KISAH PARA PEZIARAH

III. 1. KISAH PARA PEZIARAH

Ziarah Wali dilakukan oleh dua macam kategori peziarah, yaitu peziarah kelompok yang biasanya datang dalam satu rombongan dan juga peziarah individu yang datang berziarah sendirian. Berziarah merupakan ritual-aksi performatif yang

51 selalu sangat personal 52 bagi para pelakunya , tak terkecuali pada peziarah kelompok, setidaknya itu temuan saya mengenai beberapa informan yang saya temui

dan informan-informan yang banyak berbincang dengan saya. Rentang waktu sekitar dua bulan lebih penelitian tinggal di Cirebon khususnya di Kompleks Pertamanan Gunung Sembung, Kompleks makam keramat Sunan Gunung Jati, membuat saya dapat mendalami subjek kajian ziarah saya ini.

Beberapa informan penting juga saya dapatkan selama rentang waktu tersebut, setidaknya ada enam informan peziarah yang cukup banyak saya dapatkan kelengkapan data dan kisah mengenai ritual ziarah yang mereka jalani. Adapun empat orang yang saya tampilkan dalam bab ini kesemuanya berasal dari Jawa Barat. Saya sebenarnya memiliki kesulitan untuk mendekati para informan peziarah karena laku dan tirakat mereka yang mengharuskan mereka untuk khusyuk. Disebabkan oleh hal tersebut saya tidak dapat memilih-milih informan sesuai dengan kemauan saya. Beberapa informan ini saya rasa cukup mewakili bagaimana wilayah kerja dari Sunan Gunung Jati di Jawa Barat mendapati bentuk kesejarahan tentangnya hingga ia kemudian di ziarahi oleh para peziarah-peziarahnya.

Berikut saya tampilkan data empat dari enam informan tersebut. Saya runutkan dari informan yang paling banyak memberikan data dari laku-laku nya ketika ia saya temui di Komplek Makam Keramat Sunan Gunung Jati :

51 Berkaitan dengan doa dan permohonan khusus yang dipanjatkan tiap-tiap individu. 52 Berkaitan dengan penghayatan dari sebuah aksi performatif ritual ziarah.

1. Ahyana : rona wajahnya tak menunjukkan keriput yang cukup saya tandai sebagai laki-laki berusia lebih dari empat puluh tahun. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari beberapa perbincangan dan waktu yang kami habiskan bersama. Pada malam ketika saya dan Ahyana berbincang-bincang di teras Masjid Sunan Gunung Jati 53 , Ahyana menunjukkan sebuah kartu keanggotaan

Prajurit Siliwangi Cabang Banten dengan fotonya terpampang namun dengan nama yang berbeda. Saya sungguh lupa untuk mengingat nama Ahyana yang terpampang di kartu tersebut, yang kuingat adalah tahun kelahiran Ahyana yang berbeda hampir dua puluh tahun dari tahun kelahiran saya, 1989. Saya sendiri agak terheran melihat tahun kelahiran Ahyana, namun Ahyana sendiri yang meyakinkan saya bahwa dia telah berusia cukup tua.

Ahyana berasal dari Banten, tepatnya sebuah kota bernama Cikaduen. Ia telah sempat berkeluarga dengan dikaruniai satu orang anak, namun dari pengakuannya, ia telah bercerai dengan istrinya tersebut. Semenjak saat itu kemudian ia mulai hidup dan tinggal di salah satu makam keramat di daerah Cikaduen hingga sekarang.

Ziarah bisa dibilang merupakan keseharian dalam hidupnya, tempat tinggalnya yang merupakan makam keramat juga membuat ziarah menjadi hal utama dalam hidupnya. Ia bercerita bahwa setiap ia singgah di suatu daerah, pasti ia akan mencari makam keramat dimana ia berada. Suatu kisah darinya adalah ketika ia mengunjungi daerah Cibaduyut di Bandung, ia kemudian menanyakan pada warga sekitar, apakah di daerah tersebut terdapat makam keramat? Ia bertanya demikian karena suatu ketika dalam suatu tidurnya, saat ia telah berada di Cibaduyut, ia merasakan sesuatu yang berbeda di daerah puttingnya (ia merasakan kedutan dibagian tersebut). Ia kemudian berhasil mendapatkan informasi bahwa di daerah Cibaduyut memang terdapat makam keramat seorang Puteri, persis seperti dugaan dan tanda yang didapatkannya, begitu cerita Ahyana pada saya. Di MSGJ Ahyana juga sempat bertutur pada saya, ketika ia

53 Untuk selanjutnya saya akan menyingkatnya dengan MSGJ.

melakukan wirid 54 dan dzikir di MSGJ ia bisa merasakan kedatangan dari Sang Waliullah Sunan Gunung Jati. Ketika Waliullah itu datang biasanya disertai

dengan hawa 55 dingin. Ahyana memang sering melakukan wirid dan dzikir di kompleks makam Sunan Gunung Jati ini, dalam laku nya tersebut, tak lupa

sebuah botol berisi air putih dengan tutup terbuka berada di depan tubuhnya yang khusyuk .

Ketika berada di Cirebon, Ahyana juga tidak hanya berkunjung di makam keramat Sunan Gunung Jati. Ia juga berkunjung ke makam Syekh Idlofi Mahdi yang berada tepat di bukit seberang makam keramat Sunan Gunung Jati. Di malam ketika saya dan Ahyana berpisah di makam keramat Sunan Gunung Jati, ia mengunjungi sebuah makam keramat yang terletak tak jauh dari kedua makam keramat. Makam tersebut terletak dekat daerah pantai. Di makam tersebut ia bercerita bahwa makam tersebut adalah makam seorang Waliullah perempuan yang bertugas menjaga pantai agar air laut tidak membanjiri wilayah sekitar Wali perempuan tersebut berada.

Bagi Ahyana, Sunan Gunung Jati adalah seorang Wali-Qutb 56 . Dari kesembilan Dewan Wali Songo, hanya Sunan Sunung Jati-lah yang memiliki Asma Allah

dalam namanya, yaitu Syarif Hidayatullah, ungkap Ahyana pada saya. Kunjungan Ahyana di makam keramat Sunan Gunung Jati ini berlangsung selama 3 hari. Hari terakhir kunjungan Ahyana di makam keramat Sunan

Gunung Jati ini adalah hari Jum’at 17 Februari 2012. Hari itu juga saya mengantarkan kepergian Ahyana ke stasiun Cirebon. Kali ini ia akan pergi

mengunjungi makam Bung Karno di Blitar dengan menumpang kereta. Di awal kedatangannya di kompleks Makam Sunan Gunung Jati ia memang telah berbicara tentang rencananya untuk berziarah ke makam Bung Karno. Saat perpisahan kami, saya menanyakan perihal uang sakunya apakah cukup untuk sampai ke Makam Bung Karno. Ia mengatakan bahwa bekal uangnya tinggal dua

54 Biasanya berupa bacaan/doa/dzikir khusus. 55 Suasana yang identik dengan kondisi udara sekitar. 56 Kutub/pusat bagi para Wali, posisi tertinggi dalam hierarki Wali.

puluh ribu rupiah, karena saya pikir bahwa bekalnya tak cukup untuk naik kereta dan makan hingga sampai di Blitar, maka sayapun membagikan sedikit uang yang saya punya pada Ahyana. Di ujung perpisahan kami, Ahyana mengatakan kalau minggu depan ia akan kembali lagi ke makam keramat Sunan Gunung Jati.

2. Mbah Da’al : Makam Sunan Gunung Jati mungkin sudah seperti rumahnya sendiri. Hampir tiap tiga hari dalam semin ggu Mbah Da’al selalu berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati dan menginap di MSGJ atau paling tidak dalam sebulan pasti ia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung kesini. Dia adalah orang yang paling sering saya temui kompleks makam Sunan Gunung Jati. Menurutnya semua anaknya telah berkeluarga dan hidup masing-masing, dan dia sekarang tinggal di Cirebon bersama seorang anak laki-lakinya. Ketika awal berkenalan, Mbah Da’al mengaku berasal dari Cirebon, karena ia memang tinggal di Cirebon namun ketika saya dan beliau mengobrol lebih jauh, ia mengatakan bahwa ia adalah orang Pemalang, sebuah kota kecil di Pantai Utara Jawa Tengah. Ketika saya menanyakan perihal usia pada mbah Da’al, ia mengaku berusia ‘delapan tahun tujuh bulan’ sebuah gurauan dari Mbah Da’al membuka pertemuan awal kami. Usia delapan tahun tujuh bulan itu ternyata yang dimaksud adalah delapan puluh tujuh tahun. Usia yang cukup tua sebenarnya, namun dikerentaannya tersebut ia masih terlihat cukup bugar dan sehat.

Mbah Da’al sempat bercerita banyak mengenai kisah-kisah hidupnya pada saya. Saat saya bertanya tentang seringnya berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati, ia menjawab sangat sering, karena dia sudah tidak memiliki kegiatan apapun di usia tuanya itu. Ia juga sering berkunjung ke makam para Wali lainnya. Ia menceritakan tentang pernah berkunjung ke makam Sultan Hasanudin putra Sunan Gunung Jati yang berada di Banten. Ia juga menceritakan disana ia bertemu dengan seorang anak laki-laki seusia saya yang sedang menjalani tirakat puasa tidak makan selama dua belas tahun. Pengalamannya berziarah tidak hanya di Banten itu, ia menceritakan sempat berkunjung ke makam para Wali songo Mbah Da’al sempat bercerita banyak mengenai kisah-kisah hidupnya pada saya. Saat saya bertanya tentang seringnya berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati, ia menjawab sangat sering, karena dia sudah tidak memiliki kegiatan apapun di usia tuanya itu. Ia juga sering berkunjung ke makam para Wali lainnya. Ia menceritakan tentang pernah berkunjung ke makam Sultan Hasanudin putra Sunan Gunung Jati yang berada di Banten. Ia juga menceritakan disana ia bertemu dengan seorang anak laki-laki seusia saya yang sedang menjalani tirakat puasa tidak makan selama dua belas tahun. Pengalamannya berziarah tidak hanya di Banten itu, ia menceritakan sempat berkunjung ke makam para Wali songo

Asalnya dari Cirebon membuat Mbah Da’al dikenal ketika ia sedang merantau diberbagai daerah. Setidaknya ia menceritakan tentang pengalamannya merantau di Kalimantan. Pengalamannya ketika kasus Sampit yang terjadi di tahun 2000an itu. Bagaimana ia dapat selamat dari kerusuhan disana, ia menceritakannya dengan antusias namun tenang dengan matanya sesekali menerawang jauh. Ketika ia berkunjung ke Makasar, ia bertemu dengan seorang Habib 57 dengan

Nama Keluarga Al-Attas . Ketika mengetahui bahwa Mbah Da’al berasal dari Cirebon, habib tersebut kemudian menjamu dan memperlakukannya dengan khusus, tuturnya. Saya merasakan sendiri nama daerah Cirebon sendiri sebenarnya memiliki kekuatan unik. Karena dikenal sebagai kota dimana Wali Sunan Gunung Jati itu besar dan mengembangkan agama Islam, siapapun yang terkait atau mengaitkan diri dengan Cirebon biasanya direspon berbeda oleh orang kebanyakan di Jawa atau beberapa wilayah Nusantara seperti pengalaman Mbah Da’al.

3. Teh Neneng : Pagi di pertengahan bulan maret, tepatnya tanggal 14 maret 2012, saya bertemu dengan seorang peziarah perempuan di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Perempuan itu bernama Neneng, dari pengamatan saya ia belum teramat tua, mungkin masih sekitar 30-an tahun, terlihat dari wajah putihnya yang masih segar, serta tak adanya kerutan di wajah Neneng yang berbalut kerudung. Neneng berasal dari Majalengka, Jawa Barat. Jarak yang tak terlampau jauh dari kota Cirebon. Kota Majalengka terletak di sebelah Barat Kota Cirebon, jaraknya mungkin masih dalam hitungan puluhan kilometer, tak sampai lima puluh kilometer dalam hitungan saya. Anak pertamanya sudah menginjak usia remaja, seorang perempuan yang sekarang duduk di bangku SMA. Ia memiliki tiga orang putra-putri dari hasil pernikahannya.

Pagi itu kami duduk di samping sebuah nisan di area gerbang ke tiga dekat tempat para juru kunci biasa berbincang serta berjaga, juga dekat tempat mukim

57 Term of address untuk seseorang yang masih memiliki garis keturunan dari Nabi Muhammad.

para peziarah wanita yang sedang menjalani laku ziarahnya di Makam Sunan Gunung Jati ini. Kedatangan Neneng kali ini adalah dalam rangka menenangkan diri setelah bercerai dengan suaminya atau dalam bahasa yang digunakan Neneng, “bubaran”. Saat saya menanyakan perihal kedatangannya ke Makam Sunan Gunung Jati ini, Neneng mengaku telah berkali-kali datang ke makam keramat Sunan Gunung Jati. Ia mengungkapkan bahwa ia sering mengunjungi makam tersebut, paling tidak pada waktu-waktu ketika ia sedang dirundung masalah seperti keadaannya sekarang, atau sedang memiliki keperluan khusus seperti dulu sebelum melangsungkan pernikahan. Pengalamannya berziarah di Makam Sunan Gunung Jati diawali ajakan neneknya bertahun-tahun lalu sewaktu ia kecil. Setelah saat itu, makam Sunan Gunung Jati adalah tempat dimana ia dapat mencurahkan seluruh kegembiraan dan kegelisahannya.

Saat Neneng saya temui, ia sedang menjalani tirakat untuk berpuasa tidak makan makanan yang bernyawa selama dua puluh hari. Saya tidak menanyakan persis maksud dari tirakatnya tersebut, namun jelas Neneng semakin berat tirakat yang dijalani, semakin mungkin sebuah hajat seorang pelaku tirakat tersebut akan mudah dikabulkan. Neneng menginap di tempat khusus para peziarah perempuan yang terletak dekat tempat para juru kunci berjaga. Di tempat ini pula ia bertemu beberapa peziarah yang melakukan laku-tirakat yang berat-berat. Ada yang berpuasa dan hanya makan cabai saja, ada yang puasa tidak ngomong, ada yang puasa tidak tidur, ada yang puasa biasa, juga ada yang menjalani puasa mutih.

Saya sempat menanyakan kepada Neneng mengenai perlunya berziarah. Menurutnya berziarah itu penting karena kita bisa mengingat kematian, bahwa semua orang yang hidup itu pasti akan mati. Neneng juga mengungkapkan bahwa lewat berziarah kita dapat melihat bahwa jika orang itu hidup dan berbuat baik, maka akan selalu dikenang baik seperti Sunan Gunung Jati yang diziarahi hampir ratusan orang setiap harinya seperti sekarang ini. Makam Sunan Gunung Jati menjadi tempat khusus untuk Neneng. Ketika saya bertanya mengenai apakah ia juga suka berziarah ke makam para Wali yang lainnya, Neneng Saya sempat menanyakan kepada Neneng mengenai perlunya berziarah. Menurutnya berziarah itu penting karena kita bisa mengingat kematian, bahwa semua orang yang hidup itu pasti akan mati. Neneng juga mengungkapkan bahwa lewat berziarah kita dapat melihat bahwa jika orang itu hidup dan berbuat baik, maka akan selalu dikenang baik seperti Sunan Gunung Jati yang diziarahi hampir ratusan orang setiap harinya seperti sekarang ini. Makam Sunan Gunung Jati menjadi tempat khusus untuk Neneng. Ketika saya bertanya mengenai apakah ia juga suka berziarah ke makam para Wali yang lainnya, Neneng

4. Akang Badrudin : Kang Badrudin adalah seorang peziarah dari Bandung. Ia datang ke kompleks makam Sunan Gunung Jati ini bersama 7 orang temannya. Mereka masih mengaji/bersekolah di sebuah pondok pesantren salaf 58 di

Bandung. Usia Kang Badrudin ini tak terlampau berbeda dengan usia saya, sekitar dua puluh tiga tahun. Teramat sulit, memang, menjumpai para peziarah yang seusia dengan saya. Kebanyakan para peziarah adalah orang-orang yang berumur lebih dari 27/30 tahun.

Menurut Badrudin, ia sering datang ke makam sunan gunung jati. Tak hanya itu, ia juga sering berziarah ke makam-makam Wali lainnya yang ada di Jawa Timur

dan Madura. Biasanya ia juga membawa 59 rombongan ziarah di sekitar rumahnya untuk berziarah bersama dalam satu kelompok menggunakan satu sampai dua bis

besar. Ia juga pernah membawa santri di pondok pesantrennya untuk berziarah bersama dalam satu rombongan ziarah.

Bagi Badrudin, berziarah adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui orang sholeh, yaitu para kekasih Allah seperti halnya Wali Sunan Gunung Jati. Sama juga seperti halnya yang diungkapkan oleh Ahyana, menurut Badrudin, Sunan Gunung Jati adalah seorang Wali-Qutb Ia menambahkan bahwa Sunan Gunung Jati adalah salah satu Dewan Wali Songo yang sering dimintai pertimbangan oleh para anggota Wali Songo lainnya; salah satu yang sering meminta pertimbangan Sunan Gunung Jati adalah Sunan Kalijaga.

58 Pondok Pesantren Salaf disini dimaksudkan pondok pesantren tradisional yang biasanya tidak dilakukan penyetaraan dengan tingkatan pendidikan SD, SMP atau SMA.

59 Sebagai panitia yang mengkoordinasikan dan mengurus peziarahan.

Tirakat adalah hal yang penting untuk Badrudin. Badrudin selalu menyejajarkan kata tirakat dan Riyadhoh 60 . Salah satu bentuk tirakat yang biasanya dijalani adalah puasa atau mengurangi makan. Seorang teman Badrudin yang datang berziarah bersama juga diakuinya merupakan seseorang yang rajin bertirakat. Menurut Badrudin, temannya tersebut biasa makan nasi satu kepal tangan untuk beberapa hari bertahan. Pada saat saya bertemu dengan Badrudin, hari sebelumnya teman Badrudin itu hanya makan satu kepal nasi hingga sekarang (durasi dua hari) ia belum makan lagi, hanya minum beberapa teguk air putih. Ia menuturkan bahwa dahulu Nabi Muhammad biasanya makan hanya dengan tiga biji kurma, namun sekarang kita jauh dari apa yang dilakukan Nabi Muhammad.

Kisah para peziarah yang saya ceritakan diatas memperlihatkan bahwa ritual ziarah Wali selalu memiliki kekhasan dari tiap pelaku yang menjalani ritual tersebut. Kekhasan tersebut berkisar pada bagaimana ia mulai menggeluti ziarah Wali, doa dan permohonan yang khas tiap pelaku dan tirakat yang juga berbeda- beda tiap pelaku ziarah Wali. Kekhasan dari tiap pelaku memperlihatkan ziarah Wali merupakan aksi performatif yang memang dimiliki tiap pelaku sebagai native. Ziarah Wali memiliki kompleksitas fenomena, dimana ziarah Wali memiliki kekhasan aksi dari tiap-tiap pelaku namun dalam kerangka besar masih disatukan dengan aksi umum yang dilakukan hampir seluruh peziarah seperti yang akan saya jelaskan kedalam sub-bab berikutnya.