• Terorisme, melalui aksi-aksinya juga didesain untuk menyampaikan pesan kepada
pemerintah asing dan warganya. Apakah itu sekutu pemerintah hegemoni atau lawan mereka. Bagi sekutu, target diseleksi untuk memberikan peringatan agar
tidak terlalu mendukung pemerintah hegemoni, sedangkan bagi lawan pemerintah hegemoni target diseleksi untuk menjamin kelancaran dana dan
persenjataan. •
Target-target lain yang potensial, seperti turis, investor, dan organisasi- organisasi kemanusiaan. Tujuannya adalah untuk mengusir mereka, dengan demikain negera
akan mengalami resesi ekonomi dan peningkatan angka pengangguran, yang akan menghasilkan perlawanan kepada pemerintah hegemoni.
2.3.1. Contagion Effect atau Copycat Syndrome
Media massa sebagai bagian dari sistem sosial tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Hampir sebagian besar waktu kita tersita untuk media. Telah terjadi
transformasi waktu yang tidak seimbang dalam aspek kehidupan kita. Setiap harinya kita membaca surat kabar, majalah, dan menonton televisi. Dengan kehidupan seperti
itu, maka sebagian besar nilai-nilai dan perilaku kita dipengaruhi oleh media. Pahlawan- pahlawan kita adalah bintang film yang muncul di layar kaca. Nilai-nilai yang kita bagi
dalam kehidupan bermasyarakat seperti susila, seks, ketuhanan, kesopanan, adalah nilai-nilai yang kita dapatkan dari media.
Dari semua aspek tersebut, kekerasan, ternyata juga dapat timbul dari nilai yang diberikan oleh media Poland, 2005 : 56. Suguhan kekerasan yang sehari-hari kita
terima dianggap sebagai bagian dari ‘entertainment’ oleh pemilik dan pekerja media. Apakah media turut serta dalam menyebarkan ide-ide kekerasan dan juga terorisme?
Poland mengutip pernyataan dari Brian Jenkins Rand Institute, bahwa media
Universitas Sumatera Utara
khususnya televisi telah merancang pertumbuhan terorisme dan kekerasan dari kelompok teroris, pemberontak, atau jaringan bawah tanah. Jenkins berpendapat, bahwa
terorisme adalah panggung teater yang ingin dilihat dan didengarkan oleh penonton. Poland, 2005 : 56
Copycat atau Contagion Effect, adalah efek atau sindrom yang dipicu oleh media. Dasar dari teori ini adalah, pada suatu waktu ketika individu atau kelompok melakukan hal
baru dan berhasil mencapai tujuannya melalui aksi tersebut, maka kemungkinan besar ia akan ditiru oleh individu atau kelompok lain. Beberapa kasus yang dapat dijadikan
dasar teori ini adalah : •
Wawancara yang dilakukan oleh David Hubbart dalam bukunya The Skyjacker, His Flight of Fancy, terhadap ratusan pembajak pesawat menunjukkan bahwa mereka
selalu membawa kliping surat kabar atau rekaman video yang berisikan detail pembajakan. Ini dilakukan untuk memahami bagaimana melakukan pembajakan agar
berhassil. Poland, 2005 : 58 •
Pembajakan pesawat yang dilakukan oleh Popular Front of the Liberation of Palestine PFLP pada bulan September 1970, yang diliput media sebagai sebuah pertunjukan
spektakuler selama enam hari di gurun pasir Jordan. Media meliput secara langsung kronologis insiden pembajakan pesawat dengan 276 penumpang. Sejak dimulainya
insiden ini di atas gurun Jordan, pemindahan penumpang ke pesawat lain di Kairo, negosiasi pertukaran sandera dan pemenuhan tuntutan, sampai pada penumpasan
para pembajak oleh militer Jordania, disuguhkan sebagai sebuah tontonan kepada khalayak. Konferensi pers yang dilakukan secara berkala dengan juru bicara
pembajak, Bassani Abu Sharif, menunjukkan apa yang ingin dicapai oleh aksi ini adalah disiarkannya tuntutan-tuntutan Palestina ke seluruh dunia, pembebasan
tahanan Palestina di penjara-penjara Israel, Inggris, dan Jerman dengan perantara
Universitas Sumatera Utara
media massa. Poland, 2005 : 57. Dan ini berhasil, walaupun akhirnya para pembajak ini ditangkap. Tetapi tuntutan Palestina dapat diketahui oleh dunia internasonal. Aksi
yang dijalankan oleh PFLP ini ternyata adalah sebuah trend pembajakan baru, dan media adalah alat penyebarannya. Ini dibuktikan dengan menggunakan metode
pembajakan yang sama oleh kelompok pejuang Palestina yang lain di seluruh dunia. Media, dalam hal ini tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah
tindakan yang berbahaya dan terburu-buru. Bahkan David, Philips, reporter yang berhasil meliput keseluruhan insiden ini, dianugerahi penghargaan pada Cannes
Television Festival. Ia tidak sadar apa yang dilakukannya dengan membuat berita secara detail dan kronologis, termasuk usaha-usaha penyebaran ide terorisme, yang
dalam hal ini berisi tuntutan para teroris. •
Trend pembajakan dengan menggunakan parasut pertama kali dikenal ketika media meliput secara besar-besaran pembajakan yang dilakukan oleh DB. Cooper
pada 24 November 1971. Media melalui suguhannya, menjelaskan bagaimana penggunaan parasut dalam aksi pembajakan. Yang akirnya memicu aksi pembajakan
dengan metode serupa. 20 dari 27 kasus pembajakan dengan rentang waktu tujuh pembajakan selama delapan hari, yang terjadi Amerika Serikat dan Kanada
menggunakan metode yang sama denga kasus Cooper. Poland, 2005 : 58. Selain itu aksi Cooper ini diliput media massa dengan menjadikannya sebagai aktor pop,
menulis kisahnya dengan format cerita pendek, serta menulis lagu dan puisi. Ini semua adalah pemicu bagi aksi-aksi pembajakan berikutnya.
• Penggunaan gasoline dan dinamit sebagai bagian aksi pembajakan dipelopori oleh
teroris dari Kuba pada tahun 1982 di Florida. Dengan meracik berbagai bahan peledak agar tidak dapat terditeksi oleh metal-detector, para pembajak ini melakukan aksinya.
Universitas Sumatera Utara
Liputan media terhadap aksi pembajakan ini menghasilkan insiden lain yang dilakukan oleh para pemberontak di Iran pada 1984.
• Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat diteror melalui aksi pemalsuan bahan makanan
dengan bahan berbahaya-Cyanid dan Tylenol. Aksi teroris ini digembar-gemborkan oleh media sebagai metode baru terorisme. Bahan-bahan makanan, minuman, serta
obat-obatan diberitakan tercemar zat berbahaya tersebut, dan hasilnya ketakutan menyebar ke seluruh pelosok negeri. Penggunaan bahan kimia berbahaya tidak jauh
berbahaya dengan bio terorisme, misalnya, dengan penyebaran bibit virus antrax dan e-coli. Pada tahun 1986, akhirnya aksi serupa kembali terjadi di Amerika Serikat,
dengan menggunakan Teldrin, Contac, dan Diatec. Poland, 2005 : 59 •
Film juga memicu terjadinya aksi-aksi kekerasan, contohnya adalah insiden penembakan yang dilakukan oleh remaja-remaja Amerika Serikat pada tahun 1979.
Setelah menonton film-yang mendapatkan piala oscar-The Deer Hunter- terjadi insiden penembakan yang mencederai lima orang dan menewaskan delapan orang.
Poland 2005, menyebutkan penelitian ilmu sosial menunjukkan bahwa media, khususnya televisi dapat memicu kemarahan, persaingan, dan rasa tidak peduli
terhadap sesama, ketika menyuguhkan tontonan yang bertema kekerasan dan terorisme.
Selain keberhasilan yang diliput media terhadap aksi-aksi teroris, pembenaran yang sering dilakukan terhadap aksi trorisme adalah pemicu lain yang menyebabkan efek
peniruan contagion atau copycat syndrome Poland, 2005 : 60 : •
Jarangnya pelaku teror dihukum akan memicu munculnya teroris-teroris potensial lainnya
Universitas Sumatera Utara
• Tindakan-tindakan abnormal yang dilakukan teroris, dalam hal ini penggunaan
kekerasan guna mendapatkan perhatian media adalah sesuatu yang dapat dibenarkan.
• Target dalam aksi terorisme seringkali adalah mereka yang dipilih secara acak dan
tidak sadar, dengan kata lain, aksin terorisme timbul karena adanya rasa frustasi, marah, terasing, dan lemah dalam kehidupan politik.
• Liputan yang luar biasa dan cenderung didramatisir terhadap insiden teroris serta
penyajian yang tidak proporsional. •
Terorisme selalu digambarkan oleh media sebuah paham yang memiliki kekuatan dan pengikut dan besar.
• Media seringkali menggunakan konsep yang membingungkan dalam mengartikan
teroris, pejuang kebebasan, jihad, gerilyawan, revolusioner, militan, fundamentalis. Jika konsep teroris telah disamakan denga konsep jihad dan
revolusioner misalnya, maka akan terjadi pembenaran dalam masyarakat terhadap terorisme.
2.3.2. Propaganda Value dan The Deed