Partisipasi demokrasi

4. Partisipasi demokrasi

Bagian ini membahas pengalaman PKS dalam hal partisipasi politik yang demokratis, yaitu bagaimana partai telah terperangkap di antara memaksimalkan kepentingan politik dan mempromosikan nilai-nilai Islam di lain sisi. Bab ini mengeksplorasi perilaku PKS di tiga arena politik berbeda; (i) mobilisasi politik, (ii) koalisi dan ikut serta pemerintahan , (iii) dan perumusan kebijakan dan pelaksanaan. Dalam tiga hal tersebut, partai mengalami perubahan dramatis dari persepsi normatif dan perilaku dalam memahami politik sebagai bagian integral dari kegiatan dakwah. Oleh karena itu, perlu dilakukan sejalan dengan norma-norma Islam dalam memahamami pragmatisme dan politik transaksional dengan menjadikan politik sebagai instrumen untuk tujuan dakwah yang perlu ditangani dengan cara mereka pandang mereka sendiri. Pada saat yang sama, perubahan-perubahan tersebut ditandai dengan polarisasi antara politisi PKS yang semakin pragmatis dan aktivis JT yang normatif, yang menjadikan adanya faksionalisme dan friksi.

Berkaitan mobilisasi politik, PKS telah memiliki pengalaman panjang dalam memahamami alur alamiah persaingan politik. Memandang Pemilu sebagai ujian formal dan pertaruhan reputasi partai politik di mata masyarakat menjadi keniscayaan pemahaman rasional terkait perlombaan yang melibatkan strategi dalam melakukan penyebaran informasi dan reputasi, dan mengarahkan kesadaran politiknya ke bentuk

69 Wawacara dengan Yusuf Supendi, Jakarta. 70 Wawancara dengan Abu Ridho, Jakarta.

transaksional, yang mana didasari pemahaman bahwa kompetisi politik melalui Pemilu bukan hanya tentang menang atau kalah, melainkan bagaimana memainkan apa yang telah dipunyai. Demikian halnya, dalam konteks koalisi dan peran sertanya dalam pemerintahan. Awalnya dirasakan perlunya koalisi secara eksklusif berkaitan bidang kerja sama berdasar ideologi dan menolak gagasan berkoalisi dengan partai sekuler. Selanjutnya, PKS mulai menyadari bahwa koalisi dengan partai sekuler bisa dipandang sebagai strategi jangka pendek yang pragmatis untuk mencapai tujuan jangka panjang yang normatif. Akhirnya, dalam perumusan kebijakan dan menjalankan partai, tampak telah terperangkap antara formulasi simbolik-normatif dan mencari kebijakan alternatif lain.

4.1. Mobilisasi politik PKS telah mengalami perubahan secara signifikan dalam pola mobilisasi politik. Terkait bagaimana memahami ide mobilisasi serta cara membawanya keluar. Pertama, selama tahun-tahun awal, pemimpin JT dan PKS menganggap mobilisasi politik sebagai suatu proses alamiah sosial, di mana reputasi dan popularitas merupakan hasil dari apresiasi masyarakat atas amal baik dan nilai kemanfaatan yang mereka perbuat. Kedua, setelah mereka mengikuti berbagai event mobilisasi politik, dari aksi unjuk rasa turun di jalanan, perang media untuk mempengaruhi opini publik, kampanye untuk pemilu, mereka mulai menyadari kenyataan bahwa politik bukanlah proses sosial alamiah, melainkan serangkaian peristiwa yang direkayasa melalui manipulasi informasi. Dengan demikian, mereka memulai untuk tidak hanya memperkuat citra dan reputasi saja, tetapi kadang-kadang juga membuat langkah

yang hampir keluar dari identitas mereka sendiri. 71 Ketiga, ketika muncul ide pluralitas, mereka mulai memanfaatkan mobilisasi politik sebagai alat transaksi.

71 Termasuk strategi untuk mensosialisasikan partai di antaranya adalah melalui pengiriman relawan ketika terjadi bencana alam yang mana sering dibutuhkan,

menempelkan logo partai dalam paket bantuan yang dikirim oleh pihak atau organisasi lain untuk korban bencana, mengawal truk yang membawa bantuan, tetapi tidak bantuan bersumber dari PKS, atau bantuan yang dikirim dengan menggunakan kendaraan dengan bendera PKS. Kegiatan-kegiatan seperti ini bisa membantu membuat citra partai di mata publik sebagai pihak yang peduli atas penderitaan rakyat.

Disadari bahwa untuk memenangkan kompetisi tidak hanya soal menjadi mayoritas, tapi juga dengan mengukur prestasi setiap standar yang telah beranjak ke level tertentu. Bagaimanapun, perubahan pola seperti ini tidak memberikan ruang bagi PKS sebagai satu kesatuan, melainkan lebih menekankan pada kecondongan di antara elit politiknya. Tidak semua anggota PKS setuju dengan penafsiran politik seperti ini. Banyak dari kalangan PKS sangat percaya bahwa politik hanyalah sarana untuk dakwah, dan prestasi dalam politik hanyalah hasil akhir dari pencapaian dakwah. Dengan demikian, perubahan pola tersebut menandakan terjadinya polarisasi persepsi dan perilaku antara anggota JT dan PKS, antara yang berorientasi politik dan kelompok yang berorientasi dakwah.

Pertama kali JT terlibat dalam program mobilisasi massa politik secara serius adalah pada Pemilu 1999. Pada saat itu, mungkin karena dipengaruhi oleh ide Islamisasi bertahap, JT mulai memahami politik merupakan proses alamiah masyarakat, yang mana pemilihan hanyalah ajang bagi partai politik untuk menguji popularitas dan reputasi mereka di masyarakat. Oleh karena itu, mereka tidak mempersiapkan kampanye secara sistematis menjelang pemilu, melainkan mengintensifkan kegiatan rutin mereka seperti rapat koordinasi, khotbah keagamaan, serta ibadah-ibadah mendekatkan diri ke Tuhan seperti shalat malam. Sebuah pernyataan (Bayan) yang dirilis oleh Dewan pimpinan pusat Partai sepuluh bulan menjelang Pemilu mejelaskan kepada kita tentang hal apa saja yang dianggap penting. Pertama, anggota JT haruslah mendedikasikan setiap tindakan mereka sebagai ibadah kepada Allah, bukan kepada partai. Kedua, misi utama partai adalah untuk memberlakukan hukum-hukum Allah di atas muka bumi, kegiatan politik melalui partai hanyalah sebuah media untuk mencapai tujuan. Ketiga, menjaga keharmonisan dan mencegah syak wasangka, terutama dengan umat Muslim lainnya, yang dianggap lebih penting daripada prestasi politik itu sendiri. Keempat, pemilu bukanlah media uji coba untuk partai, tetapi arena untuk mengukur kesiapan JT dalam menerapkan kecakapan pengimplementasian nilai-nilai keagamaan dan politik.

Kelima, meminimalisir biaya kegiatan politik dan sosial lebih penting daripada prestasi. 72

Bagaimanapun banyak hal yang telah berubah selama Pemilu 2004. Setelah Partai Keadilan gagal melewati ambang batas minimal 2,5 persen electoral threshold, JT mendirikan partai Keadilan Sejahtera dengan mengusung pemahaman baru tentang dinamika politik dan mobilisasi politik. Setidaknya terdapat tiga perubahan; pertama, berkaitan hal keorganisasian, mereka membentuk struktur organisasi yang lebih sistematis. Periode sebelumnya, partai tidak membentuk struktur jaringan organisasi terlembagakan, kondisi seperti ini nyaris terjadi semenjak tahun pertama pendirian sampai pemilu tiba, partai lebih mengandalkan jaringan internal dari sel-sel usroh. Di samping itu, Undang-Undang Pemilu tidak mensyaratkan standar minimal suatu organisasi partai politik. Sedangkan dalam Pemilu 2004, UU No. 8/2000 tentang Pemilu mensyaratkan bahwa untuk berpartisipasi dalam Pemilu, partai politik harus mendirikan kantor-kantor cabang di setiap provinsi dan harus memiliki kantor perwakilan minimal setengah jumlah total kabupaten/kota di masing-masing provinsi. Kedua, dalam hal sumber daya manusia, partai mulai memilih dan memilah pemimpin dan para fungsionaris tidak hanya didasarkan atas dasar senioritas mereka dalam jaringan JT, tetapi lebih menekankan pada kualitas karakter individu dan skil yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. PKS secara sistematis juga melakukan pelatihan dan peningkatan berbagai keterampilan dan skil para pemimpin partai dan para fungsionaris dengan menyelenggarakan kursus, lokakarya dan pelatihan di berbagai berbagai bidang, misalnya memberikan orasi di depan publik, menulis untuk media massa, berbicara di depan kamera tv, melakukan lobi, penggalangan dana, bahkan dalam melakukan psywar melalui kampanye hitam, seperti halnya untuk mengeksploitasi kelemahan dan skandal dari pihak lawan dalam rangka untuk mengacaukan pesaing politiknya dan untuk meningkatkan kepercayaan pendukungnya.

Ketiga, dalam hal strategi politik, mereka meyakini bahwa politik harus diupayakan dengan caranya sendiri. Mereka menggalang dana secara intensif, baik

72 Maklumat resmi Partai Keadilan Pusat, 22 Agustus 1998.

dari internal JT sendiri ataupun pendonor eksternal, dari dalam dan luar negeri. Mereka mulai memandang politik hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, dan melakukan koalisi strategis dengan siapa pun yang dinilai bisa ditolerir atau selama dibutuhkan, selagi mitra koalisi memiliki komitmen untuk tujuan jangka panjang

terhadap misi partai. 73 Mereka dipublikasikan pendapat dan kegiatan mereka dengan mengorganisir demonstrasi dan aksi protes menentang berbagai isu domestik dan

internasional. Pemimpin mulai mengerti dan terampil dalam menggunakan media publik di antaranya dengan mengundang wartawan untuk meliput kegiatan mereka. 74

Pada fase ini perbedaan pendapat masing-masing mulai muncul di kalangan anggota JT dan PKS. Perbedaan pandangan sering terfokus di sekitar isu penggalangan dana, yang mana fungsionaris PKS secara aktif memobilisasi dukungan keuangan dari pendonor eksternal, termasuk dari lembaga pemerintahan, pendonor dari lingkaran dekat keluarga Suharto dan perusahaan-perusahaan yang dimiliki pebisnis non-Muslim. Kritik dan ketidaksetujuan mulai muncul di antara kalangan aktivis JT yang menganggap cara-cara seperti itu bertentangan baik secara moral dan politik. Secara moral, pihak yang mengkritik berpendapat bahwa politik harus dijalankan sebagai bagian integral dari kegiatan dakwah, oleh karena itu harus dibiayai secara eksklusif dari dana yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Sementara secara politis, mereka juga menuduh para politisi PKS yang menerima dana dari non-Muslim sama saja berkolaborasi dengan musuh, dan dengan demikian mengkhianati misi mereka sendiri. Kedua para pendukung baik yang pro dan kontra mencari pembenaran atas pendapat mereka dengan argumentasi agama yang didukung dengan kutipan dari kitab-kitab dan menyitir pendapat-pendapat berdasar

keagamaan. 75

73 Wawancara dengan Hidayat Nur Wahid, Jakarta. Dia juga menyebutkan bahwa pemilu tahun depan para anggota PKS juga membujuk anggota JT untuk menyiapkan

kemeja putih dan jilbab yang akan dicetak dengan logo partai untuk keperluan kampanye.

74 Permata , Isla ist Part a d De ocratic Participatio , 216. 75 Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa seorang politisi PKS, seseorang yang

memegang gelar doctor di bidang keilmuan Islam dari Arab Saudi. Pada Pemilu 2004 ia kalah di Dapil Banten yang notabene penduduknya adalah muslim tradisional kuat.

Di kemudian waktu, PKS menunjukan tren perilaku berbeda dalam hal mobilisasi politik, yaitu dengan bertransaksi suara dengan partai politik lain. Dalam mengikuti aturan main sistem demokrasi multi partai, politisi PKS cepat belajar bahwa pilihan yang tersedia untuk peserta pemilu bukan hanya soal menang atau kalah, melainkan bagaimana menjaring hadiah yang lebih besar atau kecil sesuai dengan apa yang mereka upayakan. Dalam dinamika politik yang demokratis, suara bagi partai politik seperti income dalam bisnis perusahaan yang bisa ditransfer untuk kepentingan sumber daya lainnya.

Setelah para politisi PKS memahami hal tersebut, mereka mulai menggadaikan ideologi mereka untuk sumber daya lainnya, untuk kedudukan atau uang. Hal seperti ini jamak dikenal dengan istilah mahar politik (political dowry). Politisi PKS memainkannya secara efektif, dan sebagian besar berjalan dengan mulus, terutama saat pemilihan gubernur dan bupati/walikota, dikarenakan mereka memiliki pemilih loyal. Dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007, PKS menerima dana

30 miliar rupiah untuk pencalonan Letnan Jenderal (Purn) Adang Darajatun, salah satu mantan Wakapolri Indonesia. 76 Sementara dalam gelaran terakhir Pilgub DKI

Jakarta tahun 2012, setelah kandidatnya kalah di putaran pertama, PKS meminta 100 miliar rupiah dari incumbent Fauzi Bowo dengan imbalan 500.000 suara, tetapi pihak

Fauzi menawar Rp 20 miliar, dan kesepakatan pun tercapai: deal. 77 Kebijakan-kebijakan politik sebagaimana disebutkan di atas menambah kekuatan

lebih untuk melakukan perlawanan terhadap aktivis konservatif JT yang ada, transaksi politik seperti ini dihalalkan beberapa politisi tertentu demi menikmati gaya hidup mewah. Ketegangan semakin memuncak ketika beberapa aktivis JT benar-

Contoh lain adalah seorang politisi beragama Katolik dari partai sekuler PDI Perjuangan. Bingung dengan kekalahannya, padahal mereka sudah merasa sudah menjalin relasi dan berkoordinasi dengan para pendukungnya. Akhirnya, mereka melakukan penyelidikan terkait mengapa bias kalah. Mereka menemukan fakta bahwa itu dikarenakan saingannya telah memberikan 'bantuan langsung' beberapa hari menjelang hari pemungutan suara. Ketika pemilu 2009, mereka tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, mereka memberikan pemilih dengan bantuan langsung dan memenangkan kursi di Dewan.

76 Wawancara dengan Yusuf Supendi, Jakarta. 77 Tempo, 26 August 2012.

benar dikucilkan atau dikeluarkan dari partai karena mengkritik perilaku seperti ini. Memang, beberapa di antara mereka bahkan ada yang meninggalkan JT dan mendirikan organisisasi sendiri dan mengkritik PKS dan elit JT atas ketersesatan

organisasi dan praktek yang mengkhianati misi politik Ikhwanul Muslimin. 78 Namun, beberapa politisi PKS yang handal mampu mengamankan dukungan bagi mereka,

baik dari elit petinggi partai dengan menyediakan pasokan dana yang secara signifikan sangat dibutuhkan oleh partai dalam kompetisi politik yang intensif dan semakin kapitalistik, serta mengamankan dukungan dari aktivis JT yang lebih muda

dengan membuka kran saluran pendanaan, jaringan dan peluang karir. 79

4.2. Koalisi dan peran serta dalam formasi parti-partai pemerintahan Mirip dengan yang terjadi dalam hal mobilisasi untuk kepentingan politik, PKS juga mengalami pergeseran persepsi dan perilaku politik berkaitan dengan melakukan koalisi dalam formasi partai penyelenggara pemerintahan. Di tahun-tahun awal berdiri, para elit PKS menganggap bahwa pemerintahan merupakan suatu mekanisme yang bersifat institusional untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan, dan berasumsi bahwa partai-partai politik dengan ideologinya masing-masing akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan tertentu dan programnya masing-masing. Di kemudian hari, mereka mulai belajar bahwa melakukan koalisi merupakan instrumen untuk mengejar tujuan-tujuan politis. Oleh karena itu, mereka juga mulai menggunakan instrumen politik berupa memperlakukan koalisi tersebut sebagaimana halnya menjaring suara dalam pemilihan. Sekali lagi, perubahan cara pandang tersebut juga diikuti dengan munculnya perpecahan di internal PKS itu sendiri, antara aktivis yang memandang aktifitas politik sebagai bagian tak terpisahkan dari kegiatan dakwah yang harus dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, dengan pihak- pihak yang menganggap politik sebagai instrumen untuk tujuan dakwah, oleh karena itu, politik dianggap sebagai alat melakukan dakwah. Sekali lagi, perubahan sikap politik seperti ini juga menandai munculnya perpecahan di dalam internal antara para

78 Korespondensi via email dengan mantan anggota JT. 79 Arief Munandar,

A tara Ja aah da Partai Politik , 98–99.

aktivis yang menganggap kegiatan politik sebagai bagian integral dari kegiatan dakwah, dengan demikian harus dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, dengan mereka yang menganggap politik sebagai instrumen untuk tujuan dakwah, dengan demikian sah-sah saja menggunakan segala cara.

Usaha pertama kali partai PKS adalah ikut berpartisipasi dalam pembentukan Forum Komunikasi Partai-Partai Islam (FKPPI) pada tahun 1998. Forum tersebut menuntut Pemerintah supaya mencabut UU No. 3/1985 dan UU No. 8/1985 yang mewajibkan organisasi agar mengadopsi Pancasila sebagai asas tunggal, dan tuntutan tersebut sukses. Kedua, secara keseluruhan, 8 partai menyepakati minus PPP dan PBB menyetujui atas alokasi sisa suara mereka dalam Pemilu untuk mendapatkan kursi tambahan, yang disebut Stembus Accoord; istilah yang dipinjam dari bahasa

Belanda. 80 Langkah politik kedua adalah untuk berkoalisi dengan PAN untuk membentuk

Fraksi Reformasi di Parlemen. Fenomena ini cukup menarik, karena PAN sebenarnya bukanlah partai Islam. Pada saat yang sama, partai-partai yang berbasis Islam dari anggota FPSPI meminta agar PKS bergabung dengan Fraksi Partai Islam. Menurut Hidayat Nur Wahid, justru Amin Rais lah yang menjadi faktor penentu atas pilihan politik PKS, bukan PAN itu sendiri. Elit-elit PKS mempercayai Amien Rais memiliki itikad baik dan percaya bahwa PKS akan mampu mencapai target pararel agenda politiknya. Selanjutnya, Amien Rais dan elit PAN lainnya juga mengklaim memiliki mandat sebagai kaum reformis, yang mana sejalan dengan visi politik PKS itu sendiri. Kesimpulannya, keputusan PKS untuk bergabung dengan PAN didasarkan pada alasan yang demokratis. Oleh karena itu, Fraksi Reformasi, dengan 41 kursi di Parlemen, merupakan fraksi terbesar kelima di Parlemen. Dengan demikian, Fraksi Reformasi memiliki hak untuk menjabat wakil ketua di legislatif, mengalahkan Fraksi

Militer yang menguasai 38 kursi. 81 Koalisi PKS berikutnya adalah bergabung dengan Poros Tengah, yaitu koalisi

politisi-politisi berbasis Islam di bawah Amien Rais dirancang untuk menantang

80 Permata, Isla ist Part a d De ocratic Participatio , 240–241. 81 Damanik, Fenomena Partai Keadilan, 282 –286.

pencalonan BJ Habibie (yang dianggap sebagai sisa-sisa rezim Suharto), dan Megawati (yang dianggap sebagai politisi sekuler yang didukung oleh orang-orang

Kristen). 82 Dengan melawan segala aral rintangan, Amien Rais menominasikan Abdurrahman Wahid sebagai Calon Presiden Poros Tengah, padahal awalnya PKS

bersama dengan partai berbasis Islam lainnya yaitu PBB, lebih suka mendukung Habibie. 83 Namun, ketika akhirnya Habibie menarik diri dari pencalonannya, PKS

pun enggan memberi dukungan kepada Abdurrahman Wahid dengan menyatakan bahwa kualifikasi Gus Dur adalah pilihan paling buruk di antara Capres. 84 Aktivis

senior JT dan mantan Presiden interim PKS, Untung Wahono melakukan observasi bahwa tak diragukan lagi jika PKS lebih memilih Habibie ketimbang Amdurrahman

Wahid. 85 Ketika Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden,dia menawarkan satu pos

kementrian di Kementrian. PKS pun menerimanya dan menominasikan presiden partainya Nur Mahmudi Ismaʾil untuk menduduki posisi tersebut. Dalam pertemuan

yang diadakan setelah adanya tawaran tersebut, para elit PKS membahas departemen mana saja yang paling disukai, dan mereka menyutujui beberapa kriteria: pertama, hal itu harus menjadi pos kementerian yang populis, yang bersinggungan langsung dengan masyarakat. Kedua, pos tersebut harus sesuai dengan sumber daya manusia

82 Meskipun ada desas-desus bahwa koalisi diprakarsai oleh Amien Rais untuk memobilisasi dukungan dari politisi-politisi Muslim. Nyatanya, pengamatan lebih dekat

mengungkapkan fakta berlawanan. Forum ini diprakarsai oleh sejumlah politisi Muslim senior untuk membawa Amien Rais kembali ke habitat yang tepat pada gerakan politik Islam. Prakarsa itu dipicu oleh kesepakatan Amien Rais untuk bergabung dengan Megawati dan Abdurrahman Wahid dalam agenda memajukan agenda reformasi. Para politisi Islam merespons langkah ini dengan kecemasan, baik karena alasan ideologis serta demokratis. Secara ideologis, mereka dihubungkan dengan Megawati dan PDI Perjuangan dengan politik haluan sekuler dan Kristen. Sementara secara agenda demokratisasi, baik Megawati atau Abdurrahman Wahid dianggap tidak benar-benar sebagai kelompok reformis, karena mereka enggan untuk mendukung reformasi, seperti mengamandemen konstitusi dan demiliterisasi. Lihat Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah (Jakarta: Perennial Press, 1999), 86 –88.

83 Untung Wahono, Peran Politik Poros Tengah (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), 115.

84 Bayanat Partai Keadilan, 17 September 1998. 85 Wahono, Peran Politik Poros Tengah, 134.

yang dimiliki partai guna memaksimalkan kinerjanya. Ketiga, pos tersebut seyogyanya tidak bergantung pada dana asing. Keempat, PKS juga lebih suka pos Kementrian karena jumlah masalah sedikit. Berdasarkan kriteria tersebut, PKS meminta pos di Kementrian Pertanian. Abdurrahman Wahid tampaknya setuju dengan proposal PKS tersebut dan Ismail berada di daftar kabinet sebagai Menteri Pertanian. Namun, ketika Kabinet Indonesia Bersatu itu baru saja dipublikasikan,

Ismail dialihkan ke pos Kementrian Kehutanan. 86 Ketika Abdurrahman Wahid digulingkan oleh Parlemen, PKS sepenuhnya

mendukung pemakzulan itu dan mendukung Megawati untuk menduduki kursi kepresidenan. Menariknya, PKS tidak ikut bergabung dalam formasi kabinet meskipun Megawati dikabarkan menawarkan satu pos kementerian. Setidaknya ada empat faktor yang mungkin telah mendorong PKS untuk mengambil keputusan tersebut. Pertama, kepemimpinan Megawati dianggap kontroversial menurut kalangan Muslim konservatif berkenaan gendernya. Ideologi PKS yang konservatif memandang bahwa kepemimpinan politik itu menjadi hak istimewa kaum laki-laki. Oleh karena itu, Megawati bukanlah pilihan tepat ketika masih ada banyak politisi laki-laki yang dianggap mampu. Kedua, bergabung dengan pemerintahan di bawah rezim Megawati tidak cukup mengenakkan dari sudut pandang kebijakan, karena Megawati dan partainya dianggap sebagai reinkarnasi PNI yang berhaluan sekuler- nasionalis dari era sebelumnya. Dengan demikian, merupakan saingan berat dari gerakan politik Islam. Ketiga, sentimen anti Megawati lainnya adalah banyaknya Muslim memandang PDI Perjuangan menjadi gerbong politik bagi politisi Kristen, terutama keberadaan Mayor. Jenderal (Purn.) Theo Syafe'i, yaitu salah satu pembantu terdekat Megawati, yang diyakini memiliki sentimen kuat anti Islam. Keempat, elit- elit PKS merasa bahwa mereka perlu fokus meningkatkan performa partai mereka karena telah gagal memenuhi ambang batas electoral threshold dan berimbas tidak

dapat berpartisipasi dalam pemilu berikutnya. 87

86 Bayanat Partai Keadilan, 29 Oktober 1999. 87 Permata, Isla ist Part a d De ocratic Participatio , 245.

Cara pandang dan sikap terhadap kerja sama politik dengan partai lain berubah drastis semenjak partai tersebut berganti nama PKS. Momen pertama yang sangat mencolok adalah pada saat hari-hari menjelang Pemilihan Presiden tahun 2004. Sejalan dengan perubahan kepemimpinan partai, sudut pandang dan sikap terhadap koalisi politik juga mengalami pergeseran, dari idealis menjadi kebijakan berorientasi pragmatis, berorientasi kekuasaan. Sekali lagi, perubahan tersebut semakin memperburuk ketegangan antara aktivis JT yang normatif dengan politisi PKS yang semakin pragmatis. Konsisten dengan sikap mereka di masa lalu, elit PKS di bawah kepemimpinan Hidayat Nur Wahid tetap mendukung pencalonan Amien Rais. Beberapa minggu menjelang hari pemilihan, sebuah opsi baru dimunculkan oleh Hilmy Aminuddin untuk kembali mendukung Jendral Wiranto. Hilmy berpendapat bahwa prioritas utama dari agenda strategis politik PKS adalah untuk menghentikan langkah Megawati yang difavoritkan oleh beberapa pengamat dikarenakan di dipasangkan dengan Ketua Umum NU, Hasyim Muzadi. Amien Rais lebih disukai secara ideologis, akan tetapi peluangnya untuk menang sangat kecil. Sementara itu, Wiranto memiliki kesempatan lebih besar karena ia didukung oleh partai pemenang pemilu terakhir, Golkar. Tak gentar dengan gerakan Hilmy, Hidayat mendesak pemungutan suara di tingkat Majelis Syura dan dia memenangkan mayoritas dukungan anggota tertinggi partai dalam lembaga pengambilan keputusan partai.

Peristiwa ini menandai ketegangan dan perpecahan di antara elit-elit PKS yang reformis (orang-orang yang menempatkan agenda PKS sejalan dengan agenda reformasi demokrasi) dengan kelompok pragmatis (orang-orang yang melihat politik murni sebagai instrumen untuk mencapai kekuasaan dan kepentingan). Hilmy Aminuddin, sebagai pimpinan tertinggi JT, yang kemudian juga menjabat sebagai ketua Majelis Syura PKS, kehilangan muka di depan Dewan Partai PKS. Wiranto pun gagal membujuk partai untuk mendukungnya. Dia menyalahkan Hidayat Nur Wahid terkait hal ini. Hilmy sendiri berkata bahwa setelah kejadian itu, ia bersumpah bahwa setelah Pemilu 2009, Hidayat Nur Wahid yang pada Pemilu tahun 2004 terpilih ketua

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), akan menjadi anggota legislatif biasa. 88 Ketegangan terus berlanjut hingga waktu MPR baru dibentuk pada tahun 2009.

Selama periode ini kubu pragmatis yang diwakili oleh Sekjen partai Anis Matta, terlibat konflik terus-menerus dengan faksi reformis di bawah presiden partai, Tifatul Sembiring.

Kemudian hari, perkembangan konflik tersebut menunjukkan bagaimana kubu pragmatis berada di atas angin. Dua faktor simultan yang berpengaruh kuat di sini adalah; di satu sisi, adanya posisi kuat Hilmy Aminuddin, yaitu kombinasi kedudukan otoritas spiritualnya dalam JT dan kedudukan secara keorganisasiannya dalam PKS. Secara personal, Hilmy memiliki kharisma –sebuah kombinasi antara kesalehan spiritual, gaya aristokrat Sunda, dan sikap otoriter yang mirip dengan seorang komandan militer. Sebagai pendiri JT, ia memiliki banyak pengikut di bawah bimbingannya dan dia juga memberi banyak posisi penting untuk mereka dalam struktur kepartaian, dan bersama-sama mereka pula Hilmy mengatur manajemen

PKS. 89 Di sisi lain, tren pragmatisme PKS ini juga dibingkai oleh kondisi riil politik dan kompetisi politik yang semakin bercorak capital-intensive. 90 Masalah-masalah seperti ini –di samping masalah korupsi yang merajalela di tingkat Pemerintah Daerah – memaksa partai politik untuk mengumpulkan dana dalam jumlah besar untuk Pilkada maupun kegiatan politik lainnya. Dalam kondisi seperti ini, seperti halnya partai lainnya, PKS sangat bergantung kepada para politisi-politisi berpikir pragmatis.

Selama rezim presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PKS menunjukkan pola kebijakan yang ganjil atas perilaku sebagai partai koalisi, di mana PKS melakukan perjanjian koalisi sebagai jaminan untuk tawar politiknya. Dalam kasus pertama, Yudhoyono (2005-2009) yang berkedudukan sebagai mitra koalisi, PKS harus

88 Arief Mu a dar, A tara Ja aah da Partai Politik , 262. 89 Arief Mu a dar, Antara Jamaah dan Partai Politik , 29, 334; Jakarta Post, 29 March

2011. 90 Mengomentari terkait topik ini, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui

bahwa biaya untuk pencalonan Bupati/Walikota bisa mencapai angka 50 miliar rupiah www.inilah.com/read/detail/490041/begitu-mahalnya-menjadi-bupati / bahwa biaya untuk pencalonan Bupati/Walikota bisa mencapai angka 50 miliar rupiah www.inilah.com/read/detail/490041/begitu-mahalnya-menjadi-bupati /

membahayakan portofolio orang-orang PKS di Kabinet. 91 Keputusan PKS mendukung kenaikan harga BBM memicu gelombang protes

dari pendukung PKS. KAMMI, organisasi sayap kemahasiswaan PKS mengirim perwakilannya menemui fraksi PKS di DPR untuk menyampaikan protes mereka dan mempertanyakan komitmen partai untuk perjuangan kaum miskin. cabang KAMMI

di beberapa provinsi pun juga menyuarakan keluhan serupa. 92 Beberapa cabang PKS di daerah juga menyuarakan kekecewaan mereka terkait keputusan partai untuk

mendukung kebijakan yang tidak popular tersebut. Bahkan, beberapa dari mereka mendesak para elit mereka untuk menarik diri dari koalisi Pemerintahan karena dukungan itu berdampak pada memburuknya popularitas oartai PKS. Dampak buruk dari ikut mendukung kebijakan kenaikan harga BBM telah menyebabkan kekhawatiran besar di antara para elit PKS. Beberapa lembaga survei merilis bahwa hanya 2,6 persen pemilih yang bisa diharapkan dapat menyumbangkan suara mereka kepada PKS dalam pemilu berikutnya – hal ini merupakan penurunan sebesar dua pertiga dari 7,3 persen suara yang telah diperoleh dalam pemilu tahun sebelumnya. 93

91 Tempo, 28 March

92 –3 April 2005.

Tempo, 21 –27 Maret 2005. 93 Wawancara dengan Imam Nur Azis, 22 Mei 2007.

Kasus kedua dalam kontrak politik dengan Yudhoyono, PKS bermanuver dengan kontrak politiknya yang memiliki nilai tawar tersebut beberapa kali. Kasus pertama berkaitan dengan partisipasi PKS dalam memprakarsai pembentukan sebuah Pansus Hak Angket di DPR pada bulan Desember 2009 guna menyelidiki kasus bail out ilegal Bank Century oleh Bank Indonesia saat Budiono menjabat sebagai Gubernurnya (yang dikemudian hari tidak berselang lama Budiono juga terpilih sebagai Wakil Presiden SBY), dan juga terhadap mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kasus bail out Century ini adalah kasus serius karena dapat menyeret penyelidikan kepada dana kampanye Yudhoyono saat Pilpres. Presiden Yudhoyono melihat langkah PKS sebagai bentuk penyimpangan. Dia mengingatkan bahwa PKS adalah mitra koalisi dan juga telah menerima kursi di dalam kabinet pemerintahannya. Oleh sebab itu seharusnya PKS kembali kepada posisinya sebagai partai koalisi. Memang, akhirnya Presiden mampu memukul balik. Muhammad Misbakhun pun, politisi dari PKS yang merupakan salah satu inisiator penyelidikan Bank Century di DPR, dilaporkan ke Polisi atas tuduhan penerbitan letter of credit palsu Bank Century yang gagal. Misbakhun dinyatakan bersalah dan dihukum dua

tahun penjara dan dikeluarkan oleh partainya dari Parlemen. 94 Pada pertengahan 2011, PKS bergabung dengan partai-partai oposisi dan

mengusulkan kenaikan hrga BBM demi mengurangi defisit anggaran negara. Sementara pemerintah saat itu sangat menolak rencana apapun terkait menaikkan harga BBM, takut reaksi negatif publik. Presiden Partai Demokrat mengecam keras langkah politik PKS tersebut dan menganggap tidak etis, dan juga mendesak PKS

untuk meninggalkan koalisi jika tidak mendukung pemerintah. Anggota Parlemen menjawab bahwa mereka hanya melakukan apa yang anggota Dewan harus lakukan, yaitu menyalurkan aspirasi politik masyarakat. Pada bulan Oktober 2011, Yudhoyono pun membalas dengan memecat Menteri PKS yang duduk di Kementrian Riset dan

94 www.tempo.co/read/news/2011/06/10/078339847/PKS-Siapkan-Pengganti- Misbakhun-Arifinto-dan-Yoyoh.

Teknologi, Suharna Suryapranata, dan memberikan pos tersebut untuk orang partainya sendiri. 95

Keputusan PKS untuk tetap berada pada jalur koalisi dengan Pemerintah tetapi pada saat yang sama terus-menerus mengkritik pemerintah tersebut disebabkan oleh dinamika internal dan ketegangan antara kaum reformis yang ingin membangun citra partai ke publik yang positif dan kubu pragmatis yang tidak ingin partai kehilangan

kursi dalam kabinet. Situasi seperti itu menimbulkan dilematisme tertentu bagi menteri PKS di kabinet. Misalnya bagi Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring yang dituduh menjadi corong pemerintah. Sementara partainya sendiri

mengkritik kebijakan pemerintah. 96 Kasus selanjutnya, dan mungkin adalah insiden paling kontroversial selama

melakukan koalisi politik, berlangsung dalam kontestasi politik lokal. UU No. 32/2004 mengatur bahwa hanya partai atau gabungan beberapa partai politik dengan jumlah kursi 15 persen di DPRD bisa mengajukan calon dalam Pemilihan Daerah. Karena PKS hanyalah partai minor di beberapa banyak daerah, maka PKS membutuhkan koalisi politik agar dapat mengajukan calon-calonnya. Sampai tahun 2008, PKS mampu menang di 92 Pilkada, baik tanpa melakukan koalisi atau sebagai mitra koalisi dengan partai lain. Delapan kali menang di tingkat Pilkada Provinsi dan

84 kali menang dalam Pilkada di tingkat Kabupaten/Kota. Terdapat dua poin penting yang perlu digarisbawahi dalam hal ini. Pertama, PKS telah memenangkan lima kali Pilkada tanpa koalisi (atau sebesar 5,4 persen). 87 kemenangan lainnya dicapai melalui berkoalisi dengan partai-partai lain, dan hanya 12 calon (atau sebesar 13,9 persen) yang berasal dari elit kader PKS yang sukses terpilih. Dengan demikian, dalam berbagai Pilkada tersebut, partai PKS sebagai mitra koalisi yang tidak begitu menganggap penting calon direkrut dari kader atau calon dari luar partai. Kedua, mungkin lebih menarik lagi, dari 161 koalisi politikyang dilakukan tersebut. telah terjadi dalam 244 pilkada yang digelar rentang tahun 2005-2008. 60 persen koalisi

95 http://nasional.kompas.com/read/2011/10/18/18581479/Menristek.Suharna.Surap ranat.Sudah.Berpamitan.

96 Wawancara dengan Sapto Waluyo, Jakarta. Kompas, 15 April 2009. Koran Tempo, 8 Maret 2011.

dialkukan dengan partai-partai berhaluan Islam, dan 40 persen koalisi dilakukan dengan partai-partai sekuler dan Kristen; 33 kali dengan PAN (parpol berbasis islam),

29 dengan Golkar (partai sekuler), 24 dengan PPP (Partai berbasis Islam), 22 dengan Demokrat (sekuler), 20 dengan PKB (Partai berbasis Islam), 17 dengan PBB (Partai berbasis Islam), 14 dengan PDI Perjuangan (partai sekuler), dan satu kali dengan PDS (partai berhaluan Kristen).

4.3. Pengambilan kebijakan dan implementasinya Ada dua perspektif yang berbeda dalam memahami proses pengambilan suatu kebijakan; pertama, perspektif normatif yang disebut 'kebijakan akuntabilitas(policy accountability ), di mana partai politik merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang sejalan dengan ideology partai atau platform yang telah dicanangkan, meskipun berkemungkinan bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, harus berani mengambil risiko raibnya dukungan pemilih bagi partai dalam pemilu berikutnya. Kedua, perspektif rasional disebut kebijakan efektif (policy effectiveness), di mana partai menggariskan kebijakan-kebijakannya guna merespon aspirasi-aspirasi masyarakat dalam rangka untuk mengamankan dukungan suara dalam pemilu berikutnya meskipun berkemungkinan bertentangan dengan ideologi atau platform program. Dalam hal perilaku politik, PKS cenderung secara konsisten mempromosikan kebijakan-kebiajakn populis guna menarik simpati publik. Namun, sekarang pemahaman seperti ini bisa dirasakan berbeda motif yang melatarbelakangi dengan kebijakan-kebijakan partai di masa lalu. Di masa lalu, partai memilih kebijakan populis berangkat dari anggapan bahwa kebijakan tersebut sebagai turunan dari ideologi dan platform program. Di kemudian waktu, partai menempatkan ideologi dan kebijakan populis secara paralel yang juga semakin pragmatis dan semakin rasional dalam berpolitik. Partai menempuh program yang serupa dengan kebijakan populis. Namun, kali ini PKS tidak lagi memandang hal itu sebagai konsekuensi logis dari formulasi sebuah ideologi, melainkan sebagai strategi sekedar untuk menarik simpati masyarakat.

Sebagai contoh dari orientasi kebijakan populis PKS adalah seleksi portofolio pos di kabinet yang diidamkan, di mana mereka lebih suka pos Kementrian yang memiliki akses langsung ke publik, seperti Kementrian Sosial, Perumahan, Pertanian, dan Pemuda dan Olahraga. Melalui pos-pos Kementerian populis seperti itu partai bisa leluasa mempromosikan dirinya ke jaringan yang luas di masyarakat, terutama di kalangan kelas ekonomi menengah ke bawah yang merupakan kelompok pemilih mayoritas Indonesia. Seperti yang terlihat dari diskusi elit PKS sebelum menerima pos Kementrian di era Gus Dur, para elit PKS menyukai pos-pos Kementerian yang memiliki akses langsung ke masyarakat. Hal ini mengindikasikan ketertarikan untuk mempromosikan ideologi dan agenda program-program mereka. Lebih dari itu, di tahun-tahun berikutnya tidak hanya mempromosikan agenda ideologis, tetapi juga profil politik mereka. Ada fakta menarik lainnya tentang jabatan public yang diembankan PKS, mereka berusaha untuk mengambil sumber daya sebanyak mungkin dari setiap pos yang mereka kendalikan. Mereka memobilisasi anggota- anggota partai sebagai asisten dan juga ajudan untuk Menteri. Bahkan menggantikan pekerja yang mengurusi tempat ibadah di kantor Kementrian dengan anggota partai. PKS juga memaksimalkan jaringan kerja untuk jabatan publik. Misalnya di Jawa Barat ada sosok Gubernur Ahmad Heryawan, seorang aktivis senior JT dan terkenal sebagai organisator demo, dan telah banyak menerima penghargaan, dan biasanya diikuti oleh hibah dan subsidi lainnya dari Kementrian yang dipegang orang-orang

PKS. 97 PKS juga menunjukkan sikap yang tidak konsisten terkait penentuan kebijakan,

sebagaimana dapat dilihat dalam kasus kenaikan harga BBM. Selamaperiode masa jabatan presiden Yudhoyono, PKS awalnya menolak rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan alasan bahwa kenaikan tersebut akan memperburuk kondisi ekonomi di masyarakat. Kemudian, sikap PKS mendukung kebijakan tersebut dengan alasan bahwa hal itu harus dilakukan karena sebagai mitra koalisi partai Pemerintah. Selama masa jabatan kedua presiden Yudhoyono, PKS bermanuver lagi dengan isu kenaikan BBM, tetapi kali ini justru mendukung usulan dari partai-partai

97 www.ahmadheryawan.com/8-profil-ahmad-heryawan/3333-daftar-penghargaan.

oposisi untuk menaikan harga BBM ketika pemerintah sendiri memilih opsi sebaliknya. Dalam kasus ini, PKS tampaknya sedang melakukan manuver di dua wilayah kepentingan berbeda pada saat yang sama. Pertama, PKS sedang menguji kekuatan partai pemegang pemerintahan dan juga partai oposisi. Kedua, PKS sedang bermain dengan daya tawar politiknya di dalam internal partai itu sendiri, antara orang-orang elit pusat partai dengan menteri-menteri dari PKS dalam kabinet pemerintahan. Hal ini adalah sebuah ketegangan yang terus berlanjut antara Sekjen PKS, Anis Matta dengan mantan presiden partai, Tifatul Sembiring, yang merupakan Menteri Informasi dan Teknologi dalam kabinet SBY Jilid II. Maksud yang ingin dituju adalah tentang bagaimna Dewan Pusat Pimpinan Partai ini bisa memberi atau mencegah suatu masalah bagi menteri-menteri berasal dari kadernya. Dengan demikian, kader-kader yang duduk di pos kementrian akan patuh terhadap Dewan

Pimpinan Pusat partai. 98 PKS juga selalu memperlihatkan kecenderungan memilih standar ganda dalam

kebijakan populisnya. Di satu sisi getol medukung UU Anti-Pornografi dan pemberlakuan sensor tayangan-tayangan erotis, tapi tidak menerapkan standar yang sama untuk politisinya sendiri yang kedapatan menonton video porno saat siding Paripurna di DPR. Draft UU Anti-Pornografi sangat kontroversial, karena banyaknya kelompok menuduh UU tersebut itu bisa berdampak kesewenang-wenangan dalam penerapannya, ambigu, pemaksaan keseragaman standar estetika, dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.Draft UU tersebut akhirnya disahkan sebagai UU Nomor 44 Tahun 2008 pada tanggal 28 Oktober 2008. PKS adalah salah satu pendukung paling gigih atas berlakunya Undang-Undang tersebut dimana salah seorang politisi PKS menjabat sebagai wakil ketua panitia RUU tersebut. Ironisnya, seorang politisi dari PKS bernama Arifinto, yang juga anggota anggota DPR tertangkap kamer menonton video porno saat sidang paripurna DPR. Seketika itu juga, PKS adalah pihak yang tersudutkan oleh berbagai skandal pemberitaan itu oleh berbagai media yang memojokan PKS supaya memberlakukan UU Anti-Pornografi

98 http://www.tempo.co/read/fokus/2012/03/24/2316/Kenaikan-Harga-BBM-PKS- Dituding-Berpolitik-Dua-Muka.

tersebut kepada politisinya sendiri. Namun demikian, PKS masih mendorong kebijakan terkait UUAnti-Pornografi ke depannya dengan cara mengusulkan dan mendukung penciptaan Gugus Tugas (Taskforce) untuk Pencegahan dan Penanggulangan Pornografi sebagai badan khusus yang mengawasi pelaksanaan UU

Anti-Pornografi 99 sebagai lembaga khusus yang mengawasi pelaksanaan UU Anti- Pornografi. Lembaga khusus tersebut dikoordinasi oleh Kementerian Sosial, dan juga

melibatkan berbagai kementerian terkait, seperti dari Kementrian Agama, Pendidikan, Hukum dan Pemberdayaan Perempuan, dan polisi serta lembaga-lembaga non-

pemerintah seperti akademisi dan aktivis LSM. 100 Terakhir, PKS juga terlibat sebagai inspirator dalam penerapan Perda-Perda

Syariah.Perda Syariah adalah sebuah peraturan yang mana otoritasnya dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan pada nilai-nilai keagamaan, seperti larangan minuman keras dan perjudian, memaksa orang (terutama perempuan) memakai pakaian Islami, menghentikan kegiatan publik selama berlangsung ibadah Jumat, perlunya melek Alquran, dll. Lebih dari 151 Pemda mengimplementasikan Perda Syariah tersebut, 42 di antaranya didukung oleh PKS. Dalam hal ini, terlihat bahwa sudut pandang PKS mengenai pembuatan Perda-Perda Syariah lebih rasional dan normatif, berangkat dari keinginannya dalam mendukung pemimpin-pemimpin daerah dengan visi kebijakannya, bukan hanya sebatas karena para pemimpin daerah tersebut terinspirasi penerapan Perda Syariah.