Mekanisme Pemakzulan KAJIAN TEORI TENTANG PEMAKZULAN KEPALA DAERAH MENURUT
negara dan turun instruksi darinya. Jika menteri itu berhenti, maka kepala daerah tidak turut berhenti.
2. Menteri mengangkatnya dengan inisiatif sendiri dan kepala daerah itu
bertugas sebagai perwakilan wewenangnya. Menteri dapat dengan sendirinya memecatnnya dan menggantinya dengan orang lain, sesuai dengan hasil
ijtihadnya dalam melihat yang terbaik dan paling cocok untuk menduduki jabatan itu.
Pada saat menteri itu berhenti, kepala daerah itu pun turut berhenti kecuali jika kepala negara mengesahkan jabatannya, sehingga hal itu menjadi pembaharuan
jabatannya dan permulaan pengkatannya, namun dalam peresmian jabatannya itu tidak lagi dibutuhkan syarat-syarat seperti yang harus dipenuhi saat akan diangkat
pada pertama kali. Kepala negara cukup berkata, Aku akui jabatan yang engkau pegang.
15
Jika kepala daerah diangkat oleh kepala negara, kepala daerah itu tidak diberhentikan dengan meninggalnya kepala negara yang mengangkatnnya, sedangkan
jika diangkat oleh menteri, maka kepala daerah harus diberhentikan dengan meninggalnnya sang menteri karena pengangkatan oleh kepala negara dilakukan atas
15
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, Kamaluddin Nurdin Jakarta: Gema Insani Press,2000, h. 64-
65.
nama kaum muslimin, sedangkan pengangkatan oleh menteri dilakukan atas nama dirinya sandiri.
16
Taqi al-Din al-Nabhani juga berpendapat, dalam pemberhentian kepala daerah tergantung kepada kepala negara. Kalau kepala negara berpendapat harus
diberhentikan, maka kepala daerah tersebut akan diberhentikan atau kalau rakyat di wilayahnya atau anggota majelis umat menunjukan sikap benci dan tidak ridha
terhadap kepala daerah tersebut maka ia harus diberhentikan. Sedangkan yang memberhentikannya adalah kepala negara. Hal itu, karena Rasulullah SAW, beliau
pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dari Yaman tanpa alasan apapun. Beliau juga memberhentikan Ila Al-Hadhrami yang menjadi amil beliau di Bahrain, hanya
karena beliau mendapat pengaduan tentang Ila dari utusan Abdul Qais. Umar bin Khattab pun pernah memberhentikan seorang kepala daerah dengan alasan tertentu,
sekalipun suatu ketika pernah memberhentikannya dengan tanpa alasan apapun. Beliau pernah memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan dengan tanpa alasan apapun.
Lalu pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqqash, dengan alasan karena beliau mendapat pengaduan orang-orang tentang dirinya. Beliau berkata: Aku
memberhentikannya bukan karena ia lemah, juga bukan karena ia berkhianat. Semuanya menunjukan, bahwa kepala negara berhak memberhentikan seorang kepala
16
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, h. 66- 67.
daerah kapan saja. Dia juga memberhentikannya, kalau ada pengaduan dari penduduk daerah yang dipimpinnya.
17
Menurut Al-Baqillani, Ahli teolog mazhab Asyari, sebagaimana dikutip oleh Mumtaz Ahmad dalam bukunya Masalah-masalah Teori Politik Islam
menyatakan bahwa kepala daerah adalah yang diberi kuasa dari wakil rakyat, dan rakyat harus
mendukung dan mengingatkan akan kewajiban-kewajiban dan tanggungjawabnya serta memaksanya untuk mengikuti jalan yang benar. Apabila ia tetap melakukan
kesalahan, maka rakyat boleh menggantinya dengan orang lain sebagai upaya terakhir. Al-Baqillani, pada dasarnya menolak pembatalan kontak, terutama jika
meskipun kepala daerah memenuhi semua persyaratan untuk jabatannya, rakyat menghendaki kepala daerah yang baru hanya demi perubahan semata-mata. Hal ini
tidak berarti bahwa batas waktu bagi kekuasaan kepala daerah itu tidak absah. Baik rumusan yuridis maupun praktik sejarah menunjukan bahwa kepala daerah akan terus
menduduki jabatannya selama memenuhi tanggungjawabnya. Tetapi, di bagian lain, Al-Baqillani menyebutkan bahwa kepala daerah boleh diberhentikan jika ingkar,
melalaikan shalat dan mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama, atau jika menjadi cacat jasmani, penyelewengan dan tingkah laku tidak bermoral fisq,
ketidakadilan jawr, dan kelalaian terhadap hukum-hukum Islam, juga membenarkan pemecatan terhadap kepala daerah.
18
17
Taqiyuddin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik, h. 234-235.
18
Mumtaz Ahmad, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Penerjemah Ena Hadi, Cet. III, Bandung: Mizan, 1996, h. 79-103.
Menurut Al-Baghdadi sebagaimana dikutip oleh J Suyuthi Pulungan menjelaskan bahwa seorang kepala daerah yang tanpa cacat dan tindakannya tidak
bertentangan dengan syariat umat wajib mendukung dan mentaatinya. Tapi bila ia menyimpang dari ketetapan syariat, masyarakat harus memilih di antara dua tindakan
kepadanya, yaitu mengembalikannya dari berbuat salah kepada kebaikan, atau mencopot jabatannya dan memberikannya kepada yang lain. Menurut Al-Juwaini,
kepala daerah yang diangkat melalui pemilihan tidak boleh memberhentikannya kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan sesuatu dalam dirinya yang
membolehkannya untuk itu. Hal ini telah menjadi kesepakatan. Apabila ia fasiq dan fajir perbuatan dosa dan tidak berlaku adil, maka memberhentikannya adalah
mungkin. Dikatakan mungkin karena tidak ada dasar hukum ketetapan untuk memberhentikannya.
19
Al-Juwaini beranggapan bahwa kalau kepala daerah tidak bermoral dan menyimpang dari akhlak yang baik, maka ia boleh turun; tetapi apakah
orang lain harus atau dapat memberhentikannya, diperlukan ijtihad dalam kasus seperti itu.
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa mekanisme pemakzulan kepala daerah menurut para teoritis fiqih siyasah bisa terjadi, apabila kepala daerah
tersebut sudah menyimpang dari syariat, tidak adil, tidak memenuhi syarat lagi menjadi kepala daerah dan kepala negara pun menghendaki pemberhentian kepala
daerah, tetapi proses atau prosedur pemakzulan kepala daerah tidak dijelaskan secara
19
J Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1995, h. 261-262.
rinci baik dalam al-Quran maupun Sunnah, para teoritis fiqih siyasah hanya menjelaskan penyebab atau faktor-faktor yang bisa menyebabkan kepala daerah
dimakzulkan.