Pengaruh Jenis Kemasan Dan Suhu Penyimpanan Terhadap Kesegaran Dan Kualitas Buah Salak Padangsidimpuan (Salacca sumatrana)
THE EFFECT OF PACKAGING AND STORAGE TEMPERATURE TO
QUALITY AND FRESHNEES SALAK PADANGSIDIMPUAN
(Salacca sumatrana)
Endang Warsiki and Sri Alam Syahputra Nasution
Department of Industrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,
Indonesia.
Phone: 62 812 10404154, e-mail: [email protected]
ABSTRACT
This study aims to obtain the storage temperature and type of packaging which suitable for salak Padangsidimpuan. The research was conducted in two stages, i.e. preliminary research and primary research. Preliminary research carried out by measuring the initial quality (total weight lose, perishable fruit, water content, total titrated acid, total soluble solids, vitamin C and organoleptic). The results and than are used as initial data to conduct primary research. Primary research was conducted by coated 1 kg of salak and then packed with cartons, bamboo basket, plastic PE with cartons and plastic PE with bamboo basket. All samples were storaged in at 15oC and room temperature. Salak without treatment was also stored at room temperature as a control. Samples were analyzed the qualities every three days.
Based on this research, physico-chemical characteristic of salak Padangsidimpuan showed that the water content was 78.12%, total titrated acid was 6.34%, total soluble solids was 15oBrix, vitamin C was 1.87 mg/100 g fruit, the preference score for color was 4, aroma was 4, flavor was 3, texture was 3 and general acceptance was 3. Based on the ANOVA analysis, Duncan test and “t” test, can be concluded that salak Padangsidimpuan were stored at a temperature of 15oC hold maximum of 30 days, with cartons, bamboo basket, plastic PE with cartons and plastic PE with bamboo basket. However the best condition of packaging resulted from this research was bamboo basket in 15oC.
(2)
I.
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANGIndonesia adalah negara tropis yang telah diakui dunia kaya akan jenis buah-buahan. Salak (sallaca edulis, Reinw) merupakan salah satu jenis buah tropis yang dihasilkan Indonesia dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Pada bulan-bulan tertentu, antara bulan Oktober-Januari, produksi salak melimpah, bahkan melebihi kebutuhan. Berdasarkan data statistik pada Tabel 1, produksi buah salak di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan jenis buah-buahan lain. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah produksi pada tahun 2007 mencapai 805.879 ton, tahun 2008 mencapai 712.263 ton dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang mengakibatkan jumlah produksi mencapai 829.014 ton. Peningkatan jumlah produksi buah salak ini dikarenakan semakin banyaknya permintaan terhadap buah salak segar maupun salak olahan.
Tabel 1. Produksi buah-buahan di Indonesia (Tahun 2005-2009 dalam satuan ton) Tahun Alpukat Belimbing Duku atau
Langsat Jambu Biji Jambu Air
Nangka atau
Cempedak Salak 2005 227.577 65.967 163.389 178.509 110.704 712.693 937.930 2006 239.463 70.298 157.655 196.180 128.648 683.904 861.950 2007 201.635 59.984 178.026 179.474 94.015 601.929 805.879 2008 225.180 66.700 144.105 207.025 106.910 638.382 712.263 2009 257.642 72.443 195.364 220.202 104.885 653.444 829.014 Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, 2009.
Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan salah satu daerah penghasil buah salak yang terbesar di Sumatera Utara. Hal ini dibuktikan dengan nilai produksi yang mencapai 245.810 ton per tahun seperti disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan data Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi/UKM Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (2008), diketahui bahwa sejak tahun 1999, Menteri Pertanian Republik Indonesia telah menetapkan varietas lokal salak Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi “Salak Merah” dan “Salak Putih”, sebagai dua varietas salak nasional, untuk melengkapi enam varietas salak unggulan yang ditetapkan di Indonesia.
Ditinjau dari produktivitasnya, daerah sentra penghasil buah salak di Padangsidimpuan dan Tapanuli Selatan sangat variatif. Di Kabupaten Tapanuli Selatan sendiri, daerah penghasil salak terdapat di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Angkola Barat, Angkola Selatan, Angkola Timur, Marancar dan Sayur Matinggi. Kecamatan Angkola Barat merupakan daerah yang memiliki luas area salak terbesar dan jumlah produksi salak terbanyak dibandingkan kecamatan lain di Tapanuli Selatan.
Pada umumnya buah salak Padangsidimpuan dihasilkan di daerah pedesaan, sehingga untuk mencapai konsumen perlu menempuh jarak yang cukup jauh dan waktu pengangkutan maupun penyimpanan yang cukup lama. Selain itu kondisi tempat pengumpulan buah salak yang kurang diperhatikan (bertumpuk-tumpuk), juga berpengaruh terhadap kondisi buah selama pengumpulan dan penyimpanan. Akibatnya banyak buah yang rusak sebelum sampai ke tangan konsumen. Seperti dituliskan Winarno dan Wirakartakusumah (1981), selama jangka waktu antara pemanenan hingga dikonsumsi, buah salak masih terus melangsungkan aktifitas fisiologi seperti respirasi, transpirasi dan perubahan biokimiawi lainnya. Aktifitas-aktifitas tersebut dapat mengakibatkan penurunan mutu buah, bahkan dapat menimbulkan kebusukan pada buah, yang pada akhirnya buah tersebut tidak dapat dikonsumsi.
(3)
Usaha-usaha untuk memperpanjang umur simpan buah segar biasanya dilakukan penyimpanan pada suhu rendah. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup jaringan di dalam bahan pangan dan juga menurunkan keaktifan respirasi (Setyowati dan Budiarti, 1992). Buah salak termasuk buah non-klimakterik, yaitu buah yang pola respirasinya menurun dan tidak terdapat kenaikan produksi CO2 secara signifikan setelah masa panen, sehingga diperlukan suhu rendah untuk memperpanjang umur simpannya. Sejauh ini penelitian-penelitian yang telah dilakukan terhadap buah salak hanya terbatas pada jenis kemasan, pelilinan atau suhu saja tanpa mengkombinasikan. Oleh karena itu, penelitian kombinasi antara jenis kemasan dan suhu patut untuk dilakukan.
1.2. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan suhu dan kombinasi kemasan yang sesuai dalam penyimpanan buah salak Padangsidimpuan.
(4)
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BOTANI SALAKTanaman salak (Sallaca sumatrana) adalah salah satu tanaman asli Indonesia. Tanaman ini termasuk suku palem yang rendah, berakar serabut, tegak, hampir tidak berbatang, cabangnya sangat banyak, berduri dan tingginya 1,5-5 meter (Satiadiredja, 1982). Pohon salak Padangsidimpuan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Klasifikasi dari buah salak dapat sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Palmales
Suku : Palmae
Marga : Salacca
Jenis : Salacca sumatrana.
Gambar 1. Pohon salak
Daerah pertumbuhan yang baik untuk tanaman salak yaitu pada tanah podsolik dengan ketinggian 700 meter diatas permukaan laut (Satiadiredja, 1982). Disamping itu, tanaman salak membutuhkan penyinaran matahari yang tidak langsung dan kelembapan yang tinggi selama pertumbuhannya, sehingga biasanya diantara tanaman salak sering ditanami pohon-pohon yang tinggi dengan daun yang mudah busuk jika telah gugur. Seperti pohon sawo, durian, kecapi, duku, menteng, kemiri, melinjo, aren, pisang, nangka, kelapa dan jengkol.
Buah salak tersusun dalam sebuah tandan, terletak diantara pelepah daun. Buah tersebut bersisik coklat sampai kekuningan. Rasanya ada yang asam, manis atau sepat dan daging buahnya terkadang mempunyai konsistensi yang berpasir. Setiap tandan dapat terdiri dari 10-25 buah dan setiap kilogramnya terdapat 10-14 buah (Satiadiredja, 1982). Waktu panen buah salak dapat ditentukan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan cara menggerak-gerakkan tandan dari tanamannya. Apabila ada buah yang jatuh, maka buah dalam tandan tersebut sudah cukup matang untuk dipanen (Sugihat, 1973). Selain itu, kematangan buah salak juga dapat diamati dengan cara memetik salah satu buah salak dari tandannya. Kematangan ditandai dengan melebarnya sisik dan warna biji yang berubah menjadi coklat tua (Satiadiredja, 1982). Perbanyakan tanaman biasanya dilakukan dengan menggunakan bijinya (Sastrapradja, 1980). Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara cangkokan tunas atau anakan yang lebih menguntungkan dari penanaman dengan biji, karena umur berbuahnya akan lebih cepat yaitu setelah umur 2-3 tahun, sedangkan pohon yang diperbanyak dengan menggunakan biji akan berbuah setelah berumur 4-5 tahun (Satiadiredja, 1982).
2.2. DAERAH PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS SALAK
Tanaman buah salak secara umum hampir tersebar diseluruh daerah Indonesia. Hanya saja, jumlah produksinya berbeda-beda di setiap daerahnya. Hal ini dikarenakan tanaman salak merupakan tanaman yang mudah tumbuh dengan perawatan yang tidak terlalu sulit. Menurut Satiadiredja (1982), selain di Indonesia, tanaman salak juga bisa dijumpai di dataran rendah Birma, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan daerah-daerah bagian selatan Philipina.
(5)
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2009, produksi salak di Indonesia mencapai 829.014 ton pada tahun 2009. Sebanyak 259.103 ton merupakan salak yang dihasilkan dari daerah Sumatera Utara. Angka ini merupakan angka yang cukup besar dibandingkan dengan daerah-daerah penghasil buah salak lainnya yang ada di Indonesia. Jika angka ini dihitung dalam bentuk persen, maka daerah Sumatera Utara mampu menghasilkan buah salak sebanyak 31,25% dari 829.014 ton jumlah buah salak yang dihasilkan Indonesia pada tahun 2009.
Untuk daerah Sumatera Utara sendiri, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan merupakan daerah penghasil salak terbesar di Provinsi itu. Hal inilah yang menjadi keunggulan buah salak Padangsidimpuan dibanding dengan jenis salak lainnya yang ada di Indonesia. Selain itu, masa panen buah juga dapat dilakukan sekali dalam satu minggu setelah tanaman salak dapat dipanen. Ukuran buah yang lebih besar juga menjadi salah satu keunggulan dari buah salak Padangsidimpuan ini. Dalam satu buah salak Padangsidimpuan, terkadang di dalamnya ada tiga biji daging buah yang dapat dimakan. Warna buah salak yang dihasilkan juga cukup unik. Ada dua varietas warna daging buah yang dihasilkan, yaitu daging buah salak yang berwarna merah dan putih (Gambar 2). Hal inilah yang menjadi keunggulan buah salak Padangsidimpuan yang berasal dari Provinsi Sumatera Utara. Untuk produktivitas buah salak per Kabupaten di Sumatera Utara tahun 2008 dapat dibaca pada Tabel 2.
Gambar 2. Salak Padangsidimpuan: (A) buah berwarna merah, (B) buah berwarna putih
(6)
Tabel 2. Luas panen, produktivitas dan produksi Salak per Kabupaten/Kota di Sumatera Utara
No Kabupaten/ Kota Salak
Luas Panen (Ha) Produktivitas (Kw/Ha) Produksi (Ton)
1. Medan 1 60 6
2. Langkat 2 250 50
3. Deli Serdang 4 250 100
4. Simalungun 3 300 90
5. Asahan 1 250 25
6. Tapanuli Utara 4 375 150
7. Tapanuli Tengah 2 375 75
8. Tapanuli Selatan 5.205 441 229.781
9. Binjai 1 70 7
10. Madina 2 300 60
11. Padangsidimpuan 391 410 16.029
12. Humbang Hasundutan 87 223 1.936
13. Pakpak Bharat 5 160 80
14. Serdang Bedagai 1 210 21
Jumlah 5.709 3.674 248.410
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2008. 2.3. KOMPOSISI KIMIA DAN NILAI GIZI SALAK
Buah salak terdiri dari tiga bagian, yaitu kulit buah, daging buah yang diselubungi selaput tipis dan biji. Setiap buah salak memiliki satu biji, berwarna coklat kehitam-hitaman, keras, dan pada biji terdapat sisi cembung dan sisi datar (Hieronymus, 1990). Buah salak memiliki rasa yang beragam. Secara umum salak muda memiliki rasa yang sepat, dan semakin tua rasanya berangsur-angsur menjadi manis dalam artian rasa sepatnya berkurang.
Berdasarkan data dari Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1981), buah salak merupakan buah sumber mineral yaitu terdiri dari kalsium 28 mg, fosfor 18 mg dan zat besi 4,2 mg dari 100 g bagian yang dapat dimakan. Kandungan gizi buah salak dalam tiap 100 g buah salak segar menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1981), (Tabel 3).
Tabel 3. Kandungan gizi buah salak per 100 g buah
No Kandungan Gizi Unit Proporsi
1 Kalori kal 77
2 Protein g 0,4
3 Karbohidrat g 20,9
4 Kalsium mg 28
5 Fosfor mg 18
6 Zat Besi mg 4,2
7 Vitamin B mg 0,04
8 Vitamin C mg 2
9 Air % 78
10 Bagian yang dimakan % 50
(7)
Menurut Sabari (1982), kandungan zat kimia yang terdapat pada daging buah salak mengalami perubahan dengan semakin menuanya buah. Buah salak pondoh yang berumur 3-5 bulan kandungan gulanya baru mencapai 15,3%, namun pada umur 5 bulan kadar gulanya dapat mencapai 23,3%. Sabari (1982) juga mengungkapkan bahwa pada salak pondoh yang berumur 3-5 bulan sejak bunga mekar mengandung kadar tanin 0,21% dan setelah berumur 5 bulan kadar taninnya menurun menjadi 0,08%. Hal ini dikarenakan senyawa tanin yang tinggi pada buah salak akan memberikan rasa sepet. Berkurangnya rasa sepet pada buah salak ini merupakan salah satu perubahan utama saat buah mengalami proses pematangan.
2.4. PASCA PANEN SALAK
Seperti buah-buahan lainnya, buah salak mudah rusak dan tidak tahan lama. Kerusakan ditandai dengan bau busuk dan daging buah menjadi lembek serta berwarna kecoklat-coklatan. Hal ini dikarenakan setelah dipetik buah salak masih meneruskan proses hidupnya berupa proses fisiologi. Sehingga buah salak tidak dapat disimpan lama dalam keadaan segar, maka diperlukan penanganan pascapanen.
Proses respirasi juga terjadi pada buah salak saat masa penyimpanan setelah pasca panen. Proses respirasi atau pernafasan ini adalah suatu proses metabolisme dengan cara menggunakan oksigen dalam pembakaran senyawa makromolekul seperti karbohidrat, lemak dan protein yang nantinya akan menghasilkan CO2, dan air (Winarno dan Wirakartakusumah, 1981). Pola respirasi yang terjadi pada buah salak cenderung akan menurun dan tidak terdapat kenaikan produksi CO2 yang tajam. Hal ini menunjukkan salak termasuk buah non-klimakterik. Sedangkan buah yang tergolong klimakterik ditandai dengan adanya proses yang cepat pada waktu pemasakan (ripening) dan peningkatan respirasi yang mencolok disertai dengan perubahan warna, cita rasa dan teksturnya.
Buah klimakterik adalah buah yang mengalami peningkatan respirasi dan produksi etilen setelah dipanen. Sedangkan buah non klimakterik adalah buah yang tidak mengalami peningkatan respirasi maupun etilen, sehingga buah non klimakterik harus dipanen pada saat matang sempurna. Hal ini berbeda dengan buah klimakterik yang harus mengalami pemeraman untuk mencapai kematangan. Kondisi pemeraman pada buah klimakterik memerlukan penanganan ekstra, karena produksi etilen buah yang cukup tinggi sehingga dapat mempercepat kemasakan buah yang tidak diinginkan.
Pada awal pemeraman, buah klimakterik sebaiknya disimpan pada kodisi ruang yang hangat (25-27oC), dalam artian tidak panas ataupun dingin. Hal ini bertujuan untuk merangsang etilen buah keluar dan dapat mempercepat pematangan. Namun setelah buah dinyatakan masak secara sempurna, pemeraman buah dapat dihentikan. Sedangkan untuk buah non-klimakterik, penyimpanan buah dapat dilakukan pada suhu dingin (10-15oC atau tergantung jenis buahnya). Hal ini disebabkan buah non-klimakterik sudah mengalami kematangan secara sempurna sebelum dipanen dan tidak perlu dilakukan pemeraman. Sehingga untuk mempertahankan kondisi buah dalam bentuk segar dan menghindari kebusukan, sebaiknya penyimpanan dilakukan pada suhu dingin (10-15oC).
Kegiatan pemanenan yang kurang baik atau salah juga dapat mengakibatkan proses pembusukan yang semakin cepat saat masa penyimpanan atau pada masa pasca panen. Perbedaan dalam bentuk penyimpanan juga mempengaruhi masa simpan buah. Buah salak yang disimpan dalam bentuk tandan akan memiliki umur simpan yang lebih lama dibandingkan buah salak yang disimpan dalam bentuk butiran. Hal ini dikarenakan saat pemetikan buah salak dari tandannya, sering terjadi kesalahan pemotongan yang mengabitkan buah salak mengalami luka pada daging, memar atau bahkan terpotong. Luka, memar, terpotong atau kesalahan pemanenan lainnya akan mengakibatkan terjadinya reaksi pencoklatan sebagai akibat aktivitas enzim poliphenol oxidase yang dipercepat oleh
(8)
adanya oksigen dari udara. Reaksi ini akan mengakibatkan tekstur buah menjadi lunak, yang secara organoleptik otomatis sangat tidak menguntungkan karena buah akan semakin cepat mengalami pembusukan.
2.5. KERUSAKAN-KERUSAKAN BUAH SALAK
Buah salak adalah salah satu jenis komoditi pertanian yang mudah rusak. Kerusakan yang dimaksud adalah kerusakan yang ditandai dengan adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indera yang dimanifestasikan seperti buah sudah layu, busuk, berair, buah lunak dan tumbuhnya jamur. Kerusakan ini dapat diakibatkan oleh kerusakan mekanik, fisik, mikrobiologis dan fisiologis. Kerusakan mekanik dan fisik yang sering terjadi pada buah salak setelah kegiatan pasca panen dan selama penyimpanan yaitu, antara lain:
2.5.1. Luka
Luka merupakan salah satu kerusakan mekanis yang terjadi pada buah salak. Kerusakan ini biasanya disebabkan karena cara panen yang kurang hati-hati. Kerusakan ini dapat dilihat pada bagian ujung, pangkal atau bagian tengah buah salak. Penggunaan sabit yang tidak hati-hati dapat menyebabkan luka pada buah salak, misalnya karena terpotong. Pemetikan buah dari tandannya juga dapat mengakibatkan kulit buah terkelupas, sehingga buah kelihatan tidak normal. Selain itu, kerusakan pada buah salak juga dapat disebabkan duri yang menusuk pada bagian daging buah. Hal ini dikarenakan cara pemanenan yang kurang hati-hati dan besarnya kerusakan biasanya berkisar antara 1-2% (Rahmad, 1990).
2.5.2. Memar
Kegiatan pemanenan dan kegiatan pasca panen sangat memungkinkan terjadinya memar pada buah salak. Salah satunya terjadi akibat benturan buah salak baik saat pemanenan maupun saat pasca panen. Misalnya buah salak yang jatuh ke tanah saat dipanen dari pohonnya, benturan dengan alat pengepak atau penggerak lainnya pada saat pengumpulan dan pengangkutan buah salak. Namun kerusakan buah salak (memar) ini lebih sulit diketahui daripada kerusakan lainnya yang terjadi pada buah salak. Hal ini dikarenakan tanda-tanda memar kurang tampak jelas dari luar. Memar ini diketahui apabila pada buah ditemui bagian yang lebih lunak daripada bagian buah lainnya. Jika bagian yang lunak tersebut dikupas kulitnya, maka akan terlihat jelas daging buah yang memar ditandai dengan warna daging yang lebih gelap daripada disekelilingnya (Rahmad, 1990).
2.5.3. Kulit Buah Pecah
Kulit buah pecah terjadi saat buah masih berada di pohon. Kerusakan ini umumnya terjadi pada musim hujan, karena tidak seimbangnya perkembangan daging buah dengan kulitnya. Penundaan masa panen adalah salah satu faktor utama penyebab terjadinya kerusakan kulit buah pecah. Bagian daging buah yang kulitnya pecah akan tampak lebih gelap dari sekelilingmya, yang masih ditutupi oleh kulit (Rahmat, 1990).
2.5.4. Kerusakan Mikrobiologis
Buah salak yang memar atau luka sangat berpotensi mengalami kerusakan secara mikrobiologis. Hal ini dikarenakan bagian buah yang memar atau luka merupakan jalur masuk bagi mikroba untuk merusak buah salak. Seperti yang disebutkan Rahmad (1990), luka atau memar yang ada pada buah salak merupakan pintu gerbang bagi mikroba (Mucor sp) untuk masuk ke dalam daging
(9)
buah setelah dipetik. Masuknya mikroba ini pada daging buah salak, mengakibatkan buah salak menjadi busuk.
2.5.5. Kerusakan Fisiologis
Kerusakan fisiologis adalah kerusakan buah akibat reaksi metabolisme dan aktivitas enzim yang merupakan proses autolisis (Winarno dan Janie, 1983). Terbentuknya luka pada buah menyebabkan terjadinya pencoklatan pada daging buah dan meningkatkan kecepatan respirasi sehingga mempercepat pelayuan buah. Proses pencoklatan ini termasuk dalam kerusakan fisiologis dari buah salak ataupun buah lainnya.
2.6. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
Pengemasan dan penyimpanan buah-buahan dan sayuran segar dapat memperpanjang kegunaan dari komoditas itu sendiri. Pengemasan dan penyimpanan juga dapat memperbaiki mutu produk segar tersebut dalam keadaan tertentu. Penyimpanan juga dapat menghindari banjirnya komoditas atau produk dipasar sehingga dapat mempertahankan harga jual, memberikan kesempatan yang luas untuk memilih buah-buahan dan sayuran sepanjang tahun, membantu pemasaran yang teratur, meningkatkan keuntungan produsen dan mempertahankan mutu produk segar (Pantastico, 1986).
2.6.1. Penyimpanan Suhu Rendah
Penyimpanan buah salak dalam suhu dingin merupakan salah satu solusi untuk mempertahankan kesegara buah salak. Penyimpanan dalam suhu rendah dapat menurunkan proses respirasi dan memperkecil transpirasi. Tetapi penyimpanan pada suhu rendah tidak menekan seluruh aspek metabolisme pada tingkat yang sama. Beberapa reaksi sensitif terhadap suhu rendah dan berhenti sama sekali di bawah suhu kritis, yang dapat menyebabkan chilling injury. Suhu kritis yang dimaksud adalah suhu rendah yang tidak dapat diterima oleh buah yang disimpan, dalam artian suhu yang digunakan terlalu dingin. Akibatnya jaringan-jaringan dalam daging buah membengkak penuh air dan daging buah berwarna biru. Suhu yang baik dalam penyimpanan bervariasi tergantung pada jenis komoditas dan tingkat kematangan dari komoditas yang disimpan (Setyowati dan Budiarti, 1992). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Titiek dan Mudjisihono (1998), suhu penyimpanan yang terbaik untuk salak Pondoh adalah pada suhu rendah (15oC).
Struktur kekerasan buah salak mengalami perubahan dengan bertambahnya umur panen. Pada umumnya pelunakan buah-buahan diakibatkan oleh peran gabungan beberapa enzim perombak dinding sel yang diatur oleh etilen. Salak yang telah masak menghasilkan etilen yang tinggi. Di samping itu pelunakan daging buah salak juga disebabkan oleh perubahan turgor sel yang menyebabkan hilangnya sifat getas dan kesegaran buah salak selama penyimpanan. Keadaan penyimpanan pada suhu rendah juga berpengaruh pada vitamin C, karena selama penyimpanan vitamin C tidak disintesa tetapi mengalami penurunan yang kurang lebih sama untuk semua salak yang dipanen pada saat yang berbeda. Buah salak yang disimpan dalam suhu ruang mempunyai kadar vitamin C lebih rendah daripada yang disimpan pada suhu rendah. Sejumlah besar vitamin dapat hilang bila sesudah dipetik diletakkan pada tempat tanpa pendingin. Penyimpanan pada suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya penurunan vitamin C yang lebih cepat (Masniary, 2008). Hal yang sama dituliskan Indirani (1990), buah salak yang disimpan dalam plastik PE pada kondisi atmosfir termodifikasi dan suhu 10oC mempunyai umur simpan 18 hari dengan kondisi masih baik.
(10)
2.6.2. Pelilinan
Salah satu cara untuk mempertahankan mutu dan kesegaran buah adalah dengan melapisi buah dengan lilin. Pelilinan ini akan memberikan sifat yang lebih kedap terhadap air pada permukaan buah dibandingkan dengan buah yang tidak dilapisi lilin. Oleh karena itu, pelapisan buah dengan lilin dapat mencegah terjadinya penguapan air sehingga dapat menghambat laju respirasi, memperlambat pelayuan dan memberikan kesan mengkilap pada permukaan kulit buah. Pemberian lapisan lilin dengan kepekatan dan ketebalan yang sesuai dapat menghindarkan keadaan aerobik pada buah dan memberikan perlindungan yang diperlukan terhadap luka dan goresan pada permukaan buah (Pantastico, 1986).
Kandungan vitamin C yang ada pada buah juga dapat dipertahankan dengan menggunakan lilin. Menurut Masniary (2008), pelilinan dapat menghambat masuknya O2 ke dalam buah, sehingga turunnya kandungan vitamin C karena oksidasi dapat dikurangi. Beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam penggunaan lilin sebagai pelapis buah yaitu, tidak mempengaruhi rasa dan bau buah yang dilapisi, mudah kering, tidak mudah pecah, mengkilap dan licin, tidak menghasilkan permukaan yang tebal, harganya murah dan tidak beracun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Masniary (2008) tentang pelapisan lilin lebah terhadap buah pisang, jeruk dan salak, lilin lebah secara umum dapat mempertahankan kesegaran buah pada suhu kamar. Buah pisang barangan yang dilapisi lilin lebah dengan konsentrasi 4% menghasilkan kandungan vitamin C yang tinggi dengan padatan terlarut rendah. Hal yang sama terjadi pada pelapisan lilin lebah konsentrasi 6% terhadap buah jeruk manis dan salak, menghasilkan kandungan vitamin C tertinggi dan total padatan terlarut rendah.
2.6.3. Pengemasan dengan Plastik Berlubang
Plastik juga dapat mengurangi laju respirasi dan transpirasi dari buah-buahan selama masa penyimpanan. Menurut Syarief et al. (1989), plastik yang sering digunakan oleh masyarakat adalah jenis plastik polietilen (PE). Hal ini dikarenakan plastik polietilen relatif murah, transparan dan mudah direkat dengan panas. Selain itu, plastik polietilen juga tergolong plastik yang kedap air sehingga sangat cocok untuk mengemas sayuran dan buah-buahan. Namun salah satu sifat yang terpenting dari plastik polietilen (PE) adalah sifat pemeabilitasnya yang rendah terhadap uap air.
Menurut Rulianto (1993), pengemasan buah dalam plastik polietilen yang diberi lubang jarum sebanyak 32 buah memberikan kesegaran yang lebih lama. Hal ini dikarenakan uap air yang terperangkap di dalam plastik bisa keluar, sehingga proses pembusukan pada buah dalam waktu yang lebih cepat dapat dicegah. Sama halnya dengan hasil penelitian Syaifullah et al. (1992), pengemasan buah pisang dalam plastik polietilen yang diberi lubang jarum sebanyak 32 buah memberikan komposisi gas 6% CO2 dan 0,5% ppm etilen, sedangkan dengan 192 lubang memberikan komposisi gas 5% CO2 dan 2,5% ppm etilen. Komposisi gas seperti di atas sangat baik digunakan untuk penyimpanan buah-buahan di bawah kondisi atmosfer termodifikasi.
2.6.4. Pengemasan dengan Besek dan Kotak Karton
Pengemasan buah salak dengan menggunakan besek dan karton merupakan salah satu teknik pengemasan yang cukup sederhana dan mudah. Selain mempermudah dalam hal distribusi dan transportasinya, pengemasan dengan menggunakan besek atau karton juga dapat mencegah buah dari kerusakan-kerusakan yang tidak diinginkan, seperti memar akibat benturan. Berdasarkan percobaan Soedibyo dan Poernomo (1973), pengemasan salak bali dengan keranjang bambu (besek) bersekat memperlihatkan persentase kerusakan dan susut bobot yang rendah setelah didistribusikan menggunakan kereta api. Setyadjit dan Murtiningsih (1990), juga menyatakan bahwa pengemasan
(11)
menggunakan keranjang bambu (besek) berukuran 55,5 cm × 50,5 cm × 32 cm (p × l × t) menghasilkan persentase kerusakan buah yang lebih kecil dibandingkan menggunakan peti kayu.
Kotak karton juga merupakan bahan pengemas yang sudah sering digunakan untuk mengepak buah-buahan. Kotak karton ini terbuat dari bahan karton bergelombang yang terdiri dari kertas linear dan kertas medium. Kertas linear adalah kertas yang dipakai sebagai penyekat dan pelapis pada karton bergelombang. Sedangkan kertas medium adalah kertas yang digunakan sebagai lapisan bergelombang pada karton bergelombang (Hadisumarto, 1990).
Menurut Peleg (1985), salah satu sifat karton bergelombang adalah mempunyai permukaan yang haslus, dapat dicetak, mudah dilipat atau dibentuk dan dapat didaur ulang. Hadisumarto (1990) menambahkan, bahwa kotak karton juga mempunyai sifat tahan terhadap benturan, dapat ditumpuk dan tidak mudah robek. Kekurangan dari kotak karton bergelombang yaitu kemasan susah menjadi dingin serta ada kecenderungan menyerap kelembapan apabila konduksi panas rendah (Snowdown dan Ahmed, 1981). Selain itu, karton bergelombang juga mempunyai sifat dingin dengan lambat apabila dimasukkan ke dalam ruang dingin. Namun dengan adanya lubang ventilasi dan peningkatan luas permukaan yang tersentuh udara dingin yang bergerak sampai satu derajat tertentu, dapat mempercepat hilangnya panas pada karton (Handenberg, 1975).
(12)
III.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1. BAHAN DAN ALAT3.1.1. Bahan
Bahan baku utama yang digunakan adalah buah salak (Padangsidimpuan) yang diperoleh langsung dari petani salak di daerah Padangsidimpuan, dimana pohon salak ini sudah berumur 7 tahun. Buah salak dipetik langsung dari pohon salak pada sore hari dan langsung dibawa menuju Bogor melalui transportasi darat dan udara. Dimana sebelumnya buah salak dikemas pada kerangka kayu, dan diberi lapisan busa pada bagian dalam kerangka kayu sebagai bantalan. Bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu film plastik PE, kotak anyaman bambu atau besek (p × l × t = 25 cm × 25 cm × 10 cm), dan kotak karton gelombang (p × l × t = 25 cm × 25 cm × 10 cm), lilin (wax) konsentrasi 6% (terdiri dari 6% lilin lebah, 2% trietanolamin, 1% asam oleat dan 91% air). Bahan kimia yang diperlukan untuk melakukan uji mutu buah salak (Padangsidimpuan) yaitu aquades, NaOH, indikator phenolptalein, indikator amilum, iod.
3.1.2. Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah oven, plastic sealer, ember, sikat pembersih, neraca analitik, neraca kasar, desikator, blender, refraktometer, pisau stainless steel,
coold storage dan alat-alat gelas. 3.2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan merupakan penelitian awal yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan mengukur nilai mutu awal (terhadap susut bobot, kerusakan buah, kadar air, asam tertitrasi, padatan terlarut, vitamin C dan organoleptik). Prosedur pengujian disajikan pada Lampiran 1.
Penelitian utama dilakukan dengan cara menyimpan 1 kg buah salak (Padangsidimpuan) yang sebelumnya telah diberikan lapisan lilin pada masing-masing perlakuan. Penilitian ini menggunakan dua faktor yaitu kemasan (A) dan suhu (B). Kemasan yang digunakan terdiri dari empat taraf antara lain, kemasan karton (A1), kemasan besek (A2), kemasan plastik PE dengan karton (A3) dan kemasan plastik PE dengan besek (A4). Sebagai kontrol digunakan buah salak tanpa pelilinan (K). Faktor suhu dibedakan menjadi dua taraf yaitu suhu 15oC (B1) dan suhu ruangan 27oC (B2). Salak disimpan sampai rusak dan maksimal 30 hari. Setiap tiga hari dilakukan pengamatan terhadap mutu fisik (susut bobot dan total kerusakan buah), kimia (kadar air, total asam tertitrasi, total padatan terlarut dan uji vitamin C) dan uji organoleptik (warna, rasa, aroma, tekstur dan penerimaan umum), sesuai dengan prosedur di Lampiran 1. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3 dan Lampiran 2 menyajikan foto kebun salak serta dokumentasi penelitian.
(13)
Gambar 3. Diagram alir penelitian
Kontrol
Suhu 15oC (B1) Suhu kamar (B2)
Pengamatan, 3 hari sekali
Analisa data, ANOVAdan uji “t”
Pengemasan
Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan karton (A4)
Tanpa Kemasan
(K) Salak
Padangsidimpuan
Pembersihan
Pemilihan
Pelilinan (Coating), beewax 6 % (6 % lilin lebah, 2 % trietanolamin, 1 % asam oleat, 91 % aquades), tperendaman 30detik
Penirisan
(14)
3.3. RANCANGAN PERCOBAAN
Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor dan 2 kali ulangan. Faktor yang pertama yaitu kemasan (A). Faktor kemasan terdiri dari 4 taraf, antara lain kemasan karton (A1), kemasan besek (A2), kemasan plastik PE dengan karton (A3), dan kemasan plastik PE dengan besek (A4). Faktor yang kedua adalah suhu (B) yang terdiri dari dua taraf, yaitu 15oC (B1) dan kamar (B2). Model rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut (Walpole, 1995):
Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + Ek(ij) Yijk : nilai pengamatan µ : rata-rata umum
Ai : pengaruh perlakuan A taraf ke-i Bj : pengaruh perlakuan B taraf ke-j
ABij : pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i dengan perlakuan B taraf ke-j Ek(ij) : galat percobaan
3.4. ANALISIS DATA
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selanjutnya akan dianalisis menggunakan uji ANOVA. Analisis ini bertujuan untuk menunjukkan hasil yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan (α = 0,05). Jika hasil analisis berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan analisis lanjut menggunakan uji Duncan dan uji “t”.
(15)
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PENELITIAN PENDAHULUANPenelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling baik. Pemilihan buah dilakukan dengan kriteria besarnya seragam, tidak cacat atau rusak dan warna kulit hitam mengkilat. Hasil pengujian selanjutnya digunakan sebagai data awal untuk melanjutkan penelitian utama. Hasil penelitian pendahuluan disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Hasil uji karakterisasi awal buah salak segar Padangsidimpuan
No Uji Nilai Uji Satuan
1 Vitamin C 1,87 mg/100 g buah
2 Total Asam Tertitrasi 6,34 %
3 Total Padatan Terlarut 15 oBrix
4 Kadar Air 78,12 %
Berat buah 1 kg
Kondisi awal buah 100% utuh
Tabel 5. Hasil uji awal organoleptik buah salak segar Padangsidimpuan
No Uji Organoleptik Skala
1 Warna 4
2 Aroma 4
3 Rasa 3
4 Tekstur 3
5 Penerimaan Umum 3
4.2. PENELITIAN UTAMA
Penelitian utama dilakukan dengan menyimpan 1 kg buah salak segar Padangsidimpuan yang telah dilapisi lilin lebah (konsentrasi 6%) untuk setiap perlakuan. Pengemasan dilakukan menggunakan kemasan karton (A1), kemasan besek (A2), kemasan plastik PE dengan karton (A3) dan kemasan plastik PE dengan besek (A4). Penyimpanan dilakukan pada suhu 15oC (B1) dan suhu kamar (B2). Penyimpanan pada suhu 15oC ini, dilakukan atas dasar penelitian Masniary (2008). Hasil pengamatan pada penelitian utama disajikan pada Lampiran 3 (susut bobot), Lampiran 4 (total kerusakan), Lampiran 5 (kadar air), Lampiran 6 (total asam tertitrasi), Lampiran 7 (total padatan terlarut), Lampiran 8 (vitamin C), Lampiran 9 (warna), Lampiran 10 (aroma), Lampiran 11 (rasa), Lampiran 12 (tekstur) dan Lampiran 13 (penerimaan umum).
4.2.1. Susut Bobot
Susut bobot adalah pengurangan atau penurunan bobot (massa) bahan setelah menerima beberapa penanganan pasca panen. Pada penelitian ini, bobot bahan awal (buah salak) yang digunakan adalah sebesar 1 kg, dan bobot bahan yang dihasilkan setelah 30 hari masa penyimpanan menurun sebesar 5,31% (A1B1), 5,35% (A2B1), 5,39% (A3B1), 5,51% (A4B1), 8,42% (A1B2), 8,57% (A2B2), 8,27% (A3B2), 8,38% (A4B2) dan 8,41% (K). Dari hasil perhitungan, variasi data susut bobot buah salak yang dihasilkan adalah 5,31 - 8,57%. Setelah dilakukan analisis ragam susut bobot (Lampiran 14), hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata faktor kemasan dan interaksi antar faktor, tetapi terdapat pengaruh yang nyata (α = 0,05) pada faktor suhu penyimpanan
(16)
terhadap susut bobot buah. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa jenis kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3), maupun plastik PE dengan besek (A4) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan susut bobot, sedangkan pada faktor suhu penyimpanan, sedikitnya ada satu taraf yang berpengaruh terhadap perubahan susut bobot buah. Setelah dilakukan uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 14), dinyatakan bahwa suhu penyimpanan 15oC (B1) berbeda nyata terhadap suhu penyimpanan kamar (B2). Grafik penurunan susut bobot buah selama masa penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Penurunan susut bobot buah selama penyimpanan pada suhu 15oC dan suhu kamar Selama penyimpanan 30 hari bobot buah mengalami penurunan. Sesuai dengan pernyataan Wills et al. (1981), yaitu selama penyimpanan, bobot buah mengalami pengurangan bobot karena buah salak mengalami proses respirasi dan transpirasi, sehingga senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam sel seperti karbohidrat dipecah menjadi molekul-molekul sederhana seperti CO2 dan H2O yang mudah menguap. Penguapan inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan bobot pada buah salak. Penguapan ini dapat disiasati dengan menyimpan buah pada suhu 15oC. Seperti yang disajikan pada (Gambar 4) di atas, susut bobot pada suhu 15oC (B1) lebih rendah dibandingkan suhu kamar (B2).
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh selama 30 hari, buah salak baik yang dikemas dengan kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1), masih layak untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan bobot (massa) yang diperoleh masih di bawah batas tingkat susut bobot tertinggi pada praktek perdagangan yaitu sebesar 12,00% (Rulianto, 1993).
0 2 4 6 8 10 12 14
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Su sut B o bo t (%)
Lama Penyimpanan (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
Suhu 15oC
0 2 4 6 8 10 12 14
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Su sut B o bo t (%)
Lama Penyimpanan (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
(17)
0 20 40 60 80 100
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
T o ta l Rus a k ( %) Axis Title
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
Suhu 15oC
4.2.2. Total Kerusakan
Total kerusakan merupakan jumlah persentase buah yang rusak selama masa penyimpanan. Kerusakan buah dikategorikan atas karakteristik seperti buah lembek, busuk, basah, luka (memar), ditumbuhi mikroba dan daging buah berwarna coklat-kehitaman. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1981), salah satu penyebab meningkatnya kerusakan pada buah yang disimpan dipengaruhi oleh proses metabolisme dan aktivitas-aktivitas biokimia yang masih berlangsung setelah pemanenan. Selain itu, penanganan yang kurang tepat juga turut berperan dalam menentukan jumlah kerusakan saat masa penyimpanan. Misalnya, proses pemindahan bahan dengan membanting kemasan akan memberikan luka (memar) pada buah, yang nantinya akan mempercepat proses pembusukan buah itu sendiri.
Setelah dilakukan penyimpanan (maksimal) selama 30 hari dan pengamatan, variasi data pengamatan total kerusakan buah yang dihasilkan adalah 26 - 70%. Setelah dilakukan analisis ragam total kerusakan buah (Lampiran 15), hasil analisis ragam tersebut menyatakan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor memberikan pengaruh yang sangat nyata (α = 0,05) terhadap peningkatan total kerusakan buah. Grafik peningkatan total kerusakan buah salak dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Peningkatan total kerusakan buah salak pada suhu 15oC dan suhu kamar
Hasil uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap faktor kemasan (Lampiran 15), menunjukkan bahwa kemasan karton (A1) tidak memiliki beda nyata terhadap kemasan plastik PE dengan besek (A4). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh kemasan karton (A1) dan kemasan plastik PE dengan karton (A3). Kemasan besek (A2) memiliki beda yang sangat nyata terhadap kemasan
0 20 40 60 80 100
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
To ta l R usa k ( %)
Lama Penyimpanan (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
(18)
plastik PE dengan besek (A4), kemasan karton (A1), kemasan plastik PE dengan karton (A3) dan kontrol (K). Berdasarkan hal tersebut diduga karakteristik kemasan karton (A1), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) dalam menjaga kerusakan buah salak adalah sama. Hal ini dapat dilihat pada grafik peningkatan total kerusakan buah salak, bahwa kecenderungan ketiga kemasan dalam menjaga peningkatan kerusakan buah salak hampir sama.
Hasil uji lanjut “t” (0,05) terhadap faktor suhu (Lampiran 15), menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 15oC (B1) berbeda nyata dengan penyimpanan pada suhu kamar (B2) terhadap total kerusakan buah. Berdasarkan hal tersebut perbedaan suhu penyimpanan buah salak, berpengaruh terhadap total kerusakannya. Hal ini membuktikan bahwa buah salak sangat bersifat transpiratif dan respiratif pada suhu lingkungan tinggi, yang mempersingkat umur simpan.
Setelah dilakukan uji pembanding berganda Duncan terhadap faktor kemasan dan uji lanjut “t” terhadap faktor suhu penyimpanan, selanjutnya dilakukan uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap interaksi antar faktor. Hasil uji lanjut tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Dari hasil tersebut diduga bahwa buah salak yang dikemas dengan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1) berbeda sangat nyata terhadap buah yang disimpan pada suhu kamar (B2), dengan tingkat kerusakan yang lebih kecil pada suhu 15oC. Jika dilihat dari jenis kemasannya, kemasan besek (A2) dan kemasan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1), tidak terdapat beda nyata sehingga diduga tidak ada perbedaan peningkatan total kerusakan buah yang terjadi. Tetapi antara kemasan besek (A2) pada suhu 15oC (B1) terdapat beda nyata terhadap kemasan plastik PE dengan karton (A3) baik pada suhu 15oC (B1) maupun kamar (B2), karton (A1) baik pada suhu 15oC (B1) maupun kamar (B2), besek (A2) pada suhu kamar (B2), plastik PE dengan besek (A4) pada suhu kamar (B2) dan kontrol (K), sehingga diduga total kerusakan buah pada kemasan karton (A2) suhu15oC (B1) berbeda nyata dengan total kerusakan buah pada perlakuan lainnya.
Rendahnya total kerusakan buah yang dikemas pada kemasan besek (A2) dan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1), diperkirakan karena kemasan dan suhu tersebut mampu melindungi buah dari faktor-faktor penyebab kerusakan. Kemasan besek memiliki kontruksi yang kaku dan berongga. Kemasan yang kaku seperti ini memungkinkan bahan terlindung dari tekanan lingkungan luar yang bisa menimbulkan kerusakan. Rongga-rongga yang kecil ini berfungsi sebagai ventilator pada kemasan untuk menyalurkan udara panas akibat proses metabolisme. Kemasan plastik PE dengan besek (A4) mampu menghambat kerusakan. Peningkatan total kerusakan buah (Gambar 5), dimana kecenderungan kemasan besek (A2) dan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1) hampir sama. Hal ini dikarenakan permeabillitas kemasan plastik PE terhadap uap air sangat kecil.
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh selama 30 hari, buah salak yang dikemas pada A2B1 dan A4B1 memiliki rata-rata total kerusakan sebesar 26% dan 28,5%, sudah tidak bisa diterima. Hal yang sama terjadi pada buah perlakuan yang lainnya. Karena dalam praktek perdagangan toleransi kerusakan hanya sebesar 20% (Rulianto, 1993).
4.2.3. Kadar Air
Kadar air merupakan jumlah molekul air bebas dan terikat yang terdapat pada suatu bahan (Fardiaz dan Winarno, 1989). Berdasaran hasil analisis awal, diperoleh nilai rata-rata kadar air buah salak adalah 78,12%. Nilai kadar ini tidak berbeda jauh dengan standar mutu buah salak yang ditetapkan oleh Departemen Keseharan RI (1981) dalam 100 g buah yaitu 78%.
Setelah dilakukan penyimpanan (maksimal) selama 30 hari dan pengamatan, variasi data kadar air buah salak yang dihasilkan adalah 79,13% - 79,79%. Setelah dilakukan analisis ragam kadar air buah salak (Lampiran 16), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh
(19)
yang nyata dari faktor kemasan. Faktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor terdapat pengaruh yang nyata (α = 0,05). Diduga bahwa jenis kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan kadar air, sedangkan pada faktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor, setidaknya ada satu taraf yang berpengaruh terhadap perubahan kadar air. Setelah dilakukan uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 16), ditunjukkan bahwa suhu penyimpanan 15oC (B1) berbeda nyata terhadap suhu penyimpanan kamar (B2).
Gambar 6. Perubahan kadar air buah salak pada suhu 15oC dan suhu kamar
Selanjutnya dilakukan uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap interaksi antar faktor. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 16. Dari hasil tersebut diduga bahwa buah salak yang dikemas dengan besek (A2) pada suhu 15oC (B1), berbeda nyata dengan kemasan besek (A2) pada suhu kamar (B2) dan kontrol (K), sedangkan perlakuan lainnya tidak berbeda nyata. Grafik perubahan kadar air buah salak selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 6 di atas.
Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan kadar air yang besar pada suhu kamar (B2) diperkirakan karena suhu yang diberikan tidak mampu menghambat proses kerja enzim melakukan perombakan komponen-komponen dalam bahan. Dimana suhu kamar (B2) memiliki laju respirasi yang lebih besar daripada suhu 15oC (B1). Sehingga buah lebih cepat mengalami kerusakan dan busuk yang mengakibatkan kadar air meningkat pada suhu kamar (B2). Buah salak yang disimpan pada suhu 15oC (B1) memiliki kualitas daya tahan yang lebih baik daripada buah salak pada suhu kamar (B2).
77 78 79 80 81 82
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
K a da r Air (%)
Pengamatan Ke- (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K)
Suhu 15oC
77 78 79 80 81 82
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
K a da r Air (%)
Lama Penyimpanan (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K)
(20)
Hal ini sejalan dengan yang dituliskan Fardiaz dan Winarno (1989), pada suhu dingin aktivitas respirasi menurun dan pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dapat dihambat.
4.2.4. Total Asam Tertitrasi
Total asam merupakan jumlah asam yang terdapat dalam suatu bahan. Prinsip dasar pengukuran total asam tertitrasi adalah penetralan asam dalam dalam bahan oleh basa (NaOH 0,1 N) melalui cairan titrasi. Dari hasil analisis awal diperoleh nilai total asam buah salak adalah 6,34%. Nilai total asam tertitrasi tersebut merupakan semua jenis senyawa atau asam organik yang mengandung asam.
Setelah dilakukan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari dan pengamatan, variasi data total asam buah salak adalah 6,31 - 6,39%. Setelah dilakukan analisis ragam total asam (Lampiran 17), hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata faktor kemasan, fakktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor terhadap total asam. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan total asam tertitrasi. Hal yang sama terjadi pada faktor suhu penyimpanan, baik penyimpanan pada suhu 15oC (B1) maupun penyimpanan pada suhu kamar (B2). Tidak ada perubahan nilai total asam tertitrasi yang signifikan.
Menurut Kumalaningsih dan Hidayat (1995), peningkatan nilai total asam pada suatu bahan dikarenakan aktivitas bakteri pemecah gula yang menghasilkan asam, seperti bakteri Acetobacter, Clostridium, Propionibacteriun dan Bacillus. Jadi pada penyimpanan ini, buah salak belum dicemari oleh bakteri-bakteri tersebut, karena nilai total asam yang diperoleh masih cenderung sama.
4.2.5. Total Padatan Terlarut
Total padatan terlarut merupakan gambaran jumlah senyawa-senyawa makromolekul yang terlarut menjadi gula pada suatu bahan. Prinsip pengukurun total padatan terlarut adalah adanya pembiasan dengan penyinaran yang menembus dua macam media dengan kerapatan yang berbeda. Dari hasil analisis awal diperoleh nilai total padatan terlarut buah salak adalah 15oBrix. Nilai total padatan terlarut tersebut merupakan semua jumlah senyawa makromolekul seperti karbohidrat yang dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana atau gula (Winarno dan Wirakartakusumah, 1981).
Setelah dilakukan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari dan pengamatan, variasi data total padatan terlarut buah salak adalah 17,25– 20,41oBrix. Setelah dilakukan analisis ragam total padatan terlarut (Lampiran 18), hasil analisis menunjukkan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor memberikan pengaruh yang sangat nyata (α = 0,05) terhadap perubahan total padatan terlarut. Grafik perubahan total padatan terlarut buah salak dapat dilihat pada Gambar 7.
(21)
Gambar 7. Perubahan total padatan terlarut buah salak pada suhu 15oC dan suhu kamar Hasil uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap faktor kemasan (Lampiran 18), menunjukkan bahwa kemasan besek (A2) memiliki beda nyata terhadap kemasan plastik PE dengan besek (A4), kemasan karton (A1), kemasan plastik PE dengan karton (A3) dan kontrol (K). Hal yang sama terjadi pada kemasan yang lain, ada beda nyata antara satu sama lain. Berdasarkan hal tersebut, ternyata karakteristik dari setiap kemasan dalam menjaga perubahan total padatan terlarut buah salak berbeda. Hal ini juga digambarkan pada grafik perubahan total padatan terlarut, kecenderunngan dari semua kemasan berbeda nyata.
Hasil uji “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 18), menunjukkan bahwa
penyimpanan pada suhu 15oC (B1) berbeda nyata terhadap penyimpanan pada suhu ± 27oC (B2). Dimana nilai rata-rata total padatan terlarut lebih besar pada suhu kamar (B2) yaitu 19,09oBrix. Berdasarkan hasil tersebut, ternyata semakin tinggi suhu penyimpanan buah salak, maka total padatan terlarutnya semakin meningkat. Hal ini membuktikan bahwa proses perombakan senyawa-senyawa makromolekul seperti karbohidrat menjadi gula pada suhu yang lebih tinggi semakin besar.
Setelah dilakukan uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap interaksi antar faktor
(Lampiran 18), hasil uji menunjukkan bahwa buah salak yang dikemas pada kemasan plastik PE dengan karton (A3) suhu 15oC (B1), tidak memiliki beda nyata terhadap kemasan plastik PE dengan besek (A4) suhu kamar (B2). Hasil uji ini menunjukkan bahwa antara kemasan (A3B1 dan A4B2) memiliki kemampuan yang sama dalam menjaga perubahan total padatan terlarut. Hal yang sama juga terjadi untuk A1B1 dan A1B2, sedangkan untuk perlakuan (A4B1, A2B1, A2B2 dan K) memiliki beda nyata dari setiap kemasan terhadap total padatan terlarut. Berdasarkan hasil uji tersebut, diduga
14.0 15.5 17.0 18.5 20.0 21.5 23.0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
P a da ta n T er la rut ( oB rix )
Pengamatan Ke- (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
Suhu 15oC
14.0 15.5 17.0 18.5 20.0 21.5 23.0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
P a da ta n T er la rut (oB rix )
Lama Penyimpanan (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
(22)
bahwa karakteristik kemasan dan suhu penyimpanan dalam menjaga perubahan total padatan terlarut buah salak adalah berbeda.
Perubahan nilai total padatan terlarut yang tinggi, ditunjukkan pada buah salak yang dikemas menggunakan plastik PE dengan karton (A3) pada suhu 15oC (B1) yaitu sebesar 19,30oBrix. Sedangkan untuk suhu kamar (B2), ditunjukkan pada buah salak yang disimpan tanpa perlakuan (K). Dimana daya simpan hanya mencapai 6 hari dengan perubahan total padatan terlarut sebesar 20,41oBrix. Kenaikan total padatan terlarut yang tinggi pada buah salak yang dikemas menggunakan plastik PE dengan karton (A3) suhu 15oC (B1), diperkirakan karena kemasan tersebut kurang melindungi buah salak terhadap suhu yang berada di lingkungan maupun di luar lingkungan kemasan. Kemasan karton memiliki sifat yang kaku dan hampir tidak berongga, ditambah dengan plastik PE dengan sifat permeabilitasnya yang tinggi. Hal ini mengakibatkan lingkungan bahan dalam kemasan sedikit lebih panas dan susah untuk disesuaikan dengan lingkungan luarnya. Selain itu, proses penguapan juga akan terperangkap pada permukaan dalam plastik PE, yang mengakibatkan kondisi kemasan lembab. Akibatnya laju perombakan karbohidrat dalam bahan lebih cepat dan total padatan yang terbentuk lebih banyak.
Sementara untuk kenaikan total padatan terlarut pada buah salak yang disimpan tanpa perlakuan (K), sudah pasti dikarenakan suhu penyimpanan yang tinggi dan tidak adanya penambahan lapisan lilin. Akibatnya proses perombakan karbohidrat menjadi gula molekul sederhana dalam buah berlangsung cepat. Hal ini mejadikan buah memiliki daya simpan rendah dengan total padatan terlarut yang tinggi.
4.2.6. Vitamin C
Vitamin C merupakan salah satu jenis vitamin yang larut dalam air. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C termasuk golongan vitamin antioksidan yang mampu menangkal berbagai radikal bebas ekstraselular.Beberapa karakteristiknya antara lain sangat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam. Buah-buahan, seperti salak, jeruk dan apel merupakan sumber utama vitamin ini.
Berdasarkan hasil analisis awal, nilai rata-rata kandungan vitamin C buah salak Padangsidimpuan yang dihasilkan adalah 1,87 mg/100 g buah. Nilai tersebut berada di bawah kandungan vitamin C buah salak yang dikeluarkan oleh Deparetemen Kesehatan RI (1981) yaitu 2 mg/100 g buah. Perbedaan nilai kandungan vitain C ini, diduga karena perbedaan varietas buah salak Padangssidimpuan dengan buah salak yang diuji oleh Departemen Kesehatan RI.
Pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, menunjukkan variasi data kandungan vitamin C adalah 1,5 – 1,75 mg/100 g buah. Analisis ragam terhadap kandungan vitamin C (Lampiran 19), menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata faktor kemasan dan interaksi antar faktor terhadap kandungan vitamin C. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan kandungan vitamin C. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan kandungan vitamin C, sedangkan untuk faktor suhu penyimpanan, hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap perubahan kandungan vitamin C. Grafik perubahan kandungan vitamin C buah salak dapat dilihat pada Gambar 8.
(23)
1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Vit . C (m g /1 0 0 g r)
Pengamatan Ke- (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
Suhu 15oC
Gambar 8. Perubahan kandungan vitamin C buah salak pada suhu 15oC dan suhu kamar
Hasil uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 19), menunjukkan
bahwa penyimpanan pada suhu 15oC (B1) memiliki beda nyata terhadap penyimpanan pada suhu kamar (B2). Dimana penyimpanan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan kandungan vitamin C buah salak dibandingkan penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini juga dapat dilihat pada grafik perubahan kandungan vitamin C buah salak, dimana kecenderungan kandungan vitamin C pada suhu 15oC (B1) lebih tinggi (1,74 mg/100 g buah) daripada suhu kamar (B2) (1,52 mg/100 g buah).
Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan buah salak, maka kandungan vitamin C nya semakin rendah. Hal ini dikarenakan penyimpanan pada suhu ruang atau suhu yang lebih tinggi, akan menyebabkan penimbunan panas oleh O2 dan keluarnya uap air yang lebih banyak pada bahan. Panas yang timbul ini selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya vitamin C pada buah. Sesuai dengan pernyataan Dwiari (2008), turunnya vitamin C dapat disebabkan oleh rusaknya vitamin C akibat proses oksidasi.
4.2.7. Warna
Warna merupakan pantulan tertentu dari cahaya yang dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan bahan atau benda. Warna dapat berfungsi sebagai satu daya tarik terhadap suatu objek. Oleh karena itu, warna pada buah salak digunakan sebagai salah satu objek untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap buah salak setelah dilakukan penyimpanan. Penentuan tingkat kesukaan ini
1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Vit . C (m g /1 0 0 g r)
Pengamatan Ke- (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
(24)
dilakukan dengan uji organoleptik warna. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap warna buah 4 dari 20 panelis.
Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data warna buah salak yang dihasilkan adalah 3 – 4. Setelah dilakukan analisis ragam warna buah salak (Lampiran 20), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa faktor kemasan dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan warna. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan tingkat kesukaan warna. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan warna, sedangkan untuk faktor suhu penyimpanan, hasil analisis
ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap perubahan tingkat kesukaan warna.
Grafik perubahan tingkat kesukaan terhadap warna buah salak dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Perubahan tingkat kesukaan terhadap warna pada suhu 15oC dan suhu kamar
Hasil uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 20), menunjukkan
bahwa penyimpanan pada suhu 15oC (B1) memiliki beda nyata terhadap penyimpanan pada suhu kamar (B2). Dimana penyimpanan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan tingkat kesukaan terhadap warna buah salak dibandingkan penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini juga dapat dilihat pada grafik perubahan tingkat kesukaan terhadap warna buah salak, dimana
1 2 3 4 5
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Sk
a
la
Wa
rna
Pengamatan Ke- (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
Suhu 15oC
1 2 3 4 5
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Sk
a
la
Wa
rna
Lama Penyimpanan (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
(25)
kecenderungan tingkat kesukaan terhadap warna pada suhu 15oC (B1) lebih tinggi (4) daripada suhu kamar (B2) (3).
Berdasarkan hasil tersebut, penyimpaan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan tingkat kesukaan terhadap warna buah daripada penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini dikarenakan buah salak yag disimpan pada suhu kamar (B2) menerima suplai O2 yang lebih banyak daripada buah salak yang disimpan pada suhu 15oC (B1), yang menyebabkan proses pencoklatan oksidatif lebih cepat. Alasan diatas diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa buah yag dikemas tanpa perlakuan (K) pada suhu kamar (B2), menunjukkan warna daging buah yang lebih kecoklatan dibandingkan daging buah salak dengan kemasan lain. Selain itu, aktivitas enzimatis juga menyebabkan proses pencoklatan pada daging buah salak. Aktivitas ini dikarenakan adanya tanin dalam buah.
4.2.8. Aroma
Aroma merupakan bau khas yang dikeluarkan dari suatu bahan. Selain warna, aroma juga menjadi satu daya tarik terhadap suatu bahan seperti buah salak. Aromayang dihasilkan buah salak digunakan sebagai salah satu objek untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap buah salak setelah dilakukan penyimpanan. Penentuan tingkat kesukaan ini dilakukan dengan uji organoleptik. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap aroma buah 4 dari 20 panelis.
Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data aroma buah salak yang dihasilkan adalah 3. Setelah dilakukan analisis ragam aroma buah salak (Lampiran 21), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan aroma. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan tingkat kesukaan warna. Faktor suhu, penyimpanan pada suhu 15oC (B1) tidak memiliki beda nyata dengan penyimpanan pada suhu kamar (B2) terhadap tingkat kesukaan aroma. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan aroma. 4.2.9. Rasa
Rasa merupakan ekspresi yang timbul akibat adanya rangsangan pada indra perasa setelah melakukan pencicipan pada suatu bahan oleh panelis. Rasa yang dihasilkan buah salak digunakan sebagai salah satu objek untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap buah salak setelah dilakukan penyimpanan. Penentuan tingkat kesukaan ini dilakukan dengan uji organoleptik. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap rasa buah salak 3 dari 20 panelis.
Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data rasa buah salak yang dihasilkan adalah 3. Setelah dilakukan analisis ragam rasa buah salak (Lampiran 22), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan rasa. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan tingkat kesukaan rasa. Faktor suhu, penyimpanan pada suhu 15oC (B1) tidak memiliki beda nyata dengan penyimpanan pada suhu kamar (B2) terhadap tingkat kesukaan rasa. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan rasa.
(26)
4.2.10. Tekstur
Tekstur merupakan kualitas tertentu suatu permukaan yang timbul sebagai akibat dari struktur tiga dimensi suatu bahan. Tekstur dapat memberikan kesan pada persepsi manusia melalui penglihatan visual. Oleh karena itu, tekstur pada buah salak digunakan sebagai salah satu objek untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap buah salak setelah dilakukan penyimpanan. Penentuan tingkat kesukaan ini dilakukan dengan uji organoleptik tekstur. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap tekstur buah salak 3 dari 20 panelis.
Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data tekstur buah salak yang dihasilkan adalah 3 – 4. Hasil analisis ragam (Lampiran 23) menunjukkan bahwa faktor kemasan dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan tekstur. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan tingkat kesukaan tekstur. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan tekstur. Faktor suhu penyimpanan, hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap perubahan tingkat kesukaan tektur buah salak. Grafik perubahan tingkat kesukaan terhadap tekstur buah salak dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
Hasil uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 23), menunjukkan
bahwa penyimpanan pada suhu 15oC (B1) memiliki beda nyata terhadap penyimpanan pada suhu kamar (B2). Dimana penyimpanan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan tingkat kesukaan terhadap tekstur buah salak dibandingkan penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini juga dapat dilihat pada grafik perubahan tingkat kesukaan terhadap tekstur buah salak, dimana kecenderungan tingkat kesukaan terhadap tekstur pada suhu 15oC (B1) lebih tinggi (4) daripada suhu kamar (B2) (3).
Berdasarkan hasil tersebut diduga penyimpaan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan tingkat kesukaan terhadap tekstur buah daripada penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini dikarenakan buah salak yag disimpan pada suhu kamar (B2) mengalami penimbunan panas yang lebih banyak daripada buah salak yang disimpan pada suhu 15oC (B1). Akibatnya terjadi penurunan ketegangan dinding sel karena air berdifusi keluar sel. Sesuai pernyataan Salunkhe (1976), salah satu faktor yang menentukan tekstur buah-buahan adalah ketegangan sel. Ketegangan sel ini disebabkan adanya energi yang lebih tinggi pada cairan isi sel, sehingga air akan berdifusi ke dalam sel. Apabila energi diluar sel lebih tinggi daripada di dalam sel, maka tekstur buah akan layu atau rusak.
(27)
1 2 3 4 5
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Sk a la T ek st ur
Pengamatan Ke- (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
Suhu 15oC
Gambar 10. Perubahan tingkat kesukaan terhadap tekstur pada suhu 15oC dan suhu kamar Selain itu, faktor lain yang menyebabkan rusaknya tekstur buah salak pada suhu kamar (B2), diduga karena produksi etilen yang lebih banyak pada suhu penyimpanan tersebut. Tingginya hormon etilen yang dihasilkan pada buah yang disimpan, menyebabkan proses pematangan dan pelayuan buah lebih cepat. Dimana pada akhirnya tekstur buah akan lebih cepat mengalami pelunakan dan busuk. Alasan ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa buah salak yang dikemas tanpa perlakuan (K) pada suhu kamar (B2), menunjukkan tekstur daging buah yang lebih lunak dan cepat busuk dibandingkan daging buah salak dengan kemasan lain.
4.2.11. Penerimaan Umum
Penerimaan umum merupakan gabungan tingkat kesukaan panelis berdasarkan warna, rasa, aroma dan tekstur terhadap buah salak. Penentuan tingkat kesukaan ini dilakukan dengan uji organoleptik. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap penerimaan umum buah salak 3 dari 20 panelis. Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data penerimaan umum buah salak yang dihasilkan adalah 3. Setelah dilakukan analisis ragam penerimaan umum buah salak (Lampiran 24), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan secara umum.
Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap
1 2 3 4 5
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Sk a la T ek st ur
Lama Penyimpanan (Hari)
Karton (A1) Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3) Plastik PE dengan besek (A4) Kontrol (K)
(28)
perubahan tingkat kesukaan secara umum. Faktor suhu, penyimpanan pada suhu 15oC (B1) tidak memiliki beda nyata dengan penyimpanan pada suhu kamar (B2) terhadap tingkat kesukaan secara umum. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan secara umum.
Tetapi jika diperhatikan tingkat kesukaan terhadap buah salak secara umum, hasil analisis awal mengalami penurunan terhadap rata-rata akhir setelah dilakukan penyimpanan. Hal ini dikarenakan adanya perubahan-perubahan terhadap warna, rasa, aroma dan tesktur buah salak karena proses metabolisme. Sesuai dengan pernyataan Winarno dan Wirakartakusumah (1981), selama jangka waktu antara pemanenan hingga dikonsumsi, buah salak masih terus melangsungkan aktivitas fisiologisnya seperti respirasi, transpirasi dan perubahan biokimia lainnya. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat mengakibatkan penurunan mutu buah, termasuk penurunan mutu terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur buah.
4.3. PEMBAHASAN UMUM
Pembahasan umum merupakan pembahasan mengenai semua aspek-aspek yang dilakukan pada penelitian ini, untuk menyimpulkan hasil yang diperoleh. Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mendapatkan suhu dan kombinasi kemasan yang baik dalam penyimpanan buah salak Padangsidimpuan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, perlakuan terbaik dalam setiap faktor percobaan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Perlakuan terbaik terhadap buah salak Padangsidimpuan selama penelitian
No Uji Faktor
Kemasan Suhu Interaksi Antar Faktor 1 Total Rusak Besek (A2) 15oC (B1) Besek 15oC (A2B1)
2 Susut Bobot * 15oC (B1) *
3 Kadar Air * 15oC (B1) Besek 15oC (A2B1)
4 Total Asam Tertitrasi * * *
5 Total Padatan Terlarut Besek (A2) 15oC (B1) Plastik PE + Besek 15oC (A4B1)
6 Vitamin C * 15oC (B1) *
7 Warna * 15oC (B1) *
8 Aroma * * *
9 Rasa * * *
10 Tekstur * 15oC (B1) *
11 Penerimaan Umum * * *
Total Besek (A2) 15oC (B1) Besek 15oC (A2B1) Perlakuan Terbaik Besek 15oC (A2B1)
* = Tidak ada beda nyata dari setiap faktor perlakuan terhadap uji yang dilakukan
Berdasarkan Tabel 6 di atas, secara umum hasil yang diperoleh untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah penyimpanan buah dengan menggunakan kemasan besek (A2) pada suhu 15oC (B1). Hal yang sama dituliskan Mudjisihono (1998) pada laporan penelitiannya, bahwa penyimpanan buah salak pondoh pada suhu 15oC mutlak diperlukan.
(29)
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULANHasil analisis beberapa sifat fisiko kimia buah salak Padangsidimpuan yang dihasilkan diperoleh nilai kadar air sebesar 78,12%, total asam tertitrasi sebesar 6,34%, total padatan terlarut sebesar 15oBrix, vitamin C sebesar 1,87 mg/100 g buah, skor tingkat kesukaan terhadap warna sebesar 4, aroma sebesar 4, rasa sebesar 3, tekstur sebesar 3 dan penerimaan secara umum skornya sebesar 3.
Setelah penyimpanan maksimal 30 hari, sifat fisik dan kimia dari buah salak seperti total asam tertitrasi, rasa, aroma dan penerimaan secara umum mengalami penurunan mutu, tetapi tidak memiliki beda secara nyata terhadap mutu saat awal penyimpanan buah salak. Faktor kemasan, suhu dan interaksi antar faktor terhadap sifat dan kimia tersebut. Warna, tekstur, susut bobot, kadar air dan vitamin C menunjukkan adanya pegaruh nyata dari faktor suhu terhadap perubahan mutunya. Interaksi antar faktor juga menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap sifat kimia buah salak yaitu kadar air. Sifat fisik dan kimia lain yang mengalami perubahan secara nyata adalah total kerusakan buah dan total padatan terlarut. Faktor kemasan, faktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor berpengaruh nyata terhadap total kerusakan dan total padatan terlarut buah salak. Dimana semakin lama penyimpanan buah, maka total rusak dan padatan terlarut semakin meningkat. Penggunaan kemasan karton dan kemasan plastik PE dengan karton cenderung meningkatkan nilai total rusak dan padatan terlarut dibandingkan penggunaan kemasan besek dan kemasan plastik PE dengan besek.
Berdasarkan hasil analisis buah salak Padangsidimpuan, buah salak yang disimpan pada suhu 15oC selama maksimal 30 hari masih dalam kondisi baik. Baik salak yang dikemas dengan karton, besek, plastik PE dengan karton dan plastik PE dengan besek. Kemasan buah salak Padangsidimpuan yang baik adalah kemasan besek pada suhu 15oC. Hal tersebut diduga karena, kemasan besek lebih baik menghambat kerusakan yang dapat menurunkan mutu buah salak.
5.2. SARAN
Dari penelitian yang sudah dilakukan, beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
a. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai umur simpan buah salak Padangsidimpuan agar dapat diketahui secara pasti maksimum lama penyimpanannya.
(30)
PENGARUH JENIS KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP
KESEGARAN DAN KUALITAS BUAH SALAK PADANGSIDIMPUAN
(
Salacca sumatrana
)
SKRIPSI
SRI ALAM SYAHPUTRA NASUTION F34070006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
(1)
Lampiran 17. Hasil olah data uji total asam tertitrasi buah salak
Analisis ragam
Sumber Df JK KT F Sig. Keterangan
Perlakuan 8 0,012 0,002 0,683
Kemasan (A) 4 0,001 0,000 0,150 0,958 Tidak Nyata
Suhu (B) 1 0,004 0,004 1,723 0,222 Tidak Nyata
Kemasan*Suhu (A*B) 3 0,005 0,002 0,741 0,554 Tidak Nyata
Galat 9 0,020 0,002
Total 18 726,281
Kesimpulan: Tidak ada pengaruh faktor kemasan, faktor suhu penyimpanan (B) dan interaksi antar faktor (A*B) terhadap nilai asam tertitrasi.
Lampiran 18. Hasil olah data uji padatan terlarut buah salak
Analisis ragam
Sumber Df JK KT F Sig. Keterangan
Perlakuan 8 15,519 1,940 464,650
Kemasan (A) 4 8,006 2,001 479,374 0,000 Nyata (α = 0,05)
Suhu (B) 1 1,535 1,535 367,545 0,000 Nyata (α = 0,05)
Kemasan*Suhu (A*B) 3 3,504 1,168 279,739 0,000 Nyata (α = 0,05)
Galat 9 0,038 0,004
Total 18 6288,677
Analisis lanjut uji Duncan terhadap faktor kemasan
Kemasan N Rataan Kelompok Duncan (α = 0,05)
A B C D E
A2 4 17,823 A
A4 4 18,340 B
A1 4 18,480 C
A3 4 19,159 D
K 2 20,413 E
Analisis lanjut uji “t” terhadap faktor suhu penyimpanan
Suhu N Rata-rata Std. Deviasi Sig. Keterangan
B1 (15oC) 8 18,141 0,845
0,031 Nyata (α = 0,05)
(2)
Analisis lanjut uji Duncan terhadap interaksi antar faktor
Perlakuan N Rataan Kelompok Duncan (α = 0,05)
A B C D E F G
A4B1 2 17,250 A
A2B1 2 17,605 B
A2B2 2 18,040 C
A1B1 2 18,410 D
A1B2 2 18,550 D
A3B2 2 19,020 E
A3B1 2 19,298 F
A4B2 2 19,430 F
KB2 2 20,413 G
Lampiran 19. Hasil olah data uji vitamin C buah salak
Analisis ragam
Sumber Df JK KT F Sig. Keterangan
Perlakuan 8 0,221 0,028 77,974
Kemasan (A) 4 0,003 0,001 2,093 0,164 Tidak Nyata
Suhu (B) 1 0,207 0,207 586,194 0,000 Nyata (α = 0,05)
Kemasan*Suhu (A*B) 3 0,001 0,000 0,940 0,461 Tidak Nyata
Galat 9 0,003 0,000
Total 18 47,415
Analisis lanjut uji “t” terhadap faktor suhu penyimpanan
Suhu N Rata-rata Std. Deviasi Sig. Keterangan
B1 (15oC) 8 1,742 0,015
0,000 Nyata (α = 0,05)
B2 (kamar) 10 1,521 0,025
Lampiran 20. Hasil olah data uji organoleptik warna buah salak
Analisis ragam
Sumber Df JK KT F Sig. Keterangan
Perlakuan 8 0,752 0,094 30,093
Kemasan (A) 4 0,011 0,003 0,881 0,512 Tidak Nyata
Suhu (B) 1 0,618 0,618 197,902 0,000 Nyata (α = 0,05)
Kemasan*Suhu (A*B) 3 0,003 0,001 0,287 0,834 Tidak Nyata
Galat 9 0,028 0,003
(3)
Analisis lanjut uji “t” terhadap faktor suhu penyimpanan
Suhu N Rata-rata Std. Deviasi Sig. Keterangan
B1 (15oC) 8 3,847 0,037
0,000 Nyata (α = 0,05)
B2 (kamar) 10 3,440 0,060
Lampiran 21. Hasil olah data uji organoleptik aroma buah salak Analisis ragam
Sumber Df JK KT F Sig. Keterangan
Perlakuan 8 0,016 0,002 0,672
Kemasan (A) 4 0,015 0,004 1,262 0,353 Tidak Nyata
Suhu (B) 1 0,002 0,002 0,727 0,416 Tidak Nyata
Kemasan*Suhu (A*B) 3 0,001 0,000 0,084 0,967 Tidak Nyata
Galat 9 0,026 0,003
Total 18 198,173
Kesimpulan: Tidak ada pengaruh faktor kemasan, faktor suhu penyimpanan (B) dan interaksi antar faktor (A*B) terhadap nilai kesukaan aroma.
Lampiran 22. Hasil olah data uji organoleptik rasa buah salak
Analisis ragam
Sumber Df JK KT F Sig. Keterangan
Perlakuan 8 0,013 0,002 1,109
Kemasan (A) 4 0,005 0,001 0,938 0,484 Tidak Nyata
Suhu (B) 1 0,003 0,003 1,954 0,196 Tidak Nyata
Kemasan*Suhu (A*B) 3 0,003 0,001 0,599 0,632 Tidak Nyata
Galat 9 0,013 0,001
Total 18 144,588
Kesimpulan: Tidak ada pengaruh faktor kemasan, faktor suhu penyimpanan (B) dan interaksi antar faktor (A*B) terhadap nilai kesukaan rasa.
Lampiran 23. Hasil olah data uji organoleptik tekstur buah salak
Analisis ragam
Sumber Df JK KT F Sig. Keterangan
Perlakuan 8 2,616 0,327 3,754
Kemasan (A) 4 0,622 0,155 1,783 0,216 Tidak Nyata
Suhu (B) 1 1,546 1,546 17,741 0,002 Nyata (α = 0,05)
(4)
Analisis lanjut uji “t” terhadap faktor suhu penyimpanan
Suhu N Rata-rata Std. Deviasi Sig. Keterangan
B1 (15oC) 8 3,670 0,340
0,000 Nyata (α = 0,05)
B2 (kamar) 10 3,009 0,267
Lampiran 24. Hasil olah data uji organoleptik penerimaan umum buah salak
Analisis ragam
Sumber Df JK KT F Sig. Keterangan
Perlakuan 8 0,110 0,014 1,891
Kemasan (A) 4 0,101 0,025 3,445 0,057 Tidak Nyata
Suhu (B) 1 0,011 0,011 1,453 0,259 Tidak Nyata
Kemasan*Suhu (A*B) 3 0,010 0,003 0,441 0,729 Tidak Nyata
Galat 9 0,066 0,007
Total 18 195,629
Kesimpulan: Tidak ada pengaruh faktor kemasan, faktor suhu penyimpanan (B) dan interaksi antar faktor (A*B) terhadap nilai kesukaan secara umum.
(5)
SRI ALAM SYAHPUTRA NASUTION. F34070006. Pengaruh Jenis Kemasan Dan Suhu Penyimpanan Terhadap Kesegaran Dan Kualitas Buah Salak Padangsidimpuan (Salacca sumatrana). Di bawah bimbingan Endang Warsiki. 2011
RINGKASAN
Salak (sallaca edulis, Reinw) merupakan salah satu jenis buah tropis Indonesia yang dapat diperoleh sepanjang tahun. Pada bulan-bulan tertentu, antara bulan Oktober-Januari, produksi salak melimpah dan melebihi kebutuhan, sehingga banyak buah salak yang terbuang. Keadaan ini sangat merugikan petani sehingga harus dipikirkan penanganan salak mulai dari kegiatan pemanenan sampai pasca panen. Sebagai contoh, petani salak Padangsidimpuan, Sumatera Utara, juga mengalami kerugian setiap tahun karena buah rusak yang diakibatkan salah penanganan, seperti tidak sesuainya jenis kemasan yang digunakan dan suhu penyimpanan yang tidak terkontrol. Selain itu lokasi perkebunan yang pada umumnya jauh dari perkotaan juga merupakan salah satu faktor penyebab rusaknya buah sebelum dikonsumsi. Lokasi yang jauh menyebabkan pendistribusian buah memerlukan waktu yang lebih lama untuk sampai ditangan konsumen. Hal ini bisa dihindari dengan melakukan penanganan pasca panen yang tepat, misalnya dengan menggunakan kemasan dan suhu penyimpanan yang tepat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan suhu penyimpanan dan jenis kemasan yang sesuai untuk buah salak (Padangsidimpuan). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengemasan dan Laboratorium DIT, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Dramaga-Bogor pada bulan Maret sampai April 2011. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan mengukur mutu awal buah salak (terhadap susut bobot, kerusakan buah, kadar air, asam tertitrasi, padatan terlarut, vitamin C dan organoleptik) yang hasilnya digunakan sebagai data awal untuk melakukan penelitian utama. Penelitian utama dilakukan dengan cara menyimpan 1 kg buah salak (Padangsidimpuan) yang sebelumnya telah diberikan lapisan lilin pada masing-masing perlakuan. Penilitian ini menggunakan dua faktor penyimpanan yang berbeda. Faktor pertama yaitu kemasan (A) dan faktor kedua suhu (B). Kemasan yang digunakan terdiri dari empat taraf antara lain, kemasan karton (A1), kemasan besek (A2), kemasan plastik PE dengan karton (A3) dan kemasan plastik PE dengan besek (A4). Sebagai kontrol disimpan buah salak tanpa perlakuan (K). Selanjutnya buah salak akan disimpan pada suhu 15oC (B1) dan suhu ruangan kamar (B2). Buah salak disimpan selama 30 hari, kemudian dilakukan pengamatan terhadap mutu fisik (susut bobot dan total kerusakan buah), kimia (kadar air, total asam tertitrasi, total padatan terlarut dan uji vitamin C) dan uji organoleptik (warna, rasa, aroma, tekstur dan penerimaan umum). Pengamatan ini dilakukan setiap 3 hari sekali.
Data hasil penelitian diuji secara statistik (analisis ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan dan uji t). Berdasarkan hasil yang diperoleh, penyimpanan pada suhu 15oC memiliki beda nyata terhadap penyimpanan pada suhu kamar . Dimana penyimpanan pada suhu 15oC menunjukkan susut bobot terendah yaitu sebesar 5,38%. Artinya penyimpanan pada suhu 15oC lebih baik untuk mempertahankan susut bobot buah salak. Hal yang sama terjadi pada total kerusakan buah. Faktor kemasan, faktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap total kerusakan buah. Buah salak yang disimpan dengan kemasan besek pada suhu 15oC, memiliki rata-rata total kerusakan terkecil sampai akhir penyimpanan yaitu sebesar 26%.
(6)
analisis lanjut uji “t” (α = 0,05) juga menunjukkan adanya beda nyata antara penyimpanan pada suhu 15oC dengan penyimpanan pada suhu kamar. Dimana penyimpanan pada suhu 15oC memiliki rata-rata akhir vitamin C lebih tinggi yaitu sebesar 1,74 mg/100 g buah. Berdasarkan hasil tersebut, diduga penyimpanan pada suhu 15oC lebih baik daripada penyimpanan pada suhu kamar untuk mempertahankan kandungan vitamin C buah salak.
Berdasarkan analisis ragam yang dilakukan, faktor kemasan tidak memiliki pengaruh nyata terhadap perubahan kadar air buah salak. Sedangkan faktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap perubahan kadar air buah. Dimana berdasarkan hasil analisis lanjut yang dilakukan, buah yang dikemas dengan kemasan besek pada suhu 15oC memiliki rata-rata akhir kadar air lebih tetap yaitu sebesar 79,13%.
Total padatan terlarut pada buah salak akan meningkat dengan waktu penyimpanan yang semakin lama. Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan, faktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor memiliki pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap perubahan total padatan terlarut. Setelah dilakukan uji lanjut Duncan dan uji “t”, buah yang dikemas menggunakan kemasan besek (A2) dan kemasan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1), memiliki rata-rata total padatan terlarut 17,6oBrix dan 17,25oBrix.
Berdasarkan uji organoleptik warna dan tekstur buah salak, hasil analisis ragam menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata faktor kemasan dan interaksi antar faktor terhadap perubahan tingkat kesukaan akan warna dan tekstur buah salak. Sedangkan faktor suhu menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap perubahan tingkat kesukaan akan warna dan tekstur. Setelah dilakukan analisis lanjut uji “t”, suhu penyimpanan 15o
C berbeda nyata terhadap penyimpanan pada suhu kamar. Dimana suhu penyimpanan 15oC, merupakan suhu penyimpanan dengan tingkat kesukaan lebih tinggi yaitu sebesar 4 (warna dan tekstur). Sementara untuk uji organoleptik lainnya seperti (rasa, aroma dan penerimaan umum) serta total asam tertitrasi, hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan panelis akan rasa, aroma, penerimaan umum dan total asam tertitrasi buah salak.