian ini adalah tahun 1995, tahun 2001, dan tahun 2004. Metode yang digunakan yaitu analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda dengan PDRB per kapita tahun analisis sebagai variabel dependen dan PDRB per kapita tahun dasar dan tingkat pendidikan sebagai variabel independen. Hasil penelitian menunjukkan pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Hal ini dilihat dari nilai koefisien regresi lebih kecil dari nol. Hasil uji menunjukkan otonomi daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan konvergensi pendapatan dan menurunnya ketimpangan pendapatan
(21)
antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. PDRB per kapita tahun dasar signifikan mempengaruhi PDRB per kapita tahun analisis sedangkan tingkat pendidikan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan kurang mempengaruhi peningkatan konvergensi pada konvergensi bersyarat.
Satrio (2009) menganalisis ketimpangan pendapatan antar pulau di Negara Indonesia. Periode penelitian ini adalah tahun 1996-2006. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson, trend ketimpangan, analisis korelasi dan koefisien determinan. Hasil penelitian yaitu ketimpangan pendapatan antar pulau di Indonesia tergolong taraf rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261, yang berarti masih berada di bawah 0,35. Untuk ketimpangan pendapatan yang terjadi di dalam setiap pulau berada pada ketimpangan taraf tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku & Irian yaitu antara 0,521 sampai 0,996, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya rendah yaitu antara 0,050-0,109, sedangkan Pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara 0,379-0,498. Analisis trend ketimpangan pendapatan antar pulau menunjukkan trend yang menurun. Ketimpangan pendapatan menurut pulau juga menunjukkan trend yang menurun kecuali Pulau Jawa dan Sulawesi. Hasil analisis korelasi dan koefisien determinan menunjukkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil yaitu sebesar 14 persen.
2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual
Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena yang sering terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi suatu wilayah Terdapat
(22)
kecenderungan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Besarnya kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa tengah diukur menggunakan analisis indeks kesenjangan regional Williamson. Dapat dilihat apakah kesenjangan ekonomi yang terjadi semakin melebar atau berkurang serta masih dalam taraf rendah, sedang, atau tinggi. Apabila kesenjangan masih dalam taraf tinggi, maka pemerintah harus membuat kebijakan untuk mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebut. Adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat daerah yang lebih cepat tumbuh, tetapi terdapat daerah lain yang tumbuh lebih lambat. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi daerah yang tertinggal. Langkah pertama yaitu mengidentifikasi daerah-daerah tertinggal terlebih dahulu menggunakan alat analisis klassen Typology. Kemudian setelah diketahui daerah-daerah yang tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Faktor-faktor yang diduga kuat mempengaruhi adalah SDM, belanja modal/pembangunan, dan infrastruktur. SDM dilihat dari jumlah angkatan kerja, rata-rata lama sekolah (pendidikan), serta angka harapan hidup (kesehatan). Belanja modal dilihat dari alokasi belanja daerah untuk pembangunan, Sedangkan infratsruktur dilihat dari panjang jalan, dan penyaluran air bersih. Faktor-faktor yang signifikan tersebut dapat dijadikan informasi bagi daerah tertinggal untuk lebih meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya mengejar ketertinggalan dari daerah yang sudah maju. Pada akhirnya didapatkan kebijakan yang tepat untuk
(23)
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal sehingga tercipta pemerataan pendapatan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual
2.6 Hipotesis Penelitian
1. Pada tahap awal otonomi daerah, trendkesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah meningkat terlebih dahulu, dan ketika pembangunan daerah terus berlangsung maka trend kesenjangan ekonomi antar wilayah menurun.
2. Setelah otonomi daerah, semakin banyak wilayah yang bergeser ke daerah maju.
3. Variabel-variabel yang dianalisis yakni jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air secara signifikan berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah
Kebijakan yang bertumpu pada aspek pertumbuhan cenderung memperburuk kesenjangan ekonomi
antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah
Trend kesenjangan ekonomi antar wilayah
Klasifikasi daerah maju cepat tumbuh, maju tapi tertekan, berkembang cepat, dan daerah tertinggal
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Indeks Williamson
Klassen Typology
Analisis Panel Data
Implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal
(24)
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa kombinasi data time seriesdan cross sectiondari tahun 1998 sampai tahun 2010 yang mencakup 35 wilayah, terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota di Provinsi Jawa Tengah. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat dan BPS Provinsi Jawa Tengah. Data sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut. Tabel 3.1 Jenis data dan Satuan yang Digunakan dalam Penelitian
Data Satuan
PDRB Per Kapita ADHK 2000 Rupiah
Jumlah penduduk Jiwa
Laju pertumbuhan PDRB Persen
Jumlah angkatan kerja Jiwa
Belanja daerah untuk modal/pembangunan Rupiah
Angka melek huruf Persen
Rata-rata lama sekolah Tahun
Angka harapan hidup Tahun
Panjang jalan Kilometer (km)
Penyaluran air bersih Meter3(m3)
3.2 Metode Analisis Data
3.2.1 Analisis TrendKesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Besarnya kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah ditentukan menggunakan Indeks Williamson. Indeks Williamson merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur tingkat kesenjangan regional yang semula dipergunakan oleh J. G. Williamson. Metode ini diperoleh dari perhitungan pendapatan regional per kapita dan jumlah penduduk masing-masing wilayah. Trendkesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat diamati dari hasil perhitungan indeks Williamson yang digambarkan dalam sebuah grafik.
(25)
Rumus dari Indeks Williamson adalah sebagai berikut:
Dimana:
CVw = Indeks Williamson f
i = Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-idi Provinsi Jawa Tengah (jiwa) f = Jumlah penduduk seluruh wilayah di Provinsi Tengah (jiwa)
Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i di Provinsi Jawa Tengah (rupiah) Y = PDRB per kapita rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah
(rupiah)
Jika nilai indeks ketimpangan Williamson mendekati nol, menunjukan kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah semakin kecil. Sebaliknya semakin mendekati 1, menunjukkan kesenjangan ekonomi semakin melebar. Kriteria untuk menentukan tingkat kesenjangan adalah sebagai berikut: CVw < 0,35 = Kesenjangan taraf rendah
0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang CVw > 0,5 = Kesenjangan taraf tinggi
3.2.2 Analisis Klassen Typology
Alat analisis Klassen Typology digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola pertumbuhan ekonomi setiap daerah sehingga diketahui apakah pelaksanaan pembangunan telah terjadi secara merata di seluruh wilayah atau sebaliknya. Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita
Y f fi Y Yi
CVw I
.
(26)
daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat klasifikasi daerah yang berbeda, yaitu:
1. Daerah maju dan cepat tumbuh ( Kuadran I)
Merupakan wilayah yang mengalami tingkat pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. 2. Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II)
Merupakan wilayah yang relatif maju karena PDRB per kapita daerah lebih tinggi dari rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan PDRB daerah menurun, lebih rendah dibanding rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
3. Daerah berkembang cepat (Kuadran III)
Merupakan wilayah yang memiliki tingkat pertumbuhan PDRB daerah tinggi, namun PDRB per kapita daerahnya relatif rendah dibandingkan dengan rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
4. Daerah relatif tertinggal (Kuadran IV)
Merupakan wilayah yang mempunyai tingkat pertumbuhan PDRB daerah dan PDRB per kapita daerah yang berada dibawah rata-rata dari seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di wilayah ini masih relatif rendah.
Tabel.3.2 Klasifikasi Daerah Berdasarkan Klassen Typology Y
R Yi> Y Yi< Y
Ri > R
Kuadran I
Daerah maju dan cepat tumbuh
Kuadran III Daerah berkembang cepat
Ri < R
Kuadran II Daerah maju tapi tertekan
Kuadran IV Daerah relatif tertinggal Sumber: Sjafrizal, 1997
(27)
Dimana:
Ri = laju pertumbuhan PDRB ADHK kabupaten/kota i di Provinsi Jawa Tengah
R = rata-rata laju pertumbuhan PDRB ADHK seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota idi Provinsi Jawa Tengah
Y = rata-rata PDRB per kapita seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
3.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal
Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah dalam penelitian ini menggunakan alat analisis panel data yang merupakan gabungan dari data time series (antar waktu) dan data cross section (antar individu). Beberapa keunggulan menggunakan pendekatan panel data dibandingkan dengan pendekatan standar cross sectiondan time series, yaitu :
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu
2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien.
3. Mampu mngidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross sectiondan time series.
(28)
Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model panel data, yaitu : 1. Pooled OLS
Metode pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian sederhana antara data time series dan cross section, selanjutnya dilakukan estimasi model yang mendasar menggunakan OLS. Spesifikasikan model yaitu: Yit= α + Xit Dimana i adalah urutan kabupaten/kota yang diobservasi pada datacross section, t menunjukkan periode pada data time series. Namun, pada metode ini intersep dan koefisien setiap variabel sama untuk setiap kabuapten/kota yang diobservasi. 2. Fixed Effect Model
Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanya asumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiap kabupaten/kota yang diobservasi. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unit cross section dapat dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda pada tiap kabupaten/kota. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel dummy untuk mengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap sama bagi setiap kabupaten/kota yang diobservasi. Spesifikasikan model yaitu:
Yit= α + iXit+ 2W2t+ 3 W3t + ...+ NWNT+ 2Zi2+ 3Zi3+... + TZit+ it
Dimana Wit = 1 untuk kabupaten/kota ke-i, i = 2,…, N 0 untuk lainnya
Zit = 1 untuk kabupaten/kota ke-t, t = 2,…, T 0 untuk lainnya
Penambahan variabel dummy (N-1)+(T-1) dalam model menghasilkan kolienaritas yang sempurna di antara variabel-variabel penjelas. Koefisien dari variabel dummy akan mengukur perubahan intersep cross sectiondan time series.
(29)
3. Random Effect Model
Terdapat masalah dalam fixed effect yaitu dengan dimasukannya dummy akan menyebabkan berkurangnya derajat bebas sehingga mengurangi efisiensi parameter. Masalah ini dapat diatasi menggunakan model random effect yang dapat mengamati individual effect di semua unit observasi karena dilakukan dengan pengambilan sampel dari populasi. Dalam model ini individual effecttidak berkorelasi dengan regressor atau individual effect yang mempunyai pola acak sehingga pada model individual effectterpisah dengan error term.
Yit= αi + Xit+ Uit, dimana αi = α + τi sehingga model pertama menjadi
Yit= α + Xit+ Uit+ τi
Dari model tersebut diketahui random effectmempunyai galat kombinasi, yaitu : Wit= Uit+ τi , dimana τimerupakan errordari unobserved variable.
Metode analisis dalam random effect menggunakan Generalized Least Square (GLS) untuk mengendalikan keragaman error agar lebih homogen karena ragam error selalu berubah-ubah. Dengan metode ini model ditransformasi dengan memberikan bobot pada data asli lalu menerapkan metode OLS pada model yang telah ditransformasi. Penduga GLS lebih konsisten dan efisien daripada OLS.
3.3 Metode Pemilihan Model 3.3.1 Uji Chow
Uji Chow digunakan untuk menentukan model yang akan digunakan, apakah lebih tepat dijelaskan oleh model Pooled OLS atau model Fixed effect. Hipotesis: H0: α1 =α2 = ...=αN (PLS)
(30)
Kriteria uji: Prob.chi-square statistc< taraf nyata (α), maka tolak H0 Prob.chi-square statistic> taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak Ho berarti model yang layak digunakan adalah fixed effect. Sebaliknya jika terima H0 berarti pendekatan yang tepat adalah PLS.
3.3.2 Uji Hausman
Digunakan untuk memilih menggunakan fixed effectatau random effect. Hipotesis: H0: E (τi xit )= 0 (Random effect)
H1: E (τi xit ) ≠ 0 (Fixed effect)
Kriteria uji: Prob.chi-square statistic< taraf nyata (α), maka tolak H0 Prob.chi-square statistic> taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak H0 berarti model yang layak digunakan adalah fixed effect.
Sebaliknya terima H0 berarti pendekatan yang tepat adalah Random effect.
Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model menggunakan data panel, yaitu Pooled Ordinary Least Square (PLS), fixed effect, dan random effect. Dari ketiga metode tersebut akan dipilih model terbaik yang menggunakan Chow test dan Hausman test.
3.4 Uji Statistik
3.4.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji R2digunakan untuk melihat sejauh mana variabel independen (bebas) mampu menerangkan keragaman variabel dependen (tak bebas). Semakin besar R2 berarti semakin cocok garis regresi menggambarkan pola hubungan variabel independen dan dependen. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1. Nilai R2 yang kecil atau mendekati nol berarti kemampuan variabel independen dalam
(31)
menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Sebaliknya, jika nilai R2 mendekati satu berarti variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. (Gujarati, 2003). 3.4.2 Pengujian Secara Serempak (Uji-F)
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel independen yang digunakan dalam model regresi secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen, perlu dilakukan pengujian koefisien regresi secara serempak. Hipotesis: H0: 1= 2= 3= 4= 5= 0
H1: minimal ada satu parameter dugaan ( i) yang tidak sama dengan 0 Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0
Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak H0 berarti minimal ada satu variabel independen yang
berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen dan model dapat diterima. 3.4.3 Pengujian Signifikasi Individu (Uji t)
Uji-t digunakan untuk mengetahui pengaruh dari variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen dengan asumsi variabel yang lain konstan.
Hipotesis:H0: i = 0 (variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen) H1: i ≠ 0 (variabel independen mempengaruhi variabel dependen) Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0
Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak H0 berarti variabel independen berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika terima H0berarti variabel independen
(32)
3.5 Uji Asumsi Klasik 3.5.1 Uji Normalitas
Dilakukan jika sampel kurang dari 30. Uji ini berguna untuk melihat error term terdistribusi secara normal. Uji ini disebut uji Jarque-bera.
Hipotesis: H0: error term terdistribusi normal
H1: error term tidak terdistribusi normal
Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak H0 maka persamaan tersebut tidak memiliki error term
terdistribusi normal. Sebaliknya jika terima H0maka persamaan tersebut memiliki
error term terdistribusi normal. 3.5.2 Uji Multikolinearitas
Adanya hubungan linier antarvariabel independen dalam suatu regresi disebut dengan multikolinearitas. Jika dalam suatu model terdapat multikolinearitas akan menyebabkan nilai R2 yang tinggi dan lebih banyak variabel bebas yang tidak signifikan dari pada variabel bebas yang signifikan atau bahkan tidak satupun (Gujarati, 2003). Masalah multikolinearitas dapat dilihat melalui correlation matrix, yaitu dengan melihat koefisien korelasi antar variabel bebas. Jika korelasinya kurang dari 0,8 (rule of tumbs 0,8) maka dapat dikatakan tidak ada multikolinearitas. Gejala multikolineritas biasanya timbul pada data time series dimana korelasi antar variabel independen cukup tinggi. Sehingga dengan mengkombinasikan data yang ada dengan data cross section mengakibatkan masalah multikolineritas secara tekhnis dapat dikurangi.
(33)
3.5.3 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedasitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama (konstan). Adanya masalah heteroskedastisitas dalam model menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas digunakan uji White Heteroscedasticity yang diperoleh dari program EViews. Data panel dalam EViews 6 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Residual pada Weighted statistics dengan Sum Square Residual pada Unweight statistics. Jika Sum Square Residual pada Weighted statistics < Sum Square Residual pada Unweight statistics maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi pelanggaran tersebut, bisa mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity.
3.5.4 Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah keadaan dimana terdapat korelasi antar residual. Biasanya gejala autokorelasi terjadi dalam data time series. Uji autolorelasi yang paling sederhana adalah menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Karena jumlah variabel independen (k) 6 dan jumlah observasi (n) sebanyak 16, maka dU bernilai 0,50 dan dL bernilai 2,39. Kriteria uji autokorelasi adalah sebagai berikut. Tabel 3.3. Daerah Uji Statistik Durbin-Watson
Nilai statistik d Hasil
0 < d < 0,50 ada autokorelasi 0,50 ≤ d ≤ 1,61 tidak ada keputusan 1,61 ≤ d ≤ β,γ9 tidak ada autokorelasi 2,39 ≤ d ≤ γγ,5 tidak ada keputusan
3,5 ≤ d ≤ 4 ada autokorelasi
(34)
3.6 Spesifikasi Model Penelitian
Secara matematis, hubungan antar variabel-variabel yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal di Provinsi Jawa Tengah digambarkan dalam fungsi double log sebagai berikut:
Yit = α0 + α1 LnTKit+ α2LnRLSit+ α3LnAHHit+ α4LnBMit + α5LnJLNit+ α6 LnAIRit+ eit
Dimana:
Y = laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah
TK = jumlah tenaga kerja di daerah tertinggal Jawa Tengah RLS = rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Jawa Tengah AHH = angka harapan hidup di daerah tertinggal Jawa Tengah BM = belanja modal/pembangunan di daerah tertinggal Jawa
Tengah
JLN = panjang jalan di daerah tertinggal Jawa Tengah
AIR = penyaluran air bersih di daerah tertinggal Jawa Tengah
α0 = intesrep
α1, α2, ... , α6 = koefisien regresi
e = residu
3.7 Definisi Operasional
1. PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu daerah dalam satu tahun.
(35)
2. Laju pertumbuhan ekonomi adalah PDRB tahun sekarang dikurangi PDRB tahun lalu kemudian dibagi PDRB tahun lalu.
3. Tenaga kerja adalah penduduk yang masuk dalam usia kerja yaitu di atas batas 15 tahun.
4. Rata-rata lama sekolah adalah perkiraan banyaknya tahun bagi seseorang untuk mengenyam pendidikan.
5. Angka harapan hidup adalah perkiraan rata-rata banyaknya tahun yang ditempuh oleh seseorang selama hidup.
6. Belanja modal adalah pengeluaran yang digunakan untuk pembelian/ pengadaan/pembangunan asset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebih dari setahun dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah.
7. Infrastruktur adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang bagi terselenggaranya pembangunan, misalnya panjang jalan dan kapasitas produksi maksimal air bersih yang disalurkan.
(36)
BAB IV
GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH
4.1 Kondisi Geografis
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak antara 5°40' dan 8°30' Lintang Selatan dan antara 108°30' 111°30' Bujur Timur (termask Pulau Karimunjawa). Provinsi ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan D.I. Yogyakarta di sebelah selatan, Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, dan Provinsi Jawa Timur di sebelah timur. Luas wilayahnya tercatat sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas Pulau Jawa dan 1,70 persen dari luas Indonesia.
Sumber : Wikipedia.com
(37)
4.2 Pemerintahan
Secara administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 29 kabupaten dan 6 kota yang terdiri atas 565 kecamatan, 764 kelurahan dan 7.804 desa. Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 10 wilayah pembangunan. Berikut adalah karakteristik dari setiap wilayah pembangunan.
Tabel.4.1 Pembagian Wilayah Pembangunan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Wilayah Pembangunan Kabupaten/Kota Luas Wilayah
(km2)
Wilayah Pembangunan I (terdapat 6 wilayah)
Kota Semarang 373,67
Kota Salatiga 52,96
Kabupaten Kendal 1.002,27
Kabupaten Semarang 946,86
Kabupaten Grobogan 1.975,85
Kabupaten Demak 897,43
Wilayah Pembangunan II (terdapat 4 wilayah)
Kota pekalongan 44,96
Kabupaten Pekalongan 836,13
Kabupaten Pemalang 1.011,90
Kabupaten Batang 788,95
Wilayah Pembangunan III (terdapat 3 wilayah)
Kota Tegal 34,49
Kabupaten Tegal 879,70
Kabupaten Brebes 1.657,73
Wilayah Pembangunan IV (terdapat 3 wilayah)
Kabupaten Cilacap 2.138,51
Kabupaten Banyumas 1.327,59
Kabupaten Purbalingga 777,65
Wilayah Pembangunan V
(terdapat 1 wilayah) Kabupaten Kebumen 1.282,74 Wilayah Pembangunan VI
(terdapat 1 wilayah) Kabupaten Banjarnegara 1.069,74
Wilayah Pembangunan VII (terdapat 5 wilayah)
Kota Magelang 18,12
Kabupaten Purworejo 1.034,82
Kabupaten Magelang 1.085,73
Kabupaten Temanggung 870,23
Kabupaten Wonosobo 984,68
Wilayah Pembangunan VIII (terdapat 7 wilayah)
Kota Surakarta 44,03
Kabupaten Sukoharjo 466,66
Kabupaten Karanganyar 772,20
Kabupaten Sragen 946,49
Kabupaten Wonogiri 1.822,37
Kabupaten Boyolali 1.015,07
(38)
Wilayah Pembangunan IX
(terdapat 1 wilayah) Kabupaten Blora
1.794,40
Wilayah Pembangunan X (terdapat 4 wilayah)
Kabupaten Kudus 425,17
Kabupaten Pati 1.491,20
Kabupaten Jepara 1.004,16
Kabupaten Renbang 1.014,10
Sumber: BPS Jawa Tengah, 2010
Kabupaten yang memiliki wilayah terluas adalah Kabupaten Cilacap yaitu sebesar 2.138,51 km2, sedangkan kabupaten yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kabupaten Kudus sebesar 425,17 km2. Kota yang memiliki luas wilayah terbesar yaitu Kota Semarang sebesar 373,67 km2, sedangkan kota yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kota Magelang dengan luas 18,12 km2.
4.3 Kependudukan
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah tercatat sebesar 32.382.657 jiwa atau sekitar 14 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah tersebut menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Penduduk Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh wilayah Jawa Tengah. Umumnya penduduk terkonsentrasi di perkotaan dengan dukungan aspek kegiatan ekonomi disertai sarana dan prasarana yang memadai. Kawasan permukiman yang cukup padat berada di daerah Semarang Raya (termasuk Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten Demak dan Kendal), Solo Raya (termasuk sebagian wilayah Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali), serta Tegal-Brebes-Slawi. Secara rata-rata kepadatan penduduk Jawa
(39)
Tengah tercatat sebesar 995 jiwa per km2. Wilayah terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar 11.341 jiwa setiap km2.
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2910 (Jiwa)
Tahun Penduduk
1998 30.385.499
1999 30.761.131
2000 30.775.846
2001 31.063.818
2002 31.651.875
2003 32.052.340
2004 32.397.431
2005 32.908.850
2006 32.177.730
2007 32.380.279
2008 32.626.390
2009 32.864.599
2010 32.382.657
Sumber: BPS 1998-2010
4.4 Ketenagakerjaan
Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumberdaya manusia yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan. Menurut BPS, penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas, dan dibedakan sebagi Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Pertumbuhan penduduk setiap tahunnya akan mempengaruhi pertumbuhan angkatan kerja. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), angkatan kerja di Jawa Tengah tahun 2010 mencapai 16.856.330 jiwa atau turun sebesar 13 persen dibanding tahun sebelumnya. Tingkat partisispasi angkatan kerja penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 70,60 persen. Sedangkan angka pengangguran terbuka di Jawa Tengah relatif kecil, yaitu sebesar 6,21 persen. Dilihat dari kontribusi tenaga kerja pada tiap sektor dalam perekonomian di Provinsi Jawa
(40)
Tengah, sektor tersier merupakan sektor terbanyak menyerap pekerja sebesar 39,18 persen. Hal ini dikarenakan sektor tersebut tidak memerlukan pendidikan khusus. Sektor lainnya, yaitu sektor primer dan sekunder, masing-masing menyerap tenaga kerja sebesar 36,39 persen dan 24,43 persen.
4.5 Kondisi Sosial 4.5.1 Pendidikan
Penduduk yang bersekolah selama periode tahun pelajaran 2009/2010-2010/2011 mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya murid tercatat pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Penurunan murid ini terjadi pada jenjang pendidikan SD sebesar 1,86 persen dan SLTP sebesar 1,09 persen. Sedangkan tingkat SLTA mengalami peningkatan sebesar 3,17 persen. Penyediaan sarana fisik dan tenaga guru yang memadai sangat diperlukan dalam menunjang pendidikan. Tahun 2010/2011 jumlah guru SD turun sebesar 5,84 persen, SLTP menurun 0,56 persen, dan guru SLTA menurun 0,44 persen. Banyaknya universitas/akademi pada tahun 2010/2011 tercatat sebanyak 244, terdiri dari 5 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 239 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Jumlah mahasiswa pada PTN naik sebesar 13,53 persen menjadi 137 ribu mahasiswa.
4.5.2 Kesehatan
Peningkatan status kesehatan dan gizi dalam suatu masyarakat sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas manusia dalam aspek lainnya, seperti pendidikan dan produktivitas tenaga kerja. Tercapainya kualitas kesehatan dan gizi yang baik tidak hanya penting untuk generasi sekarang tetapi juga bagi
(41)
generasi berikutnya. Tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai sangat diperlukan dalam upaya peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat. Hal ini akan terwujud bila adanya dukungan pemerintah dan swasta sekaligus.
Pada tahun 2010 untuk jumlah rumah sakit pemerintah sebanyak 60 buah, sementara rumah sakit khusus dan rumah sakit umum swasta tahun 2010 tercatat 179 buah. Didukung oleh tersedianya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang terdapat hampir di seluruh wilayah kecamatan. Terdapat sebanyak 864 buah Puskesmas di Jawa Tengah. Fasilitas kesehatan lainnya adalah apotik, toko obat, distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, merupakan sarana penyedia obat yang mudah dijangkau masyarakat. Pada tahun 2010 di Jawa Tengah terdapat 2.206 apotik, 297 toko obat dan 322 pedagang besar farmasi. Menurut Dinas Kesehatan, diare merupakan penyakit tertentu yang banyak diderita penduduk Jawa Tengah, tahun 2010 yakni sekitar 609,34 ribu kasus diare, penyakit Demam Berdarah 20,08 ribu ,malaria 3,3 ribu dan HIV/Aids 846 jiwa.
4.6 Perekonomian
Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah merupakan tujuan dari pembangunan Jawa Tengah yang terkait dengan visi Jawa Tengah yaitu menciptakan Jawa Tengah yang mandiri, berdaya saing, sejahtera, berkelanjutan dan menjadi pilar pembangunan nasional dilandasi oleh ketaqwaan terhadap Tuhan YME dalam wadah NKRI. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu daerah adalah dengan melihat perkembangan PDRB.
(42)
Tabel 4.3 PDRB dan Laju PDRB ADHK Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010
Tahun PDRB (Juta Rupiah) Laju PDRB (Persen)
1998 38.065.273 -11,74
1999 39.945.143 3,49
2000 40.941.667 3,93
2001 118.816.400 3,59
2002 123.038.541 3,55
2003 129.166.462 4,98
2004 135.789.872 5,13
2005 143.051.213 5,35
2006 150.682.654 5,33
2007 159.110.253 5,59
2008 168.034.483 5,61
2009 176.673.456 5,14
2010 186.995.480 5,84
Sumber: BPS, 1998-2010
Dilihat dari sektor perekonomian dengan klasifikasi 9 sektor, ada tiga sektor yang mempunyai porsi terbesar dalam PDRB Jawa Tengah, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor pertanian serta sektor jasa-jasa. Sektor lain seperti sektor bangunan, sektor pengangkutan, sektor keuangan, listrik dan sektor pertambangan tidak begitu dominan.
Tabel 4.4 PDRB ADHK Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010
Sektor PDRB ( Miliar Rupiah)
Pertanian 34.956
Pertambangan dan Pengglian 2.091
Industri Pengolahan 61.390
Listrik, Gas dan Air Minum 1.615
Bangunan 11.051
Perdagangan, Hotel dan Restoran 40.055
Pengangkutan dan Komunikasi 9.806
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 7.038
Jasa-jasa 19.030
PDRB Total 186.995
Sumber BPS, 2010
Tabel 4.5 menunjukkan penggolongan daerah menurut empat sektor dominan di provinsi Jawa Tengah berdasarkan pada PDRB tahun 2007 (tanpa
(43)
migas). Dari tabel tersebut terlihat bahwa 19 kabupaten di Jawa Tengah masih didominasi sektor pertanian. Terlihat bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor yang penting di sebagian besar daerah meskipun bukan sebagai porsi terbesar dari PDRB provinsi. Beberapa kabupaten mengandalkan sektor perdagangan dan industri dan untuk daerah perkotaan pada umumnya mengandalkan sektor perdagangan dan sektor jasa. Hal ini karena daerah perkotaan lahan pertanian sudah berkurang dan lebih mengandalkan sektor nonpertanian. Kota Semarang, Pekalongan, Tegal dan Surakarta didominasi oleh sektor perdagangan. Sedangkan sektor jasa-jasa lebih dominan di Kota Salatiga dan Kota Magelang.
Tabel 4.5 Penggolongan Daerah menurut Sektor yang Dominan Tahun 2007
Sektor Kabupaten/Kota Jumlah
Pertanian Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, Kab. Banjarnegara, Kab. Kebumen, Kab.
Purworejo, Kab. Wonosobo, Kab. Magelang, Kab. Magelang, Kab. Boyolali, Kab.
Wonogiri, Kab. Sragen, Kab. Grobogan, Kab. Blora, Kab. Rembang, kab. Pati, Kab. Demak, Kab. Temanggung, Kab. Batang, Kab.
Pemalang, Kab. Brebes
19 Kabupaten
Industri Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab. Kudus, Kab.Jepara, Kab. Semarang, Kab. Kendal, Kab. Pekalongan
7 Kabupaten
Perdagangan Kab. Klaten, Kab. Cilacap, Kab. Tegal, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal
3 kabupaten dan 4 kota Jasa-jasa Kota Magelang dan Kota Salatiga 2 Kota Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2007
(44)
5.1Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Kesenjangan ekonomi
Williamson yang kemudian hasil perhitungan, pada masa Williamson di Provinsi Jawa Hal ini menunjukkan tingkat sebelum otonomi daerah tergolong
Sumber: BPS (diolah)
Keterangan: Dihitung dengan data
Gambar 5.1 TrendKesenjangan Ekonomi Anta Tahun 1998
Pada Januari 2001 pemerintah daerah berwenang tujuan pelayanan masyarakat masing. Pada awal pelaksanaan antar wilayah di Provinsi
0.58 0.59 0.6 0.61 0.62 0.63 0.64 0.65 0.66 0.67 0.68
1998 1999 2000
C
Vw
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan kemudian dikenal dengan CV Williamson (CVw). Berdasarkan
pada masa sebelum otonomi daerah (1998-2000) nilai Provinsi Jawa Tengah berada pada kisaran antara 0,6219 menunjukkan tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Jawa
i daerah tergolong tinggi karena nilai CVw melebihi batas 0,5.
rangan: Dihitung dengan data PDRB per kapita ADHK
Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010
Januari 2001 pemerintah mulai menerapkan otonomi daerah daerah berwenang menentukan arah kebijakannya sendiri masyarakat dan memajukan perekonomian daerah
pelaksanaan otonomi daerah, trendnilai kesenjangan Provinsi Jawa Tengah meningkat dahulu hingga tahun 2003.
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun
vinsi Jawa Tengah menggunakan indeks
Berdasarkan 2000) nilai indeks 0,6219-0,6530. di Jawa Tengah melebihi batas 0,5.
r Wilayah di Provinsi Jawa Tengah
otonomi daerah dimana sendiri dengan daerah masing-kesenjangan ekonomi
tahun 2003. Hal 2009 2010
(45)
ini disebabkan oleh perbedaan kesiapandari masing-masing wilayah dalam menghadapi otonomi daerah.Kesempatan dan peluang pembangunan yang ada dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik. Sedangkan daerah yang masih tertinggal, kurang mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas SDM. Pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat.
Pada tahun 2004, pelaksanaan otonomi daerah sudah mulai berjalan secara efektif ditandai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Peningkatan ini diikuti dengan semakin menurunnya nilai indeks kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pelaksanaan pembangunan terus berlanjut di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dimana arah pembangunan tersebut telah disesuaikan dengan kepentingan dan potensi daerah masing-masing. Sehingga setiap daerah umumnya telah dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana serta kualitas sumber daya manusia. Dalam kondisi demikian, setiap kesempatan dan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah. Akibatnya, proses pembangunan dapat mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Walaupun nilai kesenjangan ekonomi tersebut berangsur-angsur menurun, namuntingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah masih tergolong dalam kategorikesenjangan taraf tinggi karena nilainya diatas batas 0,5.
(46)
5.2 Klasifikasi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah
Perkembangan wilayah di Provinsi Jawa Tengah relatif stabil, tanpa adanya pemekaran wilayah administratif, baik kabupaten maupun kota selama kurun waktu penelitian. Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota.Wilayah tersebut dapat diklasifikasikan menggunakan alat analisis Klassen Typology yangberdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Klassen Typologymembagi daerah yang diamati dalam empat klasifikasi, yaitu: (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income); (2) daerah maju tapi tertekan (high income but low growth); (3) daerah berkembang cepat (high growth but low income); dan (4) daerah relatif tertinggal (low growth and low income).
Berdasarkan hasil analisis Klassen Typology, terdapat beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah mengalami pergeseran tipologi (perpindahan posisi kuadran). Namun, dari analisis juga ditemui beberapa wilayah yang selalu berada pada tipologi statis (pada posisi kuadran yang tetap). Pengklasifikasian ini bersifat dinamis karena sangat tergantung pada paradigma pembangunan di provinsi yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa dalam periode waktu penelitian yang berbeda, pengklasifikasian juga dapat berubah sesuai dengan perkembangan pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita di masing-masing daerah pada saat itu.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah (1998), wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang.Wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta. Wilayah-wilayah yang
(47)
tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Blora, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, dan Kota Pekalongan.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah (2010), wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, dan Kota Tegal. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes.
(48)
Tabel 5.1 Klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah menurut Klassen Typology Tahun 1998 dan 2010
Y R
Yi>Y Yi<Y
Ri > R
Daerah maju dan cepat tumbuh Daerah berkembang cepat Sebelum otonomi daerah (1998) 1 30 32 33 Selama otonomi daerah (2010) 1 13 24 30 31 32 33 34 Sebelum otonomi daerah (1998) 2 4 6 8 12 16 18 20 27 29 35 Selama otonomi daerah (2010) 2 3 6 14 15 16 18
Ri < R
Daerah maju tapi tertekan Daerah relatif tertinggal Sebelum otonomi daerah (1998) 11 13 19 24 31 Selama otonomi daerah (2010) 11 19 22 35 Sebelum otonomi daerah (1998) 3 5 7 9 10 14 15 17 21 22 23 25 26 28 34 Selama otonomi daerah (2010) 4 5 7 8 9 10 12 17 20 21 23 25 26 27 28 29 Sumber: BPS (diolah)
Keterangan:
1 = Kabupaten Cilacap
2 = Kabupaten Banyumas 19 = Kabupaten Kudus 3 = Kabupaten Purbalingga 20 = Kabupaten Jepara
(49)
4 = Kabupaten Banjarnegara 21 = Kabupaten Demak 5 = Kabupaten Kebumen 22 = Kabupaten Semarang 6 = Kabupaten Purworejo 23 = Kabupaten Temanggung 7 = Kabupaten Wonosobo 24 = Kabupaten Kendal 8 = Kabupaten Magelang 25 = Kabupaten Batang 9 = Kabupaten Boyolali 26 = Kabupaten Pekalongan 10 = Kabupaten Klaten 27 = Kabupaten Pemalang 11 = Kabupaten Sukoharjo 28 = Kabupaten Tegal 12 = Kabupaten Wonogiri 29 = Kabupaten Brebes 13 = Kabupaten Karanganyar 30 = Kota Magelang 14 = Kabupaten Sragen 31 = Kota Surakarta 15 = Kabupaten Grobogan 32 = Kota Salatiga 16 = Kabupaten Blora 33 = Kota Semarang 17 = Kabupaten Rembang 34 = Kota Pekalongan 18 = Kabupaten Pati 35 = Kota Tegal
Rincian kabupaten/kota yang mengalami pergeseran serta yang berada pada posisi statis dari masa sebelum otonomi ke masa otonomi daerah yaitu: 1. Wilayah yang tetap berada di daerah maju dan cepat tumbuh adalah
Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang. 2. Wilayah yang tetap berada di daerah maju tapi tertekan adalah Kabupaten
Sukoharjo, dan Kabupaten Kudus.
3. Wilayah yang tetap berada di daerah berkembang cepat adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati. 4. Wilayah yang tetap berada di daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten
Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Rembang, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal.
5. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah maju tapi tertekan ke daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta.
6. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah berkembang cepat ke daerah maju tapi tertekan adalah Kota Tegal.
(1)
Lampiran 6. Matriks Korelasi Pearson Antar Variabel Independen
Y LNAK LNBM LNAMH LNRLS LNAHH LNJLN LNAIR
Y 1.000000 -0.005778 0.297531 0.234896 0.264741 0.022157 0.103503 0.100387 LNAK -0.005778 1.000000 -0.230856 -0.246890 0.340769 0.125282 -0.137607 -0.134658 LNBM 0.297531 -0.230856 1.000000 0.104695 -0.056663 -0.024888 0.221861 0.190371 LNAMH 0.234896 -0.246890 0.104695 1.000000 0.438409 0.168214 -0.458783 0.282704 LNRLS 0.264741 0.340769 -0.056663 0.438409 1.000000 0.509966 -0.332611 0.167407 LNAHH 0.022157 0.125282 -0.024888 0.168214 0.509966 1.000000 0.064154 0.329090 LNJLN 0.103503 -0.137607 0.221861 -0.458783 -0.332611 0.064154 1.000000 0.168199 LNAIR 0.100387 -0.134658 0.190371 0.282704 0.167407 0.329090 0.168199 1.000000 Lampiran 7. Uji Normalitas
0 5 10 15 20 25 30 35
-3 -2 -1 0 1 2
Series: Standardized Residuals Sample 2001 2010
Observations 160 Mean 8.33e-18 Median 0.037124 Maximum 2.640155 Minimum -2.836430 Std. Dev. 0.661453 Skewness -0.531148 Kurtosis 7.332839 Jarque-Bera 132.6798 Probability 0.000000
(2)
Lampiran 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Pendekatan Fixed Effect dengan Cross Section Weight dan White Heteroskedasticity
Dependent Variable: Y
Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/17/12 Time: 09:29
Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 16
Total panel (balanced) observations: 160
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNTK -0.328154 0.846837 -0.387506 0.6990 LNRLS 3.437337 0.682995 5.032739 0.0000 LNAHH 32.32304 10.20354 3.167826 0.0019 LNBM 0.026918 0.076386 0.352387 0.7251 LNJLN 1.080137 0.302397 3.571916 0.0005 LNAIR -0.027597 0.086502 -0.319028 0.7502 C -142.2464 45.41839 -3.131911 0.0021
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.758143 Mean dependent var 6.235519 Adjusted R-squared 0.721339 S.D. dependent var 3.943010 S.E. of regression 0.703143 Sum squared resid 68.22851 F-statistic 20.59932 Durbin-Watson stat 1.463453 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.533536 Mean dependent var 3.986500 Sum squared resid 70.15147 Durbin-Watson stat 1.342120
(3)
Lampiran 9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Pendekatan PLS
Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 16
Total panel (balanced) observations: 160
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNTK 0.356139 0.309684 1.150006 0.2519 LNRLS 3.962020 1.032491 3.837342 0.0002 LNAHH -6.946368 4.891494 -1.420091 0.1576 LNBM 0.400356 0.112221 3.567568 0.0005 LNJLN 0.695885 0.391105 1.779278 0.0772 LNAIR 3.71E-05 0.101010 0.000367 0.9997 C 6.701376 20.91729 0.320375 0.7491 R-squared 0.227087 Mean dependent var 3.986500 Adjusted R-squared 0.196777 S.D. dependent var 0.972547 S.E. of regression 0.871623 Akaike info criterion 2.605845 Sum squared resid 116.2382 Schwarz criterion 2.740384 Log likelihood -201.4676 Hannan-Quinn criter. 2.660477 F-statistic 7.492081 Durbin-Watson stat 0.953504 Prob(F-statistic) 0.000000
(4)
Lampiran 10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Pendekatan Random Effect
Dependent Variable: Y
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/17/12 Time: 09:30
Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 16
Total panel (balanced) observations: 160
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNTK 0.216473 0.545696 0.396691 0.6921 LNRLS 5.243378 1.269399 4.130599 0.0001 LNAHH -1.500285 8.116278 -0.184849 0.8536 LNBM 0.273477 0.099043 2.761201 0.0065 LNJLN 1.014876 0.616296 1.646736 0.1017 LNAIR 0.099980 0.122910 0.813441 0.4172 C -17.34870 35.32230 -0.491154 0.6240
Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 0.546146 0.3717 Idiosyncratic random 0.709999 0.6283
Weighted Statistics
R-squared 0.237996 Mean dependent var 1.515769 Adjusted R-squared 0.208114 S.D. dependent var 0.818065 S.E. of regression 0.727979 Sum squared resid 81.08291 F-statistic 7.964405 Durbin-Watson stat 1.303944 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.155285 Mean dependent var 3.986500 Sum squared resid 127.0366 Durbin-Watson stat 0.832261
(5)
RINGKASAN
PUSPA RATIH ANGGRAENI. H14080130. Kondisi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah dan Implikasi Kebijakannya Terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Tengah (dibimbing oleh Manuntun Parulian Hutagaol).
Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan masalah klasik di Indonesia. Pada masa Orde Baru, strategi kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pemerintah kurang memperhatikan tercapainya pemerataan hasil pembangunan di seluruh wilayah sehingga terdapat kecenderungan kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah telah menjadi pembahasan utama dalam penetapan kebijakan pembangunan di Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia adalah kebijakan otonomi daerah yang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Namun, peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak merata di seluruh wilayah sehingga menimbulkan gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi dan terendah, dimana Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita tujuh kali lipat lebih tinggi dari PDRB per kapita Kabupaten Grobogan. Adanya gap tersebut mengindikasikan masih terjadi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
Dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah, pemahaman pertama yang perlu ditelaah adalah mengenai kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah apakah semakin melebar atau berkurang, serta kesenjangan yang terjadi masih dalam taraf rendah, sedang, atau tinggi. Adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat beberapa daerah yang cepat tumbuh, namun terdapat daerah lain yang tertinggal karena mengalami pertumbuhan ekonomi lambat. Oleh karena itu, pemerintah harus menyusun prioritas kebijakan untuk lebih memajukan perekonomian di daerah tertinggal. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Setelah diketahui daerah tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Perhatian difokuskan pada daerah yang tertinggal supaya daerah ini mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya dalam rangka mengejar ketertinggalan dari daerah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat dikurangi.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah; 2) menganalisis klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah untuk mengidentifikasi wilayah yang masuk dalam kategori daerah tertinggal; 3) mengestimasi faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah; dan 4) merumuskan implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) pusat
(6)
dan Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, yakni tujuan 1 diukur dengan menggunakan Indeks Kesenjangan Williamson, tujuan 2 diukur dengan menggunakan analisis Klassen Typology, dan tujuan 3 diukur dengan menggunakan analisis panel data.
Hasil penelitian ini menunjukan trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah pada masa sebelum otonomi daerah cenderung meningkat hingga tahun 2000. Pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, trendkesenjangan ekonomi antar wilayah meningkat terlebih dahulu hingga tahun 2003. Setelah tahun 2004, trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah berangsur-angsur menurun tetapi masih dalam taraf tinggi. Menurut analisis Klassen Typology, setelah pelaksanaan otonomi daerah jumlah wilayah yang terolong daerah maju dan cepat tumbuh bertambah dari empat wilayah menjadi delapan wilayah. Namun, wilayah yang masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal masih banyak yaitu enam belas wilayah.
Berdasarkan analisis panel data, variabel yang berdampak positif secara signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, dan panjang jalan. Dari ketiga variabel yang signifikan dapat dikelompokan menjadi dua faktor yaitu sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Namun, terdapat tiga variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu jumlah tenaga kerja, belanja modal/pembangunan dan penyaluran air bersih.
Implikasi kebijakan yang dapat dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur. Peningkatan kualitas SDM dilakukan dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui penambahan jumlah guru dengan memberikan insentif bagi guru yang bersedia mengajar di daerah tertinggal, melakukan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung-gedung sekolah, perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum di daerah, serta menambah bantuan belajar bagi murid seperti beasiswa.
Peningkatan kualitas kesehatan dapat dilakukan dengan pemberian kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai berupa puskesmas, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain seperti apotik, toko obat, distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh daerah tertinggal. Peningkatan kualitas kesehatan juga dapat dilakukan dengan penambahan jumlah dokter dengan memberikan insentif bagi dokter yang bersedia bekerja di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Selain SDM, pemerintah perlu meningkatkan kualitas infrastruktur, terutama pembangunan jalan yang menghubungkan antar wilayah. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan jalan yang rusak. Dapat juga dilakukan perpanjangan jalan di daerah tertinggal untuk memperlancar kegiatan perekonomian di daerah tersebut.