Gema Sunan Gunung Jati

II. 2 Gema Sunan Gunung Jati

Di ujung bulan Desember 2011 48 , saya menginjakkan kaki pertama kalinya di Cirebon. Kedatangan saya waktu itu guna mengawali sebuah penelitian skripsi yang

akan saya lakukan untuk waktu dua bulan ke depan, yaitu antara bulan Februari dan Maret. Saya tak menyangka bahwa kedatangan saya waktu itu bertepatan dengan waktu pergantian tahun dalam penanggalan Islam (Muharam) dan juga Jawa (Suro). Satu suro adalah waktu yang signifikan bagi orang Jawa. Pada waktu satu Suro biasanya digelar ritual nyadran dan juga labuhan di tiap wilayah sepanjang garis pantai di tanah Jawa dan juga gunung-gunung yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa.

Waktu itu saya menggunakan sebuah becak yang saya naiki dari stasiun besar Cirebon. Di sepanjang jalan menuju kompleks makam Sunan Gunung Jati saat itu dipenuhi dengan arak-arakan sesaji dan bentuk-bentuk pertunjukkan dari masing- masing kelompok yang berkumpul dalam satu gerobak/kendaraan yang membawa sebuah sesaji. Menurut bapak penarik becak yang membawa saya ke makam keramat Sunan Gunung Jati, ia menuturkan bahwa itu adalah arak-arakan sebuah ritual nyadran masyarakat Cirebon. Sebelum sesaji untuk ritual nyadran dilarung ke laut, terlebih dahulu di doakan di makam keramat Sunan Gunung Jati.

49 Ritual nyadran merupakan pesta rakyat sekaligus ritual yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai (yang kebanyakan hidup sebagai nelayan) dengan melarung

sesaji ke laut. Sesaji yang dilabuhkan ke dalam laut itu adalah lambang dari perasaan bungah (gembira) dan ungkapan terima kasih kepada Yang Kuasa yang telah memberikan hasil laut kepada para nelayan (Herni Mardiani, 1995: 66-67). Ritual nyadran biasanya dilangsungkan tanpa adanya satu tahap ritual sebelumnya seperti yang dilakukan di Cirebon ini, dengan mendoakan seluruh arak-arakan untuk ritual nyadran serta mendoakan sesaji yang akan dilarung ke laut di makam Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Hal ini akan terbaca ketika kita melihat dan mengenal sosok

48 Tepatnya tanggal 24 Desember 2012. 49 Lihat buku “Cirebon” halaman 46 danjuga lihat lampiran 6 mengenai foto ritual nyadran tersebut.

Sunan Gunung Jati yang bersemayam di Cirebon tidak hanya merupakan seorang Wali sebagai posisi spiritual, melainkan Sunan Gunung Jati sebagai moyang yang telah mengembangkan suatu wilayah Caruban menjadi Negara Gede (sebuah negeri yang besar).

Gema Sunan Gunung Jati sebagai seorang moyang dan Wali semakin saya ketahui ketika saya tinggal sektiar dua bulan di kota Cirebon. Saya tinggal di sebuah wilayah di arah Selatan Makam Keramat Sunan Gunung Jati didekat sebuah Mall terbesar di Cirebon bernama Grage Mall. Awalnya saya tak begitu ambil busing dengan nama Grage yang digunakan sebagai sebuah nama Mall dan nama berbagai hal di Cirebon seperti toko cellular, atau sebuah tempat cuci mobil.

Grage 50 adalah sebuah akronim dari Negara Gede. Negara Gede atau Grage ini digunakan untuk merujuk pada sebuah negeri besar yang berdiri di wilayah

Cirebon yaitu Kesultanan Cirebon. Kejayaan Kesultanan Cirebon yang didirikan dan dikembangkan oleh Syarif Hidayatullah masih dicoba untuk dihadirkan dalam kenyataan mereka sehari-hari masyarakat Cirebon, dengan beberapa penamaan benda atau tempat yang mengingatkan mereka kembali kepada sebuah kejayaan Cirebon di masa silam sebagai sebuah Negara Gede yang didirikan dan dikembangkan oleh kerja seorang Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah sampai sebegitu besarnya sehinga Cirebon menjadi salah satu daerah penting dalam perkembangan kota Kerajaan/Kesultanan di tanah Jawa.

Lebih menarik lagi ketika dalam waktu dua bulan penelitian saya di Cirebon, saya menemukan banyak baliho besar berukuran kira-kira 1,5 x 3 Meter yang didalamnya berisikan mengenai rencana pengajuan Cirebon sebagai satu Provinsi tersendiri seperti halnya Provinsi Banten. Tak hanya baliho berukuran besar, spanduk-spanduk juga digantungkan diantara pohon, baliho seukuran poster juga dipaku di pohon-pohon di pinggir jalan sekitar Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. Pendirian Cirebon sebagai Provinsi dimungkinkan karena sistem pemerintahan

50 Lihat juga buku “Masa Awal Kerajaan Cirebon” tulisan R. A Kern dan Hoesein Djajadiningrat halaman 10.

Indonesia yang berbasis otonomi daerah dan juga mungkin karena Cirebon dilihat sebagai sebuah wilayah yang pernah besar sebagai sebuah Kesultanan Islam pertama di wilayah Jawa Barat. Jika dibandingkan dengan Banten yang dulunya merupakan Kerajaan Islam yang juga tumbuh berkembang karena pengaruh kuat dari Cirebon, sekarang telah menjadi sebuah provinsi tersendiri, yaitu Provinsi Banten. Berkaca dari berdirinya Banten sebagai sebuah Provinsi, mungkin prakarsa yang diajukan beberapa orang yang fotonya selalu terpampang di baliho yang saya temui di jalan- jalan juga dipicu oleh kenangan kejayaan masa lalu Cirebon sebagai sebuah Negara Gede.

Kesadaran sejarah mengenai apa yang telah dilakukan oleh Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dalam ruang-waktu juga melekat pada praktik besar serta pengenalan mereka mengenai wilayah kesatuan Cirebon. Bentuk penamaan seperti Grage/Negara Gede untuk sebuah ruang modern berupa Mall, toko cellular, atau sekedar sebuah tempat cuci mobil merupakan bentuk kesadaran sejarah mereka sebagai bagian dari masyarakat Cirebon yang pernah berjaya dalam satu masa dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Wacana yang hadir dalam bentuk baliho-baliho yang tersebar di hampir seluruh wilayah Kabupaten dan Kota Cirebon atas pendirian Cirebon sebagai sebuah Provinsi tersendiri juga memperlihatkan kesadaran sejarah masyarakat Cirebon tentang wilayah Cirebon yang pernah menjadi Negara Gede dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati. Ingatan dan kesadaran sejarah tersebut yang coba dibangkitkan dan diwujudkan oleh sekelompok orang yang menginginkan Cirebon berdiri sendiri sebagai sebuah Provinsi. Pemberian doa dalam sesaji ritual nyadran yang dilakukan di dalam kompleks makam keramat Sunan Gunung Jati juga memperlihatkan bagaimana kerja yang dilakukan Sunan Gunung Jati dalam membangun Cirebon sebagai sebuah negeri yang besar membuatnya diangkat/diposisikan oleh masyarakat Cirebon sebagai moyang dari satuan wilayah Cirebon.