Keaslian Penulisan Sistematika Penulisan

aparat penegak hukumpemerintah tentang penegakan hukum dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum.

E. Keaslian Penulisan

Dalam hal penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta-fakta yang akurat dan sumber yang terpercaya sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literature yang penulis peroleh dari perpustakaan dan dari media massa baik cetak maupun elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini serta ditambah lagi dengan riset yang dilakukan penulis langsung ke lapangan dan wawancara penulis dengan pihak yang berkompeten. Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di Fakultas Hukum USU, maka judul mengenai Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan belum ada yang mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini secara ilmiah. Untuk menghasilkan tulisan yang maksimal, penulis menggunakan tata bahasa sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bahasa inggris yakni dengan menggunakan kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris yang telah diakui di Indonesia. Universitas Sumatera Utara

F. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Diversi dan Restorative Justice

a. Konsep Diversi

Konsep adalah Rancangan ; ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa konkret; gambaran mental dari objek, proses, ataupun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. 4 Pengertian diversi terdapat banyak perbedaan sesuai dengan praktek pelaksanaannya. Menurut sejarah perkembangan hukum pidana, kata “diversion” pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana President’s Crime Commision Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. 5 Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang terbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak children’s courts sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan police cautioning. Prakteknya telah berjalan di negara bagian Victoria, Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian Queensland pada tahun 1963. 6 4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007 hlm.588 5 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hlm.10 selanjutnya disebut Marlina I 6 Ibid. Saat itu ketentuan diversi dimaksudkan mengurangi jumlah anak yang masuk ke peradilan formal. Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological Approach, menyatakan : Universitas Sumatera Utara Diversion is “an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from the juvenile justice system”diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. 7 Pengertian diversi juga dimuat dalam United Nation Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice The Beijing Rules 8 Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi protection and rehabilitation anak pelaku tindak pidana. butir 6 dan butir 11 terkandung pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah. 9 Menurut sejarah hukum di Amerika Serikat pengertian diversi adalah memberikan jalan alternatif kepada anak yang diproses pada peradilan orang dewasa atau yang akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan. Diversi di Amerika Serikat dikemukakan juga dengan istilah neighborhood program. Program ini dirancang untuk mempertimbangkan anak yang beresiko tinggi berada dalam sistem peradilan pidana daripada anak lain anak tertentu untuk memberikan tindakan alternatif diversi dari peradilan. Kedua kebijakan baik diversi atau neighborhood dibangun dari tradisi pelayanan masyarakat. Program Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. 7 Ibid. 8 Ibid., hlm. 11 9 Ibid,. hlm.11 Universitas Sumatera Utara ini dilakukan dengan tujuan mengurangi delikuensi dengan menyediakan kegiatan konselingbimbingan mental, tindakan kesehatan, kesempatan untuk bekerja, rekreasi dan aktivitas akademik dan sosial dalam beberapa model dan cara tertentu yang dinggap baik bagi anak. Program pelayanan masyarakat diberikan dengan memperhatikan prinsip perilaku yang sesuai bagi anak berdasarkan penelitian dan metode ilmiah. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan jenis program yang tepat sesuai kondisi masing-masing anak. 10 Menurut pendapat Peter C. Kratcoski, ada tiga jenis pelaksanaan program diversi yang dapat dilaksanakan yaitu: 11 a. Pelaksanaan kontrol secara sosial social control orientation, yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat. b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku social service orientation, yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan. c. Menuju proses restorative justice atau perundingan balanced or restorative justice orientation, yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan 10 Ibid. hlm.12-13 11 Ibid., hlm. 15 Universitas Sumatera Utara masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku. Pada TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR1124XI2006 terdapat pengertian tentang diversi yakni suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. 12

b. Restorative Justice

Dengan kata lain dapat diartikan bahwa diversi artinya pengalihan kasus-kasus yang berkaitan dengan anak yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar prosedur peradilan formal dengan atau tanpa syarat-syarat tertentu. Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku tersangka bersama- sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. 13 Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. 12 TR Kabareskrim No. Pol.: TR1124XI2006, Butir DDD, 2. 13 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung,Refika Aditama 2009, hlm.180 selanjutnya disebut Marlina II Universitas Sumatera Utara Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku. Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat. Wakil masyarakat tersebut memberikan gambaran tentang kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan suatu perbuatan atau memulihkan kembali keguncangankerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya. 14 Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan: Restorative Justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam melakukan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan konsep restorative justice melibatkan berbagai pihak untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. 15 “Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implication for the future” restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama 14 Ibid,hlm. 181 15 Marlina I, Op.Cit., hlm. 28 Universitas Sumatera Utara bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh Toni Marshal dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”, dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu: 1 Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus; 2 Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan; 3 Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari pelaku secara utuh; 4 Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal; 5 Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya. 16 Restorative justice bersifat merekatkan peradilan pidana dengan konteks sosialnya yang menekankan daripada mengisolasinya secara tertutup. Defenisi yang dikemukakan oleh Tony Marshall tersebut sangat membantu dalam membahas restorative justice meskipun defenisi tersebut masih menimbulkan 16 Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, dalam Mahmul Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak PKPA, Medan, 2007, hal. 83.Selanjutnya disebut Marlina III Universitas Sumatera Utara sejumlah pertanyaan seperti : siapa saja para pihak yang berkepentingan dan terlibat dengan pelanggaran parties with a stake in the offence? Apakah maksud dari menghadapi akibat buruk dari pelanggaran deal with the aftermath of the offence? Apakah yang menjadi implikasi di masa yang akan datang yang perlu dipertimbangkan implication for the future? Maka jawaban atas pertanyaan- pertanyaan tersebut harus dijelaskan dengan kalimat-kalimat secara spesifik. 17

2. Anak

Defenisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana maupun hukum perdata. Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child Tahun 1989. Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice The Beijing Rules” Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948. Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 dua puluh satu tahun atau belum menikah. Ada juga yang mengatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 17 Marlina I, Op.Cit, hlm.29 Universitas Sumatera Utara tentang Pengadilan Anak Pasal 1 butir 1 menjelaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Untuk menetapkan ketentuan hukum yang lebih berprospek dalam meletakkan batas usia maksimum dari seorang anak, terdapat pendapat yang sangat beraneka ragam. Batas usia anak yang layak dalam pengertian hukum nasional dan hukum internasional Konvensi Hak Anak CRC, telah dirumuskan ke dalam bangunan-bangunan pengertian yang diletakkan oleh spesifikasi hukum, seperti berikut ini: 18 1 Batas usia seseorang menurut ketentuan Hukum Perdata Hukum Perdata meletakkan batas usia anak berdasarkan Pasal 330 ayat 1 KUHPerdata sebagai berikut: a Batas antara usia belum dewasa minderjarighead dengan telah dewasa meerderjarighead, yaitu 21 dua puluh satu tahun; b Dan seorang anak yang berada dalam usia dibawah 21 dua puluh satu tahun yang telah menikah dianggap telah dewasa. 2 Batas usia anak menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat 1, Pasal 47 ayat 1, dan Pasal 50 ayat 1, sebagai berikut: a Pasal 7 ayat 1, menyebutkan batas usia minimum untuk dapat kawin bagi seorang pria, yaitu 19 sembilan belas tahun dan bagi seorang wanita, yaitu 16 enam belas tahun. 18 M. Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, Grasindo, 2000, hlm., 24-25. Universitas Sumatera Utara b Pasal 47 ayat 1, menyebutkan batas usia minimum 18 delapan belas tahun berada dalam kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu tidak dicabut. c Pasal 50 ayat 1, menyebutkan batas usia anak yang belum mencapai usia 18 delapan belas tahun atau belum pernah kawin berada pada status perwalian. 3 Batas usia anak menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin. 4 Batas usia anak menurut ketentuan Hukum Pidana Sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tentang pengertian anak yang sangat bervariatif tergantung jenis tindak pidana yang dilakukan. Ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHPidana ini telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Batas usia anak dalam pengertian Hukum Pidana dirumuskan dengan jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sebagai berikut: “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”. Menurut Pasal 1 butir 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, mengklasifikasikan anak ke dalam pengertian sebagai berikut : a Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak yang paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun; Universitas Sumatera Utara b Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun; c Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun. 5 Batas usia anak menurut Konvensi Hak Anak Converention on the Rights of the Child, pada Pasal 1 bagian 1 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa sebagai berikut: “Seorang anak adalah bagian setiap manusia yang berusia di bawah 18 delapan belas tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan dicapai lebih cepat.” Pengertian batas usia anak pada hakekatnya mempunyai keanekaragaman bentuk dan spesifikasi tertentu. Maksud pengelompokan batas usia maksimum anak batas usia atas sangat bergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk mengenal secara pasti faktor-faktor yang menjadi sebab-sebab terjadinya tanggung jawab terhadap anak dalam hal-hal berikut ini: 1 Kewenangan bertanggung jawab terhadap anak. 2 Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum. 3 Pelayanan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana. 4 Pengelompokan proses pemeliharaan. Universitas Sumatera Utara 5 Pembinaan efektif. Yang terpenting seseorang tergolong dalam usia anak dalam batas bawah usia, yaitu nol 0 tahun, batas penuntutan 8 delapan tahun sampai dengan batas 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Dengan demikian batasan mengenai usia anak di dalam berbagai ketentuan hukum tersebut di atas telah sangat jelas diatur kapan seseorang itu dikategorikan sebagai anak, dari ketentuan batasan usia yang sangat bervariatif tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 19 1 Seseorang yang belum mencapai usia 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin; 2 Masih berada di bawah kekuasaan orang tuanya atau walinya selama kekuasaan itu tidak dicabut; 3 Belum cakap dan belum dapat bertanggung jawab di dalam masyarakat.

3. Perlindungan Hukum Anak

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. 20 Berdasarkan hasil seminar perlindungan anakremaja oleh Prayuana Pusat tanggal 30 Mei 1977, terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak yaitu: 21 19 Ibid, hlm.26 20 Maidin Gultom, Op.Cit., hlm.33 21 Ibid, hlm.34 Universitas Sumatera Utara a. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengankepentingan dan hak asasinya. b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 Tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah : 22 1 Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak 2 Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak. 22 Ibid, hlm.37 Universitas Sumatera Utara 3 Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integrative, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

4. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Menurut KBBI, yang dimaksud dengan pelaku adalah : 1 Orang yang melakukan suatu perbuatan; 2 Pemeran ; pemain; 3 Yang melakukan suatu perbuatan, subjek dalam suatu kalimat, dsb; yang merupakan pelaku utama di perubahan situasi tertentu. 23 Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 pengertian anak nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Anak sebagai pelaku tindak pidana sering juga disebut anak yang berkonflik dengan hukum, atau anak yang berhadapan dengan hukum. Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak salah satunya yang sangat memprihatinkan adalah Anak yang memerlukan perlindungan khusus 23 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007 hlm.628 Universitas Sumatera Utara Child in Need Special Protection=CNSP secara spesifik lagi adalah bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Anak-anak yang menghadapi kelaparan dan kemiskinan, menjadi korban kekerasan dalam keluarga atau penyalahgunaan, penelantaran atau eksploitasi serta mereka yang dihadapkan pada kekerasan, alkohol, mejadi korban penyalahgunaan obat, dan lain-lain pada umumnya terpaksa berhadapan dengan hukum. Anak-anak ini mungkin tidak cukup mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk dapat memecahkan permasalahan dengan positif. Mereka pada umumnya berhubungan dengan teman-teman atau orang-orang yang memiliki tingkah laku yang mengarah pada kenakalan atau lebih jauh kepada kejahatan atau tindak pidana. Banyak anak-anak tersebut putus sekolah dan sering sekali mereka tidak mendapat pengaruh positif lain yang dapat mengembalikan mereka ke jalan positif pula. 24 Pembicaraan anak yang berhadapan dengan hukum mengacu terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. 25 1 Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana; Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 dua belas tahun tetapi belum mencapai usia 18 delapan belas tahun dan belum menikah: 24 Jhonathan dan Agam, Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Nasional, dalam Mahmul Siregar dkk., Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak PKPA, Medan, 2007, hlm. 71. 25 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 64 Universitas Sumatera Utara 2 Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat danatau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana. 26 Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena: 27 1 Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau 2 Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum tang dilakukan orangkelompok oranglembaganegara terhadapnya; atau 3 Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum. Oleh karena itu jika dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi: 28 1 Pelaku atau tersangka tindak pidana; 2 Korban tindak pidana; 3 Saksi suatu tindak pidana. Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan. 29 26 Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3 27 Apong Herlina, dkk, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004, hlm. 17 28 Op. Cit., Pasal 3 ayat 2. 29 Op. Cit Dapat juga dikatakan anak yang harus harus mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan disini bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang Universitas Sumatera Utara melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada khusunya.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian ini didasarkan pada hal-hal berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis dengan pendekatan kualitatif. Yang dimaksud pendekatan penelitian secara kualitatif adalah prosedur penelitian yang menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku objek penelitian.

2. Sumber dan tehnik pengumpulan data

Sumber data penelitian adalah sumber dari mana data diperoleh. Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah : data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer adalah data yang bersumber dari tangan pertamalangsung diperoleh dari objek penelitian atau instansi yang berkepentingan. Data primer dapat diperoleh dengan cara : 1. Dokumen Dokumen adalah setiap bahan tertulis maupun film. Dokumen dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan mengenai berbagai data yang Universitas Sumatera Utara diperoleh, bahkan untuk meramal. Dokumen tersebut berupa arsip atau naskah lainnya yang diperoleh dari instansi yang berhubungan dengan penelitian. Dokumen yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah adalah dokumen resmi. 2. Wawancara Interview Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan dua pihak atau lebih, pewawancara memberikan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan yang dimaksud. Dalam hal ini langsung dengan pihak yang erat hubungannya dengan penelitian agar data yang diperoleh lebih jelas dan akurat.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh di luar responden bisa didapat dalam bentuk : Library, Literature, questioner, Undang-Undang, maupun Arsip.

3. Analisis data

Analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari peristiwa atau masalah yang didukung oleh teori-teori yang berkaitan dengan objek permasalahan. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber baik data primer hasil wawancara, pengamatan, dokumen, maupun data sekunder Library, Literature, Undang-Undang dan Arsip.

a. Reduksi data

Reduksi data adalah proses pemilihan, perumusan dan penyederhanaan, pengabstakan, dan transformasi bahasan yang muncul dari catatan dalam melakukan penelitian. Universitas Sumatera Utara

b. Penyajian data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, setelah data terasa terpenuhi maka akan dijadikan dalam bentuk uraian yang sistematis.

c. Menarik kesimpulan

Menarik kesimpulan adalah sebagian dari kegiatan konfigurasi utuh. Kesimpulan juga diversivikasi selama penelitian berlangsung untuk mempermudah pemahaman tentang metode analisis data.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika adalah gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya ilmiah, dalam hal ini adalah penulisan skripsi. Adapun sistematika ini bertujuan untuk membantu para pembaca dengan mudah membaca skripsi ini. Penulisan skripsi ini terbagi atas tiga bagian yaitu : Bagian pendahuluan skripsi, bagian isi skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian Pendahuluan skripsi berisi tentang halaman judul, halaman pengesahan, motto dan persembahan, abstrak dan daftar isi. Bagian isi skripsi ini terdiri dari empat bab, yaitu : Bab pertama, merupakan Pendahuluan yang berisikan suatu rincian yang mengemukakan apa yang menjadi dorongan penulis untuk mengambil dan merumuskan permasalahan, yang secara umum berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, serta sistematika penulisan. Universitas Sumatera Utara Bab kedua, merupakan bab yang berisikan tentang perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana, serta menguraikan tentang perlindungan hukum terhadap anak dari tahap penyidikan sampai dengan tahap persidangan yang didapat melalui studi literature di perpustakaan dan hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan di lapangan. Bab ketiga, merupakan bab yang berisikan tentang penerapan konsep diversi dan restorative justice sebagai upaya perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana. Dalam bab ini diuraikan tentang penerapan konsep diversi dan restorative justice sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana sesuai dengan pelaksanaan di lapangan. Bab keempat, merupakan bab Penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan saran yang dijadikan bahan masukan dalam hal perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan juga masukan dalam hal penanganan tindak pidana anak dengan cara diversi dan restorative justice. Universitas Sumatera Utara

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK

PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK studi kasus anak pelaku tindak pidana pencabulan di Karo Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait, antara lain UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Masalah perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, menentukan bahwa: a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak; c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum; d. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir; e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya; Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengembangan Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

1 45 675

PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEJAHATAN PADA TAHAP PENUNTUTAN DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE (Studi Kasus Penganiyayaan di Kota Malang)

0 3 34

PELAKSANAAN DIVERSI PADA TAHAP PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN OLEH PELAKU ANAK (Studi Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

0 5 45

PENERAPAN PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS DENGAN PELAKU ANAK

1 33 93

IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DENGAN PELAKU ANAK (STUDI Implementasi Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Dengan Pelaku Anak (Studi Kasus Di Polresta Surakarta).

0 2 19

PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE OLEH KEPOLISIAN DALAM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 1 1

Penerapan Diversi Pada Tahap Penyidikan Untuk Mewujudkan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Pelaku Tindak Pidana.

0 0 23

Penerapan Restorative Justice dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana

0 0 96

BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

0 0 33

BAB II PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERADILAN PIDANA ANAK 2.1. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak - RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 36