Berita Penangkapan Terorisme Kelompok Abu Dujana (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penangkapan Tersangka Terorisme Kelompok Abu Dujana di Majalah Tempo)

(1)

BERITA PENANGKAPAN TERSANGKA TERORISME KELOMPOK ABU DUJANA

(Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penangkapan Tersangka Terorisme Kelompok Abu Dujana di Majalah Tempo)

Diajukan Oleh:

RINALDI 030904031

ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007


(2)

ABSTRAKSI

Skripsi ini merupakan sebuah penelitian yang dilakukan untuk menganalisis berita tentang penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana pada Majalah Tempo. Penelitian ini menfokuskan pada penelitian analisis isi media, yang kualitatif. Penelitian ini memakai paradigma konstruktivis sebagai pendekatan. Sedangkan pisau analisis, peneliti menggunakan teknik analisis framing yang dibuat oleh Robert N. Entman. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana konstruksi berita pada majalah Tempo dalam membingkai berita penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana.

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan empat perangkat unit analisis untuk melihat bagaimana sebuah media membingkai suatu masalah: Pendefinisian masalah (Define Problem), memperkirakan sumber masalah (Diagnoses Causes), membuat keputusan moral (Make Moral Judgement), dan menekankan penyelesaian (Treatment Recommendation) Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang peneliti ambil adalah majalah Tempo, adapun yang diambil adalah pemberitaan yang berhubungan dengan penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana. Adapun majalah yang peneliti teliti adalah edisi No. 05/XXXVI/26 Maret - 1 April 2007 yang dimuat di rubrik Nasional. Kemudian di edisi 06/XXXVI/2-8 April 2007 yang juga di rubrik Nasional. Barulah di edisi No.07/XXXVI/9-15 April 2007 berita Abu Dujana dimuat di Laporan Utama. Tempo kembali memuat berita tentang Abu Dujana di rubrik Laporan Utama edisi No. 17/XXXVI/18-24 Juni 2007 setelah Abu Dujana ditangkap oleh polisi di kediamannya. Dan edisi No. 18/XXXVI/25 Juni – 1 Juli 2007 adalah terakhir yang memuat berita tentang Abu Dujana dan kelompoknya.

Hasil penelitian yang penulis dapat adalah, pemberitaan majalah Tempo cenderung lebih memihak kepada pihak kepolisian. Hal ini terlihat dari pemilihan nara sumber yang sebagaian besar dari pihak kepolisian maupun para penyidik yang juga dari polisi. Sedangkan pihak-pihak yang berada di pihak-pihak Abu Dujana sangat jarang pendapatnya dimuat. Kalaupun ada hanya untuk memenuhi azas keberimbangan dalam berita, walaupun kenyataannya tidaklah berimbang.


(3)

ABSTRAKSI

Skripsi ini merupakan sebuah penelitian yang dilakukan untuk menganalisis berita tentang penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana pada Majalah Tempo. Penelitian ini menfokuskan pada penelitian analisis isi media, yang kualitatif. Penelitian ini memakai paradigma konstruktivis sebagai pendekatan. Sedangkan pisau analisis, peneliti menggunakan teknik analisis framing yang dibuat oleh Robert N. Entman. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana konstruksi berita pada majalah Tempo dalam membingkai berita penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana.

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan empat perangkat unit analisis untuk melihat bagaimana sebuah media membingkai suatu masalah: Pendefinisian masalah (Define Problem), memperkirakan sumber masalah (Diagnoses Causes), membuat keputusan moral (Make Moral Judgement), dan menekankan penyelesaian (Treatment Recommendation) Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang peneliti ambil adalah majalah Tempo, adapun yang diambil adalah pemberitaan yang berhubungan dengan penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana. Adapun majalah yang peneliti teliti adalah edisi No. 05/XXXVI/26 Maret - 1 April 2007 yang dimuat di rubrik Nasional. Kemudian di edisi 06/XXXVI/2-8 April 2007 yang juga di rubrik Nasional. Barulah di edisi No.07/XXXVI/9-15 April 2007 berita Abu Dujana dimuat di Laporan Utama. Tempo kembali memuat berita tentang Abu Dujana di rubrik Laporan Utama edisi No. 17/XXXVI/18-24 Juni 2007 setelah Abu Dujana ditangkap oleh polisi di kediamannya. Dan edisi No. 18/XXXVI/25 Juni – 1 Juli 2007 adalah terakhir yang memuat berita tentang Abu Dujana dan kelompoknya.

Hasil penelitian yang penulis dapat adalah, pemberitaan majalah Tempo cenderung lebih memihak kepada pihak kepolisian. Hal ini terlihat dari pemilihan nara sumber yang sebagaian besar dari pihak kepolisian maupun para penyidik yang juga dari polisi. Sedangkan pihak-pihak yang berada di pihak-pihak Abu Dujana sangat jarang pendapatnya dimuat. Kalaupun ada hanya untuk memenuhi azas keberimbangan dalam berita, walaupun kenyataannya tidaklah berimbang.


(4)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Media dan berita yang diproduksi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, semua pihak dapat menyampaikan pandangannya secara bebas. Sedangkan kaum kritis berpandangan sebaliknya. Media bukanlah saluran yang bebas, tetapi dimiliki oleh kelompok yang dominan, untuk memproduksi ideologi yang dominan pula (Eriyanto, 2001:36)

Antonio Gramsci, melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun, di sisi lain media juga dapat menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media dapat menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga dapat menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan (Sobur, 2004:30)

Artinya berita yang diproduksi tidak dihasilkan dalam sebuah ruang hampa. Ada orang-orang atau pihak yang terlibat dalam proses melahirkan sebuah berita, berikut aspek kepentingan dan konflik yang menyertainya.

Sejak tragedi WTC 2001 dan tragedi bom Bali 2002, berita seputar dugaan keterlibatan kelompok Islam tertentu menjadi pengisi santapan kita sehari-hari. Beberapa tokoh Islam mulai disebut-sebut mulai memiliki kaitan dengan jaringan terorisme. Begitu juga dengan media yang mempunyai peran tidak kalah dominannya dalam mengangkat isu ini dan mempopulerkan istilah terorisme.

Mencermati secara kritis pemberitaan media massa tentang kasus terorisme, semakin membuat kita prihatin. Kenapa wartawan kita, terlebih wartawan asing tidak dapat


(5)

membedakan kapan ia harus menggunakan kata “Islam” dan kapan harus menggunakan kata “muslim”. Islam adalah sebuah agama, sedangkan muslim itu orang yang menganut agama Islam yang bisa saja salah kaprah dalam melaksanakan agamanya, atau bahkan tidak mengamalkan ajaran agamanya sama sekali.

Tak jarang kita melihat munculnya semacam fenomena “jurnalisme stereotip” yang sudah lebih dulu punya asumsi dan abstraksi dalam membingkai (framing) isu atau fakta dalam bingkai (frame) yang dipengaruhi prasangka, sehingga cenderung bias bahkan terkadang keliru (Idi Subandy, 2007 :6)

Kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana terjadi akhir bulan Maret lau, tepatnya tanggal 27 Maret 2007. Penangkapan kelompok Abu Dujana ini berawal ketika polisi berhasil mengendus aksi yang akan dilakukan oleh Agus Suryanto dan Sarwo Edi. Polisi membututi keduanya mulai dari Magelang sampai Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta kedua orang ini langsung menukarkan kotak yang dibawanya dari Magelang dengan dus yang dibawa oleh Akhyas alias Sutarjo alias Abi Isa, Amir Ahmadi, dan Sikas alias Karim. Ketiganya membawa dus berukuran sama.

Polisi langsung melumpuhkan orang ini sebelum mereka berhasil meninggalkan tempat. Dari penyitaan ternyata kotak yang dibawa dari Magelang hanyalah kotak kosong. Sedangkan dus yang dibawa oleh Akhyas berisi dua senapan M-16, satu pistol revorver, dan satu pistol FN, dan juga hampir seratis peluru berbagai ukuran (Tempo, 1 April, 2007). Agus yang berusaha kabur akhirnya ditembak mati polisi sedangkan Edi terluka.

Dari pengangkapan tersangka ini polisi mengembangkan kasusnya. Kepada polisi Akhyas mengaku bahwa sebagai petinggi asykari alias angkatan perang Jamaah Islamiyah. Ia adalah bawahan Abu Dujana. Pernyataan ini didapat Tempo dari salah seorang polisi. Dari pemeriksaan itu juga polisi berhasil mendapat informasi bahwa kelompok akhyas menyembunyikan berbagai bahan peledak di rumah Sikas. Ketika petugas mendatangi rumah


(6)

Sikas, ternyata ditemukan timbunan detonator aktif, dua jerigen potasium cair, peluru senapan M-16 dan SS-1, 16 bom lontar dan berbagai senjata lainnya (Tempo, 1 April 2007)

Sedangkan menurut pengakuan beberapa tersangka yang sudah tertangkap, bahwa Jamaah Islamiyah saat ini sudah berganti struktur. Jabatan tertinggi pada struktur terbaru itu adalah qoryah, yang artinya komandan sariyah alias komandan tentara. Posisi ini ditempati Abu Dujana. Di bawahnya ada ishobah yang juga membawahi beberapa bagian. Bertindak sebagai amir Jamaah Islamiyah saat ini adalah Zarkasih alias Mbah yang juga sudah tertangkap.

Pada 9 Juni 2007 lalu Abu Dujana berhasil ditangkap polisi hendak menghadiri pemilihan kepala desa di tempat tinggalnya. Abu Dujana dilumpuhkan dengan satu tembakan di kakinya. Menurut polisi, Abu Dujana termasuk seorang yang sangat ‘licin’ karena sudah beberapa kali berhasil meloloskan diri dari pantauan polisi. Ia juga dianggap bertanggungjawab terhdap serangkaian aksi pemboman di tanah air, termasuk kerusuhan di Poso. Bahkan menurut polisi dialah yang mengatur persembunyian dan pelarian Noor Din M Top, serta berkuasa penuh atas semua bahan peledak dan senjata yang dimilki oleh Jamaah Islamiyah.

Menurut penyidik dari kepolisian, barang-barang tersebut adalah pesanan ustad Ryan. Ia adalah orang yang mati tertembak saat penggrebekan di Poso, Sulawesi Tengah, 11 Januari lalu. Ryanlah yang disebut-sebut mengatur pengapalan senjata dan bahan peledak dari Solo ke wilayah konflik tersebut.

Selain itu, dalam edisi berikutnya (8 April 2007) Tempo juga mengangkat berita tentang tempat yang pernah dijadikan kelompok ini untuk latihan militer. Gunung Sumbing, Temanggung, Jawa Tengah, adalah tempat yang disinyalir sebagai lokasi latihan kelompok ini. Menurut tersangka kasus terorisme ini, mereka pernah dua kali melatih anak buahnya beberapa keterampilan bertempur di lokasi ini. Latihan pertama digelar akhir tahun lalu, yang


(7)

diikuti sepuluh orang yang semua berasal dari Jakarta. Latihan terakhir digelar 20 Januari lalu, dengan jumlah peserta lebih banya. Menurut para tersangka, latihan ini dilatih oleh empat orang, salah satunya adalah Zulkarnaen, buron polisi yang dituduh terlibat dalam pengeboman di Bali, 12 Oktober 2002. Latihan ini diawasi oleh Abu Dujana, yang diyakini berperan sebagai Komandan Sayap Militer Jamaah Islamiyah wilayah Jawa (Tempo, 8 April 2007)

Dalam memberitakan kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana majalah Tempo memuat beberapa pernyataan dari nara sumber. Mulai dari pihak kepolisian, kelompok yang dianggap telah “tobat” dari kegiatan terorisme, orang yang oleh media dianggap sebagai sahabat dari Abu Dujana tetapi menurut pengakuannya tidak mengenal Abu Dujana, serta beberapa tetangga Abu Dujana. Akan tetapi sangat jarang keterangan nara sumber yang diambil langsung dari orang yang terlibat, dalam hal ini Abu Dujana dan kelompoknya.

Dari permasalahan itulah, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana teks atau isi berita untuk melihat proposi, ideologi, makna yang terkandung, serta proses pembingkaian dalam pemberitaan kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana. Dalam hal ini media yang akan diteliti adalah majalah mingguan Tempo.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaiman majalan mingguan Tempo membingkai peristiwa kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana”


(8)

Agar menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan agar lebih jelas terarah sehingga tidak akan mengaburkan makna penelitian, maka penulis membatasi masalah sebagai berikut:

1. Penelitian hanya dilakukan pada majalah mingguan Tempo

2. Penelitian hanya dilakukan pada pemberitaan mengenai kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana yang terjadi pada Bulan Maret lalu

3. Penelitian dilakukan pada majalah mingguan Tempo yang terbit pada Bulan Maret-Juli 2007

D. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pemberitaan kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana pada majalan mingguan Tempo.

2. Untuk mengetahui makna yang tersirat di balik konstruksi berita dalam kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana.

3. Untuk melihat posisi media dalam memberitakan kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana.

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna dalam memperluas pengetahuan penulis dalam bidang jurnalistik.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi sumbangsih terhadap penelitian sosial kritis, serta sumbangsih pemikiran mengenai pemberitaan kasus-kasus serupa guna meningkatkan kualitas isi berita.


(9)

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan menambah khasanah penelitian di bidang Komunikasi.

BAB II

URAIAN TEORITIS

2..1. Sejarah Terorisme

Istilah teror dan terorisme sebetulnya sudah ada sejak lama, yakni pada masa imperium Romawi pada paruh awal pertama masehi yang pada saat itu diperintah Tiberius


(10)

dan Caligua. Mereka dikenal sangat pandai menggunakan intimidasi dan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan. Selain itu, pada abad ke-17, kerajaan-kerajaan di Eropa, khususnya Spanyol, menekan organisasi-organisasi Islam disana dengan ancaman kekerasan, untuk mengikuti kemauan mereka atau keluar dari Andalusia. Meskipun demikian bersifat konvensional, istilah teror dan terorisme baru mulai popular digunakan pada abad ke-18.

Sejarah terorisme internasional modern sendiri sebetulnya sudah bisa ditandai dari aksi pembajakan pesawat Boing 707 rute Roma-Tel Aviv pada tanggal 22 Juli 1968 yang dilakukan oeh PFLP (The Popular Front for the Libration of Palestina). Sedangkan di Indonesia, jejak terorisme modern sudah dapat diintifikasikan ketika pesawat Vickers

Ciscount milik Merpati Nusantara dibajak pada tanggal 4 April 1971.

Dalam sebuah lingkungan, ketika di dalamnya terdapat kelompok dominan dan kelompok terdominasi, maka hegemoni akan terdapat di sana. Dalam keadaaan seperti ini, kelompok terdominasi kadang-kadang merasa frustasi dengan adanya kekuasaan hegemoni yang didirikan oleh kelompok dominan. Ketika berhadapan dengan sebuah kekuatan yang besar dan menyeluruh, kelompok terdominasi akan mengambil langkah untuk bertahan dengan jalan melakukan kekerasan politis dengan membangun counter-hegemonic. Semua dilakukan sebagai akibat lemahnya kelompok ini secara politis.

Teroris pada dasarnya adalah bentuk kelemahan secara politis, yang ditunjukkan oleh kelompok terdominasi dengan tujuan agar suara mereka didengarkan dan mereka mendapat perhatian. Dan cara seperti ini seringkali berhasil.

Pemerintah hegemoni sebenarnya juga melakukan kekerasan dalam pemerintahannya, tetapi apa yang mereka lakukan selalu dipandang sebagai hal yang wajar dan sudah semestinya (legitimate policing). Sementara itu, apa yang dilakukan oleh kelompok counter

hegemonic adalah suatu bentuk terorisme (non legitimate pilcing). Dalam keadaan seperti ini,


(11)

kelompok mereka sendiri sebagai pejuang kebebasan. Konsep ‘gerilya’, ‘pejuang kebebasan’, dapat disinonimkan dengan terorisme, yaitu keompok yang dimotivasi oleh kelemahan dan keterasingan dalam sistem politik, yang memilih penggunaan kekerasan dan teror untuk mecoba menggulingkan apa yang mereka lihat sebagai penindasan politis.

Penggunaan teror sebagai strategi politik, melewati empat fase (Louw, 2005 : 239-241) :

• Penggunaan teror oleh anarkis Rusia dan Perancis-Paul Brousse dan Peter Kropotkin-dengan konsep ‘propaganda of dead’ pada tahun 1887. Laqueur menjelaskan konsep ini sebagai usaha untuk melawan kekuasaan yang menyebar dan menyeluruh yang dihadapi oleh kelompok anarkis dan sosialis. Menyadari kelemahan mereka secara politis, kelompok ini perlu melakukan sebuah aksi spektakuler agar mendapatkan perhatian dari pemerintah yang berkuasa. (Louw, 2005 : 239)

• Selama perang dunia II, sabotase dan teror dilancarkan oleh para gerilyawan dalam melawan Nazi di Perancis, Yugoslavia, Polandia, Yunani, dan melawan Jepang di China, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Para gerilyawan yang seringkali berhaluan komunis, mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat dan Inggris dalam perjuangan mereka ini. Dan ketika perang telah usai, aliansi Amerika Serikat-Inggris kehilangan kontrol terhadap mereka. Seperi Mao’s Red Army yang menyerang China dan gerilyawan Viet Minh yang melawan Perancis di Vietnam, gerakan gerilyawan Yunani, Malayan Communist Party, dan Filipino HUK’s. Melihat hal ini, aliansi Amerika Serikat-Inggris akhirnya memelopori berbagai strategi untuk menumpas gerakan-gerakan gerilyawan ini.

• Perang dingin yang menghasilkan keadaan yang tidak stabil, memicu kemarahan kelompok gerilyawan. Mereka memilih terror dan penggunaan kekerasan dengan meminta bantuan kepada negara-negara adikuasa, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan


(12)

RRC. Perang dingin menghaslikan gerakan gerilya yang terpancar diseluruh dunia. Hal ini dilakukan untuk kelancaran bantuan persenjataan dan juga pelatihan dari negara-negara adikuasi. Tetapi, bantuan dan pelatihan ini jarang diartikan sebagai salah satu usaha kontrol penuh yang dilakukan negara-negara adikuasa terhadap gerakan-gerakan gerilyawan. Soviet banyak membantu gerilyawan seperti : FLN (Algeria), Viet Minh dan Viet Cong (Vietnam), Pathet Lao (Laos), FRELIMO ( Mozambik), MPLA (Angola), PAIGC (Guinea Bissau), ZAPU (Zimbabwe), PLO (Israel), ANC (Afrika Selatan), SWAPO (Namibia), dan FRETELIN (Timor Leste). Sedangkan Amerika Serikat memberikan bantuan kepada kelompok gerilyawan di Angola, Tibet, Nikaragua, Irak, Kamboja, Ethiopia, dan Afghanistan. Operasi yang paling besar bagi Amerika Serikat adalah operasi yang dilancarkan oleh Conras di Nikaragua dan operasi Mujahidin di Afghanistan-operasi yang mencoba menumpas gerakan muslim fundamental-yang selanjutnya dalam konsep barat adalah ‘perang terhadap teroris’. Gerakan-gerakan gerilya di atas ternyata banyak yang berhasil dan menjadi pemerintah yang sah di negaranya. Selain itu, sumber dana yang berada di luar negara-negara superpower, ternyata membuat gerakan-gerakan ini berhasil dalam memerintah di negaranya. Sperti PLO, IRA, dan FARC. Farbain dan Sarkesian menyebutkan, perang dingin juga ternyata menghasilkan berbagai teoritisi perang geriya seperti, Mao Tse Tung, Nguyen Giap, Che Guevara, dan Eduardo Mondlane. (Louw, 2005 : 240)

• Pax Americana telah menciptakan gelombang terorisme baru yang dilancarkan oleh jaringan Islam Fundamentalis, al Qaeda. (Louw, 2005 : 295) menjelaskan konsep Pax Americana sebagai berikut :

Pax Americana (American Peace) refers to the USA’s military and economic global dominance since 1991 within a New World Order. The USA exercises its dominance not by means direct imperial control, but through (a) a network of trade relations, (b) a capacity to project its military migh globally, (c) a network of multilateral and


(13)

bilateral agreements, and (d) through cultural imperialism. The extent of US dominance varies from country to country, and the contruction of a pax Americana is still a work in progress.

Al-Qaeda memandang hal ini sebagai dua komponen perusak yang saling tumpang tindih. Pertama, hal ini dipandang sebagai ancaman bagi negara-negara dunia ke-3, dan kebencian terhadap Amerika Serikat memang banyak dibagi dengan negara-negara berkembang ini. Ketidakstabilan ekonomi dan sosial karena pemerintah yang korup, brutal, dan tidak kompeten, yang banyak dialami negara-negara berkembang adalah akibat dari lemahnya pemerintah. Kelemahan ini bersumber dari ikut campurnya Amerika Serikat terhadap persoalan-persoalan lokal yang tidak mereka pahami dan kerjasama pemerintah dengan negara-negara barat. Kedua, keunikan yang dimiliki muslim fundamentalis dalam melawan kebudayaan barat. Bagi mereka, ideologi dan bentuk politik dan ekonomi barat tidak sesuai dengan Islam. Sekularisme, materialisme, dan ungodliness, sangat bertentengan dengan kebudayaan Islam. Dengan adanya hegemoni barat, Islam berada di bawah ancaman. Lebih jauh lagi, gelombang imigrasi besar-besaran (yang sebagian besar menuju barat) karena peledakan jumlah penduduk, membuat kebencian terhadap barat semakin menyebar.

2.2. Pengertian Terorisme

Secara etimologis, terorisme berasal dari bahasa latin ‘terrere’, yang berarti menggetarkan atau menimbulkan kengerian. Meskipun demikian, mendefenisikan terorisme bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini disebabkan karena seringkali dipengaruhi oleh sudut pandang mana yang digunakan untuk melihatnya. Walaupun begitu, terdapat kesepakatan bahwa terorisme adalah sebuah paham yang menggunakan kekerasan, pengrusakan, dan pembunuhan dalam menjalankan aksinya.


(14)

Konvensi PBB dalam the United Nations Convention tahun 1973 menyebutkan, terorisme sebagai kejahatan langsung yang ditujukan kepada negara dengan maksud untuk menciptakan ketakutan terhadap orang atau kelompok tertentu. European Convention on

Suppression of Terrorism tahun 1977, memberikan pengertian yang lebih luas lagi bagi

terorisme ; terorisme adalah kejahatan kepada negara (crime againts state) dan juga kejahatan terhadap kemanusiaan (crime agaiants humanity). Sementara itu A.P. Schmid (1988) memberikan defenisi terorisme sebagai berikut :

Terrorism is anxiety-inspirng method of repeated violent action, employed by (semi) clandestine, group or state actor, for idiosyncratic, criminal or political reason, or whereby-in contrast to assasination- the direct target of violence are not the main targets. The immediate victims of violence are generally chosen randomly (target of apportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threats and violence based victims, and main target are used to manipulate the main target, turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought.

• Repetisi ; yang disebut dengan terorisme adalah tindakan menakut-nakuti yang dilakukan secara sistematis dan berulang.

Defenisi yang dikemukakan oleh Schmid ini merupakan hasil sintesis dari 109 defenisi dan dipakai secara luas dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan terdapat dalam

academic consensus definition, united nations.

Untuk dapat membedakan terorisme dengan jenis-jenis kejahatan kriminal lainnya, terdapat empat elemen esensial yang dikemukana oleh Badey (2006), Norris, Kern, and Just (2003) dan Poland (2004), yaitu :

• Motivasi ; tidak semua kekerasan dan teror digolongkan ke dalam terorisme. Terorisme dimotivasi oleh sebab-sebab yang bersifat politis.

• Tujuan ; terorisme bukan hanya untuk menakuti lawan atau target, tetapi tujuannya adalah untuk mendapat perharian dari publik dan mengendalikan reaksi publik atas


(15)

aksi-aksi mereka, mendapatkan perhatian dari pemerintah, dan untuk mendapatkan legitimasi.

• Aktor ; siapa yang menjadi teroris dan korban aksi mereka. Teroris dapat berbentuk individu, kelompok, bahkan negara. Sementara korban atau target adalah mereka yang menjadi simbol atau representasi dari target utama.

• Efek ; yakni akibat-akibat yang ditimbulkan oleh terorime, yang mencakup nilai-nilai yang bersifat material maupu mental. Uang, rumah, sarana umum, dan jiwa manusia adalah efek yang bersifat material. Ketakutan, trauma, simpati, kemarahan, kebencian, adalah efek yang bersifat mental.

Defenisi lain menyebutkan terorisme muncul karena :

• Adanya rasa tidak puas dari kelompok tertentu yang merasa kepentingannya tidak terartikulasi dengan baik dan mengalami gangguan akibat adanya sikap represi, penindsan politik, diskriminasi, dan ketidakadilan yang dilakukan oleh negara.

• Adanya upaya terencana dan terorganisir dengan tujuan untuk menciptakan perubahan terhadap seluruh tatanan sosial dan menggantikannya sesuai dengan motivasi, idealisme, program, dan bila perlu dengan ideologi yang mereka inginkan. Dengan penggunaan kekerasan, diharapkan mereka akan mendapatkan perhatian baik dari pemerintah, masyarakat, media massa, dan lembaga pada tingkat nasional, regional, maupun internasional.

2.3. Media dan Terorisme

Baik hegemoni maupun counter-hegemony, keduanya menggunakan gabungan antara kekerasan, persuasi, dan tawar-menawar. Keduanya mencoba dan menggunakan media untuk mempromosikan pandangan-pandangan mereka. Keduanya bertarung, melegitimasi kekerasan yang mereka lakukan dan mendelegitimasi kekerasan yang dilakukan oleh lawan.


(16)

Terorisme, sebagai bagian kelemahan politis, berusaha mendapatkan perhatian media melalui kekerasan yang mereka lakukan, tidak jauh berbeda dengan political PR atau ketika menciptakan peristiwa-peristiwa palsu demi tujuan-tujuan mereka.

Teori mengenai terorisme sangat banyak. Tema umum dari setiap teori tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Bassiouni (1979), Schmid and de Graff (1982), dan Thornton (1964) adalah komunikasi dan simbol sebagai kunci dari aksi-aksi teroris. (Louw, 2005 :241). Peristiwa 9/11, misalnya adalah peristiwa simbolik. Penyerangan terhadap dua gedung di New York, WTC dan Pentagon, telah dirancang khusus untuk mendapatkan perhatian media dan publik Amerika Utara. Ketakutan, kemarahan, dan efek psikologis lainnya merupakan tujuan dari aksi teror ini. Dengan menghancurkan dua gedung pencakar langit yang dianggap sibagai simbol jantung ekonomi dan pertahanan Amerika Serikat dan juga dunia.

Siapa sajakah yang menjadi target dalam aksi terorisme, atau dengan kata lain, siapa sajakah yang menjadi komunikan atau audience dalam komunikasi yang dijalankan oeh para teroris sebagai komunikatornya :

• Seluruh teroris akan berusaha untuk memindahkan kantong-kantong suara atau dukungan kepada mereka. Mungkin dalam jumlah yang sedikit, seperti yang dilakukan oleh Carlos Marighela dengan ‘foco’-nya, atau dalam jumlah yang besar, seperti yang dilakukan Mao Tse Tung dengan Red Army-nya, Giap dengn Viet Minh/Viet Cong, dalam mempengaruhi petani, atau juga pergerakan revolusi massa seperti yang dilakukan oleh Guevara dan Mandela. Karena terorisme adalah kelompok terasing dalam sistemnya, maka mereka merasa perlu untuk menggerakkan kelompok lain yang juga terasing untuk mendapat suara dan dukungan, dan yang lebih jauh lagi adalah untuk rekruitmen kader dan anggota. Dalam hal ini, teroris akan menyeleksi targetnya, seperti petani misalnya, kemudian


(17)

menarik mereka dan bahkan juga melindungi mereka. Secara naratif teroris akan mempromosikan dirinya dengan tag line sebagai berikut :

“the excisting hegemony does not serve my interest; using violence against this hegemony is legitimate and the terrorist/guirella organization stands a reasonable chance of victory. If this hegemony is defeated I will derive benfit; therefore I should support the anti-hegemonic struggle.” (Louw, 2005 : 243)

• Teroris juga berkomunikasi dengan pemerintah mereka sendiri. Dengan menjalankan kekerasan diharapkan pemerintah hegemoni akan tertarik untuk mengadakan kesepakatan dengan kelompok teroris. Dalam hal ini, target diseleksi untuk mendapatkan perhatian pemerintah berupa kemarahan dan reaksi keras. Kemarahan dan reaksi keras ini akan menciptakan simpati politik. Sehingga, pemerintah merasa perlu menangani masalah ini dengan jalan perundingan, tidak dengan jalan-jalan represif.

• Teroris juga berkomunikasi dengan para pendukung pemerintah hegemoni dengan pesan sebagai berikut “You may not know we exist, but we do exist. We’re unhappy,

your government makes change we are going to inflict pain upon you.” (Sobur

2005 : 243). Tujuan yang hendak dicapai adalah membuat para pendukung pemerintah merasa takut dan percaya bahwa mereka adalah target teroris yang potensial. Selain itu, mereka juga dapat diperalat untuk mencampuri kebijakan-kebijakan pemerintah.

• Teroris juga menyadari adanya pihak-pihak yang netral dan mencoba berkomunikasi dengan mereka. Tujuan yang hendak dicapai disini adalah agar mereka tidak jatuh ke tangan penguasa, dan akhirnya menjadi pendukung pemerintah. Teroris menyadari mereka ini adalah pihak-pihak yang berisiko untuk pendukung pemerintah.


(18)

• Terorisme, melalui aksi-aksinya juga didesain untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah asing dan warganya. Apakah itu sekutu pemerintah hegemoni atau lawan mereka. Bagi sekutu, target diseleksi untuk memberikan peringatan agar tidak terlalu mendukung pemerintah hegemoni, sedangkan bagi

lawan pemerintah hegemoni target diseleksi untuk menjamin kelancaran dana dan persenjataan.

• Target-target lain yang potensial, seperti turis, investor, dan organisasi- organisasi kemanusiaan. Tujuannya adalah untuk mengusir mereka, dengan demikain negera akan mengalami resesi ekonomi dan peningkatan angka pengangguran, yang akan menghasilkan perlawanan kepada pemerintah hegemoni.

2.3.1. Contagion Effect atau Copycat Syndrome

Media massa sebagai bagian dari sistem sosial tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Hampir sebagian besar waktu kita tersita untuk media. Telah terjadi transformasi waktu yang tidak seimbang dalam aspek kehidupan kita. Setiap harinya kita membaca surat kabar, majalah, dan menonton televisi. Dengan kehidupan seperti itu, maka sebagian besar nilai-nilai dan perilaku kita dipengaruhi oleh media. Pahlawan-pahlawan kita adalah bintang film yang muncul di layar kaca. Nilai-nilai yang kita bagi dalam kehidupan bermasyarakat seperti susila, seks, ketuhanan, kesopanan, adalah nilai-nilai yang kita dapatkan dari media.

Dari semua aspek tersebut, kekerasan, ternyata juga dapat timbul dari nilai yang diberikan oleh media (Poland, 2005 : 56). Suguhan kekerasan yang sehari-hari kita terima dianggap sebagai bagian dari ‘entertainment’ oleh pemilik dan pekerja media. Apakah media turut serta dalam menyebarkan ide-ide kekerasan dan juga terorisme? Poland mengutip pernyataan dari Brian Jenkins (Rand Institute), bahwa media


(19)

khususnya televisi telah merancang pertumbuhan terorisme dan kekerasan dari kelompok teroris, pemberontak, atau jaringan bawah tanah. Jenkins berpendapat, bahwa terorisme adalah panggung teater yang ingin dilihat dan didengarkan oleh penonton. (Poland, 2005 : 56)

Copycat atau Contagion Effect, adalah efek atau sindrom yang dipicu oleh media. Dasar

dari teori ini adalah, pada suatu waktu ketika individu atau kelompok melakukan hal baru dan berhasil mencapai tujuannya melalui aksi tersebut, maka kemungkinan besar ia akan ditiru oleh individu atau kelompok lain. Beberapa kasus yang dapat dijadikan dasar teori ini adalah :

• Wawancara yang dilakukan oleh David Hubbart dalam bukunya The Skyjacker, His Flight of Fancy, terhadap ratusan pembajak pesawat menunjukkan bahwa mereka selalu membawa kliping surat kabar atau rekaman video yang berisikan detail pembajakan. Ini dilakukan untuk memahami bagaimana melakukan pembajakan agar berhassil. (Poland, 2005 : 58)

• Pembajakan pesawat yang dilakukan oleh Popular Front of the Liberation of Palestine (PFLP) pada bulan September 1970, yang diliput media sebagai sebuah pertunjukan spektakuler selama enam hari di gurun pasir Jordan. Media meliput secara langsung kronologis insiden pembajakan pesawat dengan 276 penumpang. Sejak dimulainya insiden ini di atas gurun Jordan, pemindahan penumpang ke pesawat lain di Kairo, negosiasi (pertukaran sandera dan pemenuhan tuntutan), sampai pada penumpasan para pembajak oleh militer Jordania, disuguhkan sebagai sebuah tontonan kepada khalayak. Konferensi pers yang dilakukan secara berkala dengan juru bicara pembajak, Bassani Abu Sharif, menunjukkan apa yang ingin dicapai oleh aksi ini adalah disiarkannya tuntutan-tuntutan Palestina ke seluruh dunia, pembebasan tahanan Palestina di penjara-penjara Israel, Inggris, dan Jerman dengan perantara


(20)

media massa. (Poland, 2005 : 57). Dan ini berhasil, walaupun akhirnya para pembajak ini ditangkap. Tetapi tuntutan Palestina dapat diketahui oleh dunia internasonal. Aksi yang dijalankan oleh PFLP ini ternyata adalah sebuah trend pembajakan baru, dan media adalah alat penyebarannya. Ini dibuktikan dengan menggunakan metode pembajakan yang sama oleh kelompok pejuang Palestina yang lain di seluruh dunia. Media, dalam hal ini tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah tindakan yang berbahaya dan terburu-buru. Bahkan David, Philips, reporter yang berhasil meliput keseluruhan insiden ini, dianugerahi penghargaan pada Cannes Television Festival. Ia tidak sadar apa yang dilakukannya dengan membuat berita secara detail dan kronologis, termasuk usaha-usaha penyebaran ide terorisme, yang dalam hal ini berisi tuntutan para teroris.

• Trend pembajakan dengan menggunakan parasut pertama kali dikenal ketika media meliput secara besar-besaran pembajakan yang dilakukan oleh DB. Cooper pada 24 November 1971. Media melalui suguhannya, menjelaskan bagaimana penggunaan parasut dalam aksi pembajakan. Yang akirnya memicu aksi pembajakan dengan metode serupa. 20 dari 27 kasus pembajakan dengan rentang waktu tujuh pembajakan selama delapan hari, yang terjadi Amerika Serikat dan Kanada menggunakan metode yang sama denga kasus Cooper. (Poland, 2005 : 58). Selain itu aksi Cooper ini diliput media massa dengan menjadikannya sebagai aktor pop, menulis kisahnya dengan format cerita pendek, serta menulis lagu dan puisi. Ini semua adalah pemicu bagi aksi-aksi pembajakan berikutnya.

Penggunaan gasoline dan dinamit sebagai bagian aksi pembajakan dipelopori oleh teroris dari Kuba pada tahun 1982 di Florida. Dengan meracik berbagai bahan peledak agar tidak dapat terditeksi oleh metal-detector, para pembajak ini melakukan aksinya.


(21)

Liputan media terhadap aksi pembajakan ini menghasilkan insiden lain yang dilakukan oleh para pemberontak di Iran pada 1984.

• Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat diteror melalui aksi pemalsuan bahan makanan dengan bahan berbahaya-Cyanid dan Tylenol. Aksi teroris ini digembar-gemborkan oleh media sebagai metode baru terorisme. Bahan-bahan makanan, minuman, serta obat-obatan diberitakan tercemar zat berbahaya tersebut, dan hasilnya ketakutan menyebar ke seluruh pelosok negeri. Penggunaan bahan kimia berbahaya tidak jauh berbahaya dengan bio terorisme, misalnya, dengan penyebaran bibit virus antrax dan e-coli. Pada tahun 1986, akhirnya aksi serupa kembali terjadi di Amerika Serikat, dengan menggunakan Teldrin, Contac, dan Diatec. (Poland, 2005 : 59)

• Film juga memicu terjadinya aksi-aksi kekerasan, contohnya adalah insiden penembakan yang dilakukan oleh remaja-remaja Amerika Serikat pada tahun 1979. Setelah menonton film-yang mendapatkan piala oscar-The Deer Hunter- terjadi insiden penembakan yang mencederai lima orang dan menewaskan delapan orang. Poland (2005), menyebutkan penelitian ilmu sosial menunjukkan bahwa media, khususnya televisi dapat memicu kemarahan, persaingan, dan rasa tidak peduli terhadap sesama, ketika menyuguhkan tontonan yang bertema kekerasan dan terorisme.

Selain keberhasilan yang diliput media terhadap aksi-aksi teroris, pembenaran yang sering dilakukan terhadap aksi trorisme adalah pemicu lain yang menyebabkan efek peniruan (contagion) atau copycat syndrome (Poland, 2005 : 60) :

• Jarangnya pelaku teror dihukum akan memicu munculnya teroris-teroris potensial lainnya


(22)

• Tindakan-tindakan abnormal yang dilakukan teroris, dalam hal ini penggunaan kekerasan guna mendapatkan perhatian media adalah sesuatu yang dapat dibenarkan.

• Target dalam aksi terorisme seringkali adalah mereka yang dipilih secara acak dan tidak sadar, dengan kata lain, aksin terorisme timbul karena adanya rasa frustasi, marah, terasing, dan lemah dalam kehidupan politik.

• Liputan yang luar biasa dan cenderung didramatisir terhadap insiden teroris serta penyajian yang tidak proporsional.

• Terorisme selalu digambarkan oleh media sebuah paham yang memiliki kekuatan dan pengikut dan besar.

• Media seringkali menggunakan konsep yang membingungkan dalam mengartikan teroris, pejuang kebebasan, jihad, gerilyawan, revolusioner, militan, fundamentalis. Jika konsep teroris telah disamakan denga konsep jihad dan revolusioner misalnya, maka akan terjadi pembenaran dalam masyarakat terhadap terorisme.

2.3.2. Propaganda Value dan The Deed

Poland memberikan pengertian propaganda sebagai berikut :

Propaganda is the dissemination of fact, arguments, half truths, or lies in order to influence public opinion. The making of propaganda involves systematis effort to persuade a mass audience by deliberately presenting one-sided statements. One side presentation often spread and convey unrealistic images by concentrating only on the good points of one position and bad points of another. In colloquial sense, then, propaganda used to refer to someone else’s efforts as persuasion while one’s own are described as informational or educational. (Poland, 2005 : 61)


(23)

Dalam menganalisis beberapa propaganda politik terori secara historis ataupun kontemporer, beberapa pertanyaan berikut harus dijawab :

• Siapa kelompok yang melakukan propaganda

• Tujuan apa yang ingin dicapai melalui propaganda

• Strategi apa yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

• Sumber dan aset politik apa yang dimiliki dalam melancarkan strategi tersebut

• Hasil apa yang diinginkan

• Seberapa besar peran media dalam meliput insiden-insiden khusus, sebagai bagian dari strategi propaganda yang dilakukan.

Dalam negara yang menganut sistem totalitarian, komunikasi berjalan satu arah dan didominasi oleh pihak pemerintah. Berbeda dengan negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan pers adalah sesuatu yang sifatnya fundamental dan merupakan hak asasi manusia. Dalam sistem yang bebas media bersaing untuk mendapatkan audiens, dan ini sering dipengaruhi oleh seberapa besar porsi yang diberikan media dalam menyajikan sajian bertemakan kekerasan. Bagi perjuangan politik teroris, ini adalah suatu pertanda bahwa mereka memiliki kesempatan untuk memenangkan pemberontakan atau berhasil dengan aksi-aksinya dan berhasil dalam rekruitmen anggota, melalui penggunaan media. Keberhasilan propaganda teroris tergantung pada akses yang mereka miliki dalam berkomunikasi, khususnya dengan media.

Beberapa insiden teroris yang merupakan strategi propaganda terorisme, menunjukkan peran yang dimainkan oleh media. (Poland, 2005 : 61-68)

• Provisonal Wing of The IRA (PIRA) selama perjuangannya menggunakan media untuk menyebarkan propagandanya. Tujuan yang ingin dicapai oleh PIRA adalah ditariknya dukungan Inggris terhadap komunitas protestan yang mendominasi dan mengontrol kehidupan ekonomi di Irlandia. Selain itu, memicu perang terbuka yang akan memaksa


(24)

Inggris menarik kembali 20.000 pasukannya dari Irlandia. Dalam perang propaganda ini, PIRA dengan diam-diam membuat temu pers dengan liputan eksklusif oleh Brtitish Broadcasting Corporation dan American Broadcasting Company. Dalam kesempatan tersebut David O’Connell yang menjadi staf kepala PIRA, menyampaikan kepada media mengenai rencana pemboman yang dilakukan di Inggris Raya. Seminggu setelah jumpa pers itu, beberapa peledakan terjadi di Inggris yang menewaskan 21 warga sipil. Pada kesempatan lain, O’Connell dalam wawancara bersama ABC, menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu memilki dasar moral yang dapat dibenarkan. Stategi lain adalah ketika PIRA mengundang beberapa kru televisi Amerika untuk meliput jalannya insiden teroris. Hasil dari semua ini adalah, selama dua minggu berturut-turut media meliput aksi mereka, keadaan para korban, pengamanan terhadap pemerintah Inggris dan posisi politisi yang dimiliki oleh PIRA di Irlandia dan perjuangannya dalam melawan Inggris. Di sini dapat dilihat bagaimana PIRA telah berhasil dalam mendominasi media dan berhasil menyudutkan pemerintah Inggris hanya melalui propaganda-propagandanya.

• Propaganda lain yang dilancarkan oleh PIRA adalah dengan jalan mengundang 194 kru media untuk meliput prosesi pemakaman Bobby Sands, yang tewas dalam insiden pemberontakan di penjara Maze, pada tahun 1981. Arak-arakan jenazah membuat pemerintah Inggris tertekan. Parlemen menghabiskan beberapa jam untuk membicarakan status para tahanan politik dan bagaimana menghadapi reaksi internasional yang menginginkan pembebasan terhadap terhadap sejumlah tahanan politik di beberapa penjara lain di Inggris dan Iralndia.

• Teroris Jerman, Beader Meinhoff, menggunakan insiden bunuh diri sebagai strategi propagandanya pada 18 Oktober 1977. Dengan aksi bunuh diri empat tahanan Jerman Timur, yang mendapatkan liputan eksklusif media, dalam beberapa waktu Meinhoff berhasil mendapatkan perhatian publik. Media dengan spekulasinya membuat insiden


(25)

bunuh diri ini sebagai bagian dari kejahatan perang yang dilakukan oleh Jerman Barat, dan spekulasi ini berhasil menyita perhatian dunia internasional. Baru setelah diadakan pemeriksaan forensik, bahwa keempat tahanan Jerman Timur ini memang benar-benar memutuskan untuk bunuh diri.

• Propaganda yang dilancarkan oleh Armenian Revolutionary Army dengan peledakan bom terhadap kedutaan Turki di Lisbon, Portugal, pada 24 Juli 1984. Tujuan yang ingin dicapai dalam aksi ini adalah agar publik dan dunia internasional menyadari dan mengetahui kekejaman pemerintah Turki yang membunuh ribuan rakyat Armenia pada kurun 1894-1915. Propaganda mereka berbunyi : “we have decided to blow up this building and remain under the collapse. This not suicide not the expression of insanity, but rather of our sacrifice to the altar of freedom” (Poland, 2005 : 65). Hasilnya, pada 10 September 1984 Kongres Amerika Serikat menyetujui peringatan pembantaian 1,5 juta masyarakat Armenia, dengan catatan bahwa peringatan ini diadakan bukan sebagai pembenaran terhadap aksi revolusioner di Lisbon, Portugal. Tetapi, yang perlu dicatat setidaknya tujuan atas propaganda yang dilancarkan mencapai tujuan.

• Penggunaan media bagi kampanye propaganda juga dijalankan oleh para pejuang kemerdekaan Palestina dengan melakukan penyanderaan terhadap 11 atlet Israel yang sedang mengikuti olimpiade Munich pada 5 September 1972. Tujuan dari aksi ini adalah untuk membebaskan 200 tahanan Arab dari penjara-penjara Israel. Yang menarik di sini adalah ketika para pejuang kemerdekaan Palestina menggunakan olimpiade Minich sebagai panggung aksi mereka :

We recognize that sport is the modern religion in the westrn world. We knew that the people of England and America would switch their television sets from any program about the plight obuot of the Palestinian if there was a sporting eventon another channel. So we decided to use thir Olympics, the most sacred ceremony of this religion, to make the world pay attention to us. We offered up human sacrifices to your gods of sport and television. And they answered our prayer (Poland, 2005 : 66)


(26)

Setelah olimpiade Munich berakhir, tak seorang pun yang melupakan insiden penyanderaan tersebut. Hasil nyatanya adalah ketika dua tahun setelah insiden tersebut, Yasser Arafat, ketua PLO diundang dalam sidang umum PBB, pada 17 November 1974.

• Yang paling mutakhir adalah ketika beberapa media seperti CNN, ABC, Times Magazine, TV Pakistani, dan al- Jazeera mewawancarai Osama bin Laden. Sebuah wawancara eksklusif Peter Bergen dengan Osama bin Laden yang sedang diburu oleh Amerika Serikat dan sekutunya dalam agenda war against terrorism. Bergen, seorang reporter dari CNN, berhasil mewawancarai Laden di sebuah gunung di Afghanistan pada tahun 1998. Dialah yang pertama kali memelopori penyebaran ide-ide Al-Qaeda kepada publik. Sejak peristiwa 9/11, Laden memproduksi banyak sekali videotape yang disiarkan oleh berbagai media di seluruh dunia.

Schmid dan de Graft merangkum penggunaan media sebagai alat propaganda teroris modern. (Poland, 2005 : 72) : (1) Menciptakan ketakutan dalam masyarakat luas, (2) mengubah opini publik, (30 membuat publikasi melalui wawancara rahasia, (4) menawarkan publikasi ide-ide dan tuntutan teroris, (5) memprovokasi pemerintah agar bertindak secara berlebihan, (6) menyebarkan informasi yang salah, (7) bertindak koersif kepada media, (8) merekrut anggota baru dan meminta dukungan serta menarik kembali anggota yang keluar, (9) mendapatkan keuntungan dari publikasi secara gratis, (10) mengidentifikasi target selanjutnya, (11) sebagai alat komunikasi dengan kelompok lain di luar negeri, (12) menjatuhkan moral publik dan pemerintah, (13) mendapatkan imej ‘Robin Hood’, (14) memprovokasi publik untuk melawan pemerintah, (15) mendapatkan informasi mengenai dukungan dari kelompok lain dan mengenai strategi counter-terrorism, (16) meningkatkan semangat anggota


(27)

Aparat keamanan dan media seringkali berada dalam satu tempat dengan teroris. Aparat dengan tugasnya sebagai penegak keamanan, yang sedang menyelenggarakan operasi pengamanan terhadap publik. Di lain tempat, media dengan tugasnya mencari berita yang faktual dan terhindar dari rumor dan spekulasi bagi kepentingan informasi publik.

Kedaunya, sama-sama mengklaim dirinya sedang bertugas dalam pelayanan publik. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah seringkali keduanya berada dalam sebuah pertentangan. Tidak dapat dipungkiri media seringkali justru membuat masalah menjadi lebih rumit ketika mereka meliput insiden kekerasan atau terorisme. Tetapi publik juga perlu mendapatkan informasi yang benar dari insiden tersebut. Sementara aparat keamanan seringkali mengabaikan kebutuhan ini, mereka menganggap media hanya sebagai pengganggu dalam operasi mereka.

Seharusnya dalam sebuah insiden kekerasan atau terrorisme media dan aparat keamanan bekerjasama lebih dekat lagi agar tugas-tugas mereka dapat dijalankan dengan baik. Untuk itulah pada tahun 1983, California Peace Officers Association mengeluarkan aturan bagi media ketika meliput, mewawancarai, dan menyiarkan berita mengenai insiden kekerasan dan terorisme. (Poland, 2005 : 74). Diharapkan dengan adanya aturan ini, media mampu bertindak sebagai kontributor informasi dan aparat dapat memberikan kesempatan bagi media untuk mendapatkan berita yang diinginkan.

Beberapa insiden kekerasan dan terorisme menjadi semakin rumit karena kurangnya kerjasama aparat dan media, dapat dilihat dalam uraian berikut :

• Penyanderaan yang dilakukan oleh sekelompok penjahat yang lari dari pengadilan District Of Colombia pada tahun 1974 menjadi lebih rumit ketika seorang reporter mencoba menembus barikade petugas keamanan hanya untuk mendapatkan berita yang diinginkan medianya. Ketika ditanya apakah ia memikirkan keamanan para sandera, reporter ini menjawab bahwa itu adalah masalah nomor dua, yang terpenting adalah


(28)

bagaimana mendapatkan berita yang sensasional, terbit di halaman depan, dan berhasil mendapatkan penghargaan di bidang jurnalistik.

• Penyanderaan oleh Hanafi Muslim pada tahun 1977 di tiga tempat di Washington DC menjadi masalah besar ketika media memberitakan bahwa polisi menyelundupka n beberapa senjata ke dalam kotak makanan yang akan dibagikan kepada para sandera. Butuh waktu lama bagi polisi untuk menyakinkan kelompok ini bahwa berita tersebut adalah bohong.

• Pertukaran sandera dengan anggota teroris di Dubai menjadi sebuah insiden berdarah ketika media melaporkan spekulasi mengenai tipuan yang dilakukan oleh aparat keamanan. British Airways yang dibajak tahun 1974 di Dubai untuk pertukaran sandera, menarik perhatian media. Dengan tergesa-gesa media melaporkan bahwa tidak satupun anggota teroris yang akan dibebaskan oleh pemerintah. Akhirnya seorang sandera tewas dibunuh hanya karena laporan tersebut.

• Insiden yang sama terjadi di Luthansa pada tahun 1977, ketika media menyiarkan wawancara rahasia seorang reporter dengan kapten pesawat melalui sebuah radio transmisi. Akhirnya kapten pesawat itu mati karena pemberitaan tersebut.

2.3.4. Cencorship dan Terorisme

Cencorship berkaitan dengan sistem pers yang dianut oleh sebuah negara. Usaha-usaha sensor yang dilakukan oleh pemerintah berhubungan dengan sistem kemasyarakatan negara tersebut. Berikut adalah beberapa sistem pers yang berkembang di dunia yang disusun oleh Siebert dkk (Kusumaningrat, 2005 : 19) :

• Sistem Authoritarian

Sistem pers authoritarian muncul berdasarkan falsafah negara yang membela kekuasaan absolut. Penetapan hal yang besar dipercayakan kepada segelintir orang


(29)

yang bijaksana yang mampu memimpin. Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan harus mengabdi kepada negara. Prinsip pers ini adalah bahwa negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Bagi seorang individu, hanya dengan menempatkan dirinya di bawah kekuasaan negara, maka individu yang bersangkutan bisa mencapai cita-citanya dan memiliki atribusi sebagai orang yang beradab.

• Sistem Liberal

Dalam sistem liberal manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan yang tidak. Pers harus menjadi mitra dalam upaya mencari kebenaran dan bukan alat pemerintah dalam menjalankan kekuasannya. Jadi tuntutan bahwa pers dapat mengawasi jalannya pemerintahan, berkembang dalam sistem ini.

Oleh karena itu, pers harus bebas dari kendali dan pengaruh pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sementara yag salah dan tidak jelas kebenarannya akan lenyap. Sehingga dalam negara yang menganut system pers ini, pers adalah pilar keempat dalam negara setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Self righting process (proses menemukan kebenaran) dan free market of ideas

(kebebasan menjual gagasan) menjadi sentral dalam sistem pers ini. Sistem ini dikontrol oleh self righting process of truth lalu adanya free market ideas dan oleh pengadilan. Implikasinya bahwa semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan semua orang memiliki akses yang sama pula ke sana.


(30)

Sistem liberal memang paling banyak memberikan landasan kebenaran yang tidak terbatas kepada pers. Oleh karena itu pers juga paling banyak memberikan informasi, hiburan, dan paling banyak terjual tirasnya. Tetapi sistem pers ini juga paling sedikit memberikan kebajikan menurut ukuran umum dan paling sedikit pula memberikan kontrol terhadap pemerintah. Karena sedikit pula batasan dan aturan yang membatasi, maka pers hanya cenderung mengejar keuntungan semata secara materil tanpa memerdulikan efek yang ditimbulkan bagi kehidupan sosial dan negara.

• Sistem Pers Bertanggungjawab

Sistem Pers Bertanggungjawab muncul berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip dalam sistem liberal terlalu menyederhanakan persoalan.

Dalam sistem liberal, para pemilik dan operator pers lah yang terutama menentukan fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada publik dan dalam versi apa. Sistem liberal berjalan tanpa memahami masalah-masalah seperti kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers.

Untuk itu enam fungsi pers pun ditetapkan berdasarkan sistem ini : (1) melayani sistem politik yang memungkinkan informasi, diskusi, dan konsiderasi mengenai masalah-masalah publik, dan ini dapat diakses oleh masyarakat, (2) memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak bagi kepentingan sendiri, (3) melindu ngi hak-hak individu dengan bertindak sebagai watchdog (anjing penjaga) terhadap pemerintah, (4) melayani sistem ekonomi, misalnya dengan mempertemukan pembeli dan penjual melalui iklan, (5) memberikan hiburan, (6) memelihara otonomi di bidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan kepada kepentingan-kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu.


(31)

Sistem pers bertanggungjawab memungkinkan dimilikinya tanggung jawab oleh pers. Dalam sistem ini pers juga memberikan informasi dan menghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan. Yaitu, prinsip-prinsip etika di belakang cita-cita bahwa pers berdasarkan tanggungjawab sosial ini bukan saja mewakili golongan mayoritas, tetapi juga menjamin hak-hak golongan minoritas atau oposisi untuk turut bersuara melalui media. System pers bertanggungjawab ini umumnya dianut oleh negara yang pemerintahannya menganut sistem demokrasi.

• Sistem Pers Soviet

Sistem Pers Soviet ini menopang kehidupan pers di Rusia, RRC, dan beberapa negara yang menganut sistem komunis dalam menjalankan pemerintahannya. Ciri sistem ini adalah : (1) motif profit tidak ada dalam media, (2) menomorduakan topikalitas atau menghindari pemberitaan yang sedang ramai dibicarakan di ruang publik, (3) orientasinya adalah perkembangan dan perubahan masyarakat untuk mencapai taraf kehidupan komunis.

• Sistem Pers Pembangunan

Sistem ini banyak dianut oleh negara-negara berkembang di dunia ke-3 yang ditetapkan berdasarkan dalil berikut : (1) pers harus menerima dan melaksanakan tugas-tugas pembangunan yang positif sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan secara nasional, (2) kebebasan pers harus terbuka bagi pembatasan sesuai dengan prioritas-prioritas ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan pembangunan bagi masyarakat, (3) pers harus memberikan prioritas dalam isinya bagi budaya dan bahasa nasional, (4) pers harus memberikan prioritas dalam berita dan informasi untuk menghubungkannya dengan negara berkembang lain yang berdekatan secara geografis, budaya, dan politik, (5) wartawan dan pekerja pers lainnya mempunyai tanggungjawab dan kebebasan dalam tugas menghimpun dan menyebarkan berita


(32)

mereka, (6) demi tujuan kepentingan pembangunan, negara mempunyai hak untuk ikut campur dalam, atau membatasi, operasi-operasi media pers, penyelenggaraan sensor, dan kontrol langsung dapat dibenarkan.

• Sistem Pers Partisan Demokratik

Sistem pers ini lahir dalam masyarakat liberal yang sudah maju. Ia lahir sebagai reaksi atas komersialisasi monopolisasi media yang dimiliki swasta dan sebagai reaksi atas sentralisasi dan birokratisasi institusi-institusi siaran publik, yang timbul dari tuntutan norma tanggungjawab sosial. Inti dari sistem ini terletak pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan, dan aspirasi pihak penerima pesan kemanusiaan dalam masyarakat politis. Dalam sistem ini terdapat keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, kesederajatan dalam masyarakat dan interaksi.

Keenam sistem pers di atas menjadi sistem yang dianut oleh berbagai media di dunia. Melalui sistem tersebut muncul berbagai regulasi-regulasi yang menjadi landasan dalam aktivitas media.

Dalam masalah peliputan dan penyiaran mengenai terorisme terdapat pro kontra dalam menyikapi usaha-usaha sensor yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Kehler et.al (Poland, 2005 : 78), pemberitaan media mengenai terorisme dapat meningkatkan aksi-aksi kekerasan dalam masyarakat dan terorisme akan semakin meluas, sementara yang terjadi di Rhodesia, sensor ternyata ampuh untuk mencegah meluasnya aksi kekerasan. Sensor boleh saja dilakukan, tetapi teroris akan mencari jalan lain untuk melancarkan kejahatan-kejahatan politik. Schmid dan de Graft memaparkan beberapa argumen dari kelompok pro dan kelompok kontra sensor mengenai terorisme. (Poland, 2005 : 76)


(33)

Argumen untuk sensorship

• Kelompok terorisme menggunakan media sebagai alat penyebaran ide-ide dan propagandanya, selain itu juga untuk merekrut anggota baru.

• Liputan yang detail terhadap terorisme akan menjadi model potensial bagi terorisme lain, dan ini dapat mengakibatkan : (1) contagion effect atau copycat syndrome, (3) terorisme mengetahui keadaan di luar insiden dan menyusun strategi dan propaganda berikutnya, (4) dapat mengancam jiwa sandera.

• Sensorship akan membuat teroris lemah ketika berhadapan dengan publik, karena publik hanya mengetahui mereka dari aksi kekerasan yang mereka lakukan.

• Liputan yang detail mengenai kekerasan dan terorisme akan menurunkan moral publik karena sifat beritanya yang negatif.

Argumen melawan sensorship

• Jia media diam dalam melihat kekerasan dan kekejaman di depan matanya, maka akan terjadi perubahan yang negatif terhadap nilai-nilai dalam masyarakat dalam menanggapi kekerasan

• Jika media tidak menyiarkan tuntutan teroris, dikhawatirkan mereka akan bertindak lebih jauh lagi, yaitu melakukan aksi-aksi kekerasan yang nyata.

• Jika media tidak melaporkan insiden teroris yang sebenarnya maka akan muncul rumor yang lebih buruk dari apa yang disampaikan oleh media.

• Selama operasi pengamanan berlangsung, kehadiran media akan dapat mencegah aparat bertindak indefensible (pertahanan terakhir), yang dapat mengancam nyawa sandera dan nyawa teroris sendiri


(34)

• Media dapat mencegah pemerintah memberikan label kepada kelompok tertentu yang dituduh sebagai teroris melalui liputan berita yang disiarkannya.

• Jika sensor diberlakukan maka : (1) publik akan berspekulasi bahwa bukan hanya isu terorisme yang disensor, tetapi juga isu-isu lain, sehingga kredibelitas media sebagai kontributor informasi menurun, (2) kewaspadaan publik terhadap bahaya kekerasan dan terorisme akan berkurang, (3) mengurangi pemahaman politik publik, (4) hilangnya kepercayaan publik kepada pemerintah karena hak-haknya mengakses informasi dihambat, (5) kebebesan pers diragukan dalam sistem demokrasi.

2.3.5. Perspektif Media dan Terorisme

Media sebagai gatekeeper dan agenda setter, menentukan liputan terorisme seperti apa yang akan mereka sajikan kepada publik. Pertarungan makna dan keberagaman media akan menentukan gambaran terorisme. Di sini juga akan kelihatan media mana yang mendukung pemerintah hegemoni dan mana yang tidak. Schlesinger et al menjelaskan tiga perspektif media dalam memahami terorisme. (Louw, 2005 : 249) :

Perspektif “the official line” memandang terorisme sebagai suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Jurnalis yang berada pada perspektif ini memandang terorisme sebagai sebuah kejahatan dan mendukung penggunaan militer dan polisi untuk menindak mereka, dan jurnalis yang bersimpati pada terorisme dikategorikan sebagai korban terorisme itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini akan berusaha untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya jurnalis yang berada pada mainstream ini. Pasca peristiwa 9/11, media barat didominasi oleh mainstream ini.


(35)

Perspektif kedua, menyetujui pandangan “the official line” tetapi dalam perspektif ini, terorisme adalah kejahatan yang timbul sebagai akibat dari penyakit sosial. Sehingga “ia” harus disembuhkan. Jurnalis yang berada pada perspektif ini sangat potensial untuk digunakan ketika terorisme ingin berkomunikasi dengan pihak penengah. Dengan jalan negosiasi, pihak-pihak yang bertikai dipertemukan di meja perundingan dengan opinion lader (misalnya jurnalis) di pihak ini.

Perspektif ketiga, “oppsitional perspective” melihat terorisme sebagai susuatu yang dapat dibenarkan. Jurnalis yang memilih posisi ini, memandang para teroris sebagai pejuang kebebasan dari tirani pemerintah hegemoni. Para teroris akan berusaha mengidentifikasi siapa-siapa yang menyetujui perspektif ini dan akan membantu mereka dimanapun dan kapanpun. Di lain pihak, pemerintah hegemoni akan mengidentifikasi mereka untuk kemudian berusaha menghalang-halangi jalannya, atau usaha yang lebih ekstrim adalah dengan memberlakukan cencorship bagi media-media yang menyetujui perspektif ini.


(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan analisis framing oleh Robert N. Entman. Pendekatan ini menggunakan empat perangkat unit analisis untuk melihat bagaimana sebuah media membingkai suatu masalah: Pendefinisian masalah (Define Problem), memperkirakan sumber masalah (Diagnoses Causes), membuat keputusan moral (Make moral Judgement), dan menekankan penyelesaian (Treatment Recommendation)

3.2. Operasional Konsep

Operasional konsep berguna untuk memudahkan kerangka konsep dalam operasional :

Pendefinisian masalah (Define Problem) : Terorisme itu dilihat sebagai apa

Memperkirakan sumber masalah (Diagnoses Causes) : Siapa yang menyebabkan terorisme itu terjadi. Dan terorisme itu disebabakan oleh apa

Membuat keputusan moral (Make Moral Judgement) : Nilai moral apa yang disajikan untuk menyelesaikan masalah tersebut

Menekankan Penyelesaian (Treatment Recommendation) : Jalan yang ditawarkan untuk mengatasi msalah terorisme tersebut.


(37)

3.3 Deskripsi Subjek Penelitian

Tempo didirikan pada tahuh 1971 oleh sejumlah intelektual muda yang waktu itu gelisah melihat situasi sosial politik yang kian tidak menentu, salah satu gejala yang paling mencolok waktu itu adalah politisasi pers untuk mendukung ideologi kelompok. Melihat hal ini, Goenawan Muhammad, Nono Anwar Makarim, dan Fikri jufri tergerak untuk mendirika media yang bebas dari pengaruh kelompok politik tertentu dan menyuarakan informasi yang objektif.

Pada Mei 1970, mereka menerbitkan majalah Ekspres. Tetapi eksperimen itu gagal karena intervensi penguasa. Goenawan keluar dari Ekspres, diikuti oleh Fikri Jufri, dan Christanto Wibisono. Setelah hampir menunggu setahun, mereka akhirnya sepekat menerbitkan Tempo.

Pada 6 maret 1971 majalah Tempo terbit untuk pertama kalinya dengan cover pebulutangkis Minarni yang tengah beraksi di Asian Games. Tampilan cover terbitan perdana ini masih hitam putih dan masih dibagikan secara gratis. Setelah itu, pada edisi kedua Tempo mulai dijual kepada khalayak. Sepanjang tahun 1971 penjualan Tempo mampu mencapai 10 ribu eksemplar. Cepatnya khalayak merespon kehadiran majalah Tempo dimungkinkan oleh karena gaya penyampaian yang berbeda dengan media lainnya. Selain itu para wartawannya yang sebelumnya memang telah berkecimpung di majalah Ekspres sudah cukup dikenal khalayak.

Nama Tempo sendiri digunakan dengan beberapa alasan. Pertama, kata tempo mudah diucapkan oleh lidah orang Indonesia. Kedua, nama ini dikenal cukup netral. Dan ketiga, kata Tempo bisa juga diartikan waktu, sebuah pengertian yang dengan segala variasinya banyak digunakan oleh penerbitan jurnalistik di seluruh dunia. Namun penggunaan nama Tempo yang juga dimaknai sebagai waktu inilah yag agaknya membuat majalah Time yang didirikan


(38)

oleh Henry Luce melakukan gugatan kepada majalah Tempo pada tahun 1973. Majalah Time waktu itu menganggap majalah Tempo meniru bentuk dan gaya penerbitannya. Namun, tuntutan hukum ini akhirnya dibatalkan oleh majalah Time sendiri dengan alasan gugatan itu sendiri dilakukan tanpa seizin Time inc.

Majalah Tempo merupakan majalah yang berani mengangkat isu-isu kontroversial yang pada masa orde baru dianggap tabu untuk diangkat. Misalnya, kasus hutang Pertamina yang membengkak pada tahun 1974, kasus manipulasi pembelian kapal Tampomas II yang terbakar pada tahun 1982, serta berbagai kasus lainnya.

Pada akhir Maret 1982, Tempo memang sempat dibekukan karena berani melaporkan situasi pemilu waktu itu yang ricuh. Tetapi dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit.

Istirahat terpanjang Tempo terjadi setelah pembredelan 21 Juni 1994. Sejak itu wartawan Tempo melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempointraktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada 1995

Sejak tahun 1971, Tempo terus berkembangan dengan pesat. Tempo mulai membuat situs internet, yai Jepang. Tempointeraktif memuat berita dengan konsep breaking news dangan up dating data yang berlangsung secara terus menerus. Tempointeraktif dikembangkan beberapa bulan setelah pemerintah Orde Baru membredel majalah Tempo pada tahun 1994.

Tempo juga melayani khalayaknya dalam format surat kabar harian. Pada tahun 2001, kelompok Tempo Inti Media yang menaungi majalah Tempo menerbitkan Koran Tempo. Tidak itu saja, Tempo juga membentuk semacam kantor berita sendiri, Tempo News Room (TNR). TNR menyediakan berbagai sumber informasi yang dapat dimanfaatkan oleh para reporter, baik itu majalah Tempo maupun Tempo News Room


(39)

Setelah terbit kembali, tempo banyak melakukan perbaikan diri dan menyesuaikan dengan dinamika pasar. Tempo mulai membidik target internasional dengan menerbitkan majalah Tempo edisi bahasa Inggris. Secara umum, PT Tempo Inti Media menaungi beberapa media. Tidak hanya majalah Tempo, Koran Tempo, Tempo News Room, maupun Tempointeraktif, namun juga pusat data analisa data.

3.4. Metode Penelitian 3.4.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Kontsruktivis merupakan salah satu cara pandang dalam menganalisis media, yang merupakan lawan dari paradigma positivis. Secara ontologis, paradigma konstruktivis melihat kehadiran realitas sebagai hasil konstruksi mental yang dipahami secara beragam berdasarkan pengalaman serta konteks lokal dan spesifik para individu yang bersangkutan. Secara epistemologis, peneliti dan realitas yang diteliti dalam paradigma konstruktivis menyatu sebagai satu entitas, temuan penelitian merupakan hasil interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Kemudian, secara metodologis, konstruksi mental individu dalam paradigma konstruktivis digali dan dibentuk secara hermeunetik, serta diperbandingkan secara dialektik.

Analisis media dengan menggunakan paradigma konstruktivis dapat dikategorikan ke dalam penelitian interpretative. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peluang dalam membuat interpretasi-interpretasi alternatif sangat besar dan penelitian ini akan bersifat subyektif. Subyektivitas akan mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan makna teks berita dengan melihat koherensi antar teks dan koherensi teks dengan konteksnya.

Kerangka kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode framing versi Robert N Entman. Dalam kerangka kerja yang disusunnya, terdapat empat dimensi yang menjadi pusat penafsiran teks secara kontekstual, yaitu :


(40)

• Define Problems (Pendefinisian Masalah), merupakan bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda.

• Diagnose causes (Memperkirakan Penyebab Masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), namun bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah.

• Make Moral Judgement (Membuat Pilihan Moral), adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/ memberi argementasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.

• Treatment Recommendation (Meneknkan Penyelesaian), elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.

3.4.2. Subjek Penelitian.

Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah majalah Tempo. Majalah Tempo dipilh sebagai subjek penelitian karena majalah Tempo dikenal netral dalam pemberitaan. Tempo juga dinilai masuk dalam jajaran majalah terbesar untuk skala nasional, ini dapat dilihat dari luasnya jangkaun sirkulasi serta oplah penjualannya.


(41)

Secara umum majalah ini terdiri dari : berita, caption dan foto berita, features, editorial, opini, dan iklan. Khusus untuk penelitian ini, yang dianalisis adalah semua berita tentang penangkapan tersangak terorisme kelompok Abu Dujana. Berita-berita yang dianalisis adalah edisi Maret-Juni 2007. Pemilihan subjek penelitian selama kurun waktu tersebut didasarkan pada metode Critical Discourse Moment, yaitu berita-berita mengenai isu tertentu yang puncak pemberitaannya karena adanya peristiwa yang baru, penting, dan menarik perhatian khalayak. Selama kurun waktu tersebut, pemberitaan menyangkut penangkapan tersangaka teroris Abu Dujana sedang dalam puncaknya karena tertangkapnya Abu Dujana yang disinyalir sebagai gembongnya teroris di Indonesia.

3.4.3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang diperlukan dan terkait dengan penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

• Studi Kepustakaaan (library Research), yaitu dengan cara mengumpulkan semua data yang berasal dari literatur serta bahan bacaan yang relevan dengan penelitian ini. Studi kepustakaan dalam penelitian ini menghasilkan berbagai data yang didapatkan dari buku-buku mengenai framing, komunikasi massa dan komunikasi politik, metodologi penelitian, dan terorisme. Selain itu juga beberapa artikel dan jurnal yang diambil dari internet.

• Studi Dokumen (Document Research), yaitu mengumpulkan data berupa berita-berita mengenai penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana pada majalah Tempo. Data dikumpulkan secara langsung dengan jalan pengidentifikasian dan pengkategorian sesuai dengan teknik yang telah ditetapkan dalam mendapatkan subjek penelitian. Studi dokumen menghasilkan data berupa berita-berita mengenai penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana sejak Maret-Juni 2007 yang dimuat di majalah Tempo.


(42)

3.4.4. Unit dan Tingkat Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah berita tentang penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana yang dimuat majalah Tempo. Sedangkan tingkat analisisnya adalah makna yang terkandung di dalam atau yang ada di balik teks berita dengan melakukan penafsiran terhadap teks.

3.4.5. Metode Analisis Data

Metode dalam menganisis data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah analisis framing model Robert N Entman. Ini adalah sebuah metode penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivis sebagai pendekatan dalam analisisnya.

Analisis framing dari Entman ini, digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari sebuah realitas atau isu dari sebuah media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan atau pembingkaian informasi, fakta, realitas dalam konteks yang khas, sehingga isu tertentu mendapat alokasi yang lebih besar dari isu yang lain.

Framing memberikan tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan, dan pada bagian mana yang ditonjolkan atau yang dianggap penting oleh khalayak. Kata penonjolan itu sendiri bisa ditafsirkan dengan membuat informasi terlihat jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh khalayak.

Terdapat dua dimensi besar dalam framning menurut Entman, yaitu seleksi isu (selection) dan penekanan atau penonjolan aspek tertentu (salience)

Seleksi Isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari relitas yang kompleks dan beragam, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian fakta yang dimasukkan (included) dan bagian fakta yang


(43)

tidak dimasukkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartwan atau gatekeepers memilih aspek tertentu dari isu tersebut.

Penonjolan Aspek Tertentu dari Isu

Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari peristiwa/ isu telah dipilih, bagaimana aspek tersebut dipilih? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakain kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.

Dari dua dimensi yang dikemukakan di atas. Selanjutnya, Entman mengkonsepsikan dua dimensi besar tersebut bahwa framing sebagaimana yang tertuang dalam dua dimensi tersebut, merujuk kepada sebuah konsepsi atau perangkat yang selalu ada dalam sebuah berita. Konsepsi dan perangkat tersebut adalah sebagai berikut :

Problem Identification a. Peristiwa dilihat sebagai apa? b. Peristiwa sebagai masalah apa Diagnose Causes a. Siapa penyebab masalah?

b. Peristiwa itu disebabakan oleh apa?

Moral Evaluation a. Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah?

b. Nilai apa yang dipakai untuk

mendelegetimasi/legetimasi suatu tindakan ?

Treatment Recommendation a. Penyelesaian yang ditawarkan untuk mengatasi masalah?

b. Jalan yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasinya?


(44)

Empat perangkat framing di atas, merupakan sebuah pisau analisis framing yang digunakan untuk mengolah dan menganalisa frame sebuah pemberitaan media. Sebuah berita yang diteliti dengan analisis framing tersebut, diteliti dengan mengacu pada kode-kode atau parameter yang ada (defenisi masalah, penyebab masalah, membuat keputusan moral, dan penyelesaian) sebagaimana diuraikan di atas.

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan kerangka kerja analisis framing dengan memakai konsep Robert N. Entman dalam menganalisis setiap subjek penelitian. Pendekatan ini menggunakan empat perangkat unit analisis untuk melihat bagaimana sebuah media membingkai suatu masalah: Pendefinisian masalah (Define Problem), memperkirakan sumber masalah (Diagnoses Causes), membuat keputusan moral (Make moral Judgement), dan menekankan penyelesaian (Treatment Recommendation).


(45)

Sepanjang kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana muncul ke permukaan pada akhir bulan Maret, majalah Tempo memuat beritanya dalam lima edisi. Yaitu, sepanjang bulan April sampai Juli 2007. Edisi pertama yang memuat berita tentang kelompok Abu Dujana adalah edisi yang terbit tepat empat hari setelah penembakan dan penangkapan anggota Abu Dujana di Jogyakarta, yaitu edisi No. 05/XXXVI/26 Maret - 1 April 2007 yang dimuat di rubrik Nasional. Kemudian di edisi 06/XXXVI/2-8 April 2007 yang juga di rubrik Nasional dan. Barulah di edisi No.07/XXXVI/9-15 April 2007 berita Abu Dujana dimuat di Laporan Utama.

Tempo kembali memuat berita tentang Abu Dujana di rubrik Laporan Utama edisi No. 17/XXXVI/18-24 Juni 2007 setelah Abu Dujana ditangkap oleh polisi di kediamannya. Dan edisi No. 18/XXXVI/25 Juni – 1 Juli 2007 adalah edisi terakhir di bulan Juli yang memuat berita tentang Abu Dujana.

Berikut ini akan disajikan subjek penelitian dan analisisnya berdasarkan kerangka kerja yang telah disebutkan di atas :

IV.I. Analisis Berita Majalah Mingguan Tempo

1. Judul Berita : Pertukaran Gagal di Maguwoharjo Edisi : 26 Maret- 1 April 2007

Edisi ini adalah edisi pertama dari Tempo yang mengangkat berita seputar penangkapan tersangka teroris kelompok Abu Dujana. Karena edisi ini adalah edisi yang pertama, maka pemberitaannya juga tidak terlalu banyak, hanya tiga halaman yang dimuat yaitu di rubrik nasional.

Berita dimulai dengan penggambaran bagaimana usaha polisi untuk mengendus keberadaan dan aktivitas para teroris. Digambarkan bahwa apa yang dilakukan polisi mulai


(46)

dari penyamaran dan pengintaian para tersangka, mengindikasikan bahwa para tesangka adalah pelaku kejahatan yang berbahaya. Seperti dituliskan Tempo sebagai berikut:

“Dua lelaki bersepeda motor itu tak lepas dari pandangan polisi, hampir dua puluh aparat dengan enam motor dan tiga mobil bergantian membuntuti mereka…”

Di bagian lain Tempo menuliskan:

“…Sudah lebih dari sebulan ini, rumah itu diawasi. Polisi menengarai Agus berhubungan dengan tersangka sejumlah aksi teror di tanah air. Setiap hari, anggota satuan bom polisi berjaga di sekitar rumahnya: ada yang mondar-mandir, nongkrong di pos ronda, atau ngumpet di kuburan”

Untuk lebih jelasnya bagaimana Tempo membingkai kasus terorisme Abu Dujana ini, berikut akan dibahas bagaimana analisisnya.

Define problems: Pada edisi ini majalah Tempo mengidentifikasi masalah ini sebagai

masalah pelanggaran kepemilikan senjata, tepatnya masalah hukum. Dalam hal ini kepemilikan senjata oleh kelompok Abu Dujana, tepatnya oleh beberapa orang yang dianggap bawahan Abu Dujana.

Dalam pemberitaan penangkapan para tersangka, Tempo memulainya dengan berita seputar pengintaian tersangka, mulai dari rumah sampai aktivitas sehari-hari para tersangka. Singkat cerita para tersangka yaitu Agus Suryanto, Sarwo Edi, dan orang lain yang telah menunggunya seperti Akhyas, Amir Ahmadi, dan Sikas akhirnya ditangkap karena kepemilikan senjata dan diduga pelaku beberapa kasus pemboman di tanah air. Berikut akan dilihat bagaimana Tempo mengidentifikasi kasus ini sebagai kasus pelanggaran hukum:

“…Belakangan mereka diketahui bernama Akhyas alias Sutarjo alias Abi Isa, Amir Ahmadi, dan Sikas alias Karim. Ketiganya membawa dus berukuran sama, yang lalu segera ditukar dengan kotak Agus dan Edi. Mesin dua sepeda motor buruan dibiarkan menyala”

Kemudian dilanjutkan dengan kalimat sebagai berikut:

“Tak ingin kehabisan waktu, para petugas menyergap. “Kami tak ingin kecolongan, siapa tahu dus-dus itu berisi bom,” kata seorang Satuan Tugas yang ikut membuntuti Agus dan Edi dari Muntilan.”


(47)

Dari pemilihan kata pun secara tersirat Tempo memilih kata menyergap yang penggunaannya biasanya ditujukan untuk para pelaku kejahatan dan pelanggaran hukum. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa Tempo mengidentifikasi masalah ini sebagai masalah hukum.

Diagnose Causes: Dari keseluruhan pemberitaan majalah Tempo terhadap kasus ini, dan

setelah melihat kasus ini diidentifikasi sebagai kasus hukum. Maka dapat terlihat siapa aktor di balik peristiwa ini. Agus Suryanto, Sarwo Edi, Akhyas, Amir Ahmadi, dan Sikas adalah orang yang dianggap bersalah karena kepemilikan senjata api dan beberapa peluru. Begitupun dengan dugaan keterlibatan mereka dengan jaringan teroris. Berikut Tempo menguraikannya:

“Selasa sore peka lalu, polisi menguntit keduanya dari rumah Agus di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah-sekitar 25 kilometer sebelah utara Yogyakarta. Sudah lebih dari sebulan ini, rumah itu diawasi. Polisi menengarai Agus berhubungan dengan tersangka sejumlah aksi teror di tanah air…”

Di bagian lain Tempo menulis sebagai berikut:

“Pekan lalu, polisi mengantongi info penting : Agus dan Edi bakal melakukan “transaksi penting”. Selasa sore itu, Agus dijemput Edi alias Suparjo. Mereka berangkat sekitar 16.30 WIB. Satu dus ukuran sedang bekas kemasan tape compo diletakkan di tempat duduk di antara mereka. Polisi bergegas: selain membuntuti keduanya, rumah Edi di Secang, sekitar 20 kilometer sebelah utara Muntilan, juga diintai. Iring-iringan para pengintai dan buronnya melintasi jalan raya penghubung Semarang-Yogyakarta yang padat…”

Dari kutipan tulisan di atas terlihat jelas siapa yang bertindak sebagai pelanggar hukum dan siapa pula sebagai penegak hukum. Sarwo Edi dan kawan-kawan ditulis sebagai buron. Sedangkan polisi dicitrakan sebagai orang yang menjaga stabilitas keamanan dengan memburu para buronan.

Untuk lebih meyakinkan pembaca, di paragraf lain Tempo memperkuat dengan mengutip pernyataan Kombes Tito Karnavian yang meminpin operasi setelah Sikas tertangkap. Dari hasil pemerikasaan di rumah Sikas beberapa bahan peledak, senapan, dan


(48)

peluru. Dalam penulisannya, Tempo mencoba untuk melebih-lebihkannya dengan penggunaan kalimat sebagai berikut:

“”Kekayaan” Sikas membelalakkan mata petugas. Di dalam kotak itu ditimbun detonator aktif, beberapa kantong plastik TNT, dua jerigen potasium cair, serta peluru senapan M-16 dan SS-1…”

Dari penggunaan kata “kekayaan” dan “membelalakkan mata” seperti yang ditulis di atas, Tempo ingin menegaskan bahwa para pelaku adalah orang yang sangat berbahaya dengan semua keahlian dan barang-barang yang dimilikinya.

Moral Evaluation: Penilaian moral yang diberikan Tempo terhadap para pelaku adalah, apa

yang dilakukan oleh Sarwo Edi dan kawan-kawan akan mengganggu stabilitas keamanan negara. Apa yang dilakukan anak buah Abu Dujana ini apabila tidak segera diambil tindakan tegas akan meresahkan masyarakat dengan teror yang mereka lakukan. Selain itu bisa jadi kelompok ini akan semakin besar jika tidak dihentikan dan diputus mata rantainya. Berikut Tempo menuliskannya :

“Sebagian barang itu, masih kata penyidik itu, adalah pesanan Ustad Ryan. Ia adalah orang yang mati tertembak saat penggerebekan di kawasan Tanah Runtuh, Poso, Sulawesi Tengah, 11 Januari lalu. Ryanlah yang disebut-sebut mengatur pengapalan senjata dan bahan peledak dari Solo ke wilayah konflik”

Sebaliknya, polisi dinilai cenderung baik. Karena apa yang dilakukan polisi adalah untuk melemahkan para teroris. Eksekusi terhadap para pelaku adalah tindakan yang benar. Tempo dalam berita ini sangat mengelu-elukan setiap tindakan yang dilakukan polisi.

Treatment Recommendation: Atas semua sepak terjang para tersangka kasus ini. Tempo


(49)

baik dan tepat. Selain itu dengan kelihaian yang dimiliki para tersangka, sebaiknya kasus ini ditangani oleh polisi. Berikut Tempo menuliskannya :

“Untuk memburu Dujana Satuan Tugas Bom mengandalkan polisi muda dari beberapa kesatuan yang berpengalamn melakukan operasi tersembunyi. Ada yang berdandan trendi : celana Bermuda, jaket Adidas dengan tudung kepala, sepatu Nike, dan telepon seluler keluaran terbaru. Ada yang berkopiah putih, mirip santri di pondok-pondok pesantren, ada yang rambutnya gondrong dengan pakaian biasa saja. Polisi bersemangat. Hadiah Rp 500 juta disiapkan kepada siapa pun yang bisa memberikan informasi tentang Dujana. Sayang, pekan lalu sang buron tak bisa dicokok”

Framing Tempo Edisi 26 Maret- 1 April 2007

Problem Identification Masalah pelanggran hukum

Diagnose Causes Agus Suryanto, Sarwo Edi, Akhyas, Amir Ahmadi, dan Sikas adalah aktor di balik kepemilikan senjata. Sedangkan pihak kepolisian adalah instansi yang sedang menjalankan tugasnya dengan semua tindakan yang diambil terhadap tersangka

Moral Evaluation Tindakan teroris sangat membahayakan dan masyarakat harus berhati-hati, sedangkan tindakan polisi harus didukung

Treatment Recommendation Menyerahkan kepada kepolisian untuk terus mengungkap dan membasmi tindakan terorisme.

2. Analisis Framing Majalah Tempo Edisi 2-8 April 2007

Di edisi ini Tempo menurunkan tiga tulisan tentang kasus terorisme kelompok Abu Dujana. Masing-masing dengan judul “Menyusuri Lereng Kiai Makukuhan” sebagai tulisan utama yang dimuat di rubrik Nasional, menyusul kemudian berita dengan judul “Nyanyian


(1)

Moral Evaluation Tindakan teroris sangat membahayakan dan masyarakat harus berhati-hati, sedangkan tindakan polisi harus didukung

Treatment Recommendation Menyerahkan kepada kepolisian untuk terus mengungkap dan membasmi tindakan terorisme.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian yang berisikan deskripsi dan interpretasi dari hasil penelitian serta kesimpulan-kesimpulan dengan berdasarkan pada analisis framing Robert N Entman pada berita penangkapan tersangka teroris kelompok Abu Dujana di majalah Tempo.

Selain kesimpulan, dalam bab ini juga terdapat saran-saran peneliti terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan. Kiranya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan kualitas, berupa teknik penulisan maupun pola pemberitaan pada majalah Tempo yang menjadi objek penelitian peneliti.

V.I. KESIMPULAN

Hasil yang diperoleh dari analisis pemberitaan pada majalah tempo selama waktu penelitian, seputar berita penangkapan tersangka terorisme kelompok Abu Dujana dengan menggunakan empat tahapan analisis framing Robert N. Entman, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Majalah mingguan Tempo sebagai majalah yang selama ini dikenal sebagai majalah umum yang tidak berpihak kepada satu golongan manapun selalu mencoba menghadirkan berita secara objektif dan berimbang. Kedua belah pihak yang


(2)

diberitakan dalam hal ini Abu Dujana dan kelompoknya serta pihak kepolisian sama-sama dimuat opininya. Tetapi mungkin sudah menjadi menjadi satu keniscayaan bahwa tidak ada media yang objektif dalam setiap pemberitannya. Bagaimanapun sebuah media menganggap dirinya objektif, namun bias dan keperpihakan seakan tidak bisa dipisahkan dari pemberitan. Begitu juga dalam memberitakan kasus terorisme kelompok Abu Dujana, Tempo lebih berpihak kepada pihak kepolisian dalam pemberitaannya. Setiap tindakan yang diambil kepolisian walaupun dengan cara kekerasan dianggap suatu hal yang wajar dilakukan. Sebaliknya penilaian yang diberikan kepada kelompok Abu Dujana, walaupun masih sebatas dugaan, Tempo seakan-akan telah dapat memutuskan masalah ini.

2. Dengan gaya penulisan jurnalisme investigasi yang diusung Tempo, Tempo mencoba mengungkap kasus ini secara lebih dalam lagi. Tapi sayang dalam penulisannya ada fakta-fakta di lapangan yang coba dikaburkan oleh Tempo. Sebagai contoh, pernyataan Abu Bakar Baasyir yang menganggap semua fakta yang didapatkan polisi dari para tersangka adalah bohong, karena menurut Baasyir fakta itu didapat dengan cara paksaan. Tersangka dipaksa mengakui apa yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Tapi hal ini tidak di follow up oleh Tempo. Pernyataan ini dimuat hanya untuk memenuhi unsur keberimbangan dalam berita semata.

3. Dalam pemberitaannya Tempo sering tidak menyebutkan nara sumber. Sangat sering Tempo menulis “menurut salah seorang polisi” tanpa disebutkan identitasnya. Padahal pernyataan itu berasal dari salah seorang polisi atau pun penyidik yang menangani kasus dugan terorisme Abu Dujana. Hal ini tentu akan mengurangi tingkat kepercayaan orang terhadap berita tersebut karena banyaknya


(3)

nara sumber yang anonim. Selain itu juga ada beberapa nara sumber yang memang tidak mau disebutkan identitasnya

4. Masih seputar nara sumber, pernyataan nara sumber yang bertolak belakang dengan pemberitaan Tempo, cenderung sedikit dimuat dibandingkan pernyataan yang mendukung argumentasi Tempo. Kalaupun ada pernyataan yang kontra tidak akan diperpanjang.

5. Tempo dalam memberitakan kasus terorisme kelompk Abu Dujana masih menggunakan kata-kata yang mengandung prasangka,, juga kata-kata sarkasme, seperti menyebut Abu Dujana dengan teroris kelas kakap, selain itu para petinggi Jamaah Islamiyah seperti Zarkasih disebut dengan gembong teroris. Pelabelan-pelabelan ini tentu saja akan memberikana efek negatif terhadap citra tersangka, selain itu akan merugikan pihak tersangka karena bersalah atau tidaknya mereka belum diputuskan di pengadilan.

V.2. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa butir pemikiran yang penulis sampaikan sebagai saran kepada majalah Tempo. Kiranya apa yang penulis sampaikan ini dapat dijadikan referensi untuk mencapai pemberitaan yang lebih baik. Selain itu diharapkan Tempo dalam setiap pemberitaannya selain berimbang juga lebih kritis dalam menghadirkan aktor-aktor yang terlibat, dengan demikian tidak ada suatu kelompok yang dirugikan dalam suatu pemberitaan.

1. Media massa, dalam hal ini majalah Tempo, memiliki fungsi informatif dan edukatif. Bagi pembaca, apa yang disampaikan oleh media massa mengenai konsep terorisme akan menambah pemahaman tentang siapa dan bagaimana sebenarnya terorisme itu. Oleh karena itu diharapkan penyampaiannya tanpa ada misi tertentu agar pembaca


(4)

mendapatkan informasi yang benar tentang terorisme. Karena melalui media massa seseorang bisa mengetahui kejadian di tempat lain.

2. Dalam menuliskan pernyataan dari nara sumber, hendaklah identitas si nara sumber disebutkan agar kekuatan berita bisa dipertanggungjawabkan. Cobalah untuk meminimalkan masuknya pernyataan nara sumber yang anonim, kecuali si nara sumber yang memang tidak mau identitasnya disebutkan, tentunya harus dihormati. 3. Media massa seharusnya menempatkan dirinya secara hati-hati dalam menyikapi isu

terorisme. Jangan sampai secara tidak sadar media massa menjadi kendaraan bagi para teroris untuk mengkampanyekan pemikirannya. Dan sebaliknya media jangan sampai dimanfaatkan orang-orang yang punya kepentingan tertentu. Dengan membawa isu war against terrorism, orang-orang yang punya kepentingan dengan leluasa masuk ke suatu negara.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hafid. 2002. Beyond Terrorism. Dampak dan Strategi pada Masa Depan. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Bambang, Elvinaro, 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung, Simbiosa Rakatama Media.

Birowo, Antonius, 2004. Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta, Gitanyali.

Eriyanto, 2002. Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta. LKiS.

Eriyanto, 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta. LKiS.

Gunawan, Budi, 2006. Terorisme, Mitos dan Konspirasi, Jakarta, Forum Media Utama.

Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Jakarta, Granit.

Louw, P. Eric, 2005. The Media and Political Proses, Sage Publications Atheneum Press, Gateshead-Great Britain.

Nawawi, Hadari, 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Norris, Pippa, Montague Kern and Marion Just, 2003. Framing Terrorism : The News Media,

The Gonernment, and The Public. Routledge, New York and London.

Poland, James, 2005. Understanding Terrorism: Groups, Strategies, and Responses (2nd


(6)

Sobur, Alex, 2004. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosda Karya.

Subandy, Idi, Syamsul, 2007. Amerika, Terorisme dan Islamophobia, Bandung, Nuansa

Sudibyo, Agus, 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta. LKiS

Majalah

Majalah Tempo edisi 26 Maret- 1 April 2007 Majalah Tempo edisi 2-8 April 2007

Majalah Tempo edisi 9-15 April 2007 Majalah Tempo edisi 18-24 Juni 2007 Majalah Tempo edisi 25 Juni- 1 Juli 2007


Dokumen yang terkait

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN PENANGKAPAN WAKIL KETUA KPK BAMBANG WIDJOJANTO (Studi di Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 02-22 Februari 2015)

0 5 13

ANALISIS YURIDIS PENANGKAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA TERORISME OLEH DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR

0 3 14

ANALISIS YURIDIS PENANGKAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA TERORISME OLEH DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR

0 3 14

Analisis Framing Pemberitaan Program Deradikalisasi Terorisme Di Kompas.Com

0 9 112

PENGGUNAAN TINDAKAN KERAS SEBAGAI UPAYA DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGKAPAN TERSANGKA Penggunaan Tindakan Keras Sebagai Upaya Diskresi Kepolisian Dalam Penangkapan Tersangka Tindak Pindana Terorisme.

1 3 17

PENGGUNAAN TINDAKAN KERAS SEBAGAI UPAYA DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGKAPAN TERSANGKA Penggunaan Tindakan Keras Sebagai Upaya Diskresi Kepolisian Dalam Penangkapan Tersangka Tindak Pindana Terorisme.

1 3 12

PENDAHULUAN Penggunaan Tindakan Keras Sebagai Upaya Diskresi Kepolisian Dalam Penangkapan Tersangka Tindak Pindana Terorisme.

0 2 11

TERORISME DALAM BINGKAI MEDIA (Analisis Framing Pemberitaan Terorisme di Surakarta Pada Headline Terorisme Dalam Bingkai Media (Analisis Framing Pemberitaan Terorisme Di Surakarta Pada Headline Koran Solopos Edisi Agustus - September 2012).

0 1 15

TERORISME DALAM BINGKAI MEDIA (Analisis Framing Pemberitaan Terorisme Di Surakarta Pada Headline Terorisme Dalam Bingkai Media (Analisis Framing Pemberitaan Terorisme Di Surakarta Pada Headline Koran Solopos Edisi Agustus - September 2012).

0 3 14

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN BUDI GUNAWAN DALAM MAJALAH BERITA MINGGUAN TEMPO

0 1 17