Cencorship dan Terorisme Media dan Terorisme

bagaimana mendapatkan berita yang sensasional, terbit di halaman depan, dan berhasil mendapatkan penghargaan di bidang jurnalistik. • Penyanderaan oleh Hanafi Muslim pada tahun 1977 di tiga tempat di Washington DC menjadi masalah besar ketika media memberitakan bahwa polisi menyelundupka n beberapa senjata ke dalam kotak makanan yang akan dibagikan kepada para sandera. Butuh waktu lama bagi polisi untuk menyakinkan kelompok ini bahwa berita tersebut adalah bohong. • Pertukaran sandera dengan anggota teroris di Dubai menjadi sebuah insiden berdarah ketika media melaporkan spekulasi mengenai tipuan yang dilakukan oleh aparat keamanan. British Airways yang dibajak tahun 1974 di Dubai untuk pertukaran sandera, menarik perhatian media. Dengan tergesa-gesa media melaporkan bahwa tidak satupun anggota teroris yang akan dibebaskan oleh pemerintah. Akhirnya seorang sandera tewas dibunuh hanya karena laporan tersebut. • Insiden yang sama terjadi di Luthansa pada tahun 1977, ketika media menyiarkan wawancara rahasia seorang reporter dengan kapten pesawat melalui sebuah radio transmisi. Akhirnya kapten pesawat itu mati karena pemberitaan tersebut.

2.3.4. Cencorship dan Terorisme

Cencorship berkaitan dengan sistem pers yang dianut oleh sebuah negara. Usaha- usaha sensor yang dilakukan oleh pemerintah berhubungan dengan sistem kemasyarakatan negara tersebut. Berikut adalah beberapa sistem pers yang berkembang di dunia yang disusun oleh Siebert dkk Kusumaningrat, 2005 : 19 : • Sistem Authoritarian Sistem pers authoritarian muncul berdasarkan falsafah negara yang membela kekuasaan absolut. Penetapan hal yang besar dipercayakan kepada segelintir orang Universitas Sumatera Utara yang bijaksana yang mampu memimpin. Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan harus mengabdi kepada negara. Prinsip pers ini adalah bahwa negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Bagi seorang individu, hanya dengan menempatkan dirinya di bawah kekuasaan negara, maka individu yang bersangkutan bisa mencapai cita-citanya dan memiliki atribusi sebagai orang yang beradab. • Sistem Liberal Dalam sistem liberal manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan yang tidak. Pers harus menjadi mitra dalam upaya mencari kebenaran dan bukan alat pemerintah dalam menjalankan kekuasannya. Jadi tuntutan bahwa pers dapat mengawasi jalannya pemerintahan, berkembang dalam sistem ini. Oleh karena itu, pers harus bebas dari kendali dan pengaruh pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sementara yag salah dan tidak jelas kebenarannya akan lenyap. Sehingga dalam negara yang menganut system pers ini, pers adalah pilar keempat dalam negara setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Self righting process proses menemukan kebenaran dan free market of ideas kebebasan menjual gagasan menjadi sentral dalam sistem pers ini. Sistem ini dikontrol oleh self righting process of truth lalu adanya free market ideas dan oleh pengadilan. Implikasinya bahwa semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan semua orang memiliki akses yang sama pula ke sana. Universitas Sumatera Utara Sistem liberal memang paling banyak memberikan landasan kebenaran yang tidak terbatas kepada pers. Oleh karena itu pers juga paling banyak memberikan informasi, hiburan, dan paling banyak terjual tirasnya. Tetapi sistem pers ini juga paling sedikit memberikan kebajikan menurut ukuran umum dan paling sedikit pula memberikan kontrol terhadap pemerintah. Karena sedikit pula batasan dan aturan yang membatasi, maka pers hanya cenderung mengejar keuntungan semata secara materil tanpa memerdulikan efek yang ditimbulkan bagi kehidupan sosial dan negara. • Sistem Pers Bertanggungjawab Sistem Pers Bertanggungjawab muncul berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip dalam sistem liberal terlalu menyederhanakan persoalan. Dalam sistem liberal, para pemilik dan operator pers lah yang terutama menentukan fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada publik dan dalam versi apa. Sistem liberal berjalan tanpa memahami masalah-masalah seperti kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers. Untuk itu enam fungsi pers pun ditetapkan berdasarkan sistem ini : 1 melayani sistem politik yang memungkinkan informasi, diskusi, dan konsiderasi mengenai masalah-masalah publik, dan ini dapat diakses oleh masyarakat, 2 memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak bagi kepentingan sendiri, 3 melindu ngi hak-hak individu dengan bertindak sebagai watchdog anjing penjaga terhadap pemerintah, 4 melayani sistem ekonomi, misalnya dengan mempertemukan pembeli dan penjual melalui iklan, 5 memberikan hiburan, 6 memelihara otonomi di bidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan kepada kepentingan-kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu. Universitas Sumatera Utara Sistem pers bertanggungjawab memungkinkan dimilikinya tanggung jawab oleh pers. Dalam sistem ini pers juga memberikan informasi dan menghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan. Yaitu, prinsip-prinsip etika di belakang cita-cita bahwa pers berdasarkan tanggungjawab sosial ini bukan saja mewakili golongan mayoritas, tetapi juga menjamin hak-hak golongan minoritas atau oposisi untuk turut bersuara melalui media. System pers bertanggungjawab ini umumnya dianut oleh negara yang pemerintahannya menganut sistem demokrasi. • Sistem Pers Soviet Sistem Pers Soviet ini menopang kehidupan pers di Rusia, RRC, dan beberapa negara yang menganut sistem komunis dalam menjalankan pemerintahannya. Ciri sistem ini adalah : 1 motif profit tidak ada dalam media, 2 menomorduakan topikalitas atau menghindari pemberitaan yang sedang ramai dibicarakan di ruang publik, 3 orientasinya adalah perkembangan dan perubahan masyarakat untuk mencapai taraf kehidupan komunis. • Sistem Pers Pembangunan Sistem ini banyak dianut oleh negara-negara berkembang di dunia ke-3 yang ditetapkan berdasarkan dalil berikut : 1 pers harus menerima dan melaksanakan tugas-tugas pembangunan yang positif sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan secara nasional, 2 kebebasan pers harus terbuka bagi pembatasan sesuai dengan prioritas-prioritas ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan pembangunan bagi masyarakat, 3 pers harus memberikan prioritas dalam isinya bagi budaya dan bahasa nasional, 4 pers harus memberikan prioritas dalam berita dan informasi untuk menghubungkannya dengan negara berkembang lain yang berdekatan secara geografis, budaya, dan politik, 5 wartawan dan pekerja pers lainnya mempunyai tanggungjawab dan kebebasan dalam tugas menghimpun dan menyebarkan berita Universitas Sumatera Utara mereka, 6 demi tujuan kepentingan pembangunan, negara mempunyai hak untuk ikut campur dalam, atau membatasi, operasi-operasi media pers, penyelenggaraan sensor, dan kontrol langsung dapat dibenarkan. • Sistem Pers Partisan Demokratik Sistem pers ini lahir dalam masyarakat liberal yang sudah maju. Ia lahir sebagai reaksi atas komersialisasi monopolisasi media yang dimiliki swasta dan sebagai reaksi atas sentralisasi dan birokratisasi institusi-institusi siaran publik, yang timbul dari tuntutan norma tanggungjawab sosial. Inti dari sistem ini terletak pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan, dan aspirasi pihak penerima pesan kemanusiaan dalam masyarakat politis. Dalam sistem ini terdapat keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, kesederajatan dalam masyarakat dan interaksi. Keenam sistem pers di atas menjadi sistem yang dianut oleh berbagai media di dunia. Melalui sistem tersebut muncul berbagai regulasi-regulasi yang menjadi landasan dalam aktivitas media. Dalam masalah peliputan dan penyiaran mengenai terorisme terdapat pro kontra dalam menyikapi usaha-usaha sensor yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Kehler et.al Poland, 2005 : 78, pemberitaan media mengenai terorisme dapat meningkatkan aksi-aksi kekerasan dalam masyarakat dan terorisme akan semakin meluas, sementara yang terjadi di Rhodesia, sensor ternyata ampuh untuk mencegah meluasnya aksi kekerasan. Sensor boleh saja dilakukan, tetapi teroris akan mencari jalan lain untuk melancarkan kejahatan-kejahatan politik. Schmid dan de Graft memaparkan beberapa argumen dari kelompok pro dan kelompok kontra sensor mengenai terorisme. Poland, 2005 : 76 Universitas Sumatera Utara Argumen untuk sensorship • Kelompok terorisme menggunakan media sebagai alat penyebaran ide-ide dan propagandanya, selain itu juga untuk merekrut anggota baru. • Liputan yang detail terhadap terorisme akan menjadi model potensial bagi terorisme lain, dan ini dapat mengakibatkan : 1 contagion effect atau copycat syndrome, 3 terorisme mengetahui keadaan di luar insiden dan menyusun strategi dan propaganda berikutnya, 4 dapat mengancam jiwa sandera. • Sensorship akan membuat teroris lemah ketika berhadapan dengan publik, karena publik hanya mengetahui mereka dari aksi kekerasan yang mereka lakukan. • Liputan yang detail mengenai kekerasan dan terorisme akan menurunkan moral publik karena sifat beritanya yang negatif. Argumen melawan sensorship • Jia media diam dalam melihat kekerasan dan kekejaman di depan matanya, maka akan terjadi perubahan yang negatif terhadap nilai-nilai dalam masyarakat dalam menanggapi kekerasan • Jika media tidak menyiarkan tuntutan teroris, dikhawatirkan mereka akan bertindak lebih jauh lagi, yaitu melakukan aksi-aksi kekerasan yang nyata. • Jika media tidak melaporkan insiden teroris yang sebenarnya maka akan muncul rumor yang lebih buruk dari apa yang disampaikan oleh media. • Selama operasi pengamanan berlangsung, kehadiran media akan dapat mencegah aparat bertindak indefensible pertahanan terakhir, yang dapat mengancam nyawa sandera dan nyawa teroris sendiri Universitas Sumatera Utara • Media dapat mencegah pemerintah memberikan label kepada kelompok tertentu yang dituduh sebagai teroris melalui liputan berita yang disiarkannya. • Jika sensor diberlakukan maka : 1 publik akan berspekulasi bahwa bukan hanya isu terorisme yang disensor, tetapi juga isu-isu lain, sehingga kredibelitas media sebagai kontributor informasi menurun, 2 kewaspadaan publik terhadap bahaya kekerasan dan terorisme akan berkurang, 3 mengurangi pemahaman politik publik, 4 hilangnya kepercayaan publik kepada pemerintah karena hak-haknya mengakses informasi dihambat, 5 kebebesan pers diragukan dalam sistem demokrasi. 2.3.5. Perspektif Media dan Terorisme Media sebagai gatekeeper dan agenda setter, menentukan liputan terorisme seperti apa yang akan mereka sajikan kepada publik. Pertarungan makna dan keberagaman media akan menentukan gambaran terorisme. Di sini juga akan kelihatan media mana yang mendukung pemerintah hegemoni dan mana yang tidak. Schlesinger et al menjelaskan tiga perspektif media dalam memahami terorisme. Louw, 2005 : 249 : • Perspektif “the official line” memandang terorisme sebagai suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Jurnalis yang berada pada perspektif ini memandang terorisme sebagai sebuah kejahatan dan mendukung penggunaan militer dan polisi untuk menindak mereka, dan jurnalis yang bersimpati pada terorisme dikategorikan sebagai korban terorisme itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini akan berusaha untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya jurnalis yang berada pada mainstream ini. Pasca peristiwa 911, media barat didominasi oleh mainstream ini. Universitas Sumatera Utara • Perspektif kedua, menyetujui pandangan “the official line” tetapi dalam perspektif ini, terorisme adalah kejahatan yang timbul sebagai akibat dari penyakit sosial. Sehingga “ia” harus disembuhkan. Jurnalis yang berada pada perspektif ini sangat potensial untuk digunakan ketika terorisme ingin berkomunikasi dengan pihak penengah. Dengan jalan negosiasi, pihak-pihak yang bertikai dipertemukan di meja perundingan dengan opinion lader misalnya jurnalis di pihak ini. • Perspektif ketiga, “oppsitional perspective” melihat terorisme sebagai susuatu yang dapat dibenarkan. Jurnalis yang memilih posisi ini, memandang para teroris sebagai pejuang kebebasan dari tirani pemerintah hegemoni. Para teroris akan berusaha mengidentifikasi siapa-siapa yang menyetujui perspektif ini dan akan membantu mereka dimanapun dan kapanpun. Di lain pihak, pemerintah hegemoni akan mengidentifikasi mereka untuk kemudian berusaha menghalang-halangi jalannya, atau usaha yang lebih ekstrim adalah dengan memberlakukan cencorship bagi media-media yang menyetujui perspektif ini. Universitas Sumatera Utara BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Dokumen yang terkait

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN PENANGKAPAN WAKIL KETUA KPK BAMBANG WIDJOJANTO (Studi di Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 02-22 Februari 2015)

0 5 13

ANALISIS YURIDIS PENANGKAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA TERORISME OLEH DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR

0 3 14

ANALISIS YURIDIS PENANGKAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA TERORISME OLEH DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR

0 3 14

Analisis Framing Pemberitaan Program Deradikalisasi Terorisme Di Kompas.Com

0 9 112

PENGGUNAAN TINDAKAN KERAS SEBAGAI UPAYA DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGKAPAN TERSANGKA Penggunaan Tindakan Keras Sebagai Upaya Diskresi Kepolisian Dalam Penangkapan Tersangka Tindak Pindana Terorisme.

1 3 17

PENGGUNAAN TINDAKAN KERAS SEBAGAI UPAYA DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGKAPAN TERSANGKA Penggunaan Tindakan Keras Sebagai Upaya Diskresi Kepolisian Dalam Penangkapan Tersangka Tindak Pindana Terorisme.

1 3 12

PENDAHULUAN Penggunaan Tindakan Keras Sebagai Upaya Diskresi Kepolisian Dalam Penangkapan Tersangka Tindak Pindana Terorisme.

0 2 11

TERORISME DALAM BINGKAI MEDIA (Analisis Framing Pemberitaan Terorisme di Surakarta Pada Headline Terorisme Dalam Bingkai Media (Analisis Framing Pemberitaan Terorisme Di Surakarta Pada Headline Koran Solopos Edisi Agustus - September 2012).

0 1 15

TERORISME DALAM BINGKAI MEDIA (Analisis Framing Pemberitaan Terorisme Di Surakarta Pada Headline Terorisme Dalam Bingkai Media (Analisis Framing Pemberitaan Terorisme Di Surakarta Pada Headline Koran Solopos Edisi Agustus - September 2012).

0 3 14

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN BUDI GUNAWAN DALAM MAJALAH BERITA MINGGUAN TEMPO

0 1 17