Klasifikasi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

5.2 Klasifikasi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

Perkembangan wilayah di Provinsi Jawa Tengah relatif stabil, tanpa adanya pemekaran wilayah administratif, baik kabupaten maupun kota selama kurun waktu penelitian. Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota.Wilayah tersebut dapat diklasifikasikan menggunakan alat analisis Klassen Typology yangberdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan PDRB per kapita daerah. Klassen Typologymembagi daerah yang diamati dalam empat klasifikasi, yaitu: 1 daerah cepat maju dan cepat tumbuh high growth and high income; 2 daerah maju tapi tertekan high income but low growth; 3 daerah berkembang cepat high growth but low income; dan 4 daerah relatif tertinggal low growth and low income. Berdasarkan hasil analisis Klassen Typology, terdapat beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah mengalami pergeseran tipologi perpindahan posisi kuadran. Namun, dari analisis juga ditemui beberapa wilayah yang selalu berada pada tipologi statis pada posisi kuadran yang tetap. Pengklasifikasian ini bersifat dinamis karena sangat tergantung pada paradigma pembangunan di provinsi yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa dalam periode waktu penelitian yang berbeda, pengklasifikasian juga dapat berubah sesuai dengan perkembangan pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita di masing-masing daerah pada saat itu. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah 1998, wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang.Wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Blora, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, dan Kota Pekalongan. Setelah pelaksanaan otonomi daerah 2010, wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, dan Kota Tegal. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes. Tabel 5.1 Klasifikasi KabupatenKota di Provinsi Jawa Tengah menurut Klassen Typology Tahun 1998 dan 2010 Y R Yi Y Yi Y Ri R Daerah maju dan cepat tumbuh Daerah berkembang cepat Sebelum otonomi daerah 1998 1 30 32 33 Selama otonomi daerah 2010 1 13 24 30 31 32 33 34 Sebelum otonomi daerah 1998 2 4 6 8 12 16 18 20 27 29 35 Selama otonomi daerah 2010 2 3 6 14 15 16 18 Ri R Daerah maju tapi tertekan Daerah relatif tertinggal Sebelum otonomi daerah 1998 11 13 19 24 31 Selama otonomi daerah 2010 11 19 22 35 Sebelum otonomi daerah 1998 3 5 7 9 10 14 15 17 21 22 23 25 26 28 34 Selama otonomi daerah 2010 4 5 7 8 9 10 12 17 20 21 23 25 26 27 28 29 Sumber: BPS diolah Keterangan: 1 = Kabupaten Cilacap 2 = Kabupaten Banyumas 19 = Kabupaten Kudus 3 = Kabupaten Purbalingga 20 = Kabupaten Jepara 4 = Kabupaten Banjarnegara 21 = Kabupaten Demak 5 = Kabupaten Kebumen 22 = Kabupaten Semarang 6 = Kabupaten Purworejo 23 = Kabupaten Temanggung 7 = Kabupaten Wonosobo 24 = Kabupaten Kendal 8 = Kabupaten Magelang 25 = Kabupaten Batang 9 = Kabupaten Boyolali 26 = Kabupaten Pekalongan 10 = Kabupaten Klaten 27 = Kabupaten Pemalang 11 = Kabupaten Sukoharjo 28 = Kabupaten Tegal 12 = Kabupaten Wonogiri 29 = Kabupaten Brebes 13 = Kabupaten Karanganyar 30 = Kota Magelang 14 = Kabupaten Sragen 31 = Kota Surakarta 15 = Kabupaten Grobogan 32 = Kota Salatiga 16 = Kabupaten Blora 33 = Kota Semarang 17 = Kabupaten Rembang 34 = Kota Pekalongan 18 = Kabupaten Pati 35 = Kota Tegal Rincian kabupatenkota yang mengalami pergeseran serta yang berada pada posisi statis dari masa sebelum otonomi ke masa otonomi daerah yaitu: 1. Wilayah yang tetap berada di daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang. 2. Wilayah yang tetap berada di daerah maju tapi tertekan adalah Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Kudus. 3. Wilayah yang tetap berada di daerah berkembang cepat adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati. 4. Wilayah yang tetap berada di daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Rembang, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal. 5. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah maju tapi tertekan ke daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta. 6. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah berkembang cepat ke daerah maju tapi tertekan adalah Kota Tegal. 7. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal ke daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kota Pekalongan. 8. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal cepat ke daerah maju tapi tertekan adalah Kabupaten Semarang. 9. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal ke daerah berkembang cepat adalah Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Sregen dan Kabupaten Grobogan. 10. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah berkembang cepat ke daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Brebes. Setelah pelaksanaan otonomi daerah tahun 2010, kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan tetapi masih tergolong dalam taraf tinggi. Oleh karena itu, menurut analisis Klassen Typology, jumlah wilayah yang masuk dalam kategori daerah maju dan cepat tumbuh bertambah dari empat wilayah menjadi delapan wilayah. Namun, wilayah yang masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal juga masih banyak yaitu sebanyak enam belas wilayah. Hal ini perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah daerah maupun pemerintah Provinsi Jawa Tengah supayadaerah- daerah yang tertinggal dapat diprioritaskan dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan dengan lebih memacu laju pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal. Diharapkan daerah yang tertinggal dapat memajukan perekonomian daerahnya, mengejar daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat diatasi. 5.3Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Pengujian kesesuaian model dalam persamaan pengaruh jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modalpembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air bersih terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah dilakukandalam dua tahap yaitu membandingkan PLS model dengan fixed effects modelkemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effects model dengan random effect mdodel. Tabel 5.2 Hasil Uji Chow Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. D.f Prob. 82,139288 15 0,0000 Dasar statistika untuk memutuskan apakah akan menggunakan pendekatan pooled OLS atau fixed effect menggunakan uji Chow. Keputusan menggunakan fixed effect dapat dilihat dari nilai probabilitas Chi-Square. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,0000 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 yang berarti tolak H . Kemudian untuk pemilihan model dilanjutkan dengan uji Hausman untuk menentukan model yang digunakan fixed effectatau random effect. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas Chi-Square sebesar 0,0314 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 yang berarti tolak H sehingga model yang layak digunakan adalah fixed effect. Tabel 5.3 Hasil Uji Hausman Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah TertinggalProvinsi Jawa Tengah Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. D.f Prob. 13,847173 6 0,0314 Pengujian uji asumsi klasik dilakukan untuk memastikan bahwa model yang dipilih telah memenuhi asumsi yang telah ditentukan, yaitu: a. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan bila jumlah observasi kurang dari 30. Berdasarkan uji Jarque-bera, nilai probabilitas 0,000000 taraf nyata 5 persen 0,05 maka tolak H berarti error term tidak terdistribusi normal. b. Multikolinearitas Model yang baik harus terbebas dari masalah mutikolinearitas. Berdasarkan matriks korelasi pearson antar variabel independen, terlihat bahwa korelasi antar variabel cukup rendah kurang dari 0,8 sehingga dapat disimpulkan model telah memenuhi asumsi terbebas dari multikolinieritas. c. Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dilihat dari perbandingan nilai sum squared resid Weighted Statistic 68,22851 nilai sum squared resid Unweighted Statistic 70,15147 sehingga terjadi heteroskedastisitas dalam model yang dipilih. Untuk mengatasi adanya heteroskedastisitas dalam model, maka metode estimasi yang dipilih diperbaiki dengan metode Generalized Least Squared GLSatau disebut metode cross section weightdan white heterokedasticity. d. Uji Autokorelasi Pengujian asumsi autokorelasi dilakukan dengan menghitung nilai statistik uji Durbin Watson. Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,46 dengan nilai dL sebesar 0,50 dan dU sebesar 2,39 maka nilai statistik Durbin Watson berada pada daerah tanpa ada keputusan. Setelah melakukan uji asumsi klasik, dilanjutkan dengan uji statistik untuk menguji validitas dari model, yaitu: a. Koefisien DeterminasiR 2 Koefisien determinasi mencerminkan variasi dari variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Model dalam penelitian ini memiliki R 2 sebesar 0,75. Ini berarti model persamaan jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modalpembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air bersih mampu menjelaskan variabel laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar 75 persen, sedangkan 25 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model. b. Uji Secara Serempak Uji F Nilai probabilitas F-statistic 0,000000 taraf nyata 5 persen0,05 maka tolak H artinya minimal ada satu peubah independen yang berpengaruh signifikan terhadap peubah dependen dan dapat dinyatakan pula bahwa hasil estimasi tersebut mendukung keabsahan model. c. Uji signifikansi individu uji t Signifikasi individu dilakukan dengan melihat probabilitas masing-masing variabel independen terhadap taraf nyata 5 persen. Hasil yang diperoleh yaitu terdapat tiga variabel yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah antara lain rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, dan panjang jalan. Variabel-variabel ini berpengaruh secara positif. Tetapi terdapat tiga variabel yang tidak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu jumlah tenaga kerja, belanja modalpembangunan dan penyaluran air bersih. Tabel 5.4 Hasil Estimasi Regresi Panel Data dengan Pendekatan Fixed Effect dengan Pembobotan danWhite Cross Section Variabel Independen Koefisien Std.Error t-Statistik Probabilitas LNTK -0,328154 0,846837 -0,387506 0,6990 LNRLS 3,437337 0,682995 5,032739 0,0000 LNAHH 32,32304 10,20354 3,167826 0,0019 LNBM 0,026918 0,076386 0,352387 0,7251 LNJLN 1,080137 0,302397 3,571916 0,0005 LNAIR -0,027597 0,086502 -0,319028 0,7502 C -142,2464 45,41839 -3,131911 0,0021 Kriteria Statistik Nilai R-squared 0,758143 Adjusted R-squared 0,721339 F-statistic 20.59932 ProbF-statistic 0,000000 Durbin-Watson stat 1,463453 Keterangan: signifikan pada taraf nyat 5 persen Berdasarkan hasil estimasi model panel data dengan menggunakan fixed effect model setelah melalui serangkaian uji, maka diperoleh model terbaik dengan hasil estimasi sebagai berikut: Y = -142,2464- 0,328154LnTK it + 3,437337 LnRLS it + 32,32304 LnAHH it + 0,026918 LnBM it + 1,080137 LnJLN it -0,027597 LnAIR it + e Pada masing-masing variabel independen yang signifikan dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Nilai konstanta C sebesar -142,2464 menunjukkan bahwa jika variabel- variabel independen dianggap konstan, maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar -142,2464 satuan. Angka sebesar itu dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. 2. Koefisien jumlah tenaga kerja LNTK tidak berpengaruh secara signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah masih belum optimal. Penggunaan tenaga kerja sudah berlebihan sehingga tidak lagi mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. 3. Koefisien rata-rata lama sekolah LNRLS dengan elastisitas 3,437337 artinya jika terjadi kenaikan rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah naik sebesar 3,437337 satuan ceteris paribus. 4. Koefisien angka harapan hidup LNAHH dengan elastisitas 32,32304 artinya jika terjadi kenaikan angka harapan hidup di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah naik sebesar 32,32304 satuan ceteris paribus. 5. Variabel belanja modalpembangunan LNBM tidak berpengaruh signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pada tahun 2010 proporsi belanja untuk pembangunan kurang dari 10 satuan dari total belanja daerah. Dan sekitar 90 satuan belanja daerah dialokasikan untuk belanja rutin antara lain belanja pegawai, belanja barang dan jasa, bagi hasil, dan lain-lain. 6. Koefisien panjang jalan LNJLN dengan elastisitas 1,080137 artinya jika terjadi kenaikan panjang jalan di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan, maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah akan naik sebesar 1,080137 satuanceteris paribus. 7. Variabel penyaluran air bersih LNAIR tidak berpengaruh signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Seharusnya variabel ini berpengaruh karena dapat meningkatkan produktivitas jika porsi penyaluran air bersih lebih besar di daerah tersebut.

5.4 Implikasi Kebijakan