Edi Sedyawati
2. Edi Sedyawati
Akibat perang, masa kecil Edi Sedyawati sempat dilewatkan di kota pengungsian. Ketika Jepang masuk tahun 1942, bersama beberapa keluarga, ia dan adiknya yang masih bayi dibawa ibunya mengungsi dari Semarang ke Kendal, Jawa Tengah. Sementara itu, ayahnya yang juga tokoh pergerakan, pergi ke luar kota. Setelah beberapa lama, Edi yang belakangan dikenal sebagai penari dan arkeolog bertemu ayahnya yang kemudian membawanya mengungsi ke rumah kakeknya di Ponorogo, Jawa Timur.
Setelah keadaan aman, Edi diboyong keluarganya ke Magelang. Ketika itu ayahnya menjadi pembantu gubernur di kota ini. Kemudian, mereka pindah lagi ke Yogyakarta. Bersamaan dengan perpindahan ibukota dari Yogyakarta ke Jakarta. Sang ayah yang waktu itu bekerja di Kementrian Dalam Negeri memboyongnya ke Jakarta. Di sini, Edi menyelesaikan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
“Menari itu hobi, dan arkeologi itu studi,” kata mantan Dirjen Kebudayaan ini. Ia tertarik pada balet sesudah menontonnya di bioskop. Tapi, setelah terpukau oleh pemeran Abimanyu di sebuah pertunjukan wayang orang, Edi mempelajari tari Jawa dan bergabung dengan Ikatan Seni Tari Indonesia. Ayahnya, Imam Sudjahri pengacara, redaktur koran Indonesia Raja sehabis perang, kemudian Sekjen Departemen Sosial RI memang menginginkan dia belajar menari. Pada tahun1961, Edi sudah turut memperkuat misi kesenian Indonesia ke berbagai negara.
Ketertarikannya pada benda purbakala muncul waktu SMP, setelah ia diajak ayahnya jalan-jalan ke Jawa Tengah melihat candi-candi. “Saya terpukau oleh peninggalan masa lalu dan sejak saat itu saya terobsesi untuk mempelajarinya”, kata Edi. Obsesinya tercapai setelah menempuh pendidikan jurusan Arkeologi Universitas Indonesia sampai meraih gelar Doktor dengan predikat magna cum laude .
Jangan heran, Edi memerlukan waktu lima tahun untuk menyelesaikan disertasinya, yang berjudul “Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singhasari:
66 Seni Tari untuk SMA/MA Kelas X
Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”. Termasuk untuk berburu arca Ganesha, dari Museum Nasional Jakarta ke berbagai pelosok di Jawa Tengah, sampai ke pusat- pusat dokumentasi dan benda purbakala di Belanda. Melalui dunia purbakala juga, ia meniti karir akademi sampai menjadi guru besar di almamaternya.
Tari dan purbakala akhirnya dapat dipertemukannya. Tatkala membuat penelitian tentang sejarah tari Jawa dan Bali, Edi menggalinya dari data arkeologi. “Karir akademi saya juga bisa mengikuti dua jalur itu,” ujarnya. Sewaktu mendirikan Jurusan Tari di Institut Kesenian Jakarta, ia memanfaatkan pengalamannya menyusun kurikulum di tempatnya mengajar, Fakultas Sastra UI. Agar lebih memantapkan bidang kesenian, ia mengikuti kursus etnomusikologi di East-West Center, Honolulu, Hawaii, AS tahun 1975.
Sebagai arkeolog, Edi prihatin dengan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap purbakala dan tari negerinya. “Secara umum, masyarakat masih belum mengerti tentang perlunya merawat peninggalan purbakala,” ujarnya. Sebagai penari dan pengamat tari klasik Jawa, ia tidak puas dengan perkembangan tari di Indonesia. “Kebudayaan menjurus kepada hiburan dan (budaya) populer,” kata pengagum Bung Karno dan Koentjaraningrat ini. Kalau itu dibiarkan terus, menurut Edi, kualitas bangsa Indonesia nantinya juga sekualitas hiburan saja. “Padahal, seharusnya kita menjadi bangsa yang mempunyai kemantapan pengalaman batin dan pemahaman konseptual,” ujar penerima bintang “Chevalier des Arts et Letters” dari Prancis itu.
Kedua anaknya, yang sudah berkeluarga, tak lagi merepotkannya. Toh Edi masih sangat sibuk. Selain memeriksa tesis, skripsi, disertasi, persiapan mengajar, melaksanakan penelitian, ia juga sering diminta ikut serta dalam simposium, seminar, di dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu, ia tidak punya waktu untuk melakukan hobinya memotret dan menyetir mobil. Namun, soal memperhatikan penampilan, Edi masih meluangkan waktu. “Penampilan itu perlu, supaya enak dilihat orang lain,” tukasnya.
Info Seni Tari
Seniman tari dari Bali I Mario sebenarnya bernama I Ketut Maria. Oleh karena lidah dan telinga orang asing telanjur keliru mengeja namanya, dalam tutur lisan maupun tertulis. Penulis-penulis asing perihal Bali yang datang paruh awal abad ke-20, seperti Colin McPhee, Miguel Covarrubias, John Coast, terburu menyurat namanya dengan ejaan Mario, padahal nama aslinya Maria. Lengkapnya I Ketut Maria. Andai disurat dalam aksara Bali nama Maria akan dieja Marya.
Pelajaran 4 Berkreasi Seni Tari Kelompok Nusantara 67
Pelatihan 4
Kerjakan soal-soal berikut dengan baik!
1. Mengapa Retno Maruti dianggap sebagai koreografer yang kreatif?
2. Sebutkan 5 buah karya yang telah dihasilkan oleh Theodora Retno Maruti!
3. bagaimana Edy Sedyawati menggabungkan kesukaanmya akan tarian dan arkeologi?