PRESENTATION, REPRESENTATION AND COSMIC RHYTMS

IV.3 PRESENTATION, REPRESENTATION AND COSMIC RHYTMS

Ernst Cassirer dalam sebuah buku berjudul “MANUSIA DAN KEBUDAYAAN: Sebuah Esei Tentang Manusia ” pada sub-judul “Dunia Ruang dan Waktu Manusiawi ” memaparkan konsepsi ruang juga waktu yang penting untuk dicermati dan dipahami para etnolog dan juga etnografer untuk dapat memahami keperbedaan emic dan etic antara mereka dan suku/kelompok yang berusaha mereka teliti. Cassirer dalam bukunya juga mengutip tulisan seorang ahli psikologi bernama Heinz Werner dari bukunya yang berjudul Comparative Psychology of Mental Development:

“sejauh ia menduga jarak, mendayung perahu, melemparkan lembing ke sasaran tertentu, maka ruangannya sebagai medan aksi, sebagai ruang pragmatis, strukturnya tidaklah berbeda dengan ruang kita. Tetapi bila manusia primitif menjadikan ruangnya bahan representasi dan pemikiran reflektif, maka muncullah idea primordial spesifik yang secara radikal berbeda dengan idea intelektual. Idea tentang ruang bagi manusia primitive, pun bila disistematisasi, secara sinkretis melekat pada subjek. Paham ruang manusia primitive lebih bersifat efektif dan konkret berbeda dengan ruang abstrak manusia berbudaya maju…” (Cassirer, 1990: 67-68)

Kutipan pendapat yang ditampilkan oleh Cassirer pada intinya memaparkan keberbedaan konsepsi ruang yang terkait dengan basis pengetahuan dari kedua Kutipan pendapat yang ditampilkan oleh Cassirer pada intinya memaparkan keberbedaan konsepsi ruang yang terkait dengan basis pengetahuan dari kedua

Cassirer dalam bukunya tersebut memberikan contoh detil lagi mengenai suku ‘primitif’ kaitannya dengan presentation. Ia menyebutkan bahwa “warga bumi dari suku tersebut peka terhadap hal-hal paling rumit dalam lingkungan hidupnya, mereka amat peka terhadap setiap perubahan dalam letak benda-benda sekelilingnya yang sudah amat mereka kenal. “dalam lingkungan yang sulit pun mereka akan dapat menemukan jalannya. Bila mendayung atau berlayar, mereka dapat hilir-mudik mengikuti kelokan-kelokan sungai secara tepat. Namun sesudah pengkajian lebih lanjut biarpun memiliki kecakapan tersebut itu, mereka anehnya tiada memiliki pengertian akan ruang. Bila anda minta mereka memberi gambaran umum, pelukisan lekuk-liku sungai, mereka tidak mampu membuatnya. Bila mereka diminta untuk membuat peta sungai itu lengkap dengan lekuk-likunya, mereka malahan tak bisa menangkap arti permintaan itu. Disini kita bisa melihat secara amat jelas perbedaan antara penangkapan secara konkret dan secara abstrak terhadap ruang dan hubungan- hubungan spasial.” (Cassirer, 1990: 68-69)

Melalui pemaparan Cassirer kita dapat melihat kedua landasan pengetahuan yang berbeda, dimana ruan g suku ‘primitif’ merupakan ruang konkret yang selalu melekat dan berkenaan dengan dirinya sedangkan ruang manusia ‘modern’ adalah ruang abstraksi matematis yang terkadang manusia modern tercerabut dari ke- konkret-an ruang alamiah tersebut melalui jarak (penggunaan abstraksi-abstraksi matematis) yang diciptakan antara manusia modern dengan ruang alaminya. Ruang

manusia ‘primitif’ lebih kepada ruang presentation sedang ruang manusia ‘modern’ lebih kepada ruang representation.

Ruang konkret yang dirasakan ole h suku ‘primitif’ dalam penjelasan Eliade selalu berkaitan dengan ruang dimana orang dari suku tersebut hadir dalam sebuah keseharian-kerja. Ruang keseharian kerja bagi orang tersebut —apabila kita masukkan Ruang konkret yang dirasakan ole h suku ‘primitif’ dalam penjelasan Eliade selalu berkaitan dengan ruang dimana orang dari suku tersebut hadir dalam sebuah keseharian-kerja. Ruang keseharian kerja bagi orang tersebut —apabila kita masukkan

“Perbedaan pokok antara manusia yang berasal dari masyarakat kuno, masyarakat tradisional, dan manusia dari masyarakat modern dengan jejak Yahudi-Kristen yang kuat terletak dalam fakta bahwa manusia kuno merasakan dirinya tidak dapat dipisahkan dengan Kosmos dan Irama Kosmik, sedangkan manusia yang berasal dari

masyarakat modern menyatakan dirinya berhubungan hanya dengan sejarah”. (Eliade, 2002: ix-x)

Kehadiran seorang Wali secara ontologis ada melalui makamnya. Namun ada Kehadiran yang lebih dari sekedar bentuk materialnya yaitu kehadiran yang hadir melalui kerjanya (social being) dan juga kehadiran sebagai seorang Wali (supreme being ). Kehadirannya sebagai seorang Wali (supreme being) kemudian merangkum kehadiran social being dan ontological being. Kehadiran inilah yang secara konkret oleh peziarahnya tidak dapat digambarkan melalui abstraksi matematis. Kehadiran secara konkret dari seorang Wali Sunan Gunung Jati adalah dalam bentuk-bentuk Berkah dan Karomah. Hal ini yang juga diungkapkan oleh Eliade bahwa “..Evidently, for the archaic mentality, reality manifest it self as force, effectiveness, and duration ”(Eliade, 1959: 11). Berkah dan Karomah dalam hal ini merupakan bentuk- bentuk kekuatan, keefektifan, menciptakan sesuatu dan durasi. Hal ini yang ditangkap sebagai realitas kehadiran seorang Wali Sunan Gunung Jati dalam makam/wilayahnya.

Kadatangan para peziarah dianggap sebagai sebuah berkah. Para peziarah yang datang berziarah untuk sampai pada Kosmos (yang disimbolkan dengan makam seorang Wali) karena mereka ditarik oleh Irama Kosmik dalam bentuk Berkah. Berkah sebagai kekuatan diluar dari diri peziarah menjadi sebuah realitas konkret dari sebuah kekuatan, dari sebuah kehadiran seorang Wali. Bentuk ke-konkret-an dari kehadiran seorang Wali juga kemudian dikuatkan melalui berbagai permohonan atas Berkah juga permohonan dan keinginan yang dipanjatkan peziarah melalui Karomah dan Wasilah yang dimiliki Wali. Ritual ziarah Wali yang terus digelar juga Kadatangan para peziarah dianggap sebagai sebuah berkah. Para peziarah yang datang berziarah untuk sampai pada Kosmos (yang disimbolkan dengan makam seorang Wali) karena mereka ditarik oleh Irama Kosmik dalam bentuk Berkah. Berkah sebagai kekuatan diluar dari diri peziarah menjadi sebuah realitas konkret dari sebuah kekuatan, dari sebuah kehadiran seorang Wali. Bentuk ke-konkret-an dari kehadiran seorang Wali juga kemudian dikuatkan melalui berbagai permohonan atas Berkah juga permohonan dan keinginan yang dipanjatkan peziarah melalui Karomah dan Wasilah yang dimiliki Wali. Ritual ziarah Wali yang terus digelar juga

Di dalam sebuah aksi performatif ziarah Wali, para peziarah juga terus mengambil Berkah dan Karomah yang memancar dari makam seorang Wali. Selain Berkah dan Karomah, ketinggian derajat seorang Wali memudahkan doa yang dipanjatkan peziarah cepat terwujud karena sifat wali yang merupakan Wasilah/ Perantara antara ciptaan dan Penciptanya. Ritual Ziarah Wali Sunan Gunung Jati merupakan bentuk aksi performatif yang dilakukan para peziarahnya atas kehadiran seorang Wali Sunan Gunung Jati dalam gema irama kosmik —dengan bentuknya kekuatan, keefektifan, menciptakan sesuatu dan durasi —dalam bentuk Berkah Karomah dan Wasilah.