Figur Kepemimpinan Mangkunegara VI

B. Figur Kepemimpinan Mangkunegara VI

Guna memahami serta mendalami penguasa ke enam dinasti Mangkunegaran, akan dijelaskan tentang perjalanan hidup G.R.M. Suyitno hingga menjadi seorang adipati. Pemahaman ini penting, karena akan memberikan penjelasan mengenai latar belakang kepribadian terkait dengan regulasi atau kebijakan dalam pemerintahan Mangkunegaran. G.R.M. Suyitno, dilahirkan di

Mangkunegaran pada hari Jum’at Pon 17 Rejeb tahun Wawu 1785 Jawa atau tanggal 13 Maret 1854 M, beliau adalah putra nomor 22 dari K.G.P.A.A.

Mangkunegara IV yang dilahirkan dari ibunda Kanjeng Bandara Raden Ayu Adipati Arya Mangkunegara IV (B.R.Aj. Dhunuk, putri Mangkunegara III).

Beliau mendapatkan pendidikan di sekolah berbahasa Belanda (Europesche Lagere School) di Surakarta. Kemudian dipindahkan ke sekolah Pamong Siswo (Bijzondere Inlandsche School). Akhirnya belajar sendiri dengan mendatangkan guru ke Purwasana sambil menjadi juru tulis ibunya. Di samping pelajaran biasa, dipelajari juga kesusasteraan Jawa, adat istiadat, kebatinan dan

10 Mohammad Dalyono, op. cit., hlm. 105.

commit to user

Pelajaran-pelajaran tersebut kebanyakan ditimbanya langsung dari ayahnya, S.P. Mangkunegara IV, terutama dalam manajemen modern dan keuangan.

Setelah dewasa dimasukkan menjadi Kadet Infanteri Legiun Mangkunegaran mulai dari pangkat prajurit biasa (flankeur), lalu diangkat menjadi Bintara (Onder officier) dengan pangkat Sersan Magang di luar formasi, dua tahun kemudian baru mencapai pangkat Letnan Dua. Atas kehendak ayahnya, beliau ditugaskan di bagian Mondrogini untuk melayani ibundanya selama setahun. Tepat di ulang tahun ke 18 pada tanggal 17 Rejeb, Alip, Windu Adi, 1803 J atau tanggal 29 Agustus 1874 M, mendapat anguerah songsong jene (berpayung kuning) dengan gelar Kanjeng Pangeran Arya Dhayaningrat.

Tugasnya dikembalikan di Legiun dan diberi pangkat Letnan Satu. 11 Pada tahun 1876 M bersama kakaknya yang bernama K.P.A. Gondosewoyo, melakukan perjalanan selama empat bulan mengelilingi Pulau Jawa dengan berkendaraan kereta pos. Perjalanan dimulai dengan menyusuri pantai utara Jawa ke arah Barat. Sesampai di Bogor keduanya menghadap pada Gubernur Jenderal sebagai penguasa tertinggi waktu itu. Kemudian pulangnya melalui jalan selatan. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan itu dinilai sangat mengesankan karena banyak menambah wawasan dan pengetahuan. Terutama untuk lebih mengenal rakyat dan tanah airnya dari dekat.

Pulang dari tugas kelilingnya ini, pangkatnya dalam militer dinaikkan menjadi Kapten sebagai Komandan Kompi III di Legiun Mangkunegaran. Tugas

11 Arsip Riwayat K.G.P.A.A. Mangkunegara VI, Membangun Kemakmuran dari Puing Keruntuhan No. MN 1645 , Surakarta : Reksa Pustaka, hlm. 2.

commit to user

Jum’at Paing 8 Sawal Jimakir 1610 J ayahanda Sri Paduka Mangkunegara IV mangkat dan digantikan oleh kakaknya yang bernama G.R.M. Sunito.

Di bawah pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunegara V ini, sejak tahun 1881 M atas kehendak kakaknya tersebut, K.P.A. Dhayaningrat diangkat menjadi Kapten Ajudan Sri Paduka Mangkunegara V. Setahun kemudian diangkat menjadi Mayor Ajudan merangkap bekerja di kantor Kartapraja (Bendahara Negara), Kartausaha (Perusahaan Negara), Kartipraja (Pekerjaan Bangunan Negara) serta sebagai pengawas pada Kemantren Reksawahana (Pemeliharaan Kendaraan), bagian Reksoturonggo (Pemeliharaan Kuda), Reksabaksana (Urusan Persediaan Bahan Makanan) dalam Puro dan Reksawarastra (Urusan Penyediaan dan Pemeliharaan Senjata, Pakaian Ketentaraan dan Pusaka Kerajaan). Setelah lima belas tahun lamanya, menjabat selaku perwira, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Infanteri dengan tugas memegang keuangan Legiun Mangkunegaran. Untuk segala jasanya itu beliau menerima satyalencana (eere teken).

Atas perkenan kakanda K.G.P.A.A. Mangkunegara V, pada hari Rabu Pon

22 Rabiulakhir Jimawal, windu Kuntara, 1813 J (1884 M), pada usia 27 tahun beliau dinikahkan dengan R.Aj. Hartati, putra pamanda dari pihak ibu, B.R.M.Ar. Gondowardoyo, yang telah lama dipertunangkan oleh ayahanda, K.G.P.A.A. Mangkunegara IV. Sekitar tahun 1887 M secara resmi diangkat menjadi Mayor Intendan urusan Keuangan yang mengatur Penggajihan Legiun, sekaligus selama

10 tahun tetap mendampingi kakandanya Mangkunegara V dalam

pemerintahannya, disamping menjadi anggota Dewan Kerajaan (Panitia

commit to user

dari “garwa ampeyan” Mas Ajeng Wandaningsih, yang setelah berhasil mempersembahkan putra tersebut kemudian diberi gelar Bandara Raden

Wandaningsih. Setelah mangkatnya M.N. V. pada tanggal 2 Oktober 1896 M, karena jatuh dari atas kuda di Wanaketu, atas permintaan ibunda K.B.R. Ayu Adipati Arya Mangkunegara IV, beliau diangkat menggantikan kakaknya mengepalai keluarga dan menjadi Komandan Legiun Mangkunegaran dengan pangkat Kolonel bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VI. Karena usia beliau telah melampaui 40 tahun, maka tidak seperti para pendahulunya, beliau tidak terlebih dahulu memakai sebutan Kanjeng Pangeran Adipati Arya Prabu Prangwedana. Pengangkatannya dilakukan pada hari Sabtu Legi tanggal 15 Jumadilakir, Jimakir, Windu Sangara 1826 J atau 21 Nopember

1896 M. Pada tahun 1897 M lahir putri beliau B.R. Ajeng Soewasti dari “garwo

ampeyan” Bandoro Raden Tjitraningsih. 12

Pengangkatan Mangkunegara VI menggantikan kakaknya Mangkunegara

V telah mengubah posisi Mangkunegaran terhadap Kasunanan. Perubahan hubungan antara Susuhunan dan Mangkunegara terlihat dalam Piagam Pengangkatan (Acte van Verband) tanggal 21 Nopember 1896, Mangkunegaran

lepas seluruhnya dari Kraton Kasunanan Surakarta bahkan kata ”pemberitahuan lebih dahulu” dari Susuhunan sudah tidak diperlukan lagi, hal ini berhubungan dengan yang disebutkan dalam Piagam Pengangkatan sebagai Kolonel dan

12 Ibid, hlm. 3.

commit to user

Hindia Belanda. Jadi mulai saat pengangkatan Mangkunegara VI posisi Mangkunegara sudah bukan lagi sebagai Pangeran Miji (seorang pangeran langsung di bawah susuhunan) tetapi sudah menjadi Pangeran Merdeka terlepas dari Kraton Kasunanan Surakarta.

Kepribadian Mangkunegara VI berpandangan jauh ke depan untuk jamannya. Dalam alam feodalisme dan penjajahan asing yang serba penuh simbol- simbol kebesaran dan kesopanan yang dianggapnya kurang praktis dan ekonomis, dengan penuh keberanian dirombaknya secara drastis dan total. Beliau dalam berpakaian Jawa, paling tidak suka memakai keris, juga tidak mau menggunakan payung kebesaran bila memakai pakaian secara barat. Akibat sikap dan tindakannya maka Gubernur Jenderal Van Heutsz mensahkan peraturan penghapusan pemakaian payung kehormatan bagi para pejabat Belanda seperti Residen, Asisten Residen bahkan juga Kapten Cina di seluruh Jawa. Keputusan itu dikeluarkan pada tahun 1905.

Dalam hal pakaian disederhanakan. Narapraja tidak lagi berpakaian kebesaran kampuh sikepan ageng, tetapi cukup berkain, berdestar dan sikepan pendek dibordir dengan sabuk cinde dengan bara pakai rompi dan dasi (1912). Bahkan bagi jajaran Bintara ke atas, beliau sendiri memberi contoh dengan memotong pendek rambutnya secara militer pada 27 Oktober 1911.

Dalam hal adat tata cara beliau juga menghapus laku dodok dan duduk di bawah. Semua pegawai duduk di kursi dan bagi kalangan bawah di bangku. Jika bertemu dengan Sri Mangkunegara VI cukup melakukan sembah atau saluir

commit to user

semasa di Legiun Mangkunegaran dan pendidikan yang langsung diterima dari ayahnya Mangkunegara IV terutama dalam manajemen modern perusahaan gula dan keuangan Praja sehingga membentuk kepribadian Mangkunegara VI menjadi pribadi yang disiplin, ahli di bidang ekonomi, modern, ulet serta mampu menerima dan mengikuti perkembangan zaman.

commit to user