Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing

Belajar merupakan aktivitas manusia yang penting dan tidak dapat dipisahkan, dari kehidupan manusia, bahkan sejak mereka lahir sampai akhir hayat. Pernya- taan tersebut menjadi ungkapan bahwa manusia tidak dapat lepas dari proses be- lajar itu sendiri sampai kapanpun dan dimanapun manusia itu berada dan belajar juga menjadi kebutuhan yang terus meningkat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Jean Piaget dalam Bell 1994, belajar adalah: Interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan. Artinya, memahami pengetahuan orang dituntut untuk mengenali dan menjelaskan berbagai cara bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Bruner Dahar,1989 teori belajar penemuan sesuai dengan pencarian pe- ngetahuan secara aktif oleh manusia, dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik, berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahu- an yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Menurut Piaget Dahar 1989, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia ber- interaksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengem- bangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental atau pola tingkah laku. Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi. a. Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fi- sik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan menu- ju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur. b. Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. c. Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu orga- nisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan, sedangkan adaptasi, terhadap lingku- ngan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Lebih lanjut, Piaget Dahar, 1989 mengemukakan bahwa asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengala- man baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasi- kan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahanpergantian ske- mata melainkan perkembangan skemata. Dengan kata lain, asimilasi merupakan salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan an- tara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan disequilibrium. Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang disequilibrium-equilibrium. Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang ha- yatnya. Kognitif merupakan pusat penggerak berbagai kegiatan kita, seperti me- ngenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya. Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadi- nya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu. Berda- sarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkat- kan perolehan siswa sebagai hasil belajar. Teori-teori baru dalam psikologi pendi- dikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivis constructivist theo- ries of learning. Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemu- kan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi ba- ru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Menurut Slavin Nur, 2002 bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, me- nemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide- ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner. Menurut Nur Trianto, 2010 satu prinsip yang penting dalam psikologi pendidik- an menurut teori ini adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan penge- tahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam be- naknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sen- diri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang harus meman- jat anak tangga tersebut. Menurut Von Glaserfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu 2001, agar siswa mampu mengkontruksi pengetahuan maka diperlukan: 1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pe- ngalaman, hal ini sangat penting karena pengetahuan dibentuk berda- sarkan interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman ter- sebut. 2. Kemampuan siswa untuk membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan memban- dingkan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman yang khusus serta melihat kesa- maan dan perbedaannya untuk selanjutnya membuat klasifikasi dan mengkontruksi pengetahuan. 3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari- pada yang lain, hal ini akan menimbulkan penilaian siswa terhadap pe- ngalaman dan menjadi landasan bagi pembentukan pengetahuannya. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir filosofi pembelajaran konteks- tual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya diper- luas melalui konteks yang terbatas sempit. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta , konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Nurhadi, Burhan Yasin, dan Senduk 2004. Menurut Trianto 2007: Setiap orang membangun pengetahuannya sendiri, sehingga transfer penge- tahuan akan sangat mustahil terjadi. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer dari orang yang mempunyai pengetahuan kepada orang yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan, bila seorang guru ber- maksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada siswa, peminda- han itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa itu lewat pe- ngalamannya. Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut Suparno 1997, antara lain: 1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif; 2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa; 3. Mengajar adalah membantu siswa belajar; 4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir; 5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa; 6. Guru adalah fasilitator Menurut Suparno 1997 ciri atau prinsip dalam belajar sebagai berikut : 1. Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. 2. Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus. 3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan tetapi perkembangan itu sendiri. 4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya. Pembelajaran penemuan terbimbing merupakan suatu cara penyampaian materi dimana pada proses belajar memungkinkan siswa menemukan sendiri prinsip- prinsip dan konsep materi tersebut. Dalam model ini, siswa didorong untuk berpi- kir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan. Siswa diharapkan terlibat aktif di dalam proses belajarnya dan guru harus memberikan bimbingan untuk mengembangkan pengetahuan siswa. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan, guru membantu siswa supaya mempergunakan ide, konsep dan pengetahuan yang sudah siswa pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. Model ini dapat dilaku- kan secara perorangan maupun kelompok. Model pembelajaran penemuan ter- bimbing selaras dengan pendekatan konstruktivisme yaitu pengetahuan siswa di- bangun sendiri melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Menurut teori penemuan terbimbing, belajar adalah kegiatan yang aktif di mana subyek belajar membangun sendiri pengetahuannya. Subyek belajar juga mencari sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari, Sardiman 2003. Sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, maka proses mengajar, bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke subyek belajarsiswa, tetapi suatu kegiatan yang me- mungkinkan subyek belajar merekonstruksi sendiri pengetahuannya. Mengajar adalah bentuk partisipasi dengan subyek belajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan dan menentukan justifikasi. Prinsip penting, berpikir lebih bermakna daripada mempunyai jawaban yang benar atas sesuatu. Karena itu guru dalam hal ini berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk membantu optimalisasi belajar siswa. Secara garis besar, prinsip-prinsip penemuan terbimbing adalah: 1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial. 2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali melalui ke- aktifan siswa sendiri untuk menalar. Djamarah dan Zain 1996 berpendapat bahwa dalam sistem belajar ini guru me- nyajikan bahan pelajaran tidak dalam bentuk final, tetapi siswa diberi peluang un- tuk mencari dan menemukan sendiri . Guru membimbing siswa dalam proses mencari dan menemukan, selain itu guru juga mengawasi proses tersebut. Apa- bila siswa mengalami kesulitan, guru membantu siswa dengan memberi pertanya- an yang mengarahkan siswa untuk menemukan prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang dicari. Jadi partisipasi secara aktif sangat diperlukan agar metode penemuan terbimbing ini berhasil. Model pembelajaran penemuan terbimbing selaras dengan pendekatan konstruk- tivisme yaitu pengetahuan siswa dibangun sendiri melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran penemuan terbimbing terdiri atas tiga kegia- tan pembelajaran menurut Roestiyah 2008: 1. Kegiatan awal Menyampaikan indikator pembelajaran kepada siswa. Siswa perlu mengetahui tujuan mengapa mereka harus berperan serta pada pembelajaran tertentu. Siswa juga harus tahu apa yang dapat mereka lakukan setelah pembelajaran itu. Mem- buat siswa sadar dengan apa yang akan mereka pelajari membantu mereka mem- buat hubungan antara satu materi tertentu dan relevansinya terhadap kehidupan sehari-hari. Kesadaran itu juga akan membantu siswa memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa dan mengaitkannya dengan pembelajaran yang akan diikutinya. Oleh karena itu, guru akan mengeksplorasi kemampuan awal sis- wa dengan memberikan pertanyaanmasalah yang berkaitan dengan konsep yang akan ditemukan oleh siswa sehingga kegiatan awal ini disebut juga fase eksplo- rasi. Kegiatan ini selain menyiapkan siswa untuk belajar juga akan memotivasi siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran. 2. Kegiatan inti Kegiatan inti disebut juga fase penemuan konsep. Keterlibatan siswa dalam me- nemukan suatu konsep akan sangat berarti sebagai pengalaman belajar dengan syarat penemuan tersebut di bawah bimbingan dan arahan guru. Proses penemuan konsep ini dilakukan dengan melakukan penyelidikan dan pelatihan terbimbing dengan bantuan media berupa LKS. Pada kegiatan ini terjadi konflik konseptual dalam diri siswa yaitu antara konsep awal yang dimilikinya dengan kenyataan yang dilihat dari penyelidikan yang siswa lakukan. Dari konflik konseptual ini dalam diri siswa akan terbentuk konsep yang sesuai dengan keilmuan. 3. Kegiatan Akhir Kegiatan akhir disebut juga fase aplikasi konsep. Pada fase ini dilakukan evaluasi baik terhadap langkah-langkah penemuan maupun pada pengetahuan siswa, seba- gai umpan balik bermakna dan pengetahuan tentang hasil latihannya. Siswa di- beri kesempatan untuk mengaplikasikan konsep yang sudah mereka temukan un- tuk mengerjakan latihan soal ataupun mengaplikasikan konsep tersebut dalam ke- hidupan sehari-hari mereka. Tanpa umpan balik, siswa tidak mungkin memper- baiki kesalahannya dan tidak dapat mencapai tingkat penguasaan konsep. Dalam penemuan terbimbing siswa dibiarkan menemukan sendiri atau pengalaman pro- ses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Menurut Roestiyah 2008 yang dimaksud dengan proses mental tersebut antara lain ialah mengamati, mencerna, mengerti menggolong-golongkan, membuat du- gaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Beberapa keunggulan model pembelajaran penemuan terbimbing Roestiyah: 2008, antara lain : 1. Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memper- banyak kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kogni- tifpengenalan siswa. 2. Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi individual sehingga dapat kokohmendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut. 3. Dapat membangkitkan kegairahan belajar para siswa. 4. Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing. 5. Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat. 6. Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri. 7. Strategi itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja, membantu bila diperlukan. Selain mempunyai kelebihan model penemuan terbimbing juga mempunyai kelemahan, antara lain: 1 Keharusan adanya persiapan mental untuk belajar cara ini. 2 Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar. 3 Harapan yang ditumpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional. 4 Mengajar de- ngan penemuan dipandang lebih mementingkan memperoleh pengertian dan kurang memperhatikan diperolehnya sikap dan keterampilan. 5 Fasilitas yang dibutuhkan mungkin tidak ada. 6 Strategi ini mungkin tidak mem- berikan siswa kesempatan untuk berpikir kreatif, kalau pengertian-penger- tian yang ditemukan akan diseleksi lebih dahulu oleh guru. Kelemahan penemuan terbimbing dapat diatasi dengan cara: 1. Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing agar dapat membantu siswa menemukan suatu konsep 2. Memberikan kesempatan kepada siswa mengajukan gagasan-gagasan meskipun gagasan tersebut belum tepat 3. Suasana harus di buat sedemikian sehingga siswa merasa dirinya diha- dapkan pada suatu teka-teki 4. Kegiatan harus berlandaskan objek atau prinsip yang tidak asing bagi siswa 5. Hendaknya pada waktu melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kon- sep baru, guru hendaknya memberikan contoh dan aplikasi dan dirasakan pada kehidupan sehari-hari yang dilihat dan dirasakan oleh anak, sehing- ga kegiatan tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh anak 6. Guru harus menunjukkan antuisiasme dalam mengemukakan teka-teki dan selama kegiatan berlangsung

B. Keterampilan Proses Sains