Indikasi Pelanggaran Hukum Bupati Bogor

Dimasukkannya secara khusus tindak pidana korupsi dan penyuapan sebagai alasan pemakzulan pejabat negara menunjukkan bahwa kejahatan korupsi dan penyuapan adalah kejahatan yang sangat membahayakan kepentingan negara dan masyarakat, bahkan merusak perekonomian negara dan keberlangsungan pembangunan. Tidak hanya Indonesia, dalam konstitusi negara-negara lain juga mencantumkan korupsi dan penyuapan sebagai alasan pemakzulan pejabat negara antara lain konstitusi, Amerika Serikat, Korea Selatan, serta Filipina. 2 Di Indonesia sendiri mengenai tindakan korupsi diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 31 Tahun 1999 yang telah dirubah menjadi Undang- Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin, yakni corupptio atau corruptus, dalam bahasa Inggris corruption atau corrupt, bahasa Perancis corruption dan bahasa Belanda corruptie. Asumsi kuat menyatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah yang dibakukan ke dalam bahasa Indonesia, yakni korupsi. Arti harfiyah dari korupsi ialah, kebusukan, keburukan kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Andi Hamzah mengartikan korupsi sebagai perbuatan buruk, busuk, bejat, suka disuap, perbuatan yang menghina atau memfitnah, menyimpang kesucian, dan tidak bermoral. Baharuddin Lopa, mengatakan korupsi ialah the offering and accepting of 2 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, h. 24. bribes penawaranpemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap. Di samping itu, diartikan juga decay yaitu kebusukankerusakan. Yang busukrusak ialah moral akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi. 3 Dalam bahasa Arab, korupsi juga disebut risywah yang berarti penyuapan. Risywah juga diartikan sebagai uang suap. Secara etimologi kata risywah berasal dari bahasa Arab ﺎَﺷَر - ْﻮُﺷْﺮَﯾ yang berarti upah, hadiah, komisi atau suap. Adapun secara terminologi, risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batilsalah atau menyalahkan yang benar. P3F 4 Adapun beberapa hadis tentang risywah yang dibahas oleh para ulama antara lain: ِﻢْﻜُﺤْﻟا ﻲِﻓ َﻲِﺸَﺗْﺮُﻤْﻟاَو َﻲِﺷاﱠﺮﻟا َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ٌﷲ ُلﻮُﺳَر َﻦَﻌَﻟ َلﺎَﻗ َةَﺮْﯾَﺮُھ ﻲِﺑ َأ ْﻦَﻋ bahwa laknat Allah akan ditimpahkankepada orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum ﻲِﺸَﺗْﺮُﻤْﻟاَو ﻲِﺷاﱠﺮﻟا َﻢَﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠﷲ ُلﻮُﺳَر َﻦَﻌَﻟ َلﺎَﻗَو ٍﺮْﻤَﻋ ِﻦْﺑ ِ ﱠﷲ ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan disuap Berkaitan dengan sanksi hukum bagi pelaku risywah, yaitu hukum Tazir sebab tidak termasuk dalam ranah qisas dan hudud. Sanksi hukum pelaku tindak pidana suap masuk dalam kategori sanki-sanki takzir yang kompetensinya ada ditangan hakim. 3 Andi, Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 4-5. 4 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta: AMZAH, 2012, h. 89. Dalam kasus bupati Bogor ini, bukan hanya yang bersangkutan dinilai melanggar undang-undang sebagai produk hukum yang harus ditaati, tetapi ia sebagai seorang muslim juga sudah melanggar hukum Allah. Sebagai salah satu komponen seorang pemimpin atau wakil rakyat yang seyogyanya memberikan contoh dan teladan yang baik bagi masyarakat, justru memberikan hal yang sebalinya. Di sinilah letak ketidakbaikan bahkan kezaliman yang semestinya tidak perlu terjadi. Kemudian terkait dengan masalah yang kedua, tidak mencerminkan keteladanan mulia sebagai pemimpin dan pejabat publik. Sebagai pejabat publik sudah selayaknya jika sang bupati memberikan teladan dan contoh perilaku mulia bagi warganya. Sebab hakekat seorang pemimpin adalah melayani masyarakat luas. Proses palayanan antara pejabat dengan rakyat sama sekali tidak akan efektif jika terdapat ganjalan terkait dengan tingkah laku dan akhlaq keseharian sang pemimpin. Menurut penulis, perilaku yang sudah dilakukan oleh bupati Bogor adalah perbuatan yang tercela, ia tidak mencerminkan sebagai pemimpin yang teladan bagi masyarakatnya, karena ia sudah menggunakan kekuasaannya dengan tidak bijak, ia melakukan korupsi dan menerima suap yang mengakibatkan kerugian bagi negara dan dirinya sendiri. Semestinya hal itu bisa dihindari, maka, tidak heran ia diberhentikan dari jabatannya karena telah melakukan korupsi dan melanggar peraturan undang-undang yang diatur dan berlaku di Indonesia.

B. Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah Menurut Undang-Undang

Nomer 23 Tahun 2014 1. Penyebab Pemberhentian Kepala Daerah Sebelum memasuki pembahasan mengenai mekanisme Pemakzulan kepala daerah bupati Bogor, menurut Undang-Undang Nomer 23 tahun 2014 akan dibahas beberapa hal atau faktor yang menyebabkan seorang kepala daerah dapat dimakzulkan. Dalam konteks pemberhentian terdapat tiga alasan mengapa kepala atau wakil kepala daerah tidak bisa melanjutkan atau dimakzulkan sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Pada Pasal 78 ayat 1 Undang-Undang Nomer 23 tahun 2014 meyatakan, kepala daerah danatau wakil kepala daerah berhenti karena: a. Meninggal dunia; b. Permintaan sendiri; atau c. Diberhentikan Pada Pasal 78 ayat 1 Undang-Undang Nomer 23 tahun 2014 membagi tiga alasan mengapa seorang kepala daerah dapat berhenti menjabat sebagai kepala daerah. Dalam pembahasan yang ingin disampaikan penulis lebih terfokus pada alasan kepala daerah berhenti menjabat yang disebabkan oleh diberhentikannya seorang kepala daerah terlebih karena beberapa faktor yang disebabkan oleh kepala daerah yang patut diduga melakukan kesalahan seperti melanggar sumpah jabatan, melakukan korupsi dan juga melakukan tindak pidana. Hal ini tertuang Pada Pasal 78 ayat 2 Undang-Undang Nomer 23 tahun 2014 yang berbunyi: Kepala daerah danatau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c diberhentikan karena: a. Berakhir masa jabatannya; b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 enam bulan; c. Dinyatakan melanggar sumpahjanji jabatan kepala daerahwakil kepala daerah; d. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b; e. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat 1, kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j; f. Melakukan perbuatan tercela; g. Diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; h. Menggunakan dokumen danatau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerahwakil kepala daerah berdasarkan pembuktian dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen; danatau i. Mendapatkan sanksi pemberhentian. Tidak hanya terbatas pada larangan bagi kepala daerah tetapi juga melanggar sumpah jabatan merupakan tindakan yang bisa berakibat diberhentikannya seorang kepala ataupun wakil kepala daerah. Isi dari sumpah jabatan kepala ataupun wakil kepala daerah tercantum dalam Pasal 61 ayat 2 Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang berbunyi Demi AllahTuhan, saya bersumpahberjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa. Pemberhentian menurut Pasal 78 ayat 1 Undang-Undang Nomer 23 tahun 2014, terjadi karena beberapa faktor di atas atau dengan kata lain pemberhentian dilakukan kepada kepala daerah yang diduga melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang berlaku.

2. Prosedur Pemberhentian Kepala Daerah

Setelah membahas berbagai faktor yang menyebabkan seorang kepala daerah danatau wakil kepala daerah diberhentikan maka penulis akan membawa kepada prosedur atau mekanisme pemberhentian kepala daerah yang sesuai dengan Undang- Undang Nomer 23 Tahun 2014. Mekanisme pemberhentian kepala daerah mengalami beberapa tahapan dalam perjalannanya dan juga melewati aspek hukum dan politik. Sesuai dengan Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014, pemberhentian dibedakan menjadi beberapa alur sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh kepala danatau wakil kepala daerah. Pada Pasal 79 Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 dijelaskan: 1 Pemberhentian kepala daerah danatau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat 1 huruf a dan huruf b serta ayat 2 huruf a dan huruf b diumumkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada Presiden melalui Menteri untuk gubernur danatau wakil gubernur serta kepada Menteri melalui gubernur