1. Kajian Terhadap Dinamika Internal Par

1. Kajian Terhadap Dinamika Internal Partai Keadilan Sejahtera

dan Jamaah Tarbiyah

Ahmad-Norma Permata

1. Pendahuluan

Penelitian ini mengupas dinamika internal Partai Keadilan 1 Sejahtera (PKS) dan akar massa organisasi serta pendukungnya, yaitu Jamaah Tarbiyah (JT). 2 Sejak organisasi

politik bukan lagi digambarkan sebagai aktor peran tunggal, di dalamnya selalu saja ada pluralitas, perbedaan visi, friksi dan, bahkan konflik. Penelitian ini mencoba mengungkap dinamika internal di dalam dua organisasi tersebut, mengupas berbagai ketegangan dan mengklasifikasi permasalahan tersebut ke dua bagian serta mengulas tokoh-tokoh kunci masing-masing kelompok. JT adalah organisasi yang khas dalam kancah politik Indonesia kontemporer. Pada intinya, kelompok ini adalah cabang Ikhwanul Muslimin Mesir di Indonesia, yang didirikan pada tahun 1983 oleh sekelompok sarjana yang menuntut ilmu di Timur Tengah. Di kemudian hari, sarjana- sarjan tersebut berfusi dengan jaringan-jaringan aktivis di berbagai organisasi. Mulai

dari organisasi politik dan sosial di dalam negeri, seperti DDII, 3 Muhammadiyah,

1 Kata ini patut disoroti dikarenakan kata 'keadilan' telah digunakan dimana-mana dalam jaringan-jaringan Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia (baik dalam partai politik

atau gerakan sosial). Misalnya, 'Keadilan dan Pembangunan' digunakan pada saat yang sama di Turki, Libya, Maroko, Suriah dan Aljazair. Sedangkan kelompok Ikhwanul Mesir menamai 'Partai Keadilan dan Kemerdekaan. Jika kita mencermati lebih dekat tampak bahwa setidaknya untuk kata 'keadilan', PKS tidak mengacu pada gagasan 'perlakuan yang adil', melainkan untuk 'dendam politik'. Para kader PKS menganggap diri mereka sebagai korban penindasan dan penganiayaan, baik oleh penguasa Kolonial Barat atau Pemerintahan domestic yang sekuler. Sekaranglah waktu yang tepat bagi mereka untuk melawan dan melakukan apa yang pihak lain telah lakukan pada mereka, untuk menuntut keadilan.

2 Ja aah Tar iyah se ara eti ologis adalah Ko u itas Pe didika . Suku kata dari kata itu adalah pe didika ya g erarti pe gajara da i doktri asi. Se agai isal,

pendidikan Islam yang komperhensif (kaffah) sebagai jalan hidup. 3 Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia didirikan pada tahun 1967 oleh Mohammad

Natsir dan beberapa politisi mantan partai Masyumi lainnya sebagai upaya mereka untuk kembali ke kancah politik setelah organisasi tersebut dicekal oleh rezim Suharto.

4 Nahdlatul Ulama (NU), HMI 5 hingga kelompok Salafi. Berbagai kelompok ini mengatur organisasinya secara independen dari rekanannya di Mesir. Pada tahun

1998, aktivis JT mendirikan sebuah partai politik yang dinamai Partai Keadilan (PK), yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hubungan antara JT dan PKS juga cukup unik karena JT merupakan organisasi informal, karena sejauh ini tak terdaftar resmi di Kemendagri. Pun demikian, organisasi ini juga tidak bisa dilarang menurut penalaran hukum Indonesia. JT bisa dideskripsikan sebagai organisasi bayangan PKS yang tentu saja hubungan itu berbeda dengan hubungan NU

6 dan PKB 7 atau Muhammadiyah dan PAN, yang mana keduanya merupakan organisasi formal meskipun bergerak di ranah berbeda (satu di ranah sosial dan yang

lainnya ranah politik). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu ‘bintang terang’ dalam sejarah

demokratisasi Indonesia. Pertama, keberadaannya menandai era baru politik Islam. Hal ini dikarenakan partai tersebut tidak lahir dari Ormas besar Islam di Indonesia. Hal tersebut merupakan fenomena yang patut disoroti, karena pada masa Orde Baru, penguasa telah memanipulasi dan berkompromi dengan semua ormas Islam dan

Organisasi tersebut menerima kucuran dana besar dari negara-negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi.

4 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada tahun 1947, dan merupakan organisasi ekstra kampus terbesar di Indonesia dan memiliki jaringan politik sangat kuat.

HMI juga menjadi pemasok elit dan kader partai politik, termasuk di antaranya Akbar Tanjung (Golkar), Ismail Hassan Metareum (PPP) dan Anas Urbaningrum (pada saat menulis buku ini sebagai Ketua Umum Partai Demokrat). Pada tahun 1986, menanggapi pemberlakuan UU yang mewajibkan semua organisasi massa untuk mengadopsi ideologi negara, Pancasila, HMI terpecah menjadi dua kubu: kelompok yang menerima ketentuan UU tersebut demi diakui sebagai organisasi hukum oleh pemerintah, dikenal sebagai faksi Dipo (singkatan dari jalan Diponegoro mana kantor terletak di Jakarta). Kelompok lain yang menolak ideologi Pancasila, mempertahankan ideologi Islam dan bergerak secara klandestain.

5 Dari istilah Arab Salafus al-Salihin, atau generasi murni, mengacu pada generasi pertama Muslim, termasuk para sahabat Nabi Muhammad. Mereka adalah kelompok

konservatif yang mengadopsi ide-ide Islam Arab dalam gaya dan praktik kehidupan. 6 Partai Kebangkitan Bangsa didirikan oleh beberapa elit NU, tetapi tidak memiliki

ikatan formal dengan NU. 7 Partai Amanat Nasional didirikan oleh sebagian elit Muhammadiyah tetapi tidak

memiliki ikatan secara formal dengan Muhammadiyah.

tokoh-tokoh kuncinya ke dalam lingkaran rezim. Akibatnya, hampir tidak ada ormas Islam waktu itu mampu lepas terhadap rekayasa poltik Orde Baru.

Meski didirikan pada masa rezim Suharto, namun PKS dipimpin oleh generasi baru aktivis Muslim yang tidak tergabung ke dalam salah satu ormas Islam yang ada saat itu. Para aktivis ini menganggap diri mereka sebagai bagian dan kelangsungan politik Islam dalam sejarah Indonesia, mereka juga memisahkan dan membedakan diri dari ormas Islam yang ada, dan berada di spektrum luar lingkaran para aktivis ormas-ormas lain yang mereka anggap mau berkompromi dan terkontaminasi oleh

rezim Orde Baru. 8 Kedua, partai memiliki banyak politisi Muslim yang genius dan bukan lulusan

dari lembaga pendidikan Islam seperti halnya para tokoh ormas-ormas Islam lainnya, melainkan lulusan dari universitas-universitas sekuler terkemuka di seluruh penjuru negeri. Tampuk kepemimpinan PKS sendiri juga berbeda dari yang lainnya, pemimpin bukan dari kalangan ulama-ulama dengan latar belakang pendidikan keagamaan sebagaimana ormas-ormas keagamaan lainnya. Para aktivisnya merupakan lulusan dari berbagai disiplin ilmu sekuler mulai dari teknik, ekonomi, kedokteran hingga fisika dan matematika. Universitas sendiri tetap sebagai gerbang utama bagi generasi muda yang ingin duduk dalam birokrasi dan pekerjaan profesional lainnya. Dengan cara seperti ini, partai cepat mengembangkan jaringan di

antara elit negara. 9 Ketiga, banyak pihak menganggap ideologi politiknya mencurigakan berkaitan

dengan partisipasinya dalam politik demokratis. JT sendiri mengadopsi ideologi Ikhwanul Muslimin Mesir dan bertahap melakukan proyek Islamisasi politik, yaitu: (i) Islamisasi individu; (ii) Islamisasi keluarga; (iii) Islamisasi masyarakat; (iv)

Islamisasi sistem. 10 Program-program mereka bertitik anjak dari dalam dan luar komunitas Muslim itu sendiri. Banyak ormas Islam lainnya melihat Partai tersebut

8 Yon Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Politik Islam Indonesia (Jakarta: Harakatuna, 2005), 23 –24.

9 10 Elisa eth Colli s, Isla is the Solutio , Kultur 3, no. 2 (2003), 157–182. Hilmi Aminuddin, Strategi Dakwah Gerakan Islam (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna,

mendemonstrasikan sepak terjang yang agresif, yang tidak hanya mengganggu wilayah pengikut ormas lain, tetapi juga membahayakan spektrum politik Islam moderat di Indonesia. Pihak lainnya bahkan menuduh Partai tersebut sedang mengagendakan haluan politik radikal guna mengubah Indonesia ke bentuk sistem politik Islam (khilafah).

Keempat, partai juga mampu mengesankan masyarakat Indonesia karena kelihaian organisasi dalam melakukan konsolidasi. PKS adalah satu-satunya partai politik besar di Indonesia yang tidak mengalami perpecahan di internal organisasi secara cukup serius. PKS juga satu-satunya partai yang mampu mempertahankan jumlah kuantitas pendukungnya. Karakteristik ini telah memberikan keuntungan bagi partai, terutama dalam Pilkada, PKS mampu memenangkan Pilkada di beberapa daerah yang mayoritas konstituennya merupakan masyarakat plural, meski ada beberapa kandidat ikut serta dalam kontestasi Pilkada. Pilgub Jakarta pada 2007 adalah contoh nyata yang mana gubernur terpilih membutuhkan dukungan koalisi 16 partai (44 persen) yang duduk di DPRD Propinsi guna mengimbangi kursi PKS sebesar 56 persen. Solidnya dukungan juga senjata ampuh untuk PKS dalam lobi

melakukan politik, atau untuk menaikan nilai tawar politik. 11

1.1. Keretakan internal Para peneliti tidak akan meleset memotret kondisi internal partai, kadang-kadang perpecahan itu sangat serius, yaitu perpecahan dalam partai tersebut. Pertama, ketegangan internal sudah mulai muncul ke permukaan semenjak berdirinya. Pada tahun 1998, setelah perubahan rezim, aktivis senior JT membahas kemungkinan membentuk partai politik untuk memajukan kepentingan dan agenda politik mereka, namun tidak mencapai kesepakatan saat itu. Sebagian yang lain setuju bahwa saat itulah waktu yang tepat untuk mendirikan partai politik dan ikut berkompetisi dalam iklim demokrasi. Pihak yang berseberangan berpikir bahwa mereka belum siap dan

11 Ahmad- Nor a Per ata, The Prosperous Justi e Party a d the De li e of Politi al Isla i

Ele tio i I do esia , dala Islam and the 2009 Indonesian Elections: Political and Cultural Issues : The Case of Prosperous Justice Party (PKS), ed. Remy Madinier (Bangkok: irasec, 2010), 48 –49.

lebih memilih untuk tetap menjauhkan diri dari kompetisi memenangkan kekuasaan. Sengketa tersebut diselesaikan dengan membagikan kuesioner kepada sekitar 6.000 aktivis Tarbiyah di seluruh dunia. Enam puluh delapan persen dari kuesioner yang

kembali setuju untuk membuat sebuah partai politik. 12 Kedua, visi yang berbeda juga dapat dijumpai di antara elit partai terkait

bagaimana pengelolaan organisasi. Selama empat tahun pertama dalam sejarah berdirinya dengan memakai nama Partai Keadilan, sistem keorganisasian adalah bottom up dan lebih demokratis yang mana bentuk pengambilan keputusan tertinggi ada pada kongres nasional partai. Hal ini berarti kedaulatan berada di tangan para kader partai. Namun sejak 2003, ketika nama partai berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera, AD/ART-nya juga diamandemen, keputusan tertinggi berada di tangan elit yang diwakilkan kepada Majelis Syuro. Perubahan ini bukan hanya merepresentasikan struktur keorganisasian yang berubah, tetapi juga menunjukan persaingan politis di internal. Misalnya, kelompok demokratis versus kelompok

pragmatis tendensius. 13 Ketiga, perbedaan pendapat juga muncul di dalam platform program

kebijakan partai, terdapat inkonsistensi dalam AD/ART organisasinya. Banyak yang beranggapan bahwa hal ini sebagai bentuk kesengajaan dalam kebijakan ganda Partai. Namun jika diamati lebih jauh, hal itu menunjukkan sebuah realita bahwa inkonsistensi dalam AD/ART tersebut mencerminkan perbedaan pendapat di antara penyusun AD/ART dan adanya perpecahan di internal partai itu sendiri. Misalnya, adanya pasal dalam AD/ART-nya yang menetapkan bahwa PKS adalah partai terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berusia 17 tahun lebih, atau yang telah memenuhi syarat untuk menjadi anggota. Namun, dalam pasal lainnya dalam AD/ART yang sama menetapkan bahwa untuk menjadi anggota partai itu harus mengucapkan sumpah yang di dalamnya mencakup pengucapan syahadat Islam berupa ‘tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya’. Hal ini

12 Collins, ibid. 13 Ahmad-Norma Permata, Islamist Party and Democratic Participation: Prosperous Justice Party in Indonesia 1998 –2007, PhD dissertation, Westfaelische-Wilhelms Universität Münster, 2008, 187.

menjelaskan, setidaknya menunjukan, bahwa mereka Muslim. Dengan demikian, hanya Muslim yang bisa menjadi anggota partai. 14

Terakhir, perihal kebijakan politik partai tersebut juga menunjukan perbedaan di dalam internal. Misalnya, partai melihat Pemilu Legislatif 1999 hanya sebagai kegiatan dakwah (atau tabligh). Selama kampanye Pemilu, elit Partai menginstruksikan para kader dan aktivisnya untuk mengintensifkan kegiatan keagamaan mereka, untuk membujuk orang-orang agar menerima Islam, bukan mempromosikan partai. Di samping itu, juga mengajak mereka berdoa (munajat) kepada Tuhan agar menolong partai memenangkan Pemilu. Uniknya, lima tahun kemudian pada Pemilu 2004, Ketua Umum Partai, yaitu figur yang sama, mengeluarkan fatwa untuk para aktivis dan kadernya supaya memobilisasi masyarakat untuk mencoblos PKS dalam Pemilu, terlepas apakah mereka setuju

dengan garis kebijakan politik Partai atau tidak. 15 Kajian lebih dekat telah memperlihatkan adanya ketegangan dan friksi antara JT

dan PKS, serta ketegangan internal di dalam masing-masing organisasi tersebut sebagai puncak dari perjalanan mereka dalam dinamika politik yang demokratis. Pada dasarnya, anggota JT adalah anggota PKS juga. Namun, kegiatan politik yang intensif dan sedemikian sistematis telah memisahkan aktivis PKS menjauh dari anggota JT lainnya yang tidak terlibat dalam organisasi partai politik. Para aktivis PKS cenderung semakin bersikap pragmatis dalam perilaku politik mereka, sementara anggota JT lebih berpegang untuk tetap senormatif mungkin.

Di dalam PKS sendiri, ada perpecahan antara garis ideologi Partai dengan kebijakan politiknya. Kelompok pertama memandang politik sebagai kompetisi untuk memaksimalkan kekuatan, dan sumber daya yang harus diperoleh dengan cara dan dengan aturan mereka sendiri. Sedangkan kelompok kedua memandang politik sebagai kompetisi untuk mempengaruhi kebijakan publik, dan hal itu harus perlu diperoleh sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selanjutnya, di dalam kelompok yang berorienetasi kekuasaan, ada orang-orang pragmatis yang memiliki hubungan dengan

14 Ibid., 176. 15 Ibid., 213 –218.

keluarga mantan Presiden Soeharto, militer dan pengusaha Tionghoa, dan mendorong gagasan ke permukaan bahwa partai harus menjadi partai politik yang sekuler dan terbuka. Ada juga kelompok reformis, yang secara politik lebih dekat dengan jaringan aktivis gerakan demokrasi yang sebelumnya merobohkan rezim Suharto dan yang menggerakan roda agenda politik PKS sejalan dengan agenda yang lebih luas di Indonesia menuju demokratisasi. Pun sebaliknya, di antara kelompok penganut orientasi kebijakan (policy oriented) ada beberapa orang ‘moderat’, yang menganggap kebijakan politik hanya sebagai strategi jangka pendek yang dapat

ditolerir. Juga ada kelompok ‘radikal’ yang memandang politik murni sebagai perjuangan untuk mempengaruhi kebijakan; kelompok ini bersikeras bahwa aktivis

PKS pada prinsipnya adalah pendakwah bukan politisi. Sementara itu, di dalam JT juga terdapat perbedaan pandangan antara kelompok

‘loyalis’ buta yang mendukung PKS, dan ada juga kelompok ‘kritikus’ yang mendukung PKS jikalau mengikuti prinsip-prinsip JT. Lebih lanjut, di dalam

kelompok ‘loyalis’ juga ada beberapa individu yang loyal kepada elit tertentu dikarenakan akses terhadap suatu hal atau karena resources yang di miliki para elit

tertentu itu atau karena alasan yang lebih pribadi lainnya, tetapi di lain kesempatan mereka kritis terhadap pihak lain.

Ketegangan, friksi dan perpecahan ini sangat mengganggu dan meresahkan bagi elit-elit JT dan PKS. Mereka sendiri bingung mencari solusi untuk mengatasinya. Dua ide yang layak menjadi perhatian adalah; beberapa pihak menganggap masalah tersebut merupakan akar perpecahan elit JT dan PKS. Kedua organisasi ini pada dasarnya ibarat dua sisi mata uang yang sama dalam mengikuti semboyan Ikhwanul Muslimin bahwa Partai adalah jamaah dan jamaah adalah partai (al-hizb hiya al- jamaah, wa al jamaah hiya al-hizb ). Akan tetapi, keduanya memiliki aturan dan pola- pola perilaku yang saling bertentangan. JT mengikuti prinsip-prinsip Islam di bawah bimbingan dari seorang pemimpin tertinggi (muraqib al-amm), di lain pihak PKS harus mengikuti sistem politik Indonesia dalam ikut andil berkompetisi di bawah komando Presiden Partai. Karena itu, JT dan PKS cenderung berpegang pada pendirian yang berbeda. Demi mengatasi masalah perpecahan tersebut, muncul saran Ketegangan, friksi dan perpecahan ini sangat mengganggu dan meresahkan bagi elit-elit JT dan PKS. Mereka sendiri bingung mencari solusi untuk mengatasinya. Dua ide yang layak menjadi perhatian adalah; beberapa pihak menganggap masalah tersebut merupakan akar perpecahan elit JT dan PKS. Kedua organisasi ini pada dasarnya ibarat dua sisi mata uang yang sama dalam mengikuti semboyan Ikhwanul Muslimin bahwa Partai adalah jamaah dan jamaah adalah partai (al-hizb hiya al- jamaah, wa al jamaah hiya al-hizb ). Akan tetapi, keduanya memiliki aturan dan pola- pola perilaku yang saling bertentangan. JT mengikuti prinsip-prinsip Islam di bawah bimbingan dari seorang pemimpin tertinggi (muraqib al-amm), di lain pihak PKS harus mengikuti sistem politik Indonesia dalam ikut andil berkompetisi di bawah komando Presiden Partai. Karena itu, JT dan PKS cenderung berpegang pada pendirian yang berbeda. Demi mengatasi masalah perpecahan tersebut, muncul saran

jaringan organisasi, dan solusi ini akan meminimalisir perseteruan dan friksi. 16

16 Wawancara dengan Yusuf Supendi, Jakarta.

Kedua, muncul argumen lain berkaitan titik pengamatan yang sama. Dikatakan bahwa akar dari ketegangan dan friksi antara JT dan PKS adalah ketidaksesuaian antara dua organisasi satu sama lain: anggota JT yang informal mengikuti aturan dasar internal mereka sendiri, sementara PKS adalah partai politik yang harus tunduk pada aturan negara dan realitas politik. Berbeda dengan pandangan awal yang mengusulkan bahwa kepemimpinan harus disatukan, pandangan kedua ini menyarankan sebaiknya JT dan PKS harus dipisahkan secara struktur organisasi. JT dipandang perlu untuk dilegal-formalkan sebagai organisasi sosial, terdaftar dan terikat oleh peraturan negara. Dengan cara seperti ini, dua organisasi yang sebenarnya terdiri dari kelompok yang sama dapat berjalan searah beriringan di ranah berbeda, satu di ranah sosial dan yang lain politik, dan tidak perlu mengganggu atau saling

mengintervensi. 17 Dengan kata lain, politisi PKS dapat melakukan pekerjaan politik pragmatisnya tanpa khawatir merasa diawasi JT.

1.2. Kajian kepustakaan Peneliti dan para pengamat politik memiliki sikap berbeda terkait dinamika

internal PKS dan Jamaah Tarbiyah. Sebagian beranggapan bahwa dinamika saat ini justru menjadi bukti kekuatan dan keunggulan Partai tersebut. Secara umum, pemikiran kebijakan Partai biasanya digariskan oleh fungsionaris Partai dan kadernya. Zulkieflimansyah, anggota Parlemen dari PKS, beberapa kali telah menulis artikel mengenai hal tersebut. Dia dengan mengesankan berpendapat tentang bagaimana kebijakan partai seharusnya, yang mana Partai merupakan evolusi dari gerakan dakwah yang berusaha untuk mencapai tujuan yang lebih progresif dalam kancah demokrasi di Indonesia tanpa kehilangan komitmen cita-cita moralnya. Yon Machmudi, seorang akademikus dan pendiri PKS menjelaskan bahwa Jamaah Tarbiyah dan PKS itu mewakili generasi baru politisi Muslim dan aktivis gerakan sosial. Lanjutnya, hal tersebut tidak harus dibatasi oleh dikotomi gerakan moderat dan radikal dalam gerakan politik Islam sebagaimana pendikotomian yang khas selama era Orde Baru, rezim Orba sangatlah represif. JT dan PKS sendiri lebih

17 Wawancara dengan Abu Ridho, Jakarta.

menitikberatkan pemurnian akidah (purification). JT memilih solusi dilematis misi pemurnian akidah akan nilai-nilai Islam terhadap masyarakat dengan cara mengakomodasi Islamisasi berkelanjutan dan sikap non-konfrontatif. Strategi ini terbukti berhasil menarik pengikut dan simpatisan dari kalangan Muslim modernis dan tradisional di Indonesia. Suatu pendekatan sebagaimana Machmudi katakan

belum pernah terjadi sebelumnya. 18 Sebuah artikel yang beredar luas yang menggambarkan hipokrisi tersebut adalah

artikel Sadanand Dhume. Di dalam artikelnya, ia menggambarkan PKS sebagai partai radikal yang aktif mempromosikan nilai-nilai Islamisasi politik di Indonesia. Meskipun Dhume juga menilai PKS sebagai organisasi politik yang damai yang bersedia untuk berpartisipasi dalam proses politik yang demokratis, tetapi ia meyakini bahwa itu hanyalah topeng untuk menyembunyikan agenda politik sebenarnya. Dia menulis sangat provokatif sebagai berikut:

meskipun gerakan sosialisasi Partai Keadilan, sedikit melenceng pemikirannya dari Jamaah Islamiyah, akan tetapi seperti halnya pemikiran Jamaah Islamiyah. Dalam manifesto pendiriannya, Partai Keadilan menyerukan berdirinya negara Islam. Seperti halnya Jamaah Islamiyah, ada rahasia disembunyikan yang difasilitasi oleh kedua kelompok yang secara struktural organisasi meniru dari gerakan Ikhwanul (Muslimin Mesir) yang mana sebagai induk organisasinya. Kedua kelompok organisasi tersebut menawarkan visi modern selektif, satu sisi ilmu pengetahuan dan teknologi global dipersilahkan, tetapi juga (penonjolan) nilai-nilai Islam dihindari. Kedua kelompok tersebut sangat berbeda, terutama dalam metode mereka: Jamaah Islamiyah revolusioner, sedangkan Partai Keadilan bertipikal

evolusioner. 19

Di kesempatan lain, ada pengamat yang mencoba untuk menangkap kompleksitas dan paradoks secara lebih komprehensif. Martin van Bruinessen

18 Lihat Zulkiflie a syah, O er o i g the Fear: pks a d the De o ratizatio , Jakarta Post De e er

. Prospe t for the Justi e a d Prosperous Party (PKS) and Political Isla , usi do Ope Foru , Washi gto d. . Ju e

. U dersta di g pks as Li i g E tity ithi I do esia s De o rati Spa e , Jakarta Post

August . Yo Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia (Jakarta: Harakatuna, 2005).

19 Sadanand Dhume, Radicals March o I do esia s Future , Far Eastern Economic Review 168, no. 5 (2005).

menulis bahwa politisi PKS itu ‘kaum demokrat yang setengah-setengah dan mungkin menjadi kelompok berpengaruh di Indonesia untuk gerakan demokratisasi’

didasarkan pada kenyataan bahwa banyak dari juru bicara Partai yang percaya akan konspirasi anti-Islam, anti-Zionis, anti-Barat, dan dikenal dalam memusuhi kaum liberal dan Muslim sekuler. Pada saat yang sama, PKS;

adalah sebagian kecil kekuatan di arena politik yang begitu memiliki keseriusan supaya bisa berkontribusi pada demokratisasi bertahap Bangsa [Indonesia; penerjemah], karena keyakinannya terhadap partisipasi dalam sistem politik yang ada, dan dalam mengubah masyarakat melalui pendekatan individual yang

persuasif daripada melalui pendekatan grabbing power [revolusi] 20 .

Sebagaimana halnya yang ditulis Bubbalo dan Fealy bahwa PKS memiliki beberapa sikap ambivalen terhadap Barat, ikut aktif dalam berbagai protes terhadap Amerika yang selalu mendukung Israel dan invasinya ke Irak, dan juga cenderung curiga terhadap agenda politik dari EU dan US, terutama terka it ‘perang melawan teror’. Uniknya, banyak tokoh seniornya memperoleh pendidikan tinggi dari Barat dan sering pula mengunjungi Barat, dan kesadaran mereka tentang perkembangan

internasional mungkin lebih baik daripada elit-elit partai Islam Indonesia lainnya. 21 Selanjutnya, Kees van Dijk juga memaparkan bahwa ambiguitas yang terlihat

dalam sikap politik PKS merupakan konsekuensi logis dari kompleksitas lingkungan politik yang berubah-ubah di Indonesia. Kompleksitas ini telah menciptakan aliansi asimetris antara aktor yang berbeda pandangan kancah politik, kemudian perilaku ambigu dan dinamika internal di antara aktor-aktor politik mencari titik kompromi tujuan ideologis mereka atas realitas politik yang ada. PKS merupakan partai khas

Indonesia dalam pola struktur dan perilaku. 22

20 Martin van Bruinessen, Ge ealogies of Isla ic Radicalis i post-Soeharto I do esia , Southeast Asian Research 10, no. 2 (2007), 117–154.

21 A tho y Bu alo da Greg Fealy, Joi i g the Cara a ? The Middle East, Isla is a d I do esia , The Lowy Institute for International Policy paper 05 (Alexandria:

Longueville, 2005). 22 C. a Dijk, Differe t Setti gs, Differe t Definitions, and Different Agendas : Islamic

a d Se ular Politi al Parties i I do esia a d Malaysia , dalam Interpreting Islamic Political Parties, ed. M.A. Mohamed Salih (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 51 –81.

1.3. Catatan teoretis: Sebuah kegagalan atau Post-Islamisme? Setiap upaya untuk memaparkan perkembangan dari suatu organisasi politik pasti akan menghadapi setidaknya dua permasalahan dilematis. Pertama, dilema berkaitan antara pendekatan dari sudut pandang rasional dan alamiah suatu organisasi. Sudut pandang rasional mencoba memahami sebuah organisasi, utamanya, sebagai alat bagi sekelompok orang untuk mencapai tujuan –satu set tujuan– tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Tentu saja deskripsi ini adalah definisi yang paling lumrah dipakai untuk mendeskripsikan sebuah organisasi. Dalam arti, setiap perkembangan dan dinamika dalam organisasi hanya dapat dijelaskan secara komperhensif berdasar tujuan organisasi tersebut, karena setiap anggota organisasi harus bekerja sesuai dengan spesifikasi tugas dan menurut pembagian beban kerja dari organisasi. Ini berarti parameter untuk mengukur dan menilai perilaku setiap anggota dalam dinamika suatu organisasi adalah tujuan organisasi itu sendiri, yang ditetapkan secara

a priori . Sedangkan dilema kedua adalah sudut pandang alamiah dari keberadaan suatu organisasi menyatakan bahwa dalam setiap organisasi, asalkan di situ ada beberapa orang pasti ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Akibatnya, tujuan sebenarnya dari suatu organisasi tidak pernah ditetapkan secara a priori, melainkan secara a posteriori berikut masalah-masalah insidental yang dihadapi oleh organisasi. Tentu saja, tujuan jangka panjang telah ditetapkan sebelumnya, tetapi tujuan jangka panjang itu sering kali disubordinasi atau dikompromikan dengan tujuan jangka pendek yang lebih cepat digapai dan lebih mendesak. Di samping itu, adanya sejumlah tujuan yang dikejar secara bersamaan oleh masing-masing anggota, menyiratkan tujuan sebenarnya dari suatu organisasi tidak lain adalah lowest common denominator. Tujuan utama yang semua anggota sepakati adalah kelangsungan hidup mati organisasi. Oleh karena itu, pendekatan sisi alamiah berbeda dengan pendekatan rasional yang bertitik tolak dari penetapan sebuah tujuan secara a priori sebagai tolak ukur memotret perilaku setiap anggota dan dinamika organisasi. Sudut pandang alamiah menempatkan setiap pola perilaku dan dinamika yang mampu menjamin kelangsungan hidup organisasi sebagai tolak ukur utama.

Dilematisme pendekatan yang kedua terkait antara sistem kolektif the (collective system ) dan sistem insentif selektif (selective system of incentives). Perihal pertama menyatakan bahwa suatu sistem insentif kolektif organisasi politik itu memberi dan mendistribusikan segala sesuatu kepada setiap anggotanya dengan proporsi sama, karena hal paling mendasar ini merupakan suatu identitas dan bentuk solidaritas. Sementara itu, perihal yang terakhir memberi penjelasan dalam memahami organisasi sebagai arena setiap individu untuk mengejar kepentingan pribadi masing-masing. Oleh karena itu, masing-masing anggota akan menerima reward yang berbeda sesuai dengan sumbangsih masing-masing, usaha dan capaiannya. Sebagaimana halnya keberadaan politik merupakan wadah kolektif dan tidak dimiliki oleh kelompok tertentu akan tetapi terbuka untuk semua orang. Maka, organisasi politik juga memberi insentif kolektif untuk masing-masing anggotanya. Hal ini bisa menjelaskan terkait mengapa orang ikut bergabung dan berpartisipasi dalam organisasi politik tanpa dibayar atau menerima imbalan materi lainnya. Perspektif ini menjelaskan mengapa dalam organisasi politik sebagaimana organisasi-organisasi bersifat sukarela pada umumnya, yaitu suatu organisasi yang mana orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya bukan karena dibayar atau dipaksa. Lebih lanjut, setiap anggota akan selalu bersaing untuk meguasai kontrol organisasi, kekuatan, dan sumber daya dikarenakan setiap kedudukan yang berbeda dalam organisasi akan memberikan wewenang yang berbeda pula, yang mana hal tersebut mengharuskan setiap orang atas segenap

sumbangsihnya. 23 Beranjak dari perspektif ini, ketegangan dan friksi di dalam dan di antara orang

JT dan PKS adalah bagian dari proses wajar suatu perjalanan organisasi yang ingin bertahan di lingkungan politik yang berubah-ubah dengan cepat. Pun begitu, perkembangan tersebut menarik dicermati, mengingat munculnya perdebatan saat ini tentang politik berbasis Islam. Dua teori yang relevan pada saat ini adalah teori yang dikemukakan oleh tesis Oliver Roy berkaitan kegagalan gerakan Islam politik, dan gagasan Asef Bayat tentang post-Islamisme. Roy mengembangkan penelitiannnya

23 Angelo Panebianco, Political Parties: Organization and Power (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), chapter 1.

tentang politik berbasis Islam berangkat dari apa yang terjadi di Afghanistan. Dia berpendapat bahwa politik berbasis Islam telah gagal mencapai tujuannya guna membangun sistem kehidupan bercorak Islami yang komprehensif, termasuk masyarakat Islami dan negara Islam tentu saja. Menurutnya, kegagalan mencapai misi untuk membangun sistem kehidupan Islami secara menyeluruh, yang di dalamnya terkandung juga masyarakat Islam dan juga negara Islam, baginya, kegagalan itu disebabkan tidak adanya kejelasan konsep ideologi dan politiknya, para pendukung Islam politik meyakini bahwa masyarakat Islam yang benar hanya dapat dibangun di dalam negara Islam, yang akan menjamin berlaku dan tegaknnya nilai-nilai Islam. Kenyataan di sisi lain, sebuah negara Islam sejati hanya dapat didirikan jika para politisi menegakkan dan memberlakukan prinsip-prinsip Islami bagi masyarakatnya, maksudnya bagi seluruh masyarakatnya. Ketidakmampuan memecahkan lingkaran permasalahan tersebut membuat mereka meninggalkan ide menciptakan negara Islam dan terpaksa beralih mempromosikan Islam yang hanya berkaitan norma-norma

Islami yang berhubungan tindak laku individu. 24 Sementara itu, Asef Bayat dengan mendasarkan pengamatannya atas Revolusi

Iran mendapati sebuah masa depan yang berbeda dari gerakan Islam politik yang dia sebut ‘post-Islamisme’. Dia menjelaskan, setelah melewati masa percobaan politik

dalam mendirikan suatu sistem kehidupan Islami yang komprehensif, politik Islam seperti kelelahan oleh kontradiksi-kontradiksi internal dan tekanan eksternal. Namun, dalam pengamatan Bayat tersebut, gerakan Islam politik itu bukannya runtuh atau menyerah untuk menggapai tujuannya, melainkan gerakan itu tumbuh kembang menjadi terbarukan dan lebih terbuka dengan beradaptasi dengan lingkungannya, menerima kritik dan pertanyaan yang diarahkan kepadanya seperti halnya tumbuh kembang demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, pluralisme agama dan

sebagainya, sebagai bagian dari tujuan yang terbarukan. 25

24 Oliver Roy, The Failure of Political Islam (Harvard: Harvard University Press, 1994), 60 –68.

25 Asef Bayat, What Is Post-Isla is , ISIM Review 5, no. 16 (2005), 5.

Penelitian di sini juga mendapati sesuatu sebagaimana fakta yang didapati dalam tesis Roy. JT dan PKS terjebak oleh agenda yang menyelimuti mereka, yaitu islamisasi masyarakat dan negara Indonesia. Meskipun di atas kertas, agenda islamisasi bertahap Ikhwanul Muslimin yang diadopsi oleh JT dan PKS tampaknya memberi jalan untuk keluar dari lingkaran setan. Akan tetapi, pada kenyataannya lingkaran tersebut masih membelenggu karena cacatnya konsep masih saja ada. Sebagai misal bahwa hal tersebut memang terjadi, yaitu ketika anggota JT dan PKS memutuskan sejauh mana fase islamisasi mereka dikatakan berjalan sukses. Banyak dari mereka percaya bahwa mereka telah menyelesaikan islamisasi masyarakat dan sekarang beranjak ke islamisasi sistem politik. Akan tetapi, ada beberapa orang meyakini bahwa gerakan mereka masih sejauh tahap islamisasi masyarakat, dan belum siap untuk melakukan islamisasi negara. Karena mereka semua percaya bahwa untuk setiap fase dari islamisasi ada prioritas yang berbeda dan strategi yang berbeda serta komposisi kepemimpinan yang berbeda pula. Juga adanya ketegangan dan friksi yang muncul dalam dan antara JT dan PKS ketika mereka berseberangan tentang mana prioritas yang seharusnya didahulukan, strategi yang harus dilakukan, dan siapa yang harus menanggung biayanya. Dan ketika uang dan kekuasaan ikut terlibat, konflik dan konfrontasi antar sesamanya tak terelakkan. Namun, sebagaimana yang Bayat telah amati, JT dan PKS telah melakukan evolusi sedemikian rupa dalam hal peningkatan kualitatifnya, yaitu dengan beradaptasi ke dalam sistem politik demokrasi, dan mengadopsi ide-ide baru dan program-progran yang sebelumnya asing bagi mereka ke dalam gerakan mereka.

2. Sejarah perkembangan dan pengaturan kelembagaan

Bagian ini berkaitan dengan sejarah perkembangan JT dan PKS,sejak mulai berdirinya hingga ke fase kontemporer sekarang ini. Fokusnya menitikberatkan pada interaksi antara tiga faktor: (i) ide dan cita-citanya yang diadopsi dari Ikhwanul Muslimin Mesir, (ii) sejarah dan jejak dari aktivitas politik berbasis Islamnya di Indonesia, dan (iii) kerangka kerja institusionalnya yang dipengaruhi oleh dinamika Bagian ini berkaitan dengan sejarah perkembangan JT dan PKS,sejak mulai berdirinya hingga ke fase kontemporer sekarang ini. Fokusnya menitikberatkan pada interaksi antara tiga faktor: (i) ide dan cita-citanya yang diadopsi dari Ikhwanul Muslimin Mesir, (ii) sejarah dan jejak dari aktivitas politik berbasis Islamnya di Indonesia, dan (iii) kerangka kerja institusionalnya yang dipengaruhi oleh dinamika

Di antara keunikan karakteristiknya, JT tidak pernah secara terbuka menyatakan dirinya menjadi bagian dari cabang Ikhwanul Muslimin Mesir dan tidak pernah mengungkapkan mekanisme hubungan dengan institusi pusatnya di Mesir. Hal tersebut berakibat munculnya beberapa interpretasi yang berbeda di antara para pengamat, juga di antara para anggotanya sendiri. JT tidak seperti organisasi transnasional berbasis Islam lainnya seperti Hizbut Tahrir, Ahmadiyah, atau Jamaah Tabligh yang secara terbuka menyatakan status diri mereka. Akibatnya, orang-orang yang bergabung dengan organisasi-organisasi itu tahu bahwa mereka adalah bagian dari jaringan internasional dan di bawah naungan komando mereka di luar negeri. Meskipun di antara pemimpin tertinggi JT ini jelas menunjukan gelagat bahwa organisasi mereka adalah cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir dan memiliki ikatan dengan AD/ART organisasi induknya, tapi kondisi ini tidak begitu disadari oleh aktivis JT dan anggota yang lebih rendah secara hirarkis. Banyak dari mereka menganggap JT merupakan organisasi Islam dalam negeri, atau hanya sebuah organisasi yang terinspirasi oleh Ikhwanul Muslimin Mesir.

2.1. Sejarah pendirian Sejarah JT dimulai ketika empat sarjana, yaitu Hilmy Aminuddin, Salim Segaf al- Jufri, Abdullah Baharmus, Encep Abdusyukur, pulang ke tanah air dari menimba ilmu di Timur Tengah dan mendirikan sebuah organisasi yang didedikasikan untuk propagasi Islam (dakwah) dengan mengadopsi model organisasi PIkhwanul Muslimin Mesir, termasuk struktur organisasi, metode pengkaderan dan pelatihannya. Mereka menggunakan metode kelompok-kelompok kecil terpisah, setiap mentor merekrut, melatih, dan mengawasi 5 hingga10 kader, dan masing-masing kader hanya tahu satu sama lain dalam kelompoknya saja, mereka tidak mengenal kader dari kelompok

lain. 26

26 Beberapa ahli berpandangan bahwa pendiri Ikhwanul Muslimin mengadopsi struktur organisasi angkatan bersenjata Fasis Mussolini. Lihat Francis Fukuyama dan

Semula, di bawah kepemimpinan Salim Segaf Al-Jufri, JT merekrut anggota hanya dari kalangan tertentu. Mereka menargetkan kader yang fasih berbahasa Arab dan berpengetahuan luas dalam bidang ilmu agama. Oleh karena itu, jumlah anggota mereka tetap terbatas dan hanya kelompok kecil. Lalu, ketika Salim Segaf pergi untuk melanjutkan studi di Arab Saudi, pimpinan organisasi diserahkan kepada Hilmy Aminuddin. Bertolak belakang dengan Salim Segaf, Hilmy Aminuddin memutuskan untuk melonggarkan persyaratan rekrutmen dan menargetkan para mahasiswa dari universitas-universitas sekuler. Dengan metode seperti ini, JT berhasil merekrut anggota baru dan memperluas cabang ke berbagai kota besar di

seluruh negeri. 27 Pada dekade 1980-an, JT telah mendirikan lembaga-lembaga di kota-kota besar.

Mereka membentuk jaringan kelembagaan bernama Nurul Fikri, yaitu pendampingan kelompok belajar untuk siswa SMA dalam pembelajaran, akan tetapi pendampingan juga dimanfaatkan oleh para aktivis JT untuk merekrut kader Sabili. Mereka juga menerbitkan sebuah majalah Khairul Ummah, yang mempromosikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat, terutama untuk kaum muda yang dipimpin oleh Rahmat Abdullah. Mereka juga mendirikan sebuah pesantren yang dipimpin oleh Abdul Hasib Hasan, dan j uga menciptakan ‘kajian dan informasi terkait dunia Islam kontemporer’, sebuah kelompok studi untuk berbagi informasi tentang politik internasional dan konflik, terutama di Palestina dan Afghanistan, yang dipimpin oleh

Abu Ridho dan Almuzammil Yusuf. 28 Selama dekade 1990-an, JT telah memiliki jaringan yang mapan di banyak

universitas kota-kota besar di seluruh Indonesia dan mulai mengambil alih organisasi

Nada Sa i , Ca A y Good Co e of Radi al Isla ? , Opi i Majalah, Septe er . Peneliti lainnya mengatakan bahwa metode mengacu pada tradisi Sufi yang mana Hasan al-Banna merupakan salah satu anggotanya. Lihat Ibrahim M. Abu Rabi, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab (Albany: State University of New York Press, 1996), 67.

27 Arief Munandar, Antara Jemaah Dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (pks) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, Disertasi

untuk memperoleh PhD, The University of Indonesia, 246. 28 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun

GerakanTarbiyah di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), 139 –175.

intra kampus dan ekstra kampus mahasiswa. Mulai dari Universitas Sumatera Utara di Medan, Sumatera Utara, Universitas Indonesia di Jakarta, Institut Pertanian Bogor di Bogor, Institut Teknologi Bandung di Bandung, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya dan Universitas Brawijaya di Malang, hingga sampai ke Universitas Hassanuddin di Makassar Sulawesi Selatan, puncak pimpinan dan aktivis di setiap kegiatan kampus itu adalah kader-kader JT.

Saat terjadi krisis menjelang perubahan rezim di pertengahan 1990-an, ketika aktivitas gerakan politik berbasis Islam di bawah payung ICMI (Ikatan Cendekiawan

Muslim Indonesia) 29 aktif dalam memobilisasi isu dan dukungan, mahasiswa jaringan JT mendirikan KAMMI yang difasilitasi oleh ICMI, dan dipimpin oleh Fahri

Hamzah. Selanjutnya, organisasi inilah yang menyuplai banyak elit dalam organisasi JT dan PKS. Ketika Soeharto akhirnya mundur dan pemerintahan demokratis yang baru dibentuk lalu diikuti dengan keterbukaan sistem politik, para aktivis JT mendiskusikan apakah mereka harus mengambil kesempatan untuk berpartisipasi dalam kompetisi untuk meraih kekuasaan. Opini mereka pun terpecah di antara para elit JT sehingga mereka memutuskan untuk mengadakan voting. Lebih dari 6.000 kuesioner yang dibagikan kepada kader mereka dengan tiga pilihan, yaitu: (i) bergabung dalam kompetisi politik dengan cara mendirikan partai politik, (ii) bergabung dengan kelompok lain yang mendirikan partai politik, atau bergerak di wilayah publik tetapi di wilayah non-politik. Lima puluh enam persen dari kuisioner yang kembali dari responden memilih opsi pertama.

Lantas, sebuah partai politik yang dinamai Partai Keadilan didirikan pada tahun 1998. Partai Keadilan pada pemilu 1999 hanya mampu mendulang 1,7 persen suara secara nasional dan gagal memenuhi electoral threshold disyaratkan oleh Undang- Undang guna memungkinkan mereka untuk berpartisipasi kembali dalam pemilu berikutnya. Hanya dengan tujuh kursi di Parlemen, PKS memutuskan untuk

29 ICMI didirikan pada tahun 1990 di bawah naungan mantan Presiden B.J. Habibie, mantan Menteri Riset dan Teknologi Orba, dan memainkan peran menjembatani

hubungan antara rezim Suharto dan gerakan politik berbasis Islam.

berkoalisi dengan PAN di bawah pimpinan Amien Rais untuk menggolkan amandemen baru Konstitusi guna mencegah Militer kembali berkuasa

Selama rezim Presiden Abdurrahman Wahid yang singkat, PK menerima satu pos Kementerian (kehutanan), tapi hal ini tidak berlangsung lama karena Menteri dari PK dicopot oleh Gus Dur yang berkeinginan menangkap dan menyeret ke meja hijau para pengusaha kuat yang tersangkut pembalakan liar, pencopotan ini dilakukan karena takut pembalasan politik oleh jaringan bisnis para cukong pembalakan. Di bawah rezim Megawati, Presiden menawarkan pos kementerian lain kepada PK, akan tetapi partai tersebut menolak dengan alasan Partai menolak keberadaan presiden perempuan, dan Megawati dianggap sebagai Presiden yang didukung oleh politisi sekuler dan Kristen.

Untuk dapat melanjutkan partisipasinya dalam kancah politik, JT membutuhkan pendirian partai politik baru. Hal itu dilakukan pada tahun 2003 dan mendirikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sebenarnya juga menggunakan jaringan organisasi PK dan kepemimpinan sebelumnya. Pada Pemilu 2004, PKS mengejutkan sekali dengan raihan suara tiga kali lipat dari Pemilu sebelumya, sebesar 7,3 persen, dan mendapatkan 45 kursi di Parlemen. Sebagai imbalan atas dukungan PKS dalam pencalonan Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono memberikan tiga pos kementerian, yaitu Kementrian Perumahan, Pertanian, dan Pemuda dan Olahraga. Pada Pemilu 2009, PKS mendulang 7,8 persen suara nasional dan berhak atas 57 kursi di Parlemen, dan menjadi partai politik berbasis Islam paling dominan. Pencapaian tersebut juga menerima empat pos Kementerian di Kabinet, yaitu Kementrian Riset dan Teknologi, Pertanian, Informasi dan Komunikasi, dan Sosial. Menariknya, meskipun persentase meningkat, suara yang didulang partai menurun, dari 8.325.020 suara pada tahun 2004 menjadi 8.206.955 pada tahun 2009.

2.2. Sejarah panjang gerakan politik berbasis Islam di Indonesia Bagaimanapun observasi lebih dekat mengungkapkan bahwa sejarah JT tidak dimulai dari sejak berdirinya, dan sejarahnya tidak muncul dengan hitam di atas putih. Ketika JT yang didirikan pada awal 1980-an, sebenarnya sudah ada jaringan aktivis dakwah 2.2. Sejarah panjang gerakan politik berbasis Islam di Indonesia Bagaimanapun observasi lebih dekat mengungkapkan bahwa sejarah JT tidak dimulai dari sejak berdirinya, dan sejarahnya tidak muncul dengan hitam di atas putih. Ketika JT yang didirikan pada awal 1980-an, sebenarnya sudah ada jaringan aktivis dakwah

Makassar. 30 Kembali pada era 1968, Jaringan aktivis ini ketika masih dikenal DI

menyelenggarakan apa yang disebut Latihan Mujahid Dakwah di Jakarta untuk aktivis muda Muslim. Tokoh populer yang terlibat dalam pelatihan ini termasuk di antaranya mantan politisi Masyumi seperti Natsir, Roem, dan mantan Menteri Agama Mukti Ali, sedangkan para pesertanya di antaranya Imaduddin Abdurrahim, Amien Rais, Kutowijoyo, Abu Ridho dan Mashadi. Dua nama terakhir kemudian menjadi

aktivis senior JT. 31 Sejak tahun 1974 dan berikutnya, alumni LMD mulai menyebar ke berbagai

kampus, ada dua kampus yang mana aktifitas mereka sangat menonjol, pertama di masjid Salman 32 di Institut Teknologi Bandung (ITB) di mana Imaduddin

Abdurrahim mengadakan serangkaian acara yang dikenal dengan Pelatihan Hidup Islami (LHI) guna mempromosikan cara-cara hidup Islami di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Kedua, aktivitas mereka di masjid Salahuddin Universitas Gadjah Mada Yogyakarata yang digawangi oleh Amien Rais. Di masjid ini mereka

mendirikan sebuah komunitas Salahuddin 33 yang rutin menyelenggarakan ceramah dan diskusi tentang Islam. Berangkat dari dua lembaga ini, generasi muda aktivis

dakwah lahir yang kemudian menjadi para pemimpin JT, seperti Hidayat Nur Wahid,

30 A.M Luthfi, 'Gerakan Dakwah di Indonesia', dalam Jimly Ashidiqy dkk, Bang Imad:. Pemikiran Dan Gerakan Dakwahnya (Solo: Gema Insani Press, 2002), 158-166.

31 Ibid. 32 Yang dikehendaki dengan nama masjid tersebut adalah Salman Al-Farisi, sahabat Nabi Muhammad yang dianggap sebagai ahli strategi militer terbaiknya.

33 Yang dimaksud nama tersebut adalah Jendral Muslim dari suku Kurdi selama Perang Salib, Salahuddin Al-Ayyubi (1138 –1193).

Mutamimul Ula, Untung Wahono, Tifatul Sembiring, Tjahjadi Takariawan, di antara yang cukup menonjol di antara yang lain. 34

3.3. Susunan institusi dalam menghadapi kompetisi politik Faktor lain yang berkontribusi atas keunikan dari sejarah perkembangan JT adalah institusi politiknya yang tunduk pada regulasi kompetisi politik di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Institusi kelembagaan mereka dicirikan dengan segitiga antagonisme yang rumit dan aliansi di antara rezim Suharto, militer dan politik berbasis Islam.

Pertama, para pemimpin lembaga-lembaga berbasis Islam menghadapi penolakan secara institusional oleh rezim Orde Baru yang baru saja didirikan pada pertengahan 1960-an ketika bermaksud menghidupkan kembali partai Masyumi yang telah dilarang berserta pencekalan para pemimpin eks Masyumi untuk terlibat aktivitas politik. Dalam situasi seperti ini, rezim Soeharto yang ditopang militer dan gerakan politik berbasis Islam lainnya merupakan pihak yang memerankan peran antagonis. Penolakan oleh pemerintah tersebut memaksa gerakan politik berbasis Islam tadi untuk memecah sumber daya mereka; satu sisi, mereka mengandalkan politisi muda untuk terlibat dalam kompetisi politik melalui partai Parmusi yang baru dibentuk. Di sisi lain, mantan politisi Masyumi menciptakan gerakan non-politik, yaitu Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Langkah ini merupakan awal mula DI menggabungkan dakwah dan aktivitas politik secara kesinambungan dan sekaligus mempromosikannya di kalangan mahasiswa sekuler.

Kedua, pengaturan institusi ketatanegaraan sebagaimana menurut UU No. 3/1975 telah memaksa semua gerakan politik berbasis Islam dan pelaku politik berbasis Islam harus berfusi menjadi satu partai bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan kelompok lainnya disatukan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam kondisi seperti ini, karakter antagonis layak disematkan kepada rezim Soeharto dan gerakan politik berbasis Islam dan partai politik lainnya. Di dalam tubuh militer pun mengalami keretakan internal antara yang pro Soeharto dan yang

34 Ibid.