PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE

BAB III PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE

SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI KABUPATEN KARO Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana anak. K o n s e p d i v e r s i d a n Restorative justice keadilan restoratif adalah alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif. Diversi dan Restorative justice Keadilan Restoratif bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku baik secara fisik, psikis atau hukuman, namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Sistem peradilan anak yang sekarang berlandaskan pada keadilan retributive menekankan keadilan pada pembalasan dan restitutive menekankan keadilan atas dasar pemberian ganti rugi hanya memberikan wewenang kepada Negara yang didelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum Polisi, Jaksa, dan Hakim. Anak pelaku tindak pidana dan Universitas Sumatera Utara korbannya sedikit sekali diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara yang menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman penjara pada pelaku. Karena itu tidak heran tindak kriminal yang dilakukan anak pelaku tindak pidana semakin meningkat karena di penjara mereka justru mendapat tambahan ilmu untuk melakukan kejahatan dan kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya. Di Indonesia, konsep diversi dan restorative justice merupakan konsep baru. Konsep diversi adalah konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal yang ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. 106 Sedangkan konsep restorative justice merupakan proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku tersangka bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk sama-sama berbicara dan dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. 107 Konsep diversi dan Restorative justice Keadilan Restoratif merupakan suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengn menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dimana hal ini sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial 106 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative justice, Bandung,Refika Aditama 2009, hlm.168 selanjutnya disebut Marlina II 107 Ibid, hlm. 180 Universitas Sumatera Utara Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Dalam konsep ini, penyelesaian konflik didasarkan atas partisipasi masyarakat. Kasus yang melibatkan anak tidak selalu perlu diproses secara hukum, cukup diselesaikan melalui komunitas dengan jalan kekeluargaan. Proses ini diharapkan akan mengurangi dampak pada anak yang berkonflik dengan hukum yang terkadang lebih buruk dari pada perilaku kriminalnya itu sendiri. Karena masih adanya rasa dendam, tidak jarang terjadi ”tawuran” antar pelajar, antar kelompok, antar kampung, antar suku karena tidak ada penyelesaian yang tuntas antara pelaku dengan pihak korban dan keluarganya serta lingkunganya, meski terdakwa sudah dijatuhi hukuman. Hendaknya konflik seperti ini dapat dilakukan musyawarah dan mufakat dengan warga, lingkungan, RT, RW Ketua Adat, Tokoh Agama, Guru sekolah dan keluarga pelaku serta keluarga korban. Dalam penanganan anak pelaku tindak pidana, konsep diversi dan pendekatan Restorative justice menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak. Konsep diversi dan Restorative justice setidak- tidaknya bertujuan untuk memperbaiki memulihkan to restore perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, seperti yang disebutkan dalam Konvensi Hak Anak pasal 40 ayat 3 huruf a : ”Bilamana perlu dan dikehendaki, langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa menggunakan proses peradilan, asalkan hak- Universitas Sumatera Utara hak asasi dan kaidah-kaidah hukum tetap diharmonisasi sepenuhnya.” Adapun syarat-syarat kriteria agar bisa dilakukan diversi dan Restorative justice sebagai berikut: 1. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku. 2. Persetujuan dari pihak korban keluarga dan adanya keinginan untuk memaafkan pelaku. 3. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat. 4. Kualifikasi tindak pidana ringan 5. Pelaku belum pernah dihukum Penerapan k o n s e p d i v e r s i d a n Restorative Justice keadilan restoratif p a d a p e r a d i l a n a n a k d i I n d o n e s i a terlihat pada beberapa kebijakan penegak hukum, diantaranya: 1. Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No. 6 Tahun 1959, menyebutkan bahwa persidangan anak harus dilakukan secara tertutup. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak. 3. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002j.a41989 tentang Penuntutan terhadap Anak 4. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532E111995, 9 November 1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak Universitas Sumatera Utara 5. MOU 20PRS-2KEP2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepKumHAM RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum 6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MAKumdil31IK2005 tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan 7. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007 8. Peraturan KAPOLRI 102007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak PPA dan 32008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksikorban TP 9. TR1124XI2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 November 2006 dan TR395VI2008 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi 10. Kesepakatan Bersama antara DEPARTEMEN SOSIAL RI Nomor : 12PRS- 2KPTS2009, DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL RI Nomor 11XIIKB2009, DEPARTEMEN AGAMA RI Nomor : 06XII2009, DAN KEPOLISIAN NEGARA RI Nomor : B43 XII2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, tanggal 15 Desember 2009 Universitas Sumatera Utara 11. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum Dan Ham RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak RI, NO.166KMASKBXII2009, NO.148 AAJA122009, NO. B45XII2009,NO.M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009, NO. 10PRS- 2KPTS2009, NO. 02Men.PP dan PAXII2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Pelaksanaan diversi dan restorative justice memberikan dukungan terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Sesuai dengan prinsip utama dari diversi dan restorative justice mempunyai dasar kesamaan yaitu menghindarkan anal pelaku tindak pidana untuk menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara. Penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan kebijakan diversi dan restorative justice membawa partisipasi masyarakat dan mediator sebagai salah satu komponen penting selain aparat penegak hukum sistem peradilan pidana. 108 108 Ibid, hlm. 230 Salah satu hasil dari konsep ini adalah pelaku memberikan tanggung jawab langsung kepada korband alam bentuk ganti rugi atau pertanggungjawaban lainnya selain pidana. Setelah dilakukan penandatanganan kesepakatan maka pelaku harus melaksanakan semua kesepakatan tersebut dengan pengawasan dari masyarakat. Sementara itu korban berhak mendapat ganti rugi dan penyembuhan dari pelaku atas penderitaan dan kerugian yang diterimanya. Universitas Sumatera Utara A. Penerapan Konsep Diversi Dan Restorative justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan Di Polres Kabanjahe Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak. Dalam menjalankan tugasnya kepolisian diberikan kewenangan diskresi discretionary power. Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan diversion terhadap suatu perkara anak sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal. Namun jika melihat berdasarkan data tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada Polres Karo tahun 2010 terdapat 37 kasus dan pada hingga Mei 2011 terdapat 26 kasus yang dilaporkan ke pihak Polres Karo. Tabel 3 Tindak pidana anak di Kabupaten Karo No. Tindak Pidana Tahun 2010 2011 1 Penganiayaan 5 Kasus 2 Kasus 2 Pencabulan 31 Kasus 22 Kasus 3 Pencurian 1 Kasus 2 Kasus Jumlah 37 Kasus 26 Kasus Sumber : Unit Pelayanan Anak Polres Kabupaten Karo 2011 Universitas Sumatera Utara Namun tidak semua kasus ini berlanjut ke tahap penuntutan. Hal ini diketahui berdasarkan data yang diperoleh dari Kejaksaan bahwa kasus yang berkasnya dilimpahkan pada tahun 2010 hanya berjumlah 18 kasus dan pada tahun 2011 hanya 12 kasus. 109 Salah satu penyidik di Polres Karo, menyatakan bahwa pada dasarnya kasus yang dilaporkan ke Polres Karo tidak semua berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan. Ketika penyidikan dilakukan, terkadang antara pihak korban dan pelaku melakukan perdamaian seperti kasus pencabulan sebanyak 31 kasus namun berkasnya yang disampaikan ke kejaksaan hanya 3 kasus. Biasanya perdamaian ini terjadi karena bantuan pihak ketiga seperti tokoh adat atau tokoh masyarakat. Perdamaian itu biasanya disertai ganti rugi yang ditandai dengan kesepakatan antara korban dan pelaku. Terkadang pihak kepolisian dilibatkan dan tidak dilibatkan namun apabila perkara tersebut sudah diselesaikan secara damai biasanya pihak korban, pelaku dan tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang terlibat datang melapor ke Polres Karo. Namun apabila kasus pencabulan dimana korban atau orang tua korban tidak bersedia melakukan perdamaian dengan adanya surat pernyataan yang ditandatangani oleh orang tua korban maka kasus ini akan diteruskan ke kejaksaan. 110 Pada tahap ini kewenangan polisi dalam mengalihkan diversi perkara anak demi keadilan restributif telah terjadi dimana terjadi penciutan kasus dari 37 kasus menjadi 18 kasus. Berarti ada 19 kasus yang mengalami diversi. Berdasarkan 18 kasus yang diteruskan ke kejaksaan dapat dikatakan kewenangan 109 Hasil wawancara dengan beberapa informan dan studi pustaka 110 Hasil wawancara dengan beberapa informan 6 Juni 2011 dan studi pustaka berkas perkara dari PN Universitas Sumatera Utara diskresi belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak. Fakta ini menunjukkan kepolisian belum menggunakan kewenangan diskresinya dalam menangani perkara anak. Alasan pihak kepolisian tidak menggunakan kewenangan diskresi mereka secara maksimal dikarenakan ada beberapa kasus anak yang wajib mereka teruskan ke kejaksaan seperti kasus pencabulan pemerkosaan dan narkoba. Sedangkan untuk kasus tindak pidana ringan seperti kasus pencabulan biasa, penganiayaan atau pencurian biasanya dilakukan diversi. Sebagaimana dikemukakan Kanit PPA Polres Karo, bahwa: 111 Pendapat Kanit PPA Polres Karo ini diperkuat dengan membaca UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, dalam konteks penanganan perkara anak, tidak ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur kewenangan diskresi. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang melanggar hukum pidana. Pasal 16 ayat 1 menetapkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas dalam bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia “Untuk diversi biasanya dilakukan pada kasus tindak pidana ringan atau kasus penganiayaan atau pencurian. Namun untuk kasus pencabulan atau narkoba semua dilimpahkan. Namun biasanya yang pelakunya anak harus diupayakan perdamaian. Perdamaian biasanya disarankan oleh penyidik, digelar dulu dengan pakar hukum di Polres dan keputusannya diambil dalam sidang rapat dan biasanya tidak ada tenggang waktu berapa lama untuk proses perdamaian”. 111 Hasil Wawancara, Senin 6 Juni 2011 Universitas Sumatera Utara berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian penyidikan. Selanjutnya Pasal 18 ayat 1 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ketentuan tersebut dapat menjadi acuan bagi polisi untuk mengambil tindakan diskresi, namun penggunaan kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam menangani perkara apa. Beijing Rules mengatur kewenangan diskresi melalui mekanisme pengalihan. Butir 11.1 menyatakan pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompeten. Selanjutnya Butir 11.2 menetapkan polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan- pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip- prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini. Langkah ini diperlukan karena menurut Butir 13.1 dinyatakan bahwa penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir. Dan menurut Butir 13.2 dinyatakan di mana mungkin, penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan langkah-langkah alternatif, seperti pengawasan secara dekat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat atau rumah pendidikan. Ketentuan ini dititahkan oleh Konvensi Hak Anak Pasal 37 huruf b yang mewajibkan negara untuk menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Universitas Sumatera Utara Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Konstruksi hukum serupa dapat ditemukan pada Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat 4 yang menyatakan dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. Namun terkadang dalam melaksanakan tugasnya, kepolisian bahkan tidak menawarkan diversi dan restorative justice. Hal ini dapat dilihat dari kasus pencabulan yang dilakukan “KG” dimana pada BAP, pihak kepolisian tidak menawarkan diversi atau restorative justice kepada pihak pelaku ataupun korban. Selain itu pihak keluarga korban juga tidak bersedia melakukan perdamaian yang ditandai dengan adanya surat pernyataan diatas materai yang meminta pelaku dihukum seberat-beratnya. 112 Berdasarkan temuan di lapangan, tidak dilakukannya diversi dan restorative justice secara maksimal oleh kepolisian di Polres Karo dikarenakan Berdasarkan ketentuan tersebut, kepolisian mempunyai kewenangan dan kebijakan tersendiri dalam menentukan apakah kasus anak tersebut dapat diselesaikan melalui pengalihan atau tidak seperti kasus pencabulan dan narkoba yang biasanya diteruskan ke penuntutan. Apabila diversi berhasil dilakukan maka akan dilakukan pemulihan. Namun jika diversi tidak berhasil atau kepolisian berdasarkan kewenangannya menyatakan bahwa kasus tersebut harus diterukan maka proses akan dilanjutkan dengan pelimpahan berkas ke kejaksaan. 112 Hasil studi pustaka Berkas Perkara No. 205PID.A2006PN.KBJ Universitas Sumatera Utara kemampuan pihak polisi sendiri dalam memahami konsep ini masih kurang sehingga dalam penerapannya jarang dilakukan kecuali pihak keluarga korban atau keluarga pelaku yang melakukan perdamaian diluar kepolisian. B. Penerapan Konsep Diversi Dan Restorative justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penuntutan Di Kejaksaan Negeri Kabanjahe Jaksa sebagai penuntut umum perkara pidana mempunyai peran penting dalam menjalankan fungsinya dalam penegakan sistem pengadilan pidana anak. Melalui tuntutan yang diajukan kepada terdakwa anak dalam sidang pemeriksaan di pengadilan dimana hakim memutus suatu perkara. Dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya, hakim mengaju pada tuntutan jaksa. Limitasi hukumnya, hakim tidak boleh memutus perkara lebih dari tuntutan jaksa. Oleh karenanya, dalam konteks perkara anak, seperti halnya polisi, jaksa juga mempunyai kewenangan diskresional. Jaksa dapat mengambil tindakan pengabaian atau tidak meneruskan suatu perkara anak ke tahap selanjutnya atau memberikan putusan pengalihan dari proses hukum formal lebih lanjut. Namun jika merujuk pada UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, khusus bagian tugas dan wewenang jaksa, tidak ditemukan landasan hukum yang secara khusus untuk menangani anak yang melakukan pelanggaran hukum pidana. Memang kewenangan diskresi dapat terbaca pada Pasal 35 huruf c yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: mengesampingkan perkara demi kepentingan umum deponeeringdisposisi; namun kewenangan tersebut terbatas pada Kejaksaan Agung, tidak dimiliki oleh Universitas Sumatera Utara jaksa yang menangani suatu perkara. 113 Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan salah Jaksa di Kejaksaan Negeri Kabanjahe sebagai berikut : Hingga dalam pelaksanaannya di daerah, para jaksa tidak memiliki kewenangan diskresi untuk menangani anak yang melakukan pelanggaran hukum pidana : mengesampingkan perkara demi kepentingan umum diversi sehingga setiap kasus anak yang masuk ke Kejaksaan Negeri Kabanjahe maka wajib diteruskan. 114 Pendapat ini juga dikuatkan oleh seorang Jaksa wanita di Kejaksaan Negeri Kabanjahe yang sering menangani kasus anak sebagai berikut : “apabila kasus atau berkas anak sudah masuk maka tidak ada perdamaian diversi. Semua dilimpahkan dan diproses di pengadilan. Surat dakwaan juga tidak berbeda dengan orang dewasa. Hanya saja tuntutan hukuman setengah dari orang dewasa”. 115 Kalau berkas anak itu sudah sampai dikejaksaan maka tidak akan ada diversi. Di kejaksaan tidak ada tetapi di kepolisian dan pengadilan ada. Jalur diversi atau rrestorative justice hanya ada di Kepolisian dan di Pengadilan, di Kejaksaan Cuma numpang lewat. Kalau sudah masuk atau dilimpahkan ke kejaksaan P-21 tidak bisa tidak disidang. Harus melalui 113 Pasal 30 ayat 1 menyatakan di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan penuntutan; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 114 Hasil wawancara 7 Juni 2010 115 Hasil wawancara 7 Juni 2010 Universitas Sumatera Utara proses formal. Tetapi kalau waktu sidang hakim punya kebijakan lain ya diperbolehkan”. Selain itu, menurut Jaksa sangat sulit memberikan tindakan kepada anak karena tidak ada rambu-rambu untuk melaksanakan diversi. Misalnya bila anak berusia 12 tahun melakukan pembunuhan, maka harus ada tindakan, kalau mengadakan diversi itu pihak Kejaksaan tidak mengetahui bagaimana sebaiknya mengadakannya. 116 116 Notula sosialisasi RUU tentang sistem Peradilan anak pada hari Jumat, 18 Juni 2010 di Hotel Grand Antares Medan. Pendapat ini disampaikan Jaksa Robertson mewakili Kejaksaan Tinggi Medan diakses dari ... tanggal Situasi ini jelas mempersulit anak untuk mendapatkan haknya untuk mendapatkan kebebasan, karena seharusnya penahanan oleh kejaksaan merupakan langkah yang terakhir Pasal 37 huruf b Konvensi Hak Anak. Padahal Beijing Rules Butir 11.1 dan Butir 11.2 dapat dijadikan alas hukum untuk mengabaikan perkara anak. Butir 11.1 menyatakan Pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompeten, yang dirujuk pada peraturan 14.1 di bawah ini. Sedangkan Butir 11.2 menetapkan bahwa penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini. Universitas Sumatera Utara Apabila kewenangan ini tidak dilaksanakan oleh setiap jaksa yang menangani perkara anak, maka hak anak untuk mendapatkan hak atas langkah- langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran Pasal 24 ayat 1 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik diabaikan. Langkah-langkah perlindungan ini seharusnya dapat digunakan melalui penggunaan kewenangan diskresi kejaksaan dalam rangka menjunjung martabat yang melekat pada diri manusia manakala dirampas kebebasannya Pasal 10 ayat 1 Kovenan. Namun di Kejaksaan Negeri Kabanjahe penggunaan kewenangan diskresi kejaksaan terhadap anak melalui diversi tidak dilaksanakan karena kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kasus yang masuk di Kejaksaaan Negeri Kabanjahe pada tahun 2010 berjumlah 18 kasus. 117 117 Hasil wawancara dengan beberapa informan dan studi pustaka Padahal sesuai dengan undang-undang pengadilan anak, pengalihan atau diversi seharusnya dapat dilakukan sebelum berkas tersebut dilimpahkan ke pengadilan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui juga pemahaman aparat kejaksaan mengenai UU No. 3 Tahun 1997 dan mengenai konsep diversi dan restorative justice masih kurang. Bahkan ketika diwawancari para jaksa tersebut malah menanya balik apa itu diversi atau restorative justice. Para jaksa memahami tindak pidana yang dilakukan anak disamakan dengan tindak pidana dewasa dan tidak pernah menerima pendidikan khusus yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak. Universitas Sumatera Utara C. Penerapan Konsep Diversi Dan Restorative justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Persidangan Di Pengadilan Negeri Kabanjahe Sistem hukum continental\civil law yang dianut Indonesia, hakim menjadi aktor sentral proses perjalanan persidangan. Hakim menjadi penentu akhir melalui penalaran hukum yang tertuang dalam sebuah putusan hakim vonis. Melalui penalaran hukum hakim memberikan interpretasi dan konstruksi hukum suatu instrumen hukum. Dalam memeriksa perkara anak, hakim seharusnya dengan kewenangannya dapat mengakhiri proses peradilan setiap saat seperti yang dicantum dalam Butir 17.4 Beijing Rules. Kewenangan hakim menghentikan perkara anak tidak diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 Tahun 2004. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga tidak mengatur kewenangan ini. Pasal 24 ayat 1 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang menentukan bahwa setiap anak berhak untuk mendapat hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur seharusnya dapat dijadikan sebagai landasan hukum bagi hakim untuk menghentikan perkara anak. Putusan demikian sah diberikan karena hakim diberikan kebebasan dalam Pasal 28 ayat 1 untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kemudian pengalihan proses hukum formal ke jalur penyelesaian non formal sebagaimana ditetapkan Beijing Rules Butir 11.1 melalui penerapan model restorative justice dalam menangani perkara anak, dapat dilakukan oleh hakim. Restorative justice dapat dijadikan rujukan bagi hakim untuk menyelesaikan Universitas Sumatera Utara perkara anak. Pada prinsipnya restorative justice mengakui 3 tiga pemangku kepentingan stakeholders dalam menentukan penyelesaian perkara anak. Ketiga pihak tersebut terdiri atas : i korban; ii pelaku; dan komunitas. Restorative justice menjadi wahana mempertemukan korban dan pelaku dalam rangka mengupayakan pemulihan bagi korban. Pelaku dibebani kewajiban untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban dan komunitas. 118 Selain itu, pelaku bertanggung jawab untuk mengakui kejahatannya, dan jika memungkinkan memulihkan penderitaan korban. 119 Restorative justice merupakan upaya untuk memperlakukan anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan martabatnya sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat 1 Konvensi Hak Anak. Pasal ini menetapkan bahwa negara mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai Namun semangat restorative justice tidak nampak dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman, maupun UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Hakim tidak diberikan kewenangan secara eksplisit untuk memutuskan penyelesaian perkara anak dengan sistem penanganan restorative justice. Penyelesaian perkara pidana anak yang berorientasi pada kepentingan pelaku sebagaimana menjadi tujuan pendekatan restorative justice, berkesesuaian dengan ketentuan Pasal 10 ayat 1 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang menjamin setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. 118 Vermont Agency of Human Services, Promoting Youth Justice Through Restorative Alternatives Planning Division September, 2003 . Konsep restorative justice dalam sistem hukum Indonesia dapat ditemui dalam UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Undang-undang ini mengadopsi penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu di luar pengadilan out court system 119 The Fresno County Restorative justice Framework, Februari, 2003 Universitas Sumatera Utara telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan- kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat. Hal serupa juga dapat ditemui pada Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya. Butir 1 menetapkan sistem peradilan bagi anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental para anak. Hukuman penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir. Dengan demikian, pelanggaran hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum salah satunya bersumber pada instrumen hukum yang tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, untuk tahun 2010 dari 18 kasus yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Kabanjahe, hanya 15 kasus yang diberi putusan sedangkan 3 kasus lainnya terjadi diversi. Hal ini terjadi karena proses mediasi yang dilakukan berhasil tanpa harus melalui proses formal peradilan. Pihak korban dan pelaku yang dibantu oleh mediator bersedia berdamai. Sedangkan 15 kasus yang diputuskan tersebut merupakan kasus yang merupakan tindak pidana berat dan pihak korban tidak bersedia berdamai. Selain itu hakim yang menangani perkara anak tidak diberikan kewenangan secara eksplisit untuk memutuskan penyelesaian perkara anak dengan sistem penanganan restorative justice atau dengan pertimbangannya sendiri merasa kasus anak tersebut memang harus diteruskan maka diversi dan restorative justice tidak Universitas Sumatera Utara dilaksanakan. 120 Namun jika kita melihat fakta tersebut, para hakim yang belum menerapkan konsep diversi dan restorative justice secara maksimal. Bahkan terkadang vonis yang diberikan hakim kepada anak pelaku tindak pidana disamakan dengan orang dewasa seperti kasus pidana yang dialami Legiman Kasus Pidana Register No. 81Pid.B1998PN-KBJ tanggal 18 Agustus 1998 dimana Legiman yang berusia 17 Tahun melakukan tindak pidana pembunuhan pada tanggal 12 November 2007 di desa Bunuraya Kecamatan Tiga Panah divonis penjara seumur hidup dan keputusan ini merupakan keputusan yang melanggah hak asasi Legiman sebagai anak dan tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak. Hal ini dapat diketahui berdasarkan tabel perkara anak yang dilimpahkan dari Kejaksaan Negeri Kabanjahe sebanyak 18 kasus dan ada 15 kasus yang diteruskan. 121 Hal ini terjadi karena Hakim anak tidak menjatuhkan pidana semata-mata sebagai imbalan atau pembalasan atas perbuatan anak. Hakim melihat masa depan Padahal dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1987, tanggal 17 Nopember 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak, menentukan bahwa dalam perkara pidana anak diperlukan penelitian pendahuluan mengenai unsur- unsur tindak pidana yang didakwakan, menyangkut lingkungan, pengaruh dan keadaan anak yang melatarbelakangi tindak pidana itu serta sisi psikologis si anak itu sendiri. Juga diharapkan agar hakim memperdalam pengetahuan melalui literatur, diskusi, dan sebagainya. Agar hakim memiliki pertimbangan- pertimbangan yang memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. 120 Hasil wawancara dengan beberapa informan dan studi pustaka 121 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2008, hlm.127 Universitas Sumatera Utara anak atau mempertimbangkan perkembangan fisik, mental dan sosial anak serta tingkat kejahatan anak tersebut. Masih banyaknya kasus anak pelaku tindak pidana di Pengadilan Negeri Kabanjahe menunjukkan tidak diakomodasinya penyelesaian perkara anak diluar jalur hukum pengadilan formal. Padahal pendekatan restorative justice seharusnya dijadikan solusi untuk menyelesaikan kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Ini merupakan salah satu upaya agar anak mempunyai tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya dengan cara melibatkan korban, dan pihak-pihak yang terkait terutama keluarga dan masyarakat untuk berperan serta memperbaiki moral anak pelaku tindak pidana agar tidak merasa sebagai pesakitan yang harus diasingkan oleh lingkungannya dan mempunyai motivasi untuk memperbaiki dirinya, serta membuat anak untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya. Masih banyaknya kasus anak di Pengadilan Negeri Kabanjahe yang diputuskan bersalah juga menandakan masih kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum di Kabanjahe terhadap perlakuan dan penerapan kasus anak juga menjadi salah satu faktor bahwa kepentingan anak sering terabaikan. Hendaknya negara benar-benar mempersiapkan aparat penegak hukum yang mengerti benar tentang perlakuan terhadap anak, instrumen hukum yang menegaskan tentang model diversi dan restorative justice sehingga anak tidak merasa diperlakukan sebagai seorang pesakitan namun lebih kearah pembimbingan mental dan spiritual melalui sanksi pidana yang bersifat edukatif, sehingga anak sebagai seorang calon individu dewasa merasa lebih dihargai. Penyediaan sarana dan prasarana lain yang memadai dan diperlukan bagi perbaikan moral anak. Untuk itu diusahakan agar Universitas Sumatera Utara penegak hukum tidak hanya ahli dalam bidang ilmu hukum akan tetapi terutama jujur dan bijaksana serta mempunyai pandangan yang luas dan mendalam mengenai anak. Aparat penegak hukum yang menangani anak seharusnya memenuhi peryaratan-persyaratan sebagai berikut : 1. Memiliki pengetahuan dan keterampilan proposional sesuai dengan profesinya. 2. Mempunyai niat, perhatian dan dedikasi serta memahami masalah anak. 3. Telah berpengalaman dalam menangani perkara tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Untuk terciptanya perlindungan anak memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik sehingga diperoleh keseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan terutama dalam masalah perlindungan hukum anak. Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. 122 Penanganan yang salah dalam proses pengadilan anak dapat menimbulkan pertumbuhan mental atau kejiwaan anak menjadi negatif dan berbahaya bagi penciptaan generasi muda yang akan datang. Anak adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya sehingga dalam segala hal masih membutuhkan bantuan orang 122 Bismar Siregar, Abdul Hakim G.N, Suwantji Sisworahardjo, Arif Gosita, Mulyana W. Kusuma, Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986, Hlm.22 Universitas Sumatera Utara lain. Tujuan pemidanaan bertujuan bukan untuk memberikan penghukuman melainkan untuk memberikan pendidikan agar kelak setelah menjalani hukuman mereka dapat memperbaiki moral serta perilakunya dan tidak semakin terjerumus kedalam lingkungan yang salah. Anak merupakan potensi penerus cita-cita bangsa yang landasannya ada pada generasi sebelumnya. Agar anak mampu memikul tanggung jawab seharusnya diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Menghilangkan hambatan tersebut hanya dapat dilaksakan dan diperoleh apabila usaha kesejahteraan anak terjamin. Mewujudkan kesejahteraan anak dan menjadikan anak dapat menjadi manusia yang baik adalah bagian dari meningkatkan pembinaan bagi semua anggota masyarakat, yang tidak terlepas dari kepentingan bangsa dan negara serta kelanjutan dan kelestarian peradaban bangsa. Karena di tangan anak-anaklah nantinya yang akan melanjutkan kehidupan suatu bangsa, apakah bangsa tersebut dapat maju atau tidak tergantung bagaimana generasi penerusnya membawanya. Sehingga sedari awal pembentukan karakter anak untuk dapat menjadi manusia dewasa yang baik diperlukan. Jangan sampai pengaruh buruk menjerumuskan mereka kedalam lingkungan yang tidak sehat. Anak bagaikan selembar kertas putih kosong yang harus kita isi dengan hal-hal yang bersifat positif, jika pada awalnya kita memberikan hal-hal yang baik maka untuk selanjutnya mereka dapat menjadi pribadi-pribadi yang baik dan tangguh. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Pengembangan Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

1 45 675

PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEJAHATAN PADA TAHAP PENUNTUTAN DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE (Studi Kasus Penganiyayaan di Kota Malang)

0 3 34

PELAKSANAAN DIVERSI PADA TAHAP PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN OLEH PELAKU ANAK (Studi Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

0 5 45

PENERAPAN PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS DENGAN PELAKU ANAK

1 33 93

IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DENGAN PELAKU ANAK (STUDI Implementasi Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Dengan Pelaku Anak (Studi Kasus Di Polresta Surakarta).

0 2 19

PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE OLEH KEPOLISIAN DALAM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 1 1

Penerapan Diversi Pada Tahap Penyidikan Untuk Mewujudkan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Pelaku Tindak Pidana.

0 0 23

Penerapan Restorative Justice dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana

0 0 96

BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

0 0 33

BAB II PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERADILAN PIDANA ANAK 2.1. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak - RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 36