Ideologi, organisasi, faksionalisme

3. Ideologi, organisasi, faksionalisme

Bagian ini akan membahas struktural internal JT dan PKS, serta hubungan antara keduanya, baik dari segi organisasi ataupun kepemimpinan. Pada prinsipnya, dua organisasi ini ibarat dua sisi mata uang, mengikuti prinsip Ikhwanul Muslimin,

‘masyarakat adalah partai, dan partai adalah masyarakat’. Bagaimanapun, semenjak dua organisasi ini bergerak di ranah yang berbeda; satu organisasi di ranah sosial dan yang lain di ranah politik serta tunduk pada aturan hukum yang berbeda, keduanya telah berkembang menuju kutub yang berjauhan pula karena adanya peraturan dan prosedur, yang kadang-kadang saling bertabrakan satu sama lain: JT adalah

40 R. Willia Liddle, The Isla ic Tur i I do esia: A Political E pla atio , The Journal of Asian Studies 55, no. 3 (1996), 613 –634.

organisasi sosial keagamaan yang tunduk pada prinsip-prinsip etika dan spiritualisme, sementara PKS terlibat dalam kompetisi perebutan kekuasaan politik dan sebagian besar bergerak di program yang berkaitan pencapaian dan akuntabilitas program. Konsekuensinya adalah terjadinya clash di antara keduanya.

3.1. Islamisasi politik secara bertahap Sebagai anak cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir, JT juga mengadopsi ideologi, program politik dan bentuk struktur organisasi. Secara ideologis, JT meniru pendekatan ‘Islamisasi bertahap’ mereka juga, bergerak secara bertahap dari islamisasi individu, keluarga, masyarakat kemudian islamisasi negara. 41 Bagi aktivis

JT, program evolusiner ini bukan saja dianggap ideal, tetapi juga masuk akal jika mengikuti logika pembangunan sosial, islamisasi individu akan lebih mudah untuk bergerak ke arah menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam keluarga sebagai unit terkecil masyarakat. Sekali saja keluarga hidup sesuai ajaran Islam, maka masyarakat akan bergerak dengan sendirinya untuk menegakkan nilai-nilai dan budaya Islam. Akhirnya, jika norma-norma Islam menjadi norma masyarakat, maka kemunculan

sistem politik Islam hanya masalah waktu. 42 Metode Islamisasi bertahap ini merepresentasikan gerakan moderat Ikhwanul

Muslimin yang merupakan gerakan damai berbasis Islam, tentu tidak dapat dikaitkan dengan gerakan radikal dan organisasi berbasis Islam lainnya. Para aktivis JT selalu mengajukan argumentasi ini. Sebagaimana diketahui bahwa Ikhwanul Muslimin terus dicap dan dianggap oleh media-media Asing dan media-media dalam negeri sebagai gerakan radikal dan revolusioner. Implikasi secara implisit jika JT dan PKS sebagai

41 Konsep awal dari reformasi bertahap (islah) merupakan dari pendiri Ikhwanul Muslimin Hassan al-Banna dengan urutan sebagai berikut: reformasi individu (islah al-

nafs), reformasi keluarga Muslim (islah al-bait al-Muslim), reformasi masyarakat (islah al- mujtama' ), kemerdekaan nasional (tahrir al-wathan), reformasi pemerintah (islah al- hukumah).Lantasmendapatkan perhatian internasional kemudian melakukan ekspansi internasional. Lihat Fathi Yakan, Revolusi Hassan Al-Banna: Dari Sayyid Qutub hingga Rasyid Al-Ganusyi, penerjemah Fauzun Jamal dan Alimin (Bandung: Harakah, 2002), 12 – 13.

42 Wawancara dengan Khalid Machmud, 19 April 2007.

anak cabangnya adalah kecenderungan mengikuti metode yang sama pula. Selanjutnya, dalam konteks gerakan berbasis Islam Indonesia, program Islamisasi bertahap Ikhwanul Muslimin mencontohkan terobosan yang mentransendensikan wajah antagonisme serta kegagalan gerakan radikal sebagaimana yang dilakukan laskar jihad atau FPI, ataupun gerakan secara akomodatif seperti Muhammadiyah dan NU. Ini adalah tren baru kalangan umat Islam Indonesia yang telah melahirkan wajah

baru santri. 43 Abdi Sumaithi alias Abu Ridho menjelaskan bahwa langkah bertahap seperti ini adalah metode dakwah Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Dia

mulai dengan mengajak individu untuk mengikuti Islam, kemudian menanamkan nilai-nilai dan perilaku Islam melalui keluarga, yang kemudian akan menjalar pada islamisasi struktur sosial dan adat istiadat. Setelah Islam menjadi kerangka masyarakat, Nabi akan membangun sistem politik dan negara, yang akan diikuti oleh

ekspansi internasionalisasi Islam ke negara-negara lain. 44 Ciri khas ideologi lain Ikhwanul Muslimin yang juga diadopsi oleh JT adalah

rasa simpati dan antusiasme terhadap konflik-konflik internasional yang melibatkan umat Islam, khususnya konflik Palestina. Kejadian-kejadian tersebut ikut memberi andil atas sikap para kader JT. Pertama, hal tersebut memberi landasan ideologis untuk JT, sebagai bagian dari jaringan Ikhwanul Muslimin yang berjuang untuk Islam dan umat Islam, dan untuk memerangi musuh-musuh Islam terutama orang-orang Yahudi. Dalam keyakinan mereka, orang-orang Yahudi selalu menimbulkan masalah bagi umat Islam dan mereka takut dan benci terhadap keunggulan umat Islam. Pun, juga sebagai pihak yang terlibat dalam pelengseran semua dinasti-dinasti besar Islam besar. Dari peristiwa penaklukan Dinasti Umayyah oleh Mongol serta dinasti

Ottoman oleh Atatürk. 45 Kedua, isu-isu internasional tersebut sangat menjual dalam menarik anggota baru, khususnya kalangan mahasiswa. Ketiga, hal itu merupakan isu

yang begitu menarik perhatian dan simpati publik.

43 Wawancara dengan Yon Machmudi, a pks founder and lecturer at the University of Indonesia.

44 Wawancara dengan Abu Ridho, Jakarta. 45 Wawancara dengan Yusuf Supendi, Jakarta.

Selain program dakwah bertahap tersebut, JT juga mengadopsi strategi politik secara evo lusioner, yang dikenal sebagai ‘tahapan dakwah’: tahap pertama adalah ‘dasar’ (tanzim), yang mana aktivis JT mulai mengekplorasi program-program Islam politik dan melakukan penelitian sosial-politik di lingkungan masing-masing. Kedua, sosialisasi (sha'bi) di mana para kader mulai bersosialisasi tentang program-program politik, serta merekrut dan melatih anggota lainnya. Ketiga adalah menempatkan semua sumber daya manusia mereka (mu'assasi) dengan cara mendorong para anggota JT untuk mengejar karir mereka di berbagai pekerjaan professional (publik, swasta dan sukarela), memanfaatkan jaringan alumni dari universitas-universitas ternama dalam mencapai posisi-posisi sesuai bidang masing-masing guna merebut

mengambil sumber daya itu untuk mendukung program-program JT. 46 Para aktivis JT percaya bahwa tahap pertama dan kedua sudah dilewati selama

dekade 1980 ketika organisasi masih melakukan aktifitasnya secara underground dalam menyusun strategi, perekrutan serta pelatihan anggota dan aktivis. Tahap ketiga dilalui selama dekade 1990-an. Lantas, ketika suasana politik telah mendukung, mereka mulai go public, memasuki berbagai lembaga. Di kesempatan yang sama pula, karir para anggota mereka juga melesat di berbagai bidang pekerjaan profesional. Akhirnya, fase keempat dicapai pada tahun 1998 ketika mereka mendirikan partai politik dan ikut serta dalam pemilu, menguasai birokrasi

pemerintahan dan membuat kebijakan publik . 47

3.2. Isu kunci arah perjuangan

3.2.1 Negara Islam PKS mengikuti cara Ikhwanul Muslimin Mesir, tidak memiliki blue prints spesifik terkait bentuk negara atau sistem politik yang seharusnya. Hal ini berbeda dengan Hizbut Tahrir yang berusaha untuk menghidupkan kembali konsep kekhalifahan

46 Yo Ma h udi, Isla izi g I do esia , (Canberra: anu e Press, 2008), 177–186. Anis Matta, Menikmati Demokrasi: Strategi Dakwah Menikmati Kemenangan (Jakarta:

Pustaka Saksi, 2002), 9

M. Aay Furqon, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia (Bandung: Teraju, 2004), 124

Islam yang universal, atau Jamaah Islamiyah di bawah komando Abu Bakar Ba'asyir yang bertujuan mendirikan aliansi pemerintahan Islam se-Asia Tenggara. 48 Lebih

lanjut, PKS memiliki kecenderungan mirip gerakan-gerakan radikal lainnya, PKS meyakini bahwa Islam adalah sistem tata kehidupan yang komprehensif yang seharusnya diberlakukan kepada setiap individu, sosial dan juga bidang politik. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, apa yang PKS yakini tentang Islam kaffah (menyeluruh) tidak terpola, melainkan kecenderungan penekanan pada perilaku individu dalam diri setiap orang. Masyarakat Islam menurut mereka adalah masyarakat yang mana setiap orang berperilaku sesuai dengan ajaran Islam, sementara struktur masyarakat itu sendiri dibiarkan dalam bentuk modern, tradisional atau kesukuan. Suatu bentuk entitas masyarakat Islam yang mana setiap umat Islam menjalankan ritual keislaman secara teratur serta adanya penegakan nilai-nilai Islam. Misalnya standar berpakaian dan barang yang diperkenankan dikonsumsi menjadi norma dalam kehidupan publik, kejahatan dan perilaku amoral diminimalisir, atau kalau perlu dihilangkan sama sekali.

Terkait bentuk sistem politik yang Islami menurut mereka tidak hanya terbatas pada konsep kekhalifahan universal, tetapi dapat juga berbentuk kerajaan atau republik sejauh mengadopsi prinsip-prinsip Islam. Menurut persepsi PKS, manusia yang hidup dalam bermasyarakat dan bernegara adalah media untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, negara berfungsi sebagai faktor pendukung untuk menciptakan masyarakat Islami, sebuah konsep ummah. Konsep seperti ini merupakan struktur yang menyediakan peraturan dan regulasi hukum di mana setiap orang seharusnya menjalani kehidupan, dan memiliki kewenangan untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut, dan juga wewenang untuk menghukum para pelanggarnya.

Negara Islam merupakan suatu sistem politik yang mana mampu memberlakukan prinsip-prinsip Islam di dalam masyarakatnya. 49 PKS juga percaya bahwa Indonesia

48 Sid ey Jo es, Al-Qaeda i Southeast Asia: The case of the Ngruki Network i I do esia , icg I do esia Briefi g, 8 Agustus 2002, no. 14, 693–617.

49 Wawancara dengan Untung Wahono, Jakarta.

pada dasarnya adalah negara Islam karena mengakomodasi agama sebagai bagian dari negara dan pemerintahan. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dirumuskan oleh para politisi Muslim, dan sila-sila itu mencerminkan semangat ajaran Islam dalam kehidupan berpolitik. Yang menjadi titik perhatian PKS itu adalah kinerja para pemegang kekuasaan di Indonesia yang tidak mengimplementasikan Pancasila secara komperhensif dengan alasan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam. Prinsip-prinsip Islami itu bisa berjalan jika para pemimpin politik dan pejabat pemerintah, yang sebagian besar Muslim memiliki komitmen secara pribadi untuk menegakan nilai-nilai Islam, maka Pancasila dapat diterapkan secara komprehensif.

PKS menerima sistem demokrasi berdasar dua alasan. Pertama, demokrasi adalah sistem yang fleksibel yang bisa mengarah ke bentuk sistem sosialis atau kapitalis, dan sekuler ataupun religius. Musyawarah sebagai prinsip dasar demokrasi benar-benar sejalan dengan ajaran Islam. Kedua, demokrasi adalah realitas politik di Indonesia dan internasional, oleh karena itu harus diambil sebagai titik anjak untuk membangun sistem politik Islam. Politik merupakan sarana untuk menyebarkan agama (dakwah), dan bertujuan untuk mengubah orang perorang dan memperbaiki kondisi sosialnya. Itulah amanat yang diemban oleh Tarbiyah. Dengan demikian, kegiatan dakwah, termasuk dakwah dalam ranah politik, harus dimulai dari pemahaman dan penerimaan akan realitas, bukan justru mengabaikan realitas

tersebut. 50

3.2.2. Pluralisme keagamaan Menurut JT-PKS, Islam adalah kebenaran hakiki dan universal yang harus disebarkan ke seluruh umat manusia di mana pun dan siapa pun mereka. Ini adalah kewajiban bagi semua umat Islam untuk mendakwahkan agama mereka sesuai dengan kapasitas dan kesempatan mereka. Namun, dakwah harus memfokuskan diri pada tujuan mencapai kemanfaatannya dan menghindari kerusakan dan meminimalisir resiko. Dalam konteks sosial dan politik berarti kegiatan dakwah harus dilakukan dengan

50 Wawancara dengan Abu Ridho, Jakarta.

cara-cara menghindari konflik dan ketidakstabilan (chaos) yang tidak hanya akan merugikan masyarakat, tetapi juga dampak berupa citra negatif tentang Islam dan Muslim itu sendiri. Indonesia merupakan negara demokrasi dan bangsa religius. Ini berarti bahwa orang Indonesia bebas untuk hidup sesuai dengan keyakinan mereka. Pluralisme agama tidak berarti pengakuan bahwa semua agama itu sama, tetapi mengacu pada suatu kondisi di mana orang boleh memproklamirkan diri dan mengekspresikan keyakinan agama mereka. Oleh karena itu, dalam pandangan PKS tidak ada pluralisme agama, melainkan pluralitas agama. Artinya, setiap orang yang tinggal Indonesia, negara mengakui agama-agama yang berbeda tersebut. Pun begitu, pluralitas tersebut tidak menggugurkan kewajiban bagi Muslim untuk menyebarkan Islam. Islam harus disebarkan, tapi dengan cara damai.

Pada kenyataannya, ada dua sisi dalam istilah pluralisme, eksternal dan internal. Pluralisme eksternal berarti koeksistensi dan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Sedangkan pluralisme internal adalah pemahaman dan kerjasama dengan umat Islam lainnya dalam tradisi-tradisi yang berbeda. Berkenaan dengan pluralisme eksternal, PKS menunjukkan sikap toleran terhadap agama lain, sementara dalam kaitannya dengan pluralisme internal yang juga menunjukkan toleransi terhadap kelompok Muslim lainnya adalah sejauh tidak ada tanda-tanda bid'ah secara doktrinal atau kepentingan politik. Ada dua kasus perlu mendapat perhatian khusus terkait hal ini. Pertama, kontroversi pengikut Ahmadiyah yang memicu kekerasan berdarah terhadap kelompok minoritas. Berkaitan hal ini, politisi PKS mendesak otoritas pemerintahan untuk bertindak tegas guna mencegah tindak kekerasan. Namun pada saat yang sama, mereka juga mendesak pemerintah untuk melarang penganut Ahmadiyah mengaku sebagai bagian komunitas Islam. Penelitian Bastiaan Scherpen dalam buku ini memetakan sikap politik organisasi sosial dan politik Islam di Indonesia terkait isu Ahmadiyah tersebut. Dalam kasus ini, PKS sendiri menunjukkan sikap yang keras dan konservatif. PKS sendiri juga dikabarkan memecat anggotanya yang masuk Syiah dan merawat istrinya yang memutuskan untuk meminta cerai sesuai saran PKS. Kedua, Lebih lanjut, JT-PKS juga menunjukkan perubahan sikap terhadap Ormas- ormas Islam lainnya. menyusup dan mengambil alih forum-forum keagamaan dan Pada kenyataannya, ada dua sisi dalam istilah pluralisme, eksternal dan internal. Pluralisme eksternal berarti koeksistensi dan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Sedangkan pluralisme internal adalah pemahaman dan kerjasama dengan umat Islam lainnya dalam tradisi-tradisi yang berbeda. Berkenaan dengan pluralisme eksternal, PKS menunjukkan sikap toleran terhadap agama lain, sementara dalam kaitannya dengan pluralisme internal yang juga menunjukkan toleransi terhadap kelompok Muslim lainnya adalah sejauh tidak ada tanda-tanda bid'ah secara doktrinal atau kepentingan politik. Ada dua kasus perlu mendapat perhatian khusus terkait hal ini. Pertama, kontroversi pengikut Ahmadiyah yang memicu kekerasan berdarah terhadap kelompok minoritas. Berkaitan hal ini, politisi PKS mendesak otoritas pemerintahan untuk bertindak tegas guna mencegah tindak kekerasan. Namun pada saat yang sama, mereka juga mendesak pemerintah untuk melarang penganut Ahmadiyah mengaku sebagai bagian komunitas Islam. Penelitian Bastiaan Scherpen dalam buku ini memetakan sikap politik organisasi sosial dan politik Islam di Indonesia terkait isu Ahmadiyah tersebut. Dalam kasus ini, PKS sendiri menunjukkan sikap yang keras dan konservatif. PKS sendiri juga dikabarkan memecat anggotanya yang masuk Syiah dan merawat istrinya yang memutuskan untuk meminta cerai sesuai saran PKS. Kedua, Lebih lanjut, JT-PKS juga menunjukkan perubahan sikap terhadap Ormas- ormas Islam lainnya. menyusup dan mengambil alih forum-forum keagamaan dan

momentum bencana gempa bumi yang menimpa Yogyakarta. 51 Bagaimanapun, setelah ormas-ormas besar lain seperti Muhammadiyah dan NU memberi reaksi

secara formal dengan mengeluarkan pernyataan dan kebijakan mengkritik PKS, Partai merespon dengan mengeluarkan klarifikasi dan instruksi kepada anggotanya

untuk menjaga keharmonisan dan persaudaraan dengan organisasi Islam lainnya. 52

3.2.3. Kesetaraan gender Kesetaraan gender merupakan isu yang sangat sensitif bagi JT-PKS, mereka menyikapinya dengan hati-hati. Pada dasarnya, PKS yang menjunjung tinggi idealisme agaknya memusuhi kesetaraan gender dan percaya bahwa laki-laki lebih unggul dibanding perempuan. Dewan Syariah Partai PKS mengeluarkan pernyataan terkait partisipasi perempuan dalam ranah politik. Dewan Syariah Partai mengatakan bahwa pria dan wanita memiliki segenap perbedaaan terkait kewajiban dan hak-hak. Namun partisipasi perempuan dalam kehidupan politik diperbolehkan asalkan dianggap tepat. Menariknya, pernyataan itu secara implisit mengatakan bahwa itu adalah perilaku tidak pantas yang harus dihindari bagi perempuan dalam politik, seperti berpakaian terlalu mencolok, memakai parfum berlebihan, dan berbicara dengan suara menggoda. Seolah-olah Dewan Syariah Partai begitu khawatir bahwa politisi perempuan PKS tidak mampu menempatkan diri dan berperilaku tidak pantas

menggunakan nalar waras mereka. 53 Pemahaman misoginis terkait hubungan gender di dalam PKS juga tampak jelas dengan fakta-fakta bahwa banyak elit PKS, dari

faksi-faksi yang berbeda, baik dari faksi radikal-konservatif hingga pragmatis dan liberal, mempraktekan poligami.

51 Lihat kontribusi Syaifuddin Zuhri dalam buku ini. 52 Trio o Wahyu Sudi yo, Ka pa ye di Se ara g, Hidayat Klarifikasi PKS A ti Maulid , http:// e s.detik. o /read/

3/700/kampanye-di- semarang-hidayat-klarifikasi-pks-anti-maulid?nd992203605, diakses Maret 2009.

53 Per ata, Isla ist Party a d De o rati Parti ipatio .

Ada beberapa politisi perempuan PKS yang telah mendapatkan reputasi yang bagus dalam ranah politik, seperti Nur Sanita Nasution, almarhum Yoyoh Yusroh, dan Ledia Hanifa. Mereka mendukung penafsiran bahwa ada perberbedaan terkait kewajiban dan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi status gender adalah sama. Artinya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki status yang sama di hadapan Allah, negara dan masyarakat. Namun demikian, karena mereka memiliki biologis dan psikologis yang berbeda, mereka memiliki peran yang berbeda pula, baik secara

pribadi ataupun sebagai anggota masyarakat. 54 Beberapa perempuan telah mencoba untuk memulai pemahaman yang lebih progresif tetapi konsekuensi sial yang harus

diterima, mereka dikeluarkan dari struktur kepartaian atas usahanya. 55 PKS sebenarnya memberikan kesempatan yang relatif terbuka bagi perempuan,

politisi perempuan dan kader perempuan yang ikut serta dalam setiap bagian struktur kepartaian. Lebih lanjut, ada beberapa perempuan yang termasuk pendiri dari partai (lima dari 50 pendirinya), dan PKS pun mengalokasikan kursi untuk kader perempuan di setiap struktur organisasi.

Dalam struktur anggota Majelis Syuro PKS, sepuluh dari 100 anggotanya adalah perempuan. Di Dewan Penasehat Partai, tiga anggotanya adalah perempuan, sesuatu yang sangat tidak lazim untuk organisasi berbasis Islam, bahkan ada dua anggota perempuan dalam Dewan Syariah. Selain itu, PKS juga memiliki departemen khusus

untuk masalah perempuan yang khusus menangani isu-isu perempuan. 56 PKS juga mengusung sejumlah calon perempuan dalam Pileg. Pada saat Pemilu

2004 ada 446 calon perempuan. Baik untuk pemilihan tingkat nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota. Kesemuanya lulus persyaratan kualifikasi, meskipun tidak ada informasi lebih lanjut mengenai berapa banyak dari mereka yang benar-benar terpilih sebagai anggota DPR. Sebagai perbandingan, kandidat perempuan yang diusung oleh partai-partai Islam lain sebagai berikut; 497 kandidat dari PPP, 551 kandidat dari PKB, 554 kandidat dari PAN, dan 372 kandidat dari PBB. Banyaknya kandidat

54 Wawancara dengan Nur Sanita, Jakarta. 55 Wawancara dengan Nur Sanita, Jakarta. 56 Wawancara dengan anggota DPR dari Fraksi PKS, Yoyoh Yusroh, 21 June 2007.

perempuan tersebut berkaitan dengan keharusan kuota 30 persen yang direkomendasikan Undang-Undang untuk calon perempuan. PKS sekali lagi lebih unggul, dan sanggup memenuhi kuota tersebut di 65 daerah pemilihan. Ini adalah jumlah tertinggi dibandingkan dengan partai-partai Islam lain. Sedangkan PAN dan PKB berhasil mencapai di 45 daerah pemilihan, PBB di 42 daerah, dan PPP dalam

hanya dalam 30 daerah pemilihan. 57 Di DPR, PKS memiliki satu wakil perempuan dari tujuh anggota dewan perempuan (14 persen) selama periode 1999-2004.

Pada periode 2004-2009, PKS juga menempatkan satu anggota perempuan lainnya di Parlemen, namun persentase tersebut lebih rendah, yaitu tiga Dalam pemilihan umum 2009, PKS memiliki calon perempuan dengan jumlah tertinggi untuk duduk DPR di antara partai-partai besar lainnya, 212 perempuan dari 579 calon perempuan, atau 36,1 persen. Namun, calon mereka yang terpilih ketika Pemilu Legislatif 2009-2014, partai PKS menduduki peringkat terendah, hanya mendapatkan

tiga kursi dari 57 kursi, atau hanya 5,2 persen dari 45 (6 persen). 58 Fakta-fakta di atas mengungkapkan realita paradoksial politisi perempuan di

dalam partai PKS. Di satu sisi, secara personal pemimpin dan aktifis perempuan PKS memiliki kualifikasi pendidikan dan keterampilan yang tinggi, dan memainkan peran besar dalam berkontribusi terhadap pencapaian partai. Di sisi lain, dalam level institusional kepartaian, mereka memiliki kesempatan terbatas, baik untuk

memajukan karirnya dan pengakuan atas kontribusinya. 59

57 Wawancara dengan salah seorang anggota DPR dari partai PKS Yoyoh Yusroh, 21 Juni 2007.

58 Lihat Republika, 29 Januari 2004. 59 Permata, The Prosperous Justice Party, hlm. 36 –37.

Sampul VCD yang digunakan oleh PKS untuk kampanye pada Pemilu 2004.

3.3. Pola asimetrikal organisasi Hingga 1998, JT bergerak sebagai sebuah gerakan bawah tanah, meniru gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir, yang mana pemimpin tertinggi merupakan pemegang otoritas keagamaan serta organisasi. Ia dibantu oleh deputi dengan tugas yang berbeda. Pemimpin tertinggi JT berada di bawah naungan dan melakukan konsultasi dengan pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin Mesir, terutama dalam hal mengenai prosedural organisasi dan strategi politik. Meskipun begitu, JT secara kelembagaan merdeka dari otoritas asing. terdapat forum bersifat koordinatif dari sudut pandang 3.3. Pola asimetrikal organisasi Hingga 1998, JT bergerak sebagai sebuah gerakan bawah tanah, meniru gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir, yang mana pemimpin tertinggi merupakan pemegang otoritas keagamaan serta organisasi. Ia dibantu oleh deputi dengan tugas yang berbeda. Pemimpin tertinggi JT berada di bawah naungan dan melakukan konsultasi dengan pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin Mesir, terutama dalam hal mengenai prosedural organisasi dan strategi politik. Meskipun begitu, JT secara kelembagaan merdeka dari otoritas asing. terdapat forum bersifat koordinatif dari sudut pandang

dengan kantor pusat Mesir. 60 Di bawah kepemimpinan yang sentralistik, JT menyelenggarakan perekrutan dan

pelatihan indoktrinasi melalui jaringan-jaringan terkecilnya seperti aktivis, yang dikenal sebagai kelompok usroh, terdiri dari lima sampai 12 peserta yang diawasi oleh mentor. Dalam berbagai kasus, unit-unit terkecil tersebut tidak mengungkapkan kepada unit dari anggota lain siapa yang melatih mereka. Selanjutnya, para pembimbing memecah unit-unit tersebut menjadi unit-unit kelompok lebih kecil lagi dan seterusnya. Ada beberapa kegiatan rutin yang dilakukan oleh masing kelompok. Pertama adalah pertemuan mingguan (liqo), di mana setiap unit anggota bertemu dengan mentor mereka untuk belajar dan berdiskusi pelajaran agama, sebagian besarmembahas besar teologi dan sejarah kenabian. Kegiatan kedua adalah pertemuan bulanan (mabit) di mana setiap masing-masing anggota unit kelompok menghabiskan malam di sebuah masjid, mendirikan shalat malam dan menghabiskannnya dengan diskusi mendalam tentang topik-topik tertentu dengan pembimbingnya. Ketiga adalah gathering (daurah) di mana sejumlah besar kader berkumpul dan mengajak rekrutan baru yang potensial, biasanya dijalankan secara tertutup dalam acara kesiswaan/kemahasiswaan di sekolah dan kampus. Keempat melakukan wisata (rihlah), di mana sejumlah besar aktivis JT dengan disertai keluarga mereka melakukan perjalanan ke situs pariwisata untuk saling bersosialisasi satu sama lain secara informal. Kelima adalah melakukan perjalanan ke luar wilayah (mukhayam), di mana setiap anggota kelompok JT menghabiskan beberapa hari di

luar kota untuk pemantapan fisik dan belajar keterampilan bertahan hidup. 61 Di antara anggota JT terdapat hubungan formal strktural ataupun informal.

Struktur formal mengatur bagaimana setiap anggota JT berinteraksi satu sama lain berdasarkan senioritas keanggotaan dalam organisasi, serta berdasar posisi mereka dalam organisasi. Sebagai organisasi yang terdiri dari unit-unit usroh yang bercabang-

60 Wawancara dengan Yusuf Supendi, Jakarta 61 Per ata, Isla ist Party a d De o rati Parti ipatio , .

cabang, Hubungan pembimbing dengan mahasiswa kader secara struktural juga akan memiliki hubungan tertentu dengan anggota lain dalam hal senioritas. Sedangkan dari sisi srtuktural informal, berkaitan dengan faktor-faktor non-struktural yang mempengaruhi cara setiap anggota berinteraksi atau bersikap satu sama lain. Umumnya, cara berinteraksi dan bersikap mereka akan berbeda terhadap orang-orang yang terlatih dalam studi Islam dan orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan sekuler. Mereka yang memiliki gelar dalam studi Islam, yang paling tinggi kedudukannya dan paling dihormati adalah sarjana-sarjana hukum Islam (Syariah), diikuti studi teologi (ushul al-din), dan studi Islam lainnya (pendidikan, sejarah, bahasa Arab dll). Sementara itu, kedudukan senioritas di antara individu dengan basic pendidikan sekuler, sarjana ilmu-ilmu eksak menempati status tertinggi,

diikuti oleh para sarjana dengan latar belakang ilmu sosial dan budaya. 62 Sejak tahun 1998, ketika JT mendirikan partai politik, struktur organisasi JT

bercampur juga dengan kader-kader PKS. Selama 1998-2003, lembaga pengambil keputusan tertinggi adalah Majelis Syura, yang juga memiliki kewenangan untuk menyusun dan mengubah AD/ART, memilih Ketua Dewan Syura, memilih ketua dan fungsionaris bagi Dewan Penasehat, Dewan Syariah, dan Presiden Partai. Majelis Syura terdiri dari 99 anggota, 65 di antaranya dipilih secara proporsional dari 33 Propinsi di Indonesia berdasarkan jumlah perkiraan anggota JT di masing-masing Propinsi, ditambah dua anggota khusus dan mantan ketua Majelis (Hilmy Aminuddin dan Salim Segaf Al -Jufri), dan 32 anggota tambahan yang dipilih oleh Majelis Syura berdasarkan keahlian profesionalnya.

Bagaimanapun, pada tahun 2003, pengambilan keputusan badan tertinggi beralih ke dalam Majelis Syura, sehingga adanya pelimpahan kewenangan ketua Syura mendekati absolutisme. Meskipun Majelis Syura masih memiliki hak untuk menyusun dan mengubah AD/ART dan memilih Ketua dan Anggota Majelis Syura, kebijakan itu mutlak di tangan Majelis Syura untuk memutuskan di mana, kapan dan bagaimana Majelis Syura harus diagendakan. Perubahan pola kepartaian seperti ini sebagaimana yang disebut ‘oligarki’ menurut para pakar politik. Yaitu, pergeseran

62 Wawancara dengan Arief Munandar, Jakarta 62 Wawancara dengan Arief Munandar, Jakarta

dimaksudkan menyederhanakan proses pengambilan keputusan. 63 Pola struktur baru tersebut juga membuat rumit, karena terjadinya pembauran

antara aktivis JT dan PKS. Aturan bagi organisasi JT adalah mengikuti prinsip- prinsip Islam, sedangkan PKS mengikuti aturan organisasi dan regulasi hukum tentang kepartaian nasional dan logika persaingan politik. Konsekuensinya, apa yang sering terjadi adalah sebagian besar keputusan Partai diambil dengan pertimbangan politik tapi dinyatakan, dikomunikasikan dan menjelaskannya menggunakan terminologi keagamaan. Elit Partai berkomunikasi dengan kadernya menggunakan retorika agama, dan pada saat yang sama mereka harus membuat pernyataan ke publik menggunakan retorika yang rasional. Realita tersebut menggambarkan sikap ambigu dan standar ganda kepartaian. Selama berlangsung Pemilu dan khusunya di dalam Pemilukada, PKS selalu mengeluarkan pernyataan resmi terkait mengapa mengusulkan calon tertentu berdasarkan alasan kriteria Islam. Sementara ada banyak laporan di media terkait apa yang dimaksud itu secara mendasar murni keputusan

berdasarkan murni deals politik. 64 Posisi kuat pemimpin tertinggi Partai juga menimbulkan problematika tersendiri, karena hal itu menciptakan alternatif

pembenaran yang tak sesuai prosedur, dan sikap loyal kepada pemimpin partai dari kepada anggota-anggota. Kewenangan sebesar itu memungkinkan pemimpin Partai untuk memotong prosedur organisasi guna memilih dan memilah para anggota Partai antara kelompok loyalis kepada organisasi, dan kelompok yang loyal kepada pemimpin tertinggi. Kasus yang paling mencolok adalah posisi dominan yang dinikmati oleh Sekretaris Umum Partai, Anis Matta, yang tidak hanya menjabat selama tiga periode dikarenakan kedekatannya dengan pemimpin tertinggi. Bahkan berani untuk melakukan banyak kebijakan disbanding Presiden Partai itu sendiri. Sebagai contoh, Anis merekayasa pengunduran diri Presiden Partai, Hidayat Nur Wahid (Presiden PKS periode 2003-2005) pada tahun 2005 melalui intervensi

63 Permata, Isla ist Part a d De ocratic Participatio , 187. 64 Tempo, 26 August 2012.

Majelis Syura. 65 Dia juga berani membangkan kepada Tifatul Sembiring (Presiden PKS periode 2003-2005) ketika ingin maju dalam Pilpres 2009, dan ia secara sepihak

membentuk 'Tim Pemenangan Pemilu Nasional' secara ad hoc yang dipimpin oleh dirinya sendiri. Sedangkan Presiden Partai justru mirip sebagai anggota biasa. Pada akhirnya, tim yang dibentuk Anis ini tidak bekerja dengan baik karena banyak

anggotanya memihak pada Sembiring. 66

Hal semacam itu adalah bentuk organisasi struktural asimetris yang tak bisa diatasi yang pada akhirnya menciptakan keretakan yang tak bisa diperbaiki dalam JT dan PKS untuk tetap menjaga organisasi berjalan dengan baik dimana kepemimpinan JT harus mengikuti dua aturan yang saling bertabrakan. Satu sisi, subjektif dan

65 Wawancara dengan Yusuf Supendi, Jakarta. 66 Arief Mu a dar, A tara Ja aah da Partai Politik , 93–94.

simbolik, dan lainnya harus mengikuti obyektifitas pencapaian dan realita politik. Hal ini telah menciptakan standar ganda bagi Partai. Di satu sisi, dibutuhkan keputusan berdasarkan perhitungan politik yang rasional berdasar cost and benefits. Pada saat yang sama pula harus mempertahankan penggunaan retorika agama. Biasanya didukung dengan kutipan dari Al-Qur'an dan hadis-hadis nabi dalam bentuk komunikasi mereka, terutama kepada anggota Partai.

Tiga kasus yang cukup untuk membuktikan bagaimana dilema dalam hal menunjukan identitas partai adalah; pertama, pada pemilihan presiden tahun 2004, ketika partai terpecah antara mendukung Amien Rais, tokoh terkemuka yang demokratis yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman tetapi kesempatan menang tipis, dan kader yang mendukung kandidat Presiden mantan Panglima Militer Wiranto, yang sekuler pro-Suharto akan tetapi peluangnya lebih besar. Apa yang sebenarnya terjadi adalah persaingan antara Hilmy Aminuddin (pemimpin tertinggi), yang memiliki kesepakatan politik dengan Wiranto, dan Hidayat Nur Wahid (Presiden Partai) yang berkomitmen untuk mendukung Amien Rais. Uniknya, keduanya berargumen dengan menyitir agama untuk mendukung pilihan mereka. Contoh kedua adalah 2008, Kongres Nasional PKS yang diselenggarakan di Bali, di mana ia mengusulkan bahwa partai harus menanggalkan ideologi Islam eksklusif dan menyatakan diri sebagai 'partai terbuka'. Ketua Majelis Syura PKS dan Sekretaris Jenderal Partai mendukung ide tersebut, sementara presiden Partai (Tifatul Sembiring) menolaknya. Argumen yang digunakan sebagai landasan bagi dua pihak adalah agama. Namun pada kenyataannya, hal ini berkaitan pro-kontra para elit tentang strategi terbaik untuk Pemilu 2009, apakah tetap bertahan di ceruk sempit kelompok pemilih Muslim konservatif atau pindah ke pangsa suara yang lebih luas dari pemilih plural. Kasus ketiga, berkaitan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah PKS Solo pada tahun 2010 terkait memilih pemimpin Kristen sebagai Tiga kasus yang cukup untuk membuktikan bagaimana dilema dalam hal menunjukan identitas partai adalah; pertama, pada pemilihan presiden tahun 2004, ketika partai terpecah antara mendukung Amien Rais, tokoh terkemuka yang demokratis yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman tetapi kesempatan menang tipis, dan kader yang mendukung kandidat Presiden mantan Panglima Militer Wiranto, yang sekuler pro-Suharto akan tetapi peluangnya lebih besar. Apa yang sebenarnya terjadi adalah persaingan antara Hilmy Aminuddin (pemimpin tertinggi), yang memiliki kesepakatan politik dengan Wiranto, dan Hidayat Nur Wahid (Presiden Partai) yang berkomitmen untuk mendukung Amien Rais. Uniknya, keduanya berargumen dengan menyitir agama untuk mendukung pilihan mereka. Contoh kedua adalah 2008, Kongres Nasional PKS yang diselenggarakan di Bali, di mana ia mengusulkan bahwa partai harus menanggalkan ideologi Islam eksklusif dan menyatakan diri sebagai 'partai terbuka'. Ketua Majelis Syura PKS dan Sekretaris Jenderal Partai mendukung ide tersebut, sementara presiden Partai (Tifatul Sembiring) menolaknya. Argumen yang digunakan sebagai landasan bagi dua pihak adalah agama. Namun pada kenyataannya, hal ini berkaitan pro-kontra para elit tentang strategi terbaik untuk Pemilu 2009, apakah tetap bertahan di ceruk sempit kelompok pemilih Muslim konservatif atau pindah ke pangsa suara yang lebih luas dari pemilih plural. Kasus ketiga, berkaitan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah PKS Solo pada tahun 2010 terkait memilih pemimpin Kristen sebagai

3.4. Friksi dan faksionalisme Pada Pemilu 2004, Partai mendapat tiga kali lipat suara dibanding Pemilu sebelumnya, dan memperoleh hampir tujuh kali lipat jumlah kursi di Parlemen, dan mendapatkan tiga pos kementerian, pimpinan pusat dihadapkan dengan tugas yang tidak mungkin untuk tetap mempertahankan skema polarisasi antara aktivis JT yang tetap idealis dan elit PKS yang semakin pragmatis. Mayoritas aktivis JT yang memang tidak terlibat dalam struktur Partai PKS mulai menuntut para elit JT, terutama kepada pemimpin tertingginya, untuk kembali ke komitmen dasar JT sebagai gerakan dakwah dan Ormas. Dengan cara demikian, bisa ‘melembutkan’ agenda politiknya. Puncak ketegangan terjadi di bulan Maret 2009 saat sekelompok aktivis senior JT , termasuk di antaranya mantan bakal calon presiden dari PKS, Didin Hafiduddin, menyerahkan petisi kepada pemimpin tertinggi mereka, Hilmy Aminuddin. Mereka menuntut bahwa ia harus bertanggung jawab dalam hal ideologi, organisasi serta manajemen keuangan PKS. Mereka menuduh Hilmy memanfaatkan

JT untuk agenda politik PKS. 68 Di sisi lain, tekanan politik kepada PKS di arena politik nasional memaksa pimpinan partai mengandalkan lebih banyak dan

mekanisme pengambilan keputusan yang efektif dengan cara merekrut politisi berpikiran praktis yang kadang-kadang dari luar kader JT. Sebagai dampaknya, pola kepemimpinan PKS yang baru ini menuntut agar pemimpin tertinggi fokus mengalokasikan sumber dayanya guna mendukung kapasitas bersaing partai untuk dalam lingkungan politik yang tidak stabil. Setelah berhasil memenangkan pengaruh, elit partai PKS mulai mengucilkan dan membungkam kritik pedas aktivis JT, di antara pelakunya adalah mantan wakil presiden partai Syamsul Balda dan pendiri partai Yusuf Supendi.

67 Lihat De a Syariah PKS, Pe ga gkata No Musli dala Pe eri taha : Se uah Pa da ga Da A alisa Syari Perihal e ilih pe i pi pe eri taha No -Muslim:

Sebuah Interpretasi), Januari 2010. 68 Wawancara dengan Didin Hafiduddin, Bogor.

Polarisasi yang terjadi antara JT dan PKS tetap terus berlanjut, dan bahkan ada polarisasi dalam masing-masing dua organisasi tersebut. Misalnya di dalam tubuh PKS sendiri ada perpecahan di antara kelompok politisi yang ‘office oriented’ (yang fokus mempertahankan posisi partai di kompetisi politik) dan politisi yang ‘policy oriented ’ (terfokus pada promosi nilai-nilai Islam). Selanjutnya, di antara politisi yang berorientasi office oriented ada yang berpandangan pragmatis, yang menggunakan politik hanya untuk mencapai kepentingan pribadi dan partai, termasuk kebijakan berkoalisi dengan keluarga Suharto, jaringan militer dan pengusaha (Anis Matta, Fahri Hamzah, Zulkieflimansyah), dan kelompok reformis, yang menempatkan kepentingan partai sejalan dengan reformasi demokratis (Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, Sohibul Iman). Di antara politisi penganut policy oriented, ada yang berhaluan moderat yang tidak terlibat dalam politik pragmatis tetapi mentolerirnya (Mutamimul Ula, Untung Wahono), dan radikal yang tidak mentolerir setiap perilaku politik pragmatis (Abu Ridho, Yusuf Supendi).

Di dalam JT sendiri, di antara aktivisnya yang tidak terlibat dalam struktur kepartaian. Terdapat perpecahan pula antara kelompok loyalis yang teguh mendukung keputusan oleh pimpinan partai, dan aktivis yang kritis menyikapi apa yang mereka anggap sebagai sikap menentang keputusan oleh elit partai. Di antara kelompok loyalis sendiri ada aktivis yang loyal kepada elit partai tertentu tetapi kritis terhadap pihak lain (sebagian besar adalah aktivis mudayang masih belum stabil masalah finasialnya, yang begitu menikmati hubungan cliental dengan para pemimpin partai tertentu), dan orang-orang yang loyal kepada partai dan bersemangat untuk membela PKS dari kritikus luar. Sementara itu, kalangan kritikus ada aktivis yang tetap merangkap aktivis JT (Didin Hafiduddin, Daud Rasyid Sitorus) dan mereka yang telah keluar dari organisasi dan melancarkan kritik mereka dari luar (Tizar Zein, Ihsan Tanjung, Mashadi). Jawaban kedua sebagaimana diajukan oleh Yusuf Supendi yang berpendapat bahwa friksi tersebut disebabkan oleh struktur asimetris dari JT dan PKS, dan menganggap struktur partai seperti ini tidak lazim dalam tradisi Ikhwanul Muslimin. Dalam rangka menyelesaikan friksi yang terjadi, ia mengusulkan agar pemimpin tertinggi JT juga menduduki posisi presiden partai Di dalam JT sendiri, di antara aktivisnya yang tidak terlibat dalam struktur kepartaian. Terdapat perpecahan pula antara kelompok loyalis yang teguh mendukung keputusan oleh pimpinan partai, dan aktivis yang kritis menyikapi apa yang mereka anggap sebagai sikap menentang keputusan oleh elit partai. Di antara kelompok loyalis sendiri ada aktivis yang loyal kepada elit partai tertentu tetapi kritis terhadap pihak lain (sebagian besar adalah aktivis mudayang masih belum stabil masalah finasialnya, yang begitu menikmati hubungan cliental dengan para pemimpin partai tertentu), dan orang-orang yang loyal kepada partai dan bersemangat untuk membela PKS dari kritikus luar. Sementara itu, kalangan kritikus ada aktivis yang tetap merangkap aktivis JT (Didin Hafiduddin, Daud Rasyid Sitorus) dan mereka yang telah keluar dari organisasi dan melancarkan kritik mereka dari luar (Tizar Zein, Ihsan Tanjung, Mashadi). Jawaban kedua sebagaimana diajukan oleh Yusuf Supendi yang berpendapat bahwa friksi tersebut disebabkan oleh struktur asimetris dari JT dan PKS, dan menganggap struktur partai seperti ini tidak lazim dalam tradisi Ikhwanul Muslimin. Dalam rangka menyelesaikan friksi yang terjadi, ia mengusulkan agar pemimpin tertinggi JT juga menduduki posisi presiden partai

membaurnya dua struktur yang tidak bersesuaian ke dalam organisasi tunggal: JT dengan struktur berorientasi sosial, dan strukturalisme PKS yang berorientasi politis. Untuk mengatasi faksionalisme itu, ia menyarankan memisahkannya menjadi dua organisasi yang berbeda. JT dengan tampuk kepemimpinan yang berbeda, dan harus mengikuti logika dari organisasi social. Sementara PKS dengan tampuk

kepemimpinan yang lain harus mengikuti logika kompetisi politik. 70