Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik da

BAB I PENDAHULUAN I . 1 ZIARAH: MENGHADIRKAN YANG ‘LAMPAU’, MEMASUKI YANG

‘SUCI’

Ziarah sebagai ritual, bisa dikatakan, merupakan ritual yang telah sangat lampau. Seperti dicontohkan oleh Eric Geoffroy dalam kumpulan tulisan mengenai “Ziarah dan Wali di Dunia Islam”, “Berbagai ritus penyembuhan dan keselamatan yang dilakukan pada saat ziarah yang dapat dijumpai diseluruh kawasan Timur Tengan —menandakan bahwa berbagai induk kepercayaan kuno mampu terus bertahan” (2010: 48). Di Indonesia dan di Jawa khususnya, di dalam ziarah memuat

ritus yang lebih kuno, melalui ritual ziarah Wali, ritus kuno itu kemudian di Islamkan. Claude Guillot dan Henri Chambert- Loir menyebutkan bahwa “Ziarah sesungguhnya mencakupi suatu jangkauan praktik yang sangat luas, bermula dari pengagungan terhadap tokoh-tokoh agama hingga ke panggilan kekuatan-kekuatan gaib. Dalam hal terakhir ini fenomena itu berbaur degan praktik-praktik Jawa lainnya yang sama sekali berkaitan dengan Islam” (2010: 244).

Ziarah merupakan tradisi berkunjung kepada seseorang atau suatu tempat untuk sebuah tujuan tertentu. Ziarah sendiri dijelaskan oleh Aladin Goushegir sebagai

“Istilah ziarah di sini berarti pertemuan dengan tokoh yang penting dan terhorat. Ziarah mengungkapkan rasa pengabdian antar sesama. Dalam bahwa sehari-hari itu dipakai dalam ungkapan “pergi menemui yang dipertuan”. Akan tetapi dalam pengertian khusus, istilah ziarah mempunyai arti mengunjungi makan seorang tokoh agama, baik Syiah maupun bukan, selama beberapa jam, satu hari penuh atau bahkan beberapa hari...untuk bernazar dan berdoa” (Goushegir, 2010: 157). Tujuan dalam sebuah ritual ziarah ini beragam, bergantung pada kepentingan apa yang sedang dialami si peziarah. Pada sebuah ritual ziarah kubur tujuan yang paling umum adalah “Istilah ziarah di sini berarti pertemuan dengan tokoh yang penting dan terhorat. Ziarah mengungkapkan rasa pengabdian antar sesama. Dalam bahwa sehari-hari itu dipakai dalam ungkapan “pergi menemui yang dipertuan”. Akan tetapi dalam pengertian khusus, istilah ziarah mempunyai arti mengunjungi makan seorang tokoh agama, baik Syiah maupun bukan, selama beberapa jam, satu hari penuh atau bahkan beberapa hari...untuk bernazar dan berdoa” (Goushegir, 2010: 157). Tujuan dalam sebuah ritual ziarah ini beragam, bergantung pada kepentingan apa yang sedang dialami si peziarah. Pada sebuah ritual ziarah kubur tujuan yang paling umum adalah

Pelaksanaan ziarah meliputi beberapa macam aksi/laku 1 . Laku/aksi tersebut seperti ketika masuk kompleks makam seorang peziarah biasanya mengambil wudhu

untuk bersuci. Setelah itu peziarah menghadap tempat yang dikhususkan 2 untuk berziarah. Di tempat ini seorang peziarah menyampaikan salam, memanjatkan doa

dan puji-pujian serta permohonan/hajatnya.

Saat pelaksanaan ziarah sering kita dapati cerita-cerita dan mitos-mitos tentang sosok serta tempat yang sedang diziarahi; biasanya berupa cerita atau mitos supranatural dan magis 3 yang semakin memperkuat kedudukan sosok/tokoh yang

sedang diziarahi. Selain mitos, juga hadir doa yang dipanjatkan si peziarah yang diperantarai 4 oleh ketinggian derajat sosok yang diziarahi. Berbagai macam doa

terpanjat dari sebuah laku ziarah, tak sedikit yang berdoa guna mendapatkan kelancaran rezeki dan jodoh. Ada juga yang sekedar berkunjung melakukan penghormatan, atau ada juga yang menghimpun kesaktian, dan ada lagi yang sedang

melakukan laku spiritual tertentu 5 .

Hampir semua makam di Jawa di kunjungi para peziarah, namun penentuan waktu dan tujuan dari ziarah tersebut berbeda-beda. Perbedaan inilah yang memperlihatkan posisi

tersebut terhadap peziarah/masyarakatnya. Beberapa makam moyang biasa dikunjungi setahun sekali dalam suatu ritual tertentu yang biasa disebut nyekar, namun makam seperti tokoh-

sosok di

dalam makam

1 Dari asal kata Lelaku (perilaku atau apa-apa yang dilakukan) bahasa Jawa-Sunda. 2 Biasanya didekat makam sosok yang diziarahi. 3 Berkaitan dengan mitos berkah dan karomah. 4 Dalam Islam dikenal sebagai tawasul (diperantarai), dari kata wasilah (perantara) bahasa Arab. 5 Khalwat (berdiam diri dalam suatu tempat suci untuk mendekatkan diri dengan Tuhan).

tokoh spiritual atau Wali 6 biasa dikunjungi setiap saat dalam setahun penuh, peziarahnya pun datang dari berbagai macam latarbelakang kelompok; baik sosial,

ekonomi, etnis dan bahkan lintas agama sekalipun.

Beragamnya latar belakang peziarah yang datang menziarahi, penuhnya waktu yang dihabiskan di makam seorang Wali memperlihatkan posisi Wali dalam masyarakatnya. Gelar Wali adalah gelar kultural dan juga gelar spiritual sekaligus.

Pemberian gelar Wali tidak terlepas dari berbagai macam kerja 7 yang dilakukan seorang seorang Wali dalam masyarakat semasa dia hidup. Berbagai macam kerja

seorang Wali semasa hidupnya inilah yang menciptakan keterkaitan antara masyarakat dan seorang Wali.

Henry Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam sebuah buku berjudul “Ziarah & Wali di Dunia Islam” menyatakan dalam bukunya bahwa dalam Islam tidak ada lembaga yang bertugas mengesahkan ke-Wali-an, maka masyarakatlah yang mengangkat seseorang menjadi seorang Wali, dan karena sikap patut terhadap para Wali tidak ditentukan oleh Al-Quran maupun As-Sunnah, maka masyarakat sendiri pula yang mengaturnya (2010: 4).Wali memang gelar yang dihadiahkan masyarakat terhadap sosok tertentu. Sossie Andezian menyebutkan bahwa “Wali yang telah wafat adalah tokoh yang semasa hidupnya diakui sebagai sosok luar biasa yang besar karismanya dan menonjol karena pengetahuannya tentang agama, kehidupannya yang jauh dari keduniawian, kesalehannya, karamat-karamat yang diperbbuatnya dan kadangkala karena “kegilaan” yang terkait dengan perilaku mistisnya. Seorang wali

dapat merupakan tokoh setempat, pemimpin keluarga keturunan wali, pendiri tarekat, guru sufi, pejuang atau tokoh marjinal…baik terpelajar maupun buta huruf, laki-laki

maupun perempuan, diakui maupun tidak oleh penguasa agama dan politik pada masanya, sesungguhnya Wali ditetapkan oleh suara rakyat dan terus dikenang melalui makam yang dibangun untuk menghormatinya di lokasi yang dianggap sebagai

6 Gelar kultural sekaligus spiritual khususnya digunakan dalam dunia Islam. Pembahasan mengenai Wali ini sendiri akan dibahas lebih terperinci nantinya.

7 Kerja disini berupa kerja spiritual, ekonomi, sosial, politik, kultural.

tempat kuburnya (Sossie Andezian dalam kumpulan tulisan “Ziarah dan Wali di Dunia Islam”, 2010: 103-104).

Hampir semua Wali yang ada biasa membuat bangunan fisik atau artefak yang sangat berguna bagi masyarakatnya. Biasa bisa kita dapati berupa sendang 8 , masjid,

dan berbagai bangunan fisik lainnya. Bangunan-bangunan tersebut biasanya terletak tidak jauh dari makam Sang Wali. Selain kerja fisik yang hadir lewat bangunan- bangunan yang seorang Wali buat, sosok Wali sebagai sosok suci spiritual juga hadir ketika keajaiban-keajaiban muncul, baik saat Wali tersebut menolong seseorang 9

ataupun saat Wali ini sedang sendiri 10 . Wali sebagai gelar kultural saat diabstraksikan kedalam sebuah konsep menjadi sebuah term of addresses 11 sedangkan ketika masuk

ke dalam ranah spiritual (agama Islam) menjadi term of references 12 .

Latar belakang saya menyoroti topik ini adalah karena ritual ziarah dalam struktur masyarakat Islam Jawa mempunyai posisi yang begitu penting. Ziarah merupakan ritual dimana pengetahuan-pengetahuan dasar kosmologis diproduksi ulang. Selain pengetahuan kosmologis, akar pengetahuan dan identitas kelompok tertentu melalui ritual ini diproduksi, direproduksi dan dikuatkan kembali. Ziarah selain tempat mereproduksi dan penguatan pengetahuan juga merupakan ruang dimana proses resolusi-resolusi masalah pada diri individu dicoba untuk dipecahkan. Pemecahan masalah-masalah ini terkait erat dengan sosok yang sedang diziarahi, terlebih jika sosok tersebut merupakan sosok orang suci seperti seorang Wali. Berkah, karomah dan wasilah dari Sang Wali adalah hal-hal yang diharapkan dapat membuat seorang peziarah keluar dari masalah-masalahnya tersebut.

8 Mata air, atau biasa berupa sumur. 9 Biasanya Sang Wali menyembuhkan seseorang atau dimintai pemecahan atas persoalan seseorang, hal ini juga menjadi cikal bakal mitos tentang berkah & karomah yang dimiliki Wali. 10 Biasanya keanehan yang terlihat oleh orang disekitar Wali, seperti cerita tentang Wali yang bisa berjalan di atas air, atau dapat pergi ke Mekkah dalam sekejap dll. menjadi cikal bakal mitos tentang kesaktian atau tingkat kesucian dan karomah Sang Wali.

11 Bagaimana Wali menjadi sebuah gelar yang dialamatkan pada seseorang atas dasar kerja yang dilakukan oleh Wali.

12 Bagaimana Wali merupakan sebuah posisi spiritual yang mengacu pada salah satu Asma Allah (Al- Wali).

I .2 FOKUS PENELITIAN

Skripsi saya yang berjudul “Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik dalam Ziarah Wali Sunan Gunung Jati Cirebon” akan saya fokuskan pada ritual ziarah sebagai aksi performatif. Kajian Ziarah ini akan menganalisis berbagai macam subjek

dalam sebuah ritual ziarah, seperti sosok yang diziarahi, peziarah, serta kuncen 13 sebagai pengurus makam yang diziarahi, namun disini penekanan terhadap peziarah

lah yang lebih saya utamakan. Hal ini dilakukan untuk melihat bentuk performatif dari sebuah ritual, juga sebagai bentuk pengenalan para peziarah mengenai sosok yang mereka ziarahi. Peziarah meskipun menjadi kunci dalam satu aksi performatif ritual ziarah wali tidak menjadikannya satu-satunya kunci dalam melihat apa yang saya sampaikan pada tulisan ini. Metode semiotik dari Charles S. Peurse saya gunakan untuk melihat satu konfigurasi penuh sebuah aksi performatif antara pelakunya (peziarah) dengan sosok Wali Sunan Gunung Jati dan berbagai hal terkait dengannya yang melahirkan hubungan penandaan, baik itu iconic, indexical dan symbol.

Kajian mengenai ziarah Wali ini bertujuan untuk mengetahui ritual sebagai bentuk-bentuk performatif dari archetype dalam suatu kebudayaan (khususnya kebudayaan Islam Jawa), yaitu archetype Wali. Pembahasan mengenai ziarah Wali ini juga untuk mengetahui bagaimana sebuah masyarakat melakukan penandaan akan kehadiran seorang sosok suci lewat ziarah yang mereka lakukan, mengingat tidak semua makam diziarahi, dimintai perantaraannya/wasilahnya, dikeramatkan, disucikan. Selain hal tersebut dalam kajian ini saya ingin mengetahui bagaimana sebuah ritual ziarah Wali dapat bertahan dalam rentang waktu panjang.

13 Istilah untuk orang yang bertugas sebagai pengurus suatu lokasi/ tempat tertentu.

I . 3 PERTANYAAN PENELITIAN

Berangkat dari latar belakang dan fokus permasalahan yang saya paparkan sebelumnya, saya merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

 Apa yang membuat makam Wali Sunan Gunung Jati terus diziarahi?  Apa yang membuat ritual ziarah Wali bertahan dari rentang waktu

panjang pergulatan sistem religi/agama?

I . 4 TUJUAN PENELITIAN

 Penelitian yang akan saya lakukan ini untuk mengetahui tradisi ritual ziarah

Wali dalam masyarakat dan melihat pengetahuan dasar suatu masyarakat tentang kehadiran melalui bahasan saya kehadiran Wali.

 Selain hal tersebut, melalui penelitian ini saya ingin melihat bagaimana

sebuah ritual ziarah Wali yang telah lampau dapat bertahan dalam rentang waktu perubahan sosial dan kebudayaan.

 Terakhir, saya berharap lewat tulisan ini akan membuat saya khususnya dan

pembaca pada umumnya untuk dapat melakukan refleksi-refleksi mendasar pengetahuan manusia tentang being, tentang kerja, tentang kehadiran, tentang kematian dan tentang kehidupan lewat tulisan ini.

I . 5 SIGNIFIKANSI PENELITIAN

I . 5. 1 Signifikansi Teoritis

Penelitian yang saya lakukan berkenaan dengan ziarah Wali bertujuan untuk memaparkan bentuk ziarah Wali yang umum terjadi dan menjadi laku umum bagi masyarakat Islam Jawa di Indonesia. Berbagai penelitian antropologis mengenai fenomena ziarah Wali sudah mulai banyak diminati oleh berbagai Antropolog dari Penelitian yang saya lakukan berkenaan dengan ziarah Wali bertujuan untuk memaparkan bentuk ziarah Wali yang umum terjadi dan menjadi laku umum bagi masyarakat Islam Jawa di Indonesia. Berbagai penelitian antropologis mengenai fenomena ziarah Wali sudah mulai banyak diminati oleh berbagai Antropolog dari

I . 5. 2 Signifikansi Praktis

Fokus penelitian saya tekankan pada kerja yang dilakukan seseorang hingga ia menjadi seorang wali. Hal ini saya angkat sebagai salah satu hal utama yang menjadi hakikat manusia yang hadir melalui jalinan kerja. Tulisan ini yang berfokus pada kajian mengenai kerja sebagai hakikat keberadaan manusia dalam kebudayaan, diharapkan juga bisa menjadi refleksi kita sebagai bagian dari masyarakat, sebagai manusia itu sendiri.

Perenungan-perenungan mengenai ziarah wali ini dirasakan perlu oleh saya ketika bentuk-bentuk kelompok Islam yang melakukan purifikasi Islam menolak dengan tegas tanpa memberi celah untuk sebuah diskusi mengapa bentuk ziarah Wali itu tetap setia dilakukan dan diperlukan oleh para pelakunya. Praktik ziarah Wali dalam hal ini terus mempertahankan Islam sebagai sebuah agama yang menyangkut pengetahuan juga tata perilaku hidup —mendapatkan bentuk-bentuk historisnya ketika Islam yang dipahami —disebarkan melalui berbagai macam bentuk dialog yang dilakukan oleh para Wali sebagai penyebar agama Islam di berbagai wilayah dan berbagai kebudayaan. Menolak ziarah Wali dalam dunia Islam sama halnya dengan sebuah upaya untuk membuat agama Islam tercerabut dari akar-akar historisnya, dimana pengetahuan menjadi konkret melalui pengalaman. Wali sebagai gelar kultural yang tidak ada satu lembagapun secara legal mengeluarkannya, membuat Wali sebagai kategori archetype ke-ilahiah-an dapat masuk ke berbagai bentuk kebudayaan yang pada akhirnya membuat Islam terus tersebar, hidup dan di hidupi oleh berbagai macam manusia di berbagai wilayah di Dunia ini. Fenomena Ziarah Wali dalam hal ini memuat banyak sekali hal yang secara berlapis-lapis memuat hakikat keberadaan manusia dan juga kebudayaan.

I . 6 KERANGKA KONSEPTUAL

I . 6. 1 Archetype

Archetype adalah salah satu kerangka konsep utama yang saya gunakan untuk membaca dan menganalisis fenomena Ziarah Wali. Konsep archetype ini saya pinjam dari Mircea Eliade. Archetype sendiri bisa diartikan sebagai “model yang dijadikan contoh” (exemplary models) atau “paradigma” atau “pola-pola dasar. Archetype dalam term Eliade sebenarnya merujuk pada masyarakat archaic, dimana seluruh aspek kehidupan dari masyarakat archaic hampir semuanya merupakan aspek sacred, jelas Eliade.

Perlu membuat perbedaan memang antara masyarakat archaic dan masyarakat modern. Hal ini karena adanya perbedaan mendasar dari keduanya. Eliade menjelaskan bahwa “Perbedaan pokok antara manusia yang berasal dari masyarakat

kuno, masyarakat tradisional, dan manusia dari masyarakat modern dengan jejak Yahudi-Kristen yang kuat terletak dalam fakta bahwa manusia kuno merasakan dirinya tidak dapat dipisahkan dengan Kosmos dan irama kosmik, sedangkan manusia yang berasal dari masyarakat modern menyatakan dirinya berhubungan hanya dengan sejarah”. (Eliade, 2002: ix-x)

Archetype adalah hal yang menyatukan manusia archaic dengan kosmos dan irama kosmiknya. Lewat Archetype, masyarakat archaic melakukan tindakan yang dilakukan juga oleh kekuatan ke-Ilahi-an dalam waktu lampau. Archetype yang diartikan sebagai paradigma atau pola-pola dasar mengenai sesuatu hal sebenarnya memiliki kesamaan dengan konsep dari Clifford Geertz tentang model of —model for. Kesamaan dari keduanya adalah ketika kedua konsepsi dari Eliade (Archetype) ataupun Geertz (model of —model for) sebenarnya membahas suatu pola yang paradigmatik. Archetype dalam pembahasan Eliade namun bukan hanya sebagai “model yang dijadikan contoh” (exemplary models) seperti pada model of—model for dari Geertz, namun Archetype di sini merupakan sebuah pola berupa pengetahuan mengenai keteraturan Kosmik.

Archetype dalam penjelasan Eliade kemudian selalu direlasikan dengan term Celestial (ke-Ilahi-an). Hal ini untuk menekankan kaitan kesakralan dalam tiap tindakan (Archetype) manusia archaic dengan tindakan yang telah dilakukan sebelumnya oleh dewa, leluhur atau hero yang memiliki hubungan tanda (iconic dan indexical ) aktifitas penciptaan oleh Tuhan. Celestial archetype menjadi sebuah konsep dasar yang saya gunakan dalam pembahasan penelitian dan tulisan saya ini. Celestial Archetype adalah sebuah pola dasar yang telah diwahyukan —oleh Adi- Manusiawi dan Transendental —semenjak penciptaan awal semesta, yang kemudian digunakan untuk menjelaskan seluruh/segala kejadian-kejadian dalam/selama berlangsungnya kehidupan.

I . 6. 2 Ritual

Celestial Archetype ini kemudian menjadi pola dasar yang menghubungkan seluruh eksistensi alam semesta dengan dewa-dewa atau Tuhan sebagai penciptanya. Masyarakat pra-modern percaya dan yakin bahwa Tuhan telah menggariskan- menampakkan seluruh kejadian di alam semesta pada saat awal penciptaan, dan seluruh kejadian-kejadian yang kemudian nantinya berlangsung didalam keberhidupan alam semesta adalah sebuah pengulangan atas celestial Archetype. Bentuk-bentuk nyata dari Celestial Archetype dinyatakan oleh Eliade berupa mitos- mitos, pengetahuan-pengetahuan dan ritus-ritus (dimana mitos dan pengetahuan itu diperformakan).

Penjelasan Eliade tentang Celestial Archetype kemudian diturunkan ke dalam berbagai macam sub-pokok kultural yang hadir dalam ranah praktik. Eliade memaparkan tentang Celestial Archetype atas wilayah/region atau teritori. Menurutnya, wilayah-wilayah tak berpenghuni hampir sama seperti wilayah-wilayah chaos . Wilayah-wilayah chaos tak berpenghuni/ tak diolah/ tak diberbudayakan kemudian diolah, dihuni, diberdayakan untuk menjadikan wilayah tadi ke dalam cosmos . Proses pengolahan tadi biasanya berupa ritual dalam masyarakat. Ritual tadi merupakan usaha memberikan form/bentuk atas sesuatu yang chaos/tak berbentuk.

Eliade tepatnya mengatakan bahwa :

 by cultivating the desert soil, they in dact repeated the acts of gods, who

organized chaos by giving it forms and norms. Better still, a territorial conquest does not become unreal until after---more precisely, through --- the ritual of taking possession, which is only copy of the primordial act of the Creation of the World. (Eliade, 1959: 10)

 ..that is through the effect of ritual it is given a ‘form’ which makes it

become real. Evidently, for the archaic mentality, reality manifest it self as force, effectiveness, and duration. Hence the outstanding realityis sacred ; for only the sacred is in an absolute fashion, acts effectively, creates things and makes them endure. The innumerable gerstures of consecration —of tracts and territories, of objects, of men, etc. —reveal the primitive’s obsession with the real, his thirst for being. (Eliade, 1959: 11)

Efek dari sebuah ritual adalah memberikan sesuatu “itu” bentuk yang membuatnya menjadi nyata. Ritual sebagai bentuk nyata dari Celestial Archetype adalah seperangkat form untuk memberikan kelahiran atas realitas/semesta atau kejadian- kejadian yang ada dalam kehidupan. Dengan kata lain, ritual merupakan sebuah pemberian kelahiran kembali atas segala sesuatu yang berkenaan dengannya 14 untuk

menjadikannya semakin nyata dengan memasuki wilayah ke-Ilahi-an melalui Celestial Archeytpe .

Konsep dari ritual ini yang akan saya jadikan landasan untuk melihat fenomena Ziarah Wali dalam tulisan saya. Ritual ziarah Wali merupakan tindakan dan aksi yang dilakukan manusia/para peziarah untuk menghubungkan diri mereka dengan Kosmos dan irama kosmik yang terpancar dalam diri seorang Wali sebagai

bentuk celestial archetype (sebagai kelahiran kembali 15 atas sesuatu yang telah lampau dilakukan oleh Sunan Gunung Jati untuk menjadi leluhur, moyang dan Hero dan sebagai bentuk imitasi atas apa yang dilakukan oleh Tuhan/dewa-dewa (Wali — Al-Wali ) di waktu mitikal penciptaan semesta).

14 Pelaku ritual dan hal-hal yang terkait dalam ruang-waktu pelaku ritual. 15 Birth and Rebirth —Eternal Rreturn.

Sebagai bentuk imitasi atas apa yang telah dilakukan Tuhan/dewa-dewa, sebuah ritual yang dilakukan manusia juga menciptakan waktu mitikal. Tempat di mana ritual itu dilakukan juga sejajar dengan tempat di mana awal penciptaan itu dilakukan, sehingga biasanya tempat-tempat ritual memiliki kaitan tanda dengan tempat-tempat mitikal yang menjadi pusat dunia. Tempat ritual, dengan kata lain,

juga menjadi salah satu axis-mundi 16 . Ziarah Wali sebagai ritual mengacu pada sosok Wali (Archetype sebagai Hero/moyang dan sebagai Waliullah) sehingga sesuatu

berkenaan dengan Wali tersebut juga akan mendapatkan pancarannya. Ruang-waktu yang ada di dalam kompleks makam Sunan Gunung Jati ini kemudian menjadi ruang waktu mitikal yang jelas berbeda dengan ruang waktu modern-progresif.

I . 6. 3 Ziarah

Ziarah saya transliterasikan kedalam konsepsi teoretik sebagai sebuah performative action /aksi performatif, yaitu aksi yang berkenaan dengan diri individu sebagai performer atas pengetahuan yang dimiliknya berkenaan dengan aksi tersebut. Aksi performatif ini merujuk pada aksi yang dilakukan oleh para native dalam kebudayaannya. Hal ini merujuk pada tulisan Victor Turner mengenai Anthropology of Performance, bahwa “Performance is a speech behavior, the presentation of self in everyday life, and stage of drama or social drama” (Victor Turner, 1987: 7). Sebagai sebuah ritual, saya juga melihat ziarah seperti apa yang diungkapkan Eliade bahwa ritual itu merupakan bentuk performatif sebuah mitos dan archetype.

Ziarah yang dilakukan oleh berbagai masyarakat dalam satuannya —baik itu satuan agama atau etnis —dijalankan sebagai sebuah ritual keagamaan di mana seluruh hal yang berkaitan dengan ke-ilahiah-an bersemayam. Ziarah sebagai ritual secara definitif mungkin lebih banyak diartikan sebagai sebuah perjalanan. Hal ini diambil dari berbagai macam laku ziarah yang hampir kesemuanya merupakan sebuah perjalan suci ke suatu tempat suci.

16 Pusat kosmik atau titik pertemuan antara bumi dan surga (bumi, surga dan neraka), lihat karya Eliade “Mitos Gerak Kembali Yang Abadi; Kosmos dan Sejarah”, hlm 12-18.

Fokus penelitian saya di sini adalah Ziarah Wali. Di dunia Islam sendiri masih banyak perdebatan mengenai ritual ziarah Wali sebagai sebuah ibadah, namun seetidaknya ada kaidah-kaidah atau juga batasan di mana ziarah Wali itu diperbolehkan. Hukum fiqih dalam Islam sendiri memperbolehkah dilakukannya ziarah, meskipun masih banyak perdebatan di antara ulama-ulamanya. Setidaknya ada syarat di mana ziarah itu diperbolehkan dalam kaidah fikih Islam. Ziarah diperbolehkan apabila itu untuk dzikrotul maut (mengingat kematian —bahasa Arab) dan juga ziarah diperbolehkan apabila untuk meneruskan keimanan dan ketauhidan sosok yang diziarahi.

Ziarah orang suci seperti Wali dalam dunia Islam memiliki kekayaan fenomena. Kekayaan ini karena di dalam ziarah Wali, di dalamnya memuat juga ziarah moyang, ziarah kubur dan ziarah tempat suci sekaligus. Wali dalam satu wilayah kultural tertentu biasanya dianggap sebagai satu moyang penting bagi masyarakat sekitarnya, sekaligus Wali dalam dunia Islam dianggap sebagai orang suci, yang melaluinya kesucian ke-Ilahiah-an juga memancar.

Henri Chambert Loir dan Claude Guillot dalam bukunya berjudul “Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam ” menyebutkan bahwa “ziarah kubur Wali ada diberbagai macam wilayah dan masyarakat di berbagai macam kebudayaan dan Negara. Kesemua fenomena ini menyerap kekhasan dari masing-masing wilayah ditempat dimana Wali itu hidup dan bersemayam. Hal ini dikarenakan ‘Wali’ sebagai sebuah gelar diberikan langsung oleh masyarakat dimana ia hidup sebagai bentuk apresiasi atas kerja besar yang ia lakukan. ” (Henry Chambert-Loir dan Claude Guillot, 2010: 16)

Ziarah Wali, adalah sebuah ritual yang dilakukan seseorang dengan mengunjungi suatu tempat dimana Wali bersemayam untuk suatu tujuan tertentu; seperti meminta berkah dan melakukan penghormatan pada sosok yang disimbolkan Ziarah Wali, adalah sebuah ritual yang dilakukan seseorang dengan mengunjungi suatu tempat dimana Wali bersemayam untuk suatu tujuan tertentu; seperti meminta berkah dan melakukan penghormatan pada sosok yang disimbolkan

individu masing-masing peziarah.

Ziarah Wali pada dasarnya merupakan sebuah ritus perjalanan para peziarah. Perjalanan ini mengacu dan mendapatkan bentuk reflektifnya pada sosok Wali. Perjalanan dalam ritual ziarah ini berkaitan dengan perjalanan fisik maupun perjalanan spiritual/metafisik yang dilakukan peziarah. Ziarah Wali bukan merupakan perjalanan yang mudah. Biasanya seorang peziarah melakukan perjalanan fisik serta laku dan tirakat. Eliade mengungkapkan bahwa:

“Jalan yang mengarah pada pusat merupakan ‘jalan yang sulit’ (durohana), dan hal lain ini diverifikasikan pada setiap tingkat realitas: lilitan yang sulit dari sebuah candi (seperti Borobudur), ziarah ke tempat suci (Mekkah, Hardwar, Jerusalem); petualangan yang berbahaya pada ekspedisi heroic dalam mencari Rampasan Emas, Apel Emas, Jamu Hidup; petualangan dalam

labirin; kesulitan pencari jalan menuju diri, menuju ‘pusat’ keberadaannya, dan sebagainya. Jalan tersebut sulit, penuh dengan bahaya, karena itu, dalam kenyataannya, merupakan ritus perjalanan dari yang profane ke yang sacral, dari yang sementara dan khayal menuju realitas dan keabadian, dari kematian

menuju kehidupan, dari manusia menuju ilahi.” (Eliade, 2002: 18) Perjalanan yang dilakukan para peziarah dalam rangka ziarah Wali merupakan ritus

perjalanan menuju pusat Dunia yang disimbolkan dalam diri Wali dan makamnya. Perjalanan para peziarah dari yang profan menuju ke yang sakral, dari yang sementara dan khayal menuju realitas dan keabadian.

I . 6. 4 Wali

“..Ingatlah Wali-Wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.. ” Al-Quran Surat Yunus Ayat 62.

17 Peziarah individu, berdasarkan temuan lapangan biasanya melakukan ziarah dalam waktu yang cukup lama dengan menjalani laku dan tirakat.

18 Peziarah rombongan, berdasarkan temuan lapangan biasanya melakukan ziarah dalam waktu yang cukup singkat (satu hari) dan biasanya tidak dalam laku atau tirakat yang ketat.

Wali sebagai kekhususan kajian yang saya ambil dalam frame Ziarah adalah kunci penting untuk memahami logic dari sebuah kebudayaan yang sedikit banyak akan tersinggung dalam tulisan saya ini. Untuk itu perlu untuk memberikan gambaran mengenai Wali sebagai sebuah konsep untuk dapat memasuki dan memahami bagaimana posisinya. Wali dalam Bahasa Arab berasal dari huruf W-L-Y (Wawu)- (Lam)-(Ya), melalui susunan huruf ini dalam Bahasa Arab W-L-Y memiliki berbagai macam penggunaan dan perubahan bentuk dari Al-Wali; Awliya; Walayah yang masing-masing dari kata tersebut saling berhubungan maknanya satu sama lain. Al- Wali adalah salah satu nama-nama Indah Allah atau Asmaul Husna memiliki arti

“Sang Pelindung”. Kata ini salah satunya muncul dalam beberapa Surat dalam Al- Quran, salah satunya adalah Surat Al-Baqarah Ayat 107:

( ..tidakkah kamu tahu bahwa Allah memiliki kerajaan langit dan bumi? Dan tidak ada bagimu pelindung dan penolong selain Allah..)

Awliya adalah bentuk jamak dari kata Wali. Michel Chodkiewicz 19 alam tulisannya dalam bu ku kumpulan tulisan yang berjudul “Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam”

menjelaskan perihal Wali; Wali merupakan kata yang mempunyai banyak arti (bersifat musytarak, bersifat polisemi), yang dari sudut doktrin bukannya tanpa akibat: istilah ini dapat dipakai juga untuk manusia, bak untuk mengartikan hubungan persahabatan dan saling menolong antar sesama (9:72,73; 9:23,dst.), atau untuk mengartikan status umat sebagai “orang yang dilindungi”, atau sebagai “klien” dalam artian Latin Asli, yaitu “clien” dimata Allah yang merupakan pelindung atau “patronus”nya (2010: 10).

Al-Wali dalam Al-Quran cukup banyak disebutkan seperti salah satu ayat dalam surat Yunus yang saya tampilkan di atas. Selain diartikan sebagai pelindung, Wali juga merujuk pada hubungan kedekatan. Hal ini di ungkapkan juga oleh

19 Adalah salah satu professor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris; beliau merupakan salah satu saya dalam kumpulan tulisan mengenai Ziarah & Wali di Dunia Islam yang

dikumpulkan oleh Henry Chambert-Loir & Claude Guillot.

Tirmidzi 20 dalam kitab yang ditulisnya (Zuhd) yang juga dikutip oleh Michael Chodkiewicz, “Ketahuilah bahwa diantara hamba-hamba Allah ada juga yang bukan nabi, bukan juga syuhada, dan bahwa para nabi dan syuhada iri karena mereka dekat

dengan Allah (…) itulah awliya-awliya Allah”.” (Chodkiewicz, 2010: 11)

Michel Chodkiewicz dalam tulisannya tentang “Konsep Kesucian dan Wali Dalam Islam” menyebutkan bahwa “Para mufasir Islam (ahli tafsir) melakukan klasifikasi terhadap penafsiran kata Wali ini. Pengklasifikasian tersebut dikelompokkan ke dalam dua hal pokok, yang keduanya sama-sama berasal dari konsep kedekatan : yang satu mencakup makna yang terkait dengan kedekatan sebagai keadaan (persahabatan, kekerabatan, perlindungan), sedangkan yang lain mencakup makna yang terkait dengan perbuatan-perbuatan yang menghasilkan baik kedekatan (tawliyah misalnya, yang berarti pengesahan kekuasaan) maupun yang timbul dari kedekatan itu (wilayah misalnya, yang berarti pelaksanaan pemerintahan atau hak kuasa [atas satu daerah]). Istilah Wali, yang dibentuk dari pola ganda tipe fail , yang aktif dan sekaligus pasif, memungkinkan adanya kedua arti di atas, dan hal itu akan terlihat ketika kita menemukan bagaimana arti-arti itu berbaur di sekitar

tokoh Wali sebgaimana didefinisikan oleh ilmu Wali (hagiology 21 ), dan diilustrasikan oleh manaqib (hagiografi 22 ). Keseimbangan antara kedua aspek keWalian diatas —

yaitu antara kondisi Wali itu sendiri di satu pihak dan atribut-atribut atau kekuatan supranatural yang mencirikannya di lain pihak —akan sama sulit dipertahankan karena kekuasaan para Wali jauh lebih nyata daripada status spiritual yang menjelma dalam kekuasan itu. ” (Chodkiewicz, 2010: 11-12)

Wali selalu terkait dengan walayahnya. Hal ini mengacu pada sebuah hubungan kekuasaan baik itu kekuasaan spiritual ataupun bentuk transformasinya

20 Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi, lebih dikenal dengan sebutan Imam Tirmidzi Salah seorang ahli hadist, beliau adalah murid langsung dari Imam Bukhari, salah satu rujukan pokok

dalam hadist. 21 Ilmu mengenai Wali/sainthood, Lihat Henry Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam buku

mengenai kumpulan tulisan tentang fenomena Wali berjudul “Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam” bagian kata pengantar.

22 Tulisan mengenai kisah-kisah para Wali/Saint.

yang paling konkret ke dalam kekuasaan sosial-kultural. Selain hal tersebut dalam dunia Wali dikenal dengan konsep Karamah & Berkah, kedua hal ini biasanya melekat dan diidentikkan dengan kehadiran sosok Wali dalam satu wilayah tertentu.

I . 6. 5 Berkah, Karomah dan Wasilah

Karamah adalah sesuatu yang berbeda dengan mukjizat yang biasa dimiliki dan lekat dengan para nabi. Karamah biasanya dimiliki oleh para Wali karena

hubungan kedekatannya dengan Allah. Dr, ‘Abd al-Basith Muhammad dalam bukunya “Semesta Ruh” menuliskan bahwa “Karamah dimiliki oleh para Wali selama

masih hidup dan sesudah mati, sebagaimana pendapat jumhur Ahlusunnah. Tidak ada satu pun di antara keempat mahdzab yang menafikkan keberadaan karamah pada Wali sesudah ia mati. Justru, keberadaan karamah setelah kematian lebih bisa dipastikan, sebab kala itu jiwa sudah bersih dari segala noda dan kotoran; karena itu ada yang mengatakan : Barang siapa karamahnya tidak muncul setelah ia meninggal seperti halnya ketika ia masih hidup, berarti ia tidak shadiq (jujur, tulus, bersih atau murni)” (2004: 62).

Karamah berbeda dengan berkah, dalam sebuah ceramahnya Ustad Wijayanto 23 menjelaskan tentang konsep berkah, yaitu sebuah nilai tambah ketika

sesuatu hal telah melebihi fungsi biasanya (normalnya), seperti contoh, sepiring nasi beserta lauknya akan cukup untuk dimakan maksimal 2 orang lapar, namun ada 4 orang lapar yang kemudian membagi sepiring nasi tersebut dan keempat orang tersebut sama-sama tercukupi kelaparannya, melalui hal tersebut makanan tersebut yang biasanya cukup untuk 2 orang telah dapat cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan 4 orang sekaligus.

Berkah dan karamah adalah suatu yang lekat dengan Wali karena kedekatannya dengan Allah. Melalui kedekatannya (Wali) dengan Allah maka dalam tradisi Islam, para Wali ini biasa dimintai tawassul/wasilah yang berarti perantara.

23 Ustad yang saya temui disebuah forum terbuka Kenduri Cinta yang biasa dilaksanakan di minggu ke-2 tiap bulan; forum KC ini dibawah asuhan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).

Wasilah juga disebutkan dalam Al-Quran salah satunya adalah surat Al-Maidah Ayat

35 berikut ini :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu

mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah 35) Wasilah dalam ayat tersebut diartikan dengan mendekatkan, yaitu mendekatkan diri

dengan Allah. Pada sebuah doa yang biasa dibaca setelah mendengarkan adzan juga kata wasilah digunakan :

“Wahai Allah Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini; Berilah Muhammad hak menjadi perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah Engkau

janjikan” Perantara dalam doa tersebut merujuk pada sosok Nabi Muhammad sebagai perantara

atas Allah dan ciptaan, dan kemudian juga berjalin dengan konteks kedudukan dimana seseorang itu menjadi perantara. Hal inilah kemudian yang menjadi rujukan wasilah bagi para Waliullah. Wasilah terkait dengan hubungan kedekatan antara Wali atas Allah dan ciptaan, dan kemudian juga berjalin dengan konteks kedudukan dimana seseorang itu menjadi perantara. Hal inilah kemudian yang menjadi rujukan wasilah bagi para Waliullah. Wasilah terkait dengan hubungan kedekatan antara Wali

Bentuk-bentuk pemerantaraan biasanya adalah pemerantaraan doa dan permohonan. Nama Wali yang memperantarai doa dan permohonan para umat biasanya disebutkan dalam doa dengan maksud untuk mempercepat terkabulnya doa dan permohonan. Wasilah tidak dimiliki oleh orang-orang diluar kalangan nabi, rasul atau awliya, karena wasilah merujuk langsung kepada kedudukan/hubungan kedekatan Wali dengan Allah.

Berkah, Karomah dan Wasilah kesemuanya merujuk dan berpusat pada Wali sebagai sebuah gelar/posisi 24 istimewa.Wali sebagai sebuah gelar (yang diberikan

oleh masyarakatnya) ataupun konsep (yang mengacu pada sebuah AsmaulHusna- Allah) apabila dilakukan transliterasi kedalam kerangka teori Eliade dijelaskan sebagai berikut; Wali sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakatnya sebenarnya memposisikan seorang Wali sebagai Hero, moyang atau leluhur yang telah melakukan kerja berkaitan dengan kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut. Disisi lain Wali sebagai gelar yang mengacu pada sebuah Nama-Allah merupakan

Celestial Archetype langsung yang merupakan sebuah imitasi/bentuk persamaan/bentuk pemerantaraan dari Allah sebagai Tuhan itu sendiri.

Al-Wali sebagai salah satu nama Allah yang digunakan sebagai gelar kultural maupun spiritual sekaligus menyiratkan satu pengkhususan/pembedaan atas satu posisi manusia diantara manusia lain. Eliade mencontohkan bahwa:

“Diantara berbagai batu yang tidak terhitung jumlanya, salah satu batu menjadi suci— dan oleh karenanya dengan serta merta penuh dengan ada —karena ia merupakan

hierophany 25 , atau memiliki mana, atau karena ia muncul mempertingati tidakan mistis, dan sebagainya. Objek Muncul sebagai wadah kekuatan yang beraasal dari luar

yang membedakannya dengan lingkungan sekitar serta membernya makna dan nilai.

24 Baik spiritual maupun kultural. 25 Asal- usul/proses mengenai penciptaan alam semesta, lihat penjelasan Eliade dalam Bukunya “The Mith of Eternal Return”.

Kekuatan ini mungkin berada dalam substansi objek atau dalam bentuknya; sebongkah batu mengungkapkan dirinya sebagai yang disucikan karena eksistensinya merupakan hierophany: tidak dapat ditekan, tidak dapat dikalahkan, hal semacam itu sebagai sesuatu yang tidak dimiliki manusia. Kekuatan ini melawan waktu; realitasnya berpasangan dengan keabadian.” (Eliade, 2002. 4)

Lewat pengkhususan/pembedaan terhadap Wali —Wali dalam hal ini menjadi celestial archetype juga salah satu pusat kosmik (axis-mundi) melalui hubungan dan posisi khususnya (kekasih Allah) dengan Tuhan —segala sesuatu yang

berkenaannya 26 juga akan mendapatkan sifat atau keistimewaannya atau pancarannya.

I . 6. 6 Kehadiran Wali sebagai Social Being

Bagi mereka yang percaya, para Wali boleh disebabkan tidak memiliki akar sejarah yang jelas. Wali adalah tokoh- tokoh yang “ada dalam ketidakhadiran”, mereka masih hidup, masih aktif di dunia fana ini. Karena mereka lepas dari maut, mereka tidak terikat waktu (Catherine Mayeur-Jaouen dalam kumpulan tulisan “Ziarah dan Wali di Dunia Islam”, 2010: 61). Mengutip apa yang dipaparkan oleh Catherine bahwa Wali itu “ada dalam ketidakhadirannya” saya akan mengkajinya dalam kekhususan ka jian Ziarah Wali sebagai “ada” dalam kerangka ontologis dan sosial sekaligus . Kajian ini juga guna memperjelas juga mengkonfirmasi tulisan beliau apakah Wali “ada dalam ketidakhadirannya” ataukah Wali “hadir dalam ketiadaannya” atau bahkan Wali “ada dalam kehadirannya”.

Saya akan membahas “ada” seorang Wali lebih jauh ke dalam kehadiran/presence . Ada sebagai ‘Ada’ adalah jalinan atas berbagai macam benda/hal yang mengada. Jalinan ‘ada’ ini seperti yang juga dijelaskan oleh Jean Paul Sartre

sebagai transfenomenality of being 27 . Ketika berbicara ‘ada’ pada benda-benda hal ini tidak seturutnya mutlak dapat diterapkan ‘ada’ pada fenomena sosial. Membicarakan ‘ada’ dalam fenomena sosial ini kita harus merujuk pada apa yang juga diungkapkan

26 Makam, sumur, keraton dan benda lainnya yang memiliki hubungan tanda dengan Wali. 27 Lihat buku “Four Phenomenology Philosopher. Huserl, Sartre, Heidegger & Ponty ” yang ditulis

oleh Christopher Macann halaman 111-116 & 140-155.

Husserl tentang kesadaran 28 . Kesadaran memainkan peranan penting dalam pembahasan ‘ada’ diranah sosial.

Bahasan kehadiran/presence, dalam kajian saya mengenai ziarah, adalah kehadiran suatu ‘ada’ dalam tataran fenomenologis. Kehadiran saya artikan dengan

“bagaimana sebuah benda ‘ada’ tidak hanya secara materiil (ontologis) namun juga ‘ada’ dalam sebuah kesadaran manusia (social being/presences/kehadiran) sebagai subjek pada sebuah jalinan kerja dalam ruang sosial- kultural tertentu”. Kesadaran manusia berkait dengan sebuah jalinan kerja kemudian saya kaitkan dengan konsep (aspek) kesadaran sejarah atau kesejarahan dimana tiap-tiap individu dalam sebuah kebudayaan memiliki pemaknaan masing-masing atas peristiwa yang terhadi terkait dengan life history dan pengetahuan yang dimiliki individu tersebut, seperti juga yang dijelaskan oleh Franz Boas.

Dikutip dari tulisan Tony Rudyansjah yang mengikuti pemikiran dan John Locke dan juga Adam Smith dalam bukunya “Alam, Kebudayaan dan Yang Ilahi” 29

bahwa ketika seseorang melakukan kerja, sebenarnya ia tidak melakukan kerja untuk dirinya sendiri —meskipun dirasa kerja merupakan upaya untuk diri sendiri—namun ia melakukan kerja berkaitan dengan orang lain. Hal ini selaras dengan konsep mengenai transfenomenality of being dari Sartre. Kerja hadir sebagai jalinan kerja, hal ini yang juga dituliskan oleh Radcliffe-Brown bahwa kerja itu membuat suatu sentiment-sentimen yang mengikat subjek-subjek yang hadir dalam (dan melalui) kerja tersebut dalam satuan struktur kebudayaannya. Oleh karena itu saya mengambil satu paradigma bahwa kerja yang dilakukan oleh tiap manusia merupakan suatu upaya untuk membuat jalinan atau sentiment-sentiment kesatuan sosial dimana suatu kelangsungan Kebudayaan juga bergantung pada hal tersebut .

28 Lihat buku “Four Phenomenology Philosopher. Huserl, Sartre, Heidegger & Ponty ” yang ditulis oleh Christopher Macann halaman 3 & 28-33.

29 Halaman 17-25.

Kerja yang telah dilakukan oleh Wali Sunan Gunung Jati —kemudian dalam hal ini —menjadi sebuah sentiment pengikat suatu kesatuan sosial terkait dengan satu perkembangan kebudayaan di Tanah Pasundan. Pembahasan Kerja dalam ranah ini — seperti dalam pembahasan Eliade —juga terkait dengan proses pengolahan yang dilakukan oleh Wali Sunan Gunung Jati dalam satu wilayahnya/walayahnya sebagai seorang Wali. Pengolahan ini sebenarnya merupakan tindakan mitikal yang merujuk pada pengolahan penciptaan semesta dari wilayah chaos menjadi wilayah yang cosmos yang dilakukan oleh kekuatan Ilahi. Apa yang telah dilakukan Sunan Gunung Jati dalam kerjanya merupakan proses inisiasi atau perjalanan dalam rangka menjadi seorang Wali. Melalui keber ’ada’annya dalam sebuah kontinum, Wali Sunan Gunung Jati menjadi bentuk-bentuk ontological being (melalui makamnya), social being (melalui kerjanya) dan sebagai supreme being (melalui posisinya sebagai Wali).

I . 7 METODOLOGI

I . 7. 1 Metode Penelitian

Saya akan menggunakan metode observasi dan juga metode pengamatan terlibat sepenuhnya dengan menggali data-data kualitatif dari berbagai informan yang berkaitan. Saya juga akan melakukan penelusuran data historis dari berbagai macam sumber baik dari para juru kunci serta rekam sejarah dari Keraton dan berbagai data literatur lainnya yang dirasa cukup signifikan sebagai data penelitian ini. Kategori informan saya pilah-pilah seperti peziarah untuk saya dapatkan data mengenai keterkaitan peziarah dengan sang Sunan kemudian juga permohonan atau urusan apa peziarah tersebut datang berziarah. Pada juru kunci makam sebagai pihak yang mengetahui seluk beluk makam, saya akan menggali informasi seputar sejarah makam, arsitektur makam, lokasi serta detil mengenai makam dan juga sejarah dari sang Sunan sendiri. Sesepuh desa sebagai orang yang mengetahui dinamika historis dari masyarakat sekitar makam dan desa terkait juga menjadi salah satu kategori informan saya dan beberapa masyarakat terkait untuk menggali mitos-mitos yang beredar.

I . 7. 2 Pengumpulan Data

Penelitian ini dimulai dari kunjungan pertama saya pada bulan desember 2011. Pada saat tersebut, kompleks makam Sunan Gunung Jati ramai dikunjungi masyarakat Cirebon yang ingin melihat perayaan arak-arakan pawai dalam acara labuhan laut yang akan dilangsungkan pada esok harinya tanggal 25 bulan Desember. Seluruh arak-arakan dari peserta pawai acara labuhan laut, sebelum menuju titik pelarungan di Pantai Utara Jawa ini seluruh sesaji melewati area makam Sunan Gunung Jati. Kunjungan saya berikutnya adalah di akhir bulan Januari. agenda kedatangan saya adalah untuk tinggal selama dua bulan (Februari —Maret) di Cirebon, guna mendapatkan data yang cukup atas segala yang diperlukan dalam penelitian saya ini.

I . 8 SISTEMATIKA PENULISAN

Tulisan Saya ini terdiri dari lima Bab. Bab Pertama merupakan Pendahuluan dan Latarbelakang mengenai penelitian saya ini. Bab kedua adalah Narasi Mitos yang terdiri dari cerita mengenai Sunan Gunung Jati dan Makamnya. Bab ketiga adalah Data Penelitian yang saya frame dalam Judul “Ziarah—Aksi Performatif”. Bab Keempat adalah Analisis data temuan dengan judul “Ziarah Wali: Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik”. Bab kelima atau bab yang terakhir adalah kesimpulan saya berkenaan dengan penelitian yang saya lakukan.

Bab pertama dalam tulisan saya ini berisi latar belakang yang saya beri judul “Ziarah: Menghadirkan yang Lampau dan Memasuki yang Suci”. Kemudian fokus

penelitian saya berkenaan dengan fenomena ziarah Wali yang menjadi subjek kajian saya. Dari beberapa hal di latar belakang dan focus penelitian saya mengajikan pertanyaan penelitian mengenai kekhususnan kajian saya Ziarah Wali ini. Berikutnya adalah tujuan dari penelitian yang saya lakukan ini. Untuk menyusun tulisan saya ke dalam satu keteraturan, saya menggunakan beberapa kerangka Konsep dan Teori. Selanjutnya adalah sub-bab metode mengenai bagaimana saya melakukan keterlibatan saya dalam penelitian juga cara pandang berkenaan fenomena Ziarah

Wali. Terakhir adalah sistematika penulisan yang menjelaskan mengenai bagaimana saya melakukan pemaparan atas temuan lapangan dalam kerangka pikir kedalam sebuah tulisan.

Bab kedua saya menggambarkan data mengenai narasi mitos atas sosok Sunan Gunung Jati berkenaan dengan genealogy keluarganya, mengenai kerja-kerjanya, mengenai singgungan/hubungan yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dan bagian- bagian penting dari Sunan Gunung Jati yang menjadi sebuah narasi mitos. Kemudian di sub-bab terakhir dalam Bab ini saya menampilkan seluk-beluk makam tempat Sunan Gunung Jati dan sosok signifikan lainnya yang terhubung dalam kehidupan Sunan Gunung Jati.

Bab ketiga adalah data etnografis yang saya peroleh dalam penelitian yang saya langsungkan. Bab ini berjudul “Ziarah—Aksi Performatif”. Di dalamnya saya susun kedalam beberapa sub-bab yang keseluruhannya menjelaskan mengenai ritual ziarah Wali sebagai detil sebuah ritual dan sebagai fenomena yang dijalani para peziarahnya.

Bab keempat saya berjudul “Ziarah Wali: Presentasi Kehadiran dan Irama Kosmik ”. Disini saya memaparkan mengenai fenomena ziarah wali sebagai bentik aksi performatif yang dilakukan para peziarah mengenai kehadiran seorang Wali Sunan Gunung Jati berkaitan dengan Berkah, Karomah dan Wasilah sebagai realitas dari kekuatan, keefektifan, menciptakan sesuatu dan membuatnya abadi, bentuk pancaran/Irama Kosmik dari Kosmos yang terpancar dari diri seorang Wali.

Bab kelima adalah kesimpulan mengenai penelitian dan fokus kajian berkenaan dengan pertanyaan penelitian yang saya ajukan. Melalui serangkaian tulisan saya yang terdiri dari lima Bab ini saya mengharapkan kedekatan penggambaran saya mengenai sebuah fenomena Ziarah Wali Sunan Gunung Jati untuk dapat dibaca dan didapatkan detil gambaran atas fenomena tersebut.

BAB II NARASI SUNAN GUNUNG JATI

II. 1 Sunan Gunung Jati: antara Mitos dan Kenyataan

Denys Lombard dalam sebuah buku berjudul “Nusa Jawa Silang Budaya— Jaringan Asia ” jilid ke-2 mengutip sebuah pernyataan dari Tome Pires mengenai perkembangan Islam di wilayah Pasundan. Lombard dalam buku tersebut

menyatakan bahwa “Ketika kira-kira tahun1515, Pires menyebut satu persatu beberapa pelabuhan di Pasundan, semuanya masih disebut ‘kafir 30 ’ akan tetapi

beberapa tahun kemudian tampaklah berturut-turut perkembangan pusat-pusat Islam di Cirebon dan di Banten yang mencontoh hampir selengkapnya ‘model’ kota-negara

dan masih akan bertahan lebih dalam dari Demak, selama dua abad lebih (Lombard, 2008: 54).