Sejarah Nilai Perkembangan Dosis

Bab 2 Nilai Batas Dosis Teknik pengawasan keselamatan radiasi dalam masyarakat umumnya selalu berdasarkan pada konsep dosis ambang. Setiap dosis betapapun kecilnya akan menyebabkan terjadinya proses kelainan, tanpa memperhatikan panjangnya waktu pemberian dosis. Karena tidak adanya dosis ambang ini, maka masalah utama dalam pengawasan keselamatan radiasi adalah dalam batas dosis tertentu sehingga efek yang akan ditimbulkannya masih dapat diterima baik oleh masyarakat. Oleh karena itu, setiap kemungkinan penerimaan dosis oleh pekerja radiasi maupun anggota masyarakat bukan pekerja radiasi harus diusahakan serendah mungkin. 2

2.1 Sejarah Nilai Perkembangan Dosis

Sejarah mengenai perkembangan nilai batas dosis tidak terlepas dari munculnya kesadaran akan pentingnya proteksi radiasi yang dimulai pada awal tahun 1920-an dimana The British X-ray and Radium Protection Commitee dan American Roentgen Ray Society mengeluarkan rekomendasi umum mengenai proteksi radiasi. Pada awal tahun 1925, dibentuk kongres internasional radiologi yang pertama yang membentuk Komisi Internasional untuk Satuan dan Pengukuran Radiologi ICRU, saat itu diperkenalkan konsep dosis tenggang tolerance dose yang didefinisikan 3 Universitas Sumatera Utara sebagai: “dosis yang mungkin dapat diterima oleh seseorang terus-menerus atau secara periodik dalam menjalankan tugasnya tanpa menyebabkan terjadinya perubahan dalam darah.” Pada tahun yang sama, Mutscheller memperkirakan secara kuantitatif bahwa nilai dosis total yang diterima selama sebulan dengan nilai dosis haruslah kurang dari 1100 dari nilai dosis yang dapat menyebabkan terjadinya erythema pada kulit sehingga tidak mungkin menyebabkan kelainan jangka panjang. Nilai penyinaran yang memungkinkan timbulnya erythema pada kulit diperkirakan 600 R, sehingga nilai dosis tenggang untuk pekerja radiasi diusulkan sebesar 6 R dalam jangka penerimaan 1 bulan. 2 Pada tahun 1928 diadakan kongres radiologi ke-2 yang menyetujui pembentukan Komisi Internasional untuk Perlindungan Sinar-X dan Radium dan secara resmi mengadopsi satuan roentgen R sebagai satuan untuk menyatakan paparan sinar-X dan gamma. Pada tahun 1934, komisi tersebut mengeluarkan rekomendasi untuk menurunkan dosis tenggang menjadi 0,2 R hari atau 1 R minggu. Pada tahun 1936, nilai dosis tenggang diturunkan lagi hingga 100 mR hari dengan asumsi bahwa diperhitungkan adanya hamburan balik energi sinar-x yang umumnya digunakan pada saat itu dimana dosis 100 mR di udara dapat memberikan dosis 200 mR pada permukaan tubuh. 2 Pada tahun 1950, komisi tersebut berubah nama menjadi Komisi Internasional untuk Perlindungan Radiologi ICRF. Berbagai perkembangan penelitian radiobiologi dan dosimetri radiasi menyebabkan perubahan dalam teknik penetuan nilai batas dosis yang mana komisi tersebut memutuskan: Universitas Sumatera Utara • Menurunkan dosis tenggang menjadi 0,05 R 50 mR per hari atau 0,3 R 300 mR per minggu atau 15 R tahun • Menetapkan kulit sebagai organ kritis dengan dosis tenggangnya sebesar 0,6 R 600 mR per minggu. Perkembangan dalam dosimetri radiasi membuktikan bahwa nilai paparan tidak tepat jika digunakan sebagai ukuran untuk menyatakan dosis radiasi pada jaringan. Oleh karena itu, pada tahun 1953 ICRU memperkenalkan dosis serap dengan satuan rad radiation absorbed dose. Pada tahun 1955 ICRP memperkenalkan konsep dosis ekuivalen dengan satuan rem roentgen equivalent man sebagai satuan untuk menyatakan dosis serap yang sudah dikalikan dengan faktor kualitas dari radiasi yang bersangkutan. ICRP selalu menggunakan besaran dosis ekuivalen dengan satuan rem untuk menyatakan dosis radiasi. 2

2.2 Nilai Batas Dosis yang Diberlakukan di Indonesia