Kajian pelapisan dan suhu penyimpanan untuk mencegah busuk buah pada salak pondoh (Salacca edulis reinw.)

(1)

MENCEGAH BUSUK BUAH PADA SALAK PONDOH

(

Salacca edulis

Reinw.)

BAMBANG SUKARNO PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pelapisan dan Suhu Penyimpanan untuk Mencegah Busuk Buah pada Salak Pondoh (Salacca Edulis Reinw.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini

Bogor, Agustus 2011

Bambang Sukarno Putra


(3)

iii ABSTRACT

BAMBANG SUKARNO PUTRA. Study The Coating and Storage Temperature for Prevention Fruit Rot on Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) Under Direction of SUTRISNO and ROKHANI HASBULLAH

Snake fruit or salacca is a kind of perishable fruit. At room temperature, fresh salacca is only able to be stored less than 12 days. The mechanism of fruit rot during storage was influenced by mechanical, physiological and microbiological factors that result browning discoloration on the fruit flesh, wrinkled, dry and moldy. The aim of this research are: (1) to investigate the kinds of fruit rot on postharvest of salak pondoh; (2) to study the effect of coating of fruit and storage temperature on salak pondoh quality, and (3) to correlate the quality change of salak and mold growth during storage.The result of the research showed, the fungus occurred in fruit rot were mucor sp, aspergillus sp, fusarium sp and penicillium sp. Fresh fruit coating using aloevera and temperature treatment during storage had significant influence on quality changes including weight loss, flesh and skin water content, total soluble solid, firmness and sensory value. Due to prevention of fruit rot, Aloe vera coating was able to inhibit mold growth for 27 days during storage.


(4)

untuk Mencegah Busuk Buah Pada Salak Pondoh (Salacca Edulis Reinw). Dibimbing oleh SUTRISNO dan ROKHANI HASBULLAH.

Buah salak mempunyai sifat mudah rusak (perishable), apalagi didukung oleh iklim tropis yang panas dan lembab menyebabkan daya simpan buah salak segar akan sangat berkurang. Umumnya buah salak segar hanya dapat bertahan disimpan selama ± 12 hari pada suhu kamar. Kerusakan yang terjadi pada buah salak disebabkan beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor mekanis, fisis, fisiologis dan mikrobiologis. Salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan buah segar adalah perlakuan dengan melapisi buah tersebut dengan pelapisan (coating) dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu rendah. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui jenis penyakit pada tahap penanganan pasca panen buah salak pondoh, (2) Melihat pengaruh pelapisan dan suhu penyimpanan terhadap mutu salak pondoh, dan (3) Melihat hubungan antara perubahan mutu salak dengan tingkat pertumbuhan cendawan.

Penelitian terdiri atas dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi : identifikasi pathogen pada busuk buah pada salak pondoh dimana isolasi dilakukan dengan teknik direct plating. Tahap selanjutnya melihat pengaruh perlakuan pelapisan terhadap mutu buah salak pondoh, pada tahap ini diawali dengan pembuatan gel dari pelepah daun Aloe vera L. selanjutnyadilakukanaplikasi pelapisan (coating) pada buah salak pondoh.

Parameter mutu yang diamati adalah perubahan laju respirasi, susut bobot, kekerasan, kadar air, total padatan terlarut, uji organoleptik dan uji mikroba. Pengamatan dilakukan setiap tiga hari penyimpanan sampai dengan 30 hari, sedangkan untuk mengetahui umur simpan akan dilakukan pengamatan dengan menggunakan nilai kekerasan sebagai indikator. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan faktor suhu yang terdiri dari 2 taraf (9 - 12oC dan 26 - 27oC) dan faktor konsentrasi pelapisan (Coating) yang terdiri 3 taraf (50%, 75% dan 100%) dan kontrol adalah salak pondoh tanpa perlakuan aloevera dan disimpan pada suhu ruang (26oC) dilakukan dengan 2 ulangan. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% menggunakan SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 17, dan apabila terdapat pengaruh perlakuan akan dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Jenis kapang yang menyebabkan busuk buah pada salak pondoh adalah Fusarrium sp, Aspergillus sp, Penicillium spdan Mucor sp. (2) Kombinasi perlakuan (suhu rendah dan coating dengan Aloe vera) dapat memperlambat laju respirasi dibandingkan dengan tanpa perlakuan (Kontrol). Kombinasi perlakuan yang memiliki laju respirasi terendah adalah konsentrasi 100% dengan suhu penyimpanan 10oC (O2 3.71 ml/kg jam, CO2 3.92

ml/kg jam); dibandingkan dengan kontrol (O2 15.86 ml/kg jam, CO2 18.8 ml/kg

jam) pada hari ke-14. (3) Pada akhir penyimpanan (hari ke-30) dengan suhu penyimpanan 10oC, konsentrasi Aloe vera yang diaplikasikan berpengaruh terhadap mutu salak pondoh. Susut bobot terendah pada konsentrasi 75%


(5)

v

(16.81%) dan yang tertinggi pada konsentrasi 50% (22.22%). Kekerasan tertinggi pada konsentrasi 100% (2.22 kgf) dan terendah pada konsentrasi 75% (1.89 kgf). Kadar air daging buah tertinggi pada konsentrasi 50% (78.99%) dan terendah pada konsentrasi 75% (75.26%). Total Padatan Terlarut (TPT) tertinggi pada konsentrasi 75% (18.05 oBrix) dan terendah pada konsentrasi 50% (15.93 oBrix). Nilai organoleptik tekstur terendah pada konsentrasi 50% (4.8) dan tertinggi pada konsentrasi 100% (6.1). Nilai organoleptik rasa terendah pada konsentrasi 50% (4.8) dan tertinggi pada konsentrasi 100% (6.0). (4) Konsentrasi pelapisan Aloe vera 75% dan suhu penyimpanan 10oC memiliki pertumbuhan cendawan yang terendah pada akhir penyimpanan salak pondoh yaitu sebesar 1.3 x 105 koloni/gram (5) Kombinasi perlakuan terbaik untuk penanganan busuk buah pada salak adalah pelapisan dengan Aloe vera 50% dan suhu penyimpanan 10oC (parameter mutu kadar air daging buah yang tinggi dan nilai organoleptik yang tetap disukai) mampu mempertahankan masa simpan salak pondoh hingga 30 hari.


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masala; dan Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(7)

vii

KAJIAN PELAPISAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK

MENCEGAH BUSUK BUAH PADA SALAK PONDOH

(

Salacca edulis

Reinw.)

BAMBANG SUKARNO PUTRA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Nama : Bambang Sukarno Putra NRP : F153 080 041

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno, MAgr Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

ix

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si


(10)

(11)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesainya penyusunan tesis dengan judul “Kajian Pelapisan dan Suhu Penyimpanan untuk Mencegah Busuk Buah Pada Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.)”. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai dengan Mei 2010 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr dan Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si sebagai Pembimbing I dan Pembimbing II, dan saudara-saudara seperjuangan TPP 2008, serta semua pihak yang telah membantu atas terselesainya penulisan tesis ini.

Penghargaan yang sangat tinggi penulis ucapkan kepada ayah, ibu, abang dan adik serta seluruh keluarga yang telah banyak memberikan dukungan moril dan doa selama penulis bertugas belajar di IPB yang selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam berkarya

Saran dan kritik sangat diharapkan, semoga hasil penelitian ini bermanfaat. Amiin.

Bogor, Agustus 2011

Bambang Sukarno Putra


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cot Girek, Aceh Utara pada tanggal 1 Maret 1980. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putra dari pasangan Soekarno dan Siti Mulyati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Bayeun Aceh Timur pada tahun 1992 dan SLTP Bayeun Aceh Timur pada tahun 1995. Penulis melanjutkan sekolah menengah di SMA Negeri 3 Banda Aceh dan lulus pada tahun 1998.

Penulis diterima di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiahkuala, Banda Aceh lewat jalur UMPTN pada tahun 1998 dan lulus sebagai Sarjana Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian pada tahun 2005. Penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Mayor Teknologi Pasca Panen, Departemen Teknik Pertanian pada tahun 2008.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiahkuala, Banda Aceh sejak tahun 2006 sampai sekarang.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Buah Salak ... 4

B. Pascapanen Salak ... 7

C. Penyakit Pascapanen ... 9

D. Kerusakan Pascapanen ... 12

E. Pelapisan (Coating) ... 17

F. Penyimpanan Suhu Rendah ... 19

III. BAHAN DAN METODE ... 21

A. Tempat Dan Waktu Penelitian ... 21

B. Bahan Dan Alat ... 21

C. Metode Penelitian ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

A. Identifikasi Penyakit Pascapanen Salak Pondoh ... 31

B. Pengaruh Pelapisan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Laju Respirasi ... 36

C. Pengaruh Pelapisan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah ... 41

D. Pengaruh Pelapisan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Pertumbuhan Cendawan……….... 54

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 59


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Komposisi Kimia Daging Buah Salak (Setiap 100 Gr Daging Buah) ... 6

Tabel 2 Kelas Mutu Salak Berdasarkan SNI 3167 : 2009 ... 7

Tabel 3 Kandungan Gizi Salak Pondoh Super Dan Hitam ... 7

Tabel 4 Komponen Bioaktif Yang Terkandung Pada Aloe Vera L. ... 19

Tabel 5 Deskripsi Mutu Pada Skor Organoleptik ... 29

Tabel 6 Jenis Kapang yang Berkembang Pada Tahapan Pascapanen Salak Pondoh ... 31

Tabel 7 Analisa Mutu Salak Pondoh Pada Hari Ke-15 Penyimpanan ... 41

Tabel 8 Pengaruh Pelapisan Aloe Vera Dan Suhu Penyimpanan Terhadap Pertumbuhan Cendawan ... 55


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Buah Salak Pondoh ... 4

Gambar 2 Diagram Alir Penelitian Tahap 1 ... 23

Gambar 3 Diagram Alir Penelitian Tahap 2 ... 25

Gambar 4 Kapang Mucor Sp ... 32

Gambar 5 Kapang Aspergillus Sp ... 33

Gambar 6 Kapang Penicillium Sp ... 34

Gambar 7 Kapang Fusarium Sp ... 35

Gambar 8 Grafik Laju Konsumsi O2 Selama Penyimpanan ... 37

Gambar 9 Grafik Laju Produksi CO2 Selama Penyimpanan ... 39

Gambar 10 Perubahan Susut Bobot Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 42

Gambar 11 Perubahan Kekerasan Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 44

Gambar 12 Perubahan Kadar Air Daging Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 46

Gambar 13 Perubahan Total Padatan Terlarut (TPT) Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 48

Gambar 14 Nilai Organoleptik Tekstur Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 50 Gambar 15 Nilai Organoleptik Rasa Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan . 52


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Diagram Alir Pembuatan Gel Aloe Vera ... 67 Lampiran 2 Data Laju Konsumsi O2 ... 68

Lampiran 3 Analisa sidik ragam untuk laju konsumsi O2 ... 70

Lampiran 4 Data Laju Produksi CO2 ... 71

Lampiran 5 Analisa sidik ragam untuk laju produksi CO2 ... 73

Lampiran 6 Data Susut Bobot ... 74 Lampiran 7 Analisa sidik ragam untuk Susut Bobot ... 75 Lampiran 8 Data Kekerasan Salak Pondoh ... 76

Lampiran 9 Hasil analisa sidik ragam untuk kekerasan salak pondoh... 77

Lampiran 10 Data Kadar Air Daging Buah Salak Pondoh ... 78 Lampiran 11 Hasil analisa sidik ragam untuk kadar air buah salak pondoh ... 80

Lampiran 12 Total Padatan Terlarut (TPT) Salak Pondoh ... 82 Lampiran 13 Hasil analisa sidik ragam untuk TPT salak pondoh ... 84

Lampiran 14 Data Organoleptik Tekstur ... 86

Lampiran 15 Data Organoleptik Rasa ... 87

Lampiran 16 Hasil analisa sidik ragam untuk organoleptik tekstur ... 89 Lampiran 17 Hasil Analisa sidik ragam untuk organoleptik rasa ... 90


(17)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Buah salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) adalah komoditas indegenous Indonesia dan merupakan salah satu buah unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta dan juga telah dimasukkan sebagai unggulan nasional karena potensinya yang tinggi untuk dipasarkan dalam negeri, kemungkinan untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor, potensinya yang baik untuk agribisnis dan agroindustri, telah memberikan dampak positif terhadap pendapatan petani. Salak pondoh banyak diusahakan sebagai salah satu komoditi buah-buahan yang sedang dikembangkan, dimana produksi salak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2004 produksi salak nasional mencapai 800.975 ton dan meningkat menjadi 805.879 ton pada tahun 2007. Oleh karena itu salak tetap mendapat prioritas dikembangkan secara agribisnis terutama di daerah sentra produksi (Dirjen Hortikultura 2010). Namun, peningkatan produksi pada musim-musim tertentu ternyata menimbulkan permasalahan di bidang pemasaran, hal ini diperparah dengan sifat fisik buah yang tergolong mudah rusak.

Buah salak mempunyai sifat mudah rusak (perishable) dan berumur simpan pendek, hal ini didukung oleh iklim tropis yang panas dan lembab menyebabkan daya simpan buah salak segar akan sangat berkurang. Umumnya buah salak segar hanya dapat bertahan disimpan selama ± 12 hari pada suhu kamar. Kadar air yang cukup tinggi yaitu sebesar 78% dan kandungan karbohidrat sebesar 20.9 % menyebabkan salak lebih mudah busuk jika disimpan pada suhu ruang (Depkes RI 2000).

Buah salak setelah fase matang mengalami fase penuaan (senescence) yang disusul dengan kerusakan karena merosotnya ketahanan terhadap mikroba (kapang) pembusuk. Kerusakan dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, fisik, mikrobiologis dan fisiologis. Kerusakan mekanis yang sering terjadi adalah karena lecet, terkelupas dan memar, sedangkan kerusakan mikrobiologis terjadi akibat infeksi dan adanya aktivitas mikroorganisme, sedangkan kerusakan fisiologis disebabkan oleh reaksi metabolisme dalam bahan yang terjadi secara


(18)

alamiah sehingga mengakibatkan terjadinya pembusukan. Buah salak yang ditumbuhi kapang diakibatkan oleh luka atau memar pada buah salak, dengan adanya luka atau memar tersebut maka memudahkan mikroba (kapang) untuk masuk ke dalam daging buah salak sehingga mengakibatkan buah menjadi busuk. Penelitian yang telah dilakukan untuk mempertahankan kualitas dan memperpanjang umur simpan buah salak masih terbatas pada penggunaan bahan pengemas (Pudja 2009), penyimpanan pada suhu rendah (Mahendra & James 1993), atmosfer terkendali (Prabawati 1998), penyimpanan suhu rendah dan penggunaan sistem atmosfir termodifikasi (Noorhakim 1992) dan penggunaan zat kimia (Astuti 2007).

Untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan di sektor produksi perlu diimbangi dengan kemajuan di sektor pascapanen yaitu penanganan pascapanen. Hal ini mengingat bahwa buah salak, sebagaimana halnya produk biologis lainnya bersifat mudah rusak. Pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan selama penyimpanan akan menyebabkan kualitas buah salak menurun cepat sehingga umur simpannya menjadi pendek. Salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan buah segar adalah perlakuan dengan melapisi buah tersebut dengan pelapisan (coating) dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu rendah. Penentuan perlakuan perlu dilakukan setelah mengetahui jenis kapang yang menyerang pada buah tersebut sehingga penggunaan coating menjadi tepat digunakan untuk mempertahankan mutu buah salak pondoh. Menurut Baldwin et al. (1995), komposisi pelapisan (coating) yang tepat dapat berfungsi sebagai penahan (barrier) yang baik terhadap oksigen (O2), karbon dioksida (CO2) dan

uap air (H2O), sehingga bila diaplikasikan pada produk buah segar dapat

mempertahankan kesegaran dan mencegah terjadinya kerusakan.

Untuk memperpanjang umur simpan dan mencegah kerusakan tersebut juga dapat ditempuh dengan cara menghambat pematangan yaitu dengan menurunkan laju penyerapan oksigen dan pelepasan karbondioksida oleh buah salak, hal ini dapat dilakukan dengan teknik penyimpanan suhu rendah. Penyimpanan suhu rendah merupakan salah satu cara untuk menghambat penurunan mutu buah-buahan, karena akan mengurangi kelayuan akibat kehilangan air, penurunan laju reaksi kimia (termasuk laju respirasi) dan laju


(19)

pertumbuhan mikroba pada bahan yang disimpan (Watkins 1971). Semakin rendah suhu yang digunakan, semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba. Oleh sebab itu pada penelitian ini dicoba dilakukan pelapisan kulit buah salak menggunakan pelapisan (coating) dengan berbagai variasi konsentrasi dan penyimpanan pada suhu rendah untuk mempertahankan kualitas dan memperpanjang umur simpan buah salak pondoh segar.

B. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji pelapisan buah dan suhu penyimpanan untuk mencegah busuk buah pada salak pondoh, dengan tujuan khususnya yaitu :

1. Mengetahui jenis penyakit pada tahap penanganan pasca panen buah salak pondoh.

2. Melihat pengaruh pelapisan dan suhu penyimpanan terhadap mutu salak pondoh.

3. Melihat hubungan antara perubahan mutu salak dengan tingkat pertumbuhan cendawan.

Sesuai dengan tujuannya, maka dari penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat sebagai berikut:

1. Dapat mengetahui perlakuan yang digunakan untuk menangani penyakit pada tahap penanganan pasca panen buah salak pondoh.

2. Dapat mengetahui pengaruh pelapisan dan suhu penyimpanan terhadap mutu dan tingkat pertumbuhan cendawan pada buah salak pondoh.

3. Dapat diaplikasikan oleh para petani atau para pengusaha industri salak pondoh.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Buah Salak

Buah salak berasal dari tanaman salak (Salacca edulis Reinw.) yang tergolong dalam ordo Spadiciflorae, famili Palmae dan genus Salacca, termasuk tanaman hortikultura asli Indonesia (Setiadiredja 1982). Berikut adalah klasifikasi ilmiah salak:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Salacca Spesies : S. zalacca

Buah salak mempunyai bentuk bulat atau bulat segitiga, terdiri atas kulit, daging buah dan biji. Kulit salak tersusun atas sisik kulit berwama coklat, coklat kekuningan atau coklat kehitaman, dengan ujung sisik agak tajam. Daging buah salak berwama putih kekuningan atau putih kecoklatan, tidak berserat dan terdiri dari satu, dua atau tiga suku dengan atau tanpa anakan, yang masing-masing dilapisi kulit ari yang sangat tipis, hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1 Buah salak pondoh

Menurut Sabari (1983), nama yang diberikan pada jenis-jenis salak yang ada didasarkan atas beberapa cara, diantaranya dengan nama daerah asalnya, warna daging buah, warna kulit buah dan rasa daging buahnya. Nama salak menurut daerah asalnya inilah yang populer di masyarakat dan disebut kultivar (Suter 1988). Kultivar yang terkenal antara lain adalah salak Bali (Bali), salak


(21)

Condet (Jakarta), salak Gondanglegi (Malang) dan salak Manonjaya (Tasikmalaya). Jenis salak yang dinamakan berdasarkan warna kulit buahnya adalah salak Putih atau salak Gading. Jenis salak yang didasarkan atas rasa daging buahnya adalah salak Madu atau salak Kopyor dan salak Pondoh (Suter 1988).

Salak pondoh merupakan jenis salak yang paling terkenal di daerah Sleman, Yogyakarta. Daerah penghasil salak pondoh tersebar pada tiga kecamatan, yaitu Tempel, Turi dan Pakem, khususnya di desa Soka, Turi dan Candi. Keunggulan jenis salak ini dibandingkan dengan salak lain adalah buahnya manis meskipun masih muda dan gurih tanpa rasa sepat (Nuswamarhaeni et al. 1989). Hal ini dipengaruhi oleh komposisi kimianya, yaitu kandungan taninnya yang relatif kecil 0.08% dan kandungan gulanya yang relatif tinggi 23.30% dengan kandungan total asam yang kecil 0.32% (Sabari 1986). Sebagai perbandingan, salak Gula Pasir yang juga ditanam di Daerah Istimewa Yogyakarta, berasa manis dan juga tidak sepat mempunyai kandungan tanin 0.31%, kandungan gula 15.54% dan total asam 0.37% (Suter 1988), sedangkan salak Suwaru pada umur petik optimal mempunyai kandungan tanin 0.27 - 0.45%, kandungan gula 31.14 - 38.10% dan total asam 0.47 - 0.66% (Sulusi et al. 1996).

Komposisi kimia daging buah salak berubah dengan makin meningkatnya umur buah dan bervariasi menurut varietasnya. Salak pondoh mempunyai kandungan kimiawi yang relatif konstan pada umur 5 bulan sesudah penyerbukan. Pada saat ini kadar gulanya mencapai nilai tertinggi, sedangkan kadar asam dan taninnya adalah terendah. Oleh sebab itu, umur 5 bulan merupakan saat petik yang baik untuk konsumsi, karena pada saat itu buah rasanya manis dan rasa asamnya hampir tidak ada.

Buah salak mengandung kadar air yang cukup tinggi yaitu sebesar 78%, kandungan karbohidrat sebesar 20.9 % dan kandungan kalori 77%. Kandungan ini dalam jumlah yang cukup baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan dapat memenuhi kebutuhan kalori bagi tubuh manusia. Kandungan nutrisi buah salak seperti ditunjukkan pada Tabel 1 berikut :


(22)

Tabel 1 Komposisi kimia daging buah salak (setiap 100 gr daging buah)

Komponen Kandungan Gizi

Kalori 77.0 kalori

Air 78.0 gram

Protein 0.4 gram

Lemak 0.0 gram

Karbohidrat 20.9 gram

Kalsium 28.9 miligram

Fosfor 18.0 miligram

Besi 4.2 miligram

Vitamin C 2.0 miligram

Vitamin B1 0.04 miligram

Sumber : Depkes RI: 2000

Bila dibandingkan dengan tiga varietas yang lain, yaitu salak Sleman, salak Bali dan salak Condet, ternyata salak Pondoh mempunyai rasio gula asam yang tertinggi (72.81), disusul salak Sleman (52.44), salak Bali (41.47) dan yang terendah salak Condet 38.87 (Sabari 1983). Bentuk penampilan salak Pondoh juga agak berbeda dibandingkan buah salak yang lain, yaitu mendekati bundar, ukurannya relatif kecil (30 - 100 gram), teksturnya lebih keras, warna dagingnya lebih putih tetapi warna kulitnya lebih hitam (Hastuti & Ari 1988).

Pada saat ini dikenal ada 5 macam salak Pondoh, yaitu salak Pondoh Hitam, salak Pondoh Merah, salak Pondoh Merah Hitam, salak Pondoh Kuning dan salak Pondoh Merah Kuning (Setiadi 1989). Salak Pondoh Hitam mempunyai warna kulit paling gelap, bentuk paling bulat, ukuran relatif kecil namun mempunyai rasa paling manis. Menurut Nuswamarhaeni et al. (1989), salak Pondoh Hitam mempunyai warna yang tidak menarik tetapi mempunyai rasa paling enak.

Standar Mutu Salak

Berdasarkan standar mutu salak yang tercantum dalam SNI 3167 : 2009 maka salak dibagi atas 2 (dua) kelas mutu, yaitu kelas A dan kelas B, hal ini dapat dlihat pada Tabel 2, dimana pemutuan ini berdasarkan tingkat kandungan didalam buah salak pondoh. Ukuran berat dibagi atas ukuran besar untuk salak yang berbobot 61 gram atau lebih per buah, ukuran sedang berbobot 33 – 60 gram/ buah, dan ukuran kecil berbobot 32 gram atau kurang per buah.


(23)

Tabel 2 Kelas mutu salak berdasarkan SNI 3167 : 2009

Tingkat kelas A kelas B

Ketuaan Seragam tua Kurang seragam

Kekerasan Keras Keras

Kerusakan Kerusakan kulit buah Utuh Kurang utuh

Ukuran Seragam Seragam

Busuk (bobot/bobot) 2% 5%

Kotoran Bebas Bebas

Toleransi Mutu 10% 10%

Sumber : SNI 2009

Kandungan gizi jenis salak pondoh super dan salak pondoh hitam berdasarkan hasil analisis laboratorium dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3 Kandungan gizi salak pondoh super dan hitam No Jenis Salak

Pondoh

Kadar gula total (%)

Kadar asam (mg/l00g)

Vitamin C mg/100g

1 Hitam 16.44 0.707 8.42

2 Super 15.62 0.781 8.53

Dari tabel diatas terlihat bahwa gula salak pondoh hitam lebih tinggi dari pada salak pondoh super, namun kadar asam dan vitamin C salak pondoh super lebih tinggi.

B. Pascapanen Salak

1) Penanganan Panen dan Pasca Panen (Segar) Buah Salak Pondoh

Buah salak dipanen dengan cara memotong tangkai tandan dengan menggunakan sabit, pisau yang tajam atau gergaji. Buah salak termasuk buah non klimakterik sehingga hanya dapat dipanen jika benar-benar telah matang di pohon, yang ditandai dengan sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, bulu-bulu di kulit telah hilang, bila dipetik mudah terlepas dari tangkai dan beraroma salak. Panen dilakukan dalam keadaan cuaca kering (tidak hujan) pada pagi hari (pukul 9–10 pagi) saat buah sudah tidak berembun. Jika panen dilakukan pada saat terlalu pagi dan buah masih berembun maka buah akan mudah kotor dan bila luka sangat rentan terserang penyakit. Bila panen dilakukan pada siang hari, buah akan mengalami penguapan sehingga susut lebih banyak, sedangkan bila pada sore hari dapat berakibat lamanya waktu menunggu, kecuali harus bekerja pada malam hari (Sabari 1983).


(24)

Salak dipanen saat berumur 5–6 bulan setelah berbunga. Untuk salak pondoh, panen raya terjadi pada periode November – Januari, masa panen sedang terjadi pada Mei – Juli, masa panen kecil pada periode Februari – April, dan masa istirahat (kosong) terjadi pada periode Agustus – Oktober. Buah yang masih dapat dipanen pada masa istirahat disebut buah “slandren” (Arief 2003). Buah salak pondoh sebenarnya dapat dipanen sebelum berumur 5 bulan (setelah berbunga) karena rasanya sudah manis dan tidak sepat meski masih muda, namun akan diperoleh buah berukuran kecil dan beraroma lemah karena komponen penyusun aroma buah salak belum terbentuk optimal (Suhardjo et al. 1995).

2) Pengumpulan dan Pembersihan

Buah salak yang dipanen dimasukkan ke dalam keranjang bambu atau peti kayu yang diberi alas daun-daunan. Beberapa petani maju menggunakan peti plastik jenis HDPE (high density polyethylene) untuk membawa salak dari kebun ke kios atau toko yang sekaligus sebagai tempat pengumpulan dan pengemasan. Buah salak diletakkan di tempat yang teduh, seperti di bawah pohon atau naungan, untuk melindungi dari sengatan matahari yang dapat meningkatkan suhu buah salak sehingga mempercepat kerusakan (Suhardjo et al. 1995).

Kebersihan salak berpengaruh terhadap masa simpan buah salak. Tandan salak sering diletakkan dekat dengan permukaan tanah sehingga kotoran dapat menempel pada buah salak dan menyebabkan binatang-binatang kecil yang menyukai tempat lembab sering bersembunyi di antara buah dalam tandan. Pembersihan buah salak dilakukan dengan menyikat buah menggunakan sikat ijuk atau plastik dengan gerakan searah susunan sisik (Suhardjo et al. 1995) sehingga buah salak bersih dari kotoran dan sisa-sisa duri, bersamaan dengan pembersihan dapat dilakukan sortasi dan pemutuan (grading).

3) Sortasi dan Pemutuan

Sortasi bertujuan memilih buah yang baik, tidak cacat, dan dipisahkan dari buah yang busuk, pecah, tergores atau tertusuk. Selain itu berguna untuk membersihkan buah salak dari kotoran, sisa–sisa duri, tangkai dan ranting. Khusus pada salak bali untuk tujuan pasar lokal tidak dilakukan sortasi (Damayanti 1999). Pemutuan bertujuan menyeragamkan ukuran dan mutu buah


(25)

sehingga mendapatkan harga jual yang lebih tinggi. Sebelum dikemas dalam karung anyaman pandan.

Untuk pasar ekspor, persyaratan mutu lebih tinggi dengan mengikuti standar yang ditetapkan pembeli luar negeri. Pasar Eropa menetapkan persyaratan keutuhan buah, kesegaran, kehalusan permukaan kulit buah, bebas dari kerusakan fisik, bahan kima, mikrobiologis ataupun bau asing, derajat ketuaan yang tepat dan keadaan yang baik sampai tujuan (Suhardjo et al. 1995).

4) Penyimpanan

Penyimpanan yang dilakukan petani atau pedagang hanya bersifat sementara dan dilakukan di lapangan. Petani dan pedagang belum melakukan kegiatan penyimpanan yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan buah salak sebelum dipasarkan. Buah yang telah disortasi dan digolongkan dikemas ke dalam karung anyaman pandan atau keranjang menunggu dimuat ke sarana pengangkutan.

C. Penyakit Pascapanen

Penyakit pascapanen selalu menjadi kendala di semua produk hortikultura karena keberadaan penyakit pascapanen sangat menentukan tujuan akhir produk yang disimpan atau dijual. Akibat yang ditimbulkan karena adanya penyakit pascapanen sangat beragam dan menentukan besarnya kehilangan pascapanen, serta dapat menurunkan pendapatan produsen atau petani. Selain itu, adanya pe-nyakit pascapanen pada produk setelah dipanen akan berpengaruh terhadap banyak hal, terutama pada konsumen. Oleh karenanya, perlu diambil tindakan untuk mengendalikan penyakit pascapanen, yaitu berupa pencegahan terhadap munculnya penyakit yang dapat dilakukan sejak dini.

Busuk buah merupakan masalah serius didalam penanganan dan proses pascapanen. Busuk buah dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya lentisel, kandungan kalsium, susunan dinding sel, ukuran dan kemasakan buah saat dipanen, senyawa fenol, pengelolaan kebun, dan kondisi ruang simpan. Masing-masing faktor mempunyai peranan tersendiri di dalam menyebabkan buah busuk. Kondisi ruang simpan sangat menentukan daya simpan buah dan terhindarnya dari pembusukan. Kondisi ruang simpan yang baik dan sesuai akan memperkecil


(26)

tingkat pembusukan buah. Perlakuan pascapanen sangat menentukan daya tahan buah terhadap patogen. Buah atau sayur yang telah dipanen yang tidak diperlakukan dengan perlakuan tertentu, akan memperpendek umur optimum produk tersebut. Maka untuk produk pascapanen dalam skala kecil tidak memerlukan alur panjang sampai ke konsumen, sehingga petani akan langsung menjual produknya di pasar lokal (Soesanto 2006).

Berikut ini dikemukakan masing-masing faktor, kaitannya dengan tingkat keparahan penyakit pascapanen.

1) Mikroba Patogen

Mikroba patogen mudah ditemukan, baik selama buah berada di tanaman maupun di dalam ruang simpan. Meskipun demikian, hanya beberapa jenis patogen yang mampu tumbuh dan berkembang, serta menimbulkan kerusakan pada produk pascapanen. Pertumbuhan mikroba patogen pascapanen sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, khususnya suhu, pH, nutrisi, dan kandungan air yang harus tersedia. Suhu sangat berperanan dalam pertumbuhan dan perkembangan jamur patogen pascapanen (Soesanto 2006).

Adanya lapisan air di permukaan buah akan menyebabkan tingginya kelembapan di sekitar buah dan hal ini mampu menyebabkan konidium atau spora kapang untuk aktif tumbuh dari periode tak bergerak. Status fisiologi inang mempengaruhi serangan patogen, terutama dikaitkan dengan kadar air (Soesanto 2006). Selanjutnya, patogen memerlukan nutrisi untuk pertumbuhannya. Nutrisi tersebut keluar dari sel yang rusak di daerah luka. Sementara, untuk patogen yang menginfeksi melalui lentisel, kebutuhan nutrisinya dipasok dari nutrisi yang keluar dari sel di sekeliling lentisel, khususnya setelah rusak, dalam kondisi anaerob, atau saat penuaan jaringan (Soesanto 2006).

Perkembangan penyakit pascapanen tergantung pada kemampuan patogen untuk menghasilkan enzim, yang mengakibatkan hilangnya kekompakan jaringan dan pemisahan sel tunggal. Pektat polisakarida terutama menyusun bahan antarsel yang menyatukan dinding sel tanaman. Oleh karenanya, sel dari jaringan yang terurai tersebut meningkat permeabilitasnya dan mati, dan memungkinkan merembesnya hasil metabolisme inang yang digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan patogen (Soesanto 2006).


(27)

2) Interaksi Inang

Setiap jenis buah dan sayur hanya diserang oleh kelompok jamur parasit dan kemungkinan oleh bakteri, yang unik dan relatif kecil. Kelompok ini

memerlukan persyaratan nutrisi dan kemampuan enzimatis untuk

perkembangannya di dalam jaringan inangnya. Kerentanan buah dan sayur sangat dipengaruhi oleh pematangan pada saat panen dan seterusnya oleh perubahan fisiologi yang terjadi. Hasil penelitian Amiarsi et al. (1996) menunjukkan bahwa kerusakan buah salak meningkat dengan bertambahnya umur simpan. Kerusakan tersebut sebagai akibat keaktifan mikroba yang dikenal dengan penyakit busuk lunak karena jamur Thielaviopsis sp. Salak juga menjadi lebih rentan terhadap Botrytis pada suhu 5°C dan meningkat dengan makin lamanya penyimpanan (Soesanto 2006).

3) Lingkungan

Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi baik tanaman maupun patogennya. Penanganan pascapanen terbaik yang perlu dilakukan untuk memelihara produk buah dan sayur segar adalah 1) mengelola produk dalam kondisi optimum untuk konsumsi, dan 2) mencegah serangan patogen.

Konsep segitiga penyakit, yang secara umum dikenal di dunia penyakit tanaman, berlaku juga dalam penyakit pascapanen karena terkait dengan berat ringannya tingkat keparahan penyakit pascapanen. Faktor penentu tingkat keparahan penyakit pascapanen tersebut berperan penting dalam menentukan timbul dan berkembangnya penyakit pascapanen, baik selama di penyimpanan maupun di pemasaran. Penyakit pascapanen sangat menentukan kelangsungan produk tanaman setelah dipanen, sehingga perlu diketahui macam faktor yang berperan dalam menentukan keparahan penyakit pascapanen tersebut (Soesanto 2006).

D. Kerusakan Pascapanen

Buah salak pondoh yang telah dipanen dapat mengalami kerusakan. Pengertian rusak menurut Suter (1988), yaitu bila buah menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indera, seperti buah sudah layu, ditumbuhi jamur yang tampak secara visual,


(28)

berbau busuk, buah menjadi lunak dan berair serta tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Kerusakan pada buah salak dapat terjadi mulai pada saat pemanenan, setelah pemanenan dan pada saat penyimpanannya.

1) Kerusakan Saat Pemanenan

Pemanenan salak dilakukan dengan cara memotong tangkai tandan dengan menggunakan sabit. Pada saat pemanenan ini dapat terjadi kerusakan luka pada buah salak. Jenis kerusakan yang terjadi berupa kerusakan mekanis seperti luka terpotong, kerusakan fisiologis berupa pecah kulit dan kerusakan mikrobiologis berupa busuk.

Kerusakan mekanis yang terjadi pada saat pemanenan adalah terjadinya luka terpotong pada kulit buah salak. Akibat luka ini sebagian kulit buah akan terkelupas dan daging buahnya akan tampak atau dapat pula sebagian daging buah terpotong oleh sabit. Kerusakan pada saat pemanenan ini sangat jarang terjadi karena petani melakukan pemanenan secara hati-hati dan petani sudah terbiasa melakukan pemanenan. Kerusakan pada buah salak dapat pula terjadi sebelum salak-salak tersebut dipanen, seperti kerusakan fisiologis berupa pecah kulit pada buah salak. Buah salak yang mengalami pecah kulit juga mengakibatkan daging buah tampak dari luar. Bagian daging buah yang tampak memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan warna daging buah yang masih tertutup oleh kulit (Suter 1988).

Kerusakan buah pecah kulit menurut Suter (1988) kemungkinan disebabkan karena tidak seimbangnya perkembangan daging buah dengan kulit buahnya. Keadaan ini dapat terjadi akibat penundaan saat pemanenan pada buah salak sehingga buah salak sudah terlalu tua. Sebelum buah dipanen juga dapat terjadi kerusakan mikrobiologis akibat serangan jamur. Kerusakan ini dapat terjadi bila buah salak di pohon menempel pada permukaan tanah atau buah salak tertutup oleh tanah. Kerusakan ini mengakibatkan buah busuk ketika masih berada dí pohon karena serangan jamur yang berasal dari tanah. Untuk mencegah kerusakan mikrobiologis ini petani umumnya selalu mernbersihkan dan menjaga buah salak di pohon agar tidak tertutup oleh tanah (Soesanto 2006).


(29)

2) Kerusakan Setelah Pemanenan

Jenis kerusakan yang dapat terjadi setelah pemanenan adalah kerusakan mekanis berupa luka pada kulit buah dan memar pada daging buah. Kerusakan mekanis pada buah salak setelah pemanenan dapat terjadi pada saat penanganannya, yaitu ketika dilakukan pembersihan kotoran pada permukaan kulit buah salak dan ketika meletakkan salak ke dalam wadah penyimpanan berupa keranjang dan peti kayu (Wiyana 2006).

Pada kulit buah salak sering terdapat kotoran berupa tanah atau pun dedaunan yang menempel. Keadaan ini disebabkan karena buah salak tumbuh didekat permukaan tanah, yaitu sekitar 5 cm bahkan ada pula buah salak yang letaknya menempel pada permukaan tanah. Ketika dilakukan pembersihan pada permukaan kulit buah salak dan ketika salak dimasukkan dalam kemasannya dapat terjadi pelepasan buah dari tandannya secara tidak disengaja. Pelepasan buah dari tandan ini dapat mengakibatkan terjadinya luka pada bagian pangkal buah berupa terkelupasnya kulit buah salak, sehingga sebagian daging buah salak akan tampak (Wiyana 2006).

Selain terjadinya luka pada bagian pangkal buah, juga dapat terjadi kerusakan berupa memar pada buah salak akibat terjatuhnva buah, benturan antara buah salak dengan buah salak dan benturan antara buah salak dengan kemasannya. Kerusakan memar pada buah salak ditandai dengan terbentuknya bagian yang lunak pada daging buah salak. Apabila kulit buah salak yang memar dikupas, maka akan tampak daging buah yang berwarna lebih gelap dibandingkan dengan warna daging buah sekitarnya (Wiyana 2006).

3) Kerusakan Penyimpanan

Jenis kerusakan yang terjadi pada saat penyimpanan berupa kerusakan fisiologis seperti pencoklatan serta kerusakan mikrobiologis berupa busuk dan pertumbuhan jamur. Kerusakan penyimpanan salak pondoh tidak terjadi di kalangan petani, tetapi umumnya terjadi di kalangan pedagang (Winarno & Wiranatakusumah 1981).

Pelunakan pada daging buah menurut Winarno dan Wiranatakusumah (1981) dan Wills et al. (1981) disebabkan karena protopektin, yaitu pektin yang tidak dapat larut dalam air jumlahnya menurun karena diubah menjadi pektin yang


(30)

dapat larut dalam air, sehingga ketegaran sel berkurang. Protopektin pada buah-buahan dan sayuran terdapat di dalam lapisan antar sel dan dinding sel pertama dari buah (Winarno & Wiranatakusumah 1981).

Pada buah yang sudah lunak ada yang terbentuk warna coklat pada daging buahnya. Pembentukan warna coklat pada daging buah ini dimulai pada bagian pangkal buah. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya reaksi browning enzimatis pada bagian pangkal buah tersebut. Karena adanya rongga udara yang lebih besar pada bagian pangkal buah dibandingkan dengan bagian buah lainnya, rongga udara ini dapat mengoksidasi senyawa fenolik pada buah secara enzimatis membentuk senyawa ortoquinon, yang selanjutnya akan berpolimerisasi membentuk pigmen coklat atau melanin. Enzim yang mengkatalisa oksidasi ini umumnya dikenal sebagai fenolase, polifenol oksidase. tirosinase atau catecholase. Adanya senyawa fenolik, enzim dan oksigen mutlak diperlukan untuk terjadinya reaksi pencoklatan tersebut dinamakan reaksi browning enzimatis (Muchtadi 1978).

4) Tanda-Tanda Kerusakan

Kerusakan yang terjadi pada buah salak saat pemanenan. setelah pemanenan dan selama penyimpanan dapat digunakan sebagai acuan dasar pada penentuan kerusakan salak selama penyimpanan pada penelitian tahap II.

Kerusakan yang terjadi pada salak saaat pemanenan dan setelah pemanenan dijadikan dasar untuk memilih salak yang akan disimpan pada penelitian tahap II. Sehingga salak yang digunakan hanyalah salak yang baik, yaitu bentuk buah masih utuh. tidak ada cacat pada kulit buah, daging buah masih keras. beraroma salak dan tidak ditumbuhi jamur.

Sedangkan kerusakan penyimpnanan digunakan sebagai dasar penentuan umur simpan salak pondoh. Salak dikatakan rusak selama penyimpanan bila telah terdapat sátu atau lebih dari tanda-tanda salak yang rusak berikut ini, yaitu (1) terbentuknya warna coklat pada daging buah salak. (2) terbentuknya aroma salak yang menyimpang atau berbau alkohol, (3) terdapat pertumbuhan jamur pada kulit buah serta (4) daging buah menjadi lunak dan (5) busuk.


(31)

5) Mekanisme Terjadinya Busuk Buah Salak Pondoh

Kerusakan buah salak pondoh ternyata disebabkan pertama oleh faktor mekanis seperti benturan diantara buah salak itu sendiri, buah dengan wadah, gesekan, tekanan dan buah terjatuh dari tandannya. Bahkan Suter (1988) menyatakan bahwa kerusakan mekanis buah salak terjadi karena kurang hati-hati pada saat pemanenan, pengumpulan buah, pengemasan dan pengangkutan. Kedua, faktor fisiologis seperti respirasi yang secara alami senantiasa berlangsung sejak tandan buah tersebut dipangkas dari pohonnya sampai saat penyimpanan buah salak dilakukan. Ketiga, faktor mikrobiologis seperti lingkungan kebun yang tidak bersih menyebabkan banyak mikrobia khususnya jamur berpeluang untuk mengkontaminasi buah salak terutama dari bagian pangkal buah setelah buah salak tersebut terlepas dari bagian tandannya. Selain ketiga faktor diatas, penyebab kerusakan buah salak adalah faktor biologis seperti serangan serangga atau hama tikus yang menyukai buah salak masak. Penundaan pemanenan dalam upaya untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi justru menyebabkan buah salak kelewat masak dan sebagian kulitnya pecah baik secara melintang atau membujur, dengan demikian kualitas buah salak menjadi turun.

Berbagai faktor tersebut diatas terbukti sebagai pemicu timbulnya luka, memar, pecah kulit, berjamur, busuk dengan bau menyengat, terjadi perubahan warna, buah menjadi layu dan kering seperti yang diungkapkan oleh Ryall dan Lipton (1983). Luka dan memar dapat memacu timbulnya kerusakan lain seperti kerusakan fisiologis dan mikrobiologis karena pada bagian yang luka atau memar akan terjadi perubahan warna daging buah menjadi coklat dan invasi mikrobia sehingga setelah pencoklatan daging buah berlangsung segera diikuti pembusukan. Berbagai jenis kerusakan buah salak tersebut ternyata berlangsung sejak di kebun atau saat panen, di tingkat pedagang pengepul dan selama penyimpanan 7 hari dalam besek bambu pada suhu 22°C – 26°C.

6) Perubahan Warna Coklat pada Daging Buah

Apabila buah salak yang memar atau luka tersebut lolos dari tahapan sortasi dan masuk pada tahap penyimpanan, maka daging buah salak akan berubah warnanya secara cepat dari krem atau kuning susu menjadi coklat.


(32)

Perubahan warna pada buah salak yang luka terjadi setelah luka berlangsung 1 jam, dan untuk buah salak memar maka pencoklatan daging buah baru berlangsung secara nyata 1 hari setelah peristiwa memar berlangsung. Perubahan warna tersebut sebenarnya lebih disebabkan oleh aktivitas enzim polifenol oksidase yang mengubah senyawa polifenol menjadi melanin yang berwarna coklat (Eskin et al. 1971). Perubahan warna daging buah salak tersebut diperkuat oleh Haard (1985) yang menyatakan bahwa jalur asam suksinat dimulai dari reaksi erithrosa-4-fosfat dengan fosfoenol piruvat melalui beberapa senyawa antara menjadi asam shikinat, quinat, klorogenat, asam amino aromatik, lignin, pigmen flavonoid dan substrat fenolase. Enzim fenolase (polifenoloksidase) dapat mengkatalisis oksidasi senyawa polifenol menjadi quinon dan selanjutnya mengalami polimerisasi menjadi melanoidin berwarna coklat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan ternyata penundaan pemanenan terlalu lama dapat pula menyebabkan warna coklat pada bagian punggung daging buah salak pondoh.

7) Kisut dan Kering

Proses respirasi dan transpirasi yang berlangsung secara alamiah di dalam buah setelah panen dapat menyebabkan perubahan sifat fisiko-kimia selama penyimpanan yang meliputi kenampakan, kadar air, pH, asam organik, vitamin C, gula reduksi, tannin dan tekstur buah. Perubahan tersebut dapat menurunkan kualitas buah salak segar dan secara visual salak tampak layu, keriput dan kering. Hal demikian juga dijumpai pada penelitian yang ditakukan oleh Mahendra et al. (1993) yang menyatakan bahwa makin cepat aliran udara dan makin rendah kelembaban maka proses respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat sehingga buah cepat menjadi lunak, layu, mengkerut dan pada akhirnya menyebabkan susut berat.

8) Berjamur dan Busuk

Kerusakan oleh mikrobia menyebabkan buah salak berjamur, busuk, lunak dan berair disertai bau menyengat, Kontaminasi mikrobia pada buah salak terutama disebabkan oleh jamur yang menyerang kulit buah, pangkal buah atau bagian buah yang luka dan memar. Menurut Kusumo et al. (1995) buah salak


(33)

dapat diserang jamur Ceratocystis paradosa yang berwarna hitam atau Fusarium sp. yang berwarna putih. Disamping jamur, daging buah salak dapat pula diserang oleh khamir, dan menurut Pitt dan Hocking (1985), khamir yang biasanya merusak buah-buahan segar adalah jenis Klockera apiculata atau jenis Rhodotorula sp, Sementara itu Suter (1988) menduga bahwa khamir yang menyerang buah salak adalah jenis Candida sp. dan Saccharomyces sp, Murtiningsih et al. (1996) mengemukakan bahwa buah salak khususnya jenis Condet, Pondoh dan Suwaru banyak terinfeksi oleh mikrobia patogen Thielaviopsis sp.

E. Pelapisan (Coating)

Teknik pengawetan buah dan sayuran dengan penggunaan coating sebenarnya sudah dilakukan sejak abad ke-13 di China dimana buah-buahan pada zaman itu dicelupkan kedalam cairan lilin panas dengan tujuan fermentasi. Kini, aplikasi coating digunakan pada buah-buahan dan sayuran untuk mengurangi terjadinya kehilangan kelembaban, memperbaiki penampilan, berperan sebagai barrier yang baik (bersifat selective permeable)untuk pertukaran gas dari produk ke lingkungan atau sebaliknya, serta memiliki fungsi sebagai antifungal dan antimikroba (Krochta et al. 1994). Selain untuk memperpanjang umur simpan, film atau selaput banyak digunakan karena tidak membahayakan kesehatan manusia, dapat dimakan serta mudah diuraikan alam (biodegradable). Beberapa coating komersial yang tersedia umum berbagai warna dan juga diperkaya dengan vitamin serta zat-zat gizi lainnya untuk melakukan perbaikan gizi tanpa merusak keutuhan produk pangan (Rimadianti 2007)

Menurut Donhowe dan Fennema (1994), metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran terdiri dari beberapa cara, yakni metode pencelupan (dipping), pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode dipping merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama untuk sayuran, buah, daging, dan ikan, dimana melalui metode ini produk akan dicelupkan kedalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating. Menurut Krochta et al. (1994), secara umum ada tiga kelompok materi yang biasa digunakan untuk pembuatan film atau coating, yakni protein, polisakarida, dan lipid (termasuk lilin, emulsifier, serta turunannya).


(34)

Menurut Andriana (2000) pelapisan menggunakan isolat protein 0.5% dan asam lemak stearat palmitat 0.5% pada buah salak pondoh terolah minimal cenderung memperlambat penurunan kadar air sebesar 0.64% pada suhu 5°C, memperlambat penyusutan bobot sebesar 0.08% pada suhu 5°C, memperlambat penurunan total gula sebesar 0.35% pada suhu 5oC, dan memperlambat pelunakan sebesar 4.01% pada suhu 5°C. Suhu penyimpanan yang terbaik untuk salak pondoh terolah minimal dengan coating adalah pada suhu penyimpanan 5°C dengan kelembaban 65-70%. Pada kondisi ini umur simpan buah salak dapat diperpanjang sampai dengan 10 hari penyimpanan dibandingkan dengan suhu kamar yang tahán hingga 2 hari penyimpanan.

Menurut Wrasiati et al. (2001) Pelapisan lilin pada perrnukaan kulit buah salak Bali dapat memperpanjang umur simpan buah salak yang semula 7 hari menjadi 12 hari dan dapat mempertahankan kualitas salak Bali segar karena dapat menghambat susut bobot, kehilangan air dan pembentukan gula reduksi serta mempertahankan pH, total asam organik, vitamin C, dan tanin selama penyimpanan. Pelapisan lilin dengan konsentrasi 10% memberikan hasil terbaik terhadap kualitas salak Bali dengan tingkat kerusakan kurang dari 20%, dan waktu penyimpanan paling lama yaitu 12 hari.

Produksi senyawa fenol sangat berkaitan erat dengan perkembangan pembusukan dan juga bertalian dengan perkembangan ketahanan buah. Senyawa fenol di dalam buah akan menurun dengan meningkatnya pemasakan buah dan meningkatnya kerentanan buah. Selain itu, senyawa fenol juga berperan dalam kenampakan dan tekstur buah busuk. Seperti halnya busuk buah pada salak pondoh

Menurut Krochta et al. (1994), secara umum ada tiga kelompok materi yang biasa digunakan untuk pembuatan pelapisan atau coating, yakni protein, polisakarida, dan lipid (termasuk lilin, ernulsifier, serta turunannya).

Gel Aloe vera berpotensi untuk diaplikasikan dalam teknologi pelapisan (coating), karena gel tersebut terdiri dari polisakarida yang mengandung banyak komponen fungsional yang mampu menghambat kerusakan pasca panen produk pangan segar, seperti acemannan yang memiliki aktivitas antiviral, antidiabetes, antikanker, dan antimikroba, serta meningkatkan proliferasi sel-sel yang terluka.


(35)

Selain itu, gel Aloe vera juga mampu menjaga kelembaban dengan cara mengontrol kehilangan air dan pertukaran komponen-komponen larut air (Reynolds & Dweck 1999). Struktur gel aloev yang alami sebagai gel sehingga mudah untuk diaplikasikan sebagai pelapis (coating) dengan harga yang murah. Fungsionalitas zat terkandung dalam Aloe vera L. ini juga makin diperkuat dengan adanya penelitian dari Mousa et al. (1999), yang menyatakan bahwa gel tanaman ini bersifat anti-fungal terhadap Penicillium digitatum, Penicillium expansum, Botrytis cinerea, Alternaria alternate, Aspergillus niger, C. herbarum, dan Fusarium monthforme. Komponen bioaktif yang terkandung dalam Aloe vera L. dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komponen bioaktif yang terkandung pada Aloe vera L.

Komponen bioaktif Fungsionalitas

Acemannan Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker,

anti-virus, UV sunburn

Glikoprotein Anti-diabetes, anti-kanker

Aloe emodin Anti-kanker, anti-mikroba

Lectin Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker

Barbaloin dan komponen fenolik Anti-mikroba

Alomicin Anti-kanker

Sumber : Reynolds dan Dweck (1999).

F. Penyimpanan Suhu Rendah

Suhu merupakan salah satu faktor yang berperanan penting dalam proses kerusakan bahan pangan, karena suhu dapat mempengaruhi kelayuan dan laju kehilangan air, laju respirasi dan kecepatan reaksi biokimia serta laju pertumbuhan mikroba. Penyimpanan suhu rendah atau penyimpanan dingin pada umumnya menggunakan suhu di bawah 15°C dan di atas titik beku. Pada suhu tersebut penurunan mutu buah-buahan akan dapat dihambat, karena terhambatnya laju kehilangan air, laju respirasi dan reaksi biokimia serta laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang disimpan.

Pada suhu rendah, aktivitas metabolisme pascapanen menjadi berkurang dan perubahan kimia berlangsung lambat (Borgstorm 1968). Penyimpanan dingin pada prinsipnya bertujuan menekan laju respirasi dan transpirasi sehingga proses ini berjalan lambat dan sebagai akibatnya daya simpan bahan pangan diperpanjang dengan susut bobot minimal dan mutu masih baik (Sudibyo 1979). Penyimpanan buah salak pondoh pada suhu rendah terbukti dapat memperpanjang


(36)

masa simpannya. Hastuti dan Ari (1988) melaporkan bahwa penyimpanan salak pondoh dalam bentuk tandanan pada suhu dingin (10-12°C) dalam kantung plastik berlubang seluas 0.5% dan 1% dapat memperpanjang masa simpan salak pondoh masing-masing menjadi 33 hari dan 27 hari.

Metabolisme jaringan yang hidup merupakan fungsi dari suhu di sekelilingnya (Dwidjoseputro 1992). Suhu yang lebih rendah sangat menghambat metabolisme, sehingga sangat efektif dalam mengurangi laju respirasi. Muchtadi (1992) mengemukakan penyimpanan pada suhu rendah diperlukan untuk komoditas sayuran yang mudah rusak, karena cara ini dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme, mengurangi laju penuaan akibat adanya pematangan, pelunakan serta tekstur dan warna dapat mengurangi kerusakan karena aktivitas mikroba.

Budiastra dan Purwadaria (1993) mengemukakan tujuan penyimpanan dengan suhu rendah adalah untuk memperpanjang masa kesegaran sayuran dan buah-buahan guna menjaga kesinambungan pasokan, menciptakan stabilitas harga dan mempertahankan mutu. Dalam melaksanakan penyimpanan pada suhu dingin perlu dilakukan pada suhu yang tepat karena ada kemungkinan terjadinya kerusakan kommoditi akibat suhu dingin (chilling injury).


(37)

III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Mikrobiologi di Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi - IPB. Sebelumnya dilakukan penelitian lapangan pada perkebunan salak di daerah Turi Sleman - Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menentukan sampel yang akan digunakan yang dapat mewakili populasi salak pondoh hitam yang ada. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan, dari Februari 2010 sampai dengan Mei 2010.

B. Bahan dan Alat

Bahan utama yang dipergunakan adalah buah salak kultivar pondoh jenis hitam yang diperoleh dari perkebunan rakyat di daerah Turi - Sleman, Yogyakarta, Aloe vera dan gas (O2, CO2, N2). Peralatan yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain: Gas Analyzer Shimadzu untuk mengukur konsentrasi gas O2 - CO2, Rheometer untuk mengukur kekerasan, Refraktometer untuk

mengukur total padatan terlarut, wadah berupa stoples untuk penyimpanan salak pondoh segar, ruang pendingin, mikroskop serta alat penunjang penelitian lainnya.

C. Metode Penelitian

Penelitian terdiri atas dua tahap yaitu tahap identifikasi jenis kapang pada busuk buah pada salak pondoh dan tahap aplikasi perlakuan pelapisan buah dan suhu penyimpanan salak pondoh. Sampel salak yang digunakan diambil dari setiap tahapan pasca panen yang biasa dilakukan oleh petani, yaitu pemanenan dengan menyertakan tandan, sortasi dan pembersihan, penyimpanan sebelum ditransportasikan (penyimpanan sela di petani pengumpul sekitar 2 hari) dan transportasi (1 hari). Pada setiap tahapan pasca penen, diambil sampel salak untuk kemudian diidentifikasi untuk mengetahui jenis kapang. Hasil identifikasi tersebut kemudian dikaji upaya penanganannya untuk mencegah kemungkinan berkembangnya penyakit. Secara garis besar penelitian ini dibagi dalam 2 tahap, yaitu:


(38)

Tahap 1 : Identifikasi Penyakit Pascapanen Pada Busuk Buah Pada Salak Pondoh

Isolasi dan identifikasi kapang. Isolasi dilakukan dengan teknik direct plating (Fardiaz 1992; Hocking & Pitt 1979), yaitu dengan meletakkan satu potongan kecil (10 gram) sampel buah salak pondoh di atas permukaan medium potato dextrosa agar (PDA) yang telah ditambah tetrasiklin (500 mg/l) dalam cawan petri. Isolat-isolat kapang kemudian ditumbuhkan pada media identifikasi PDA, kemudian diinkubasi selama tujuh hari pada suhu 30oC. Observasi dilakukan dengan mengamati koloni berdasarkan bentuk, tekstur dan warna, serta mengamati struktur reproduksi secara mikroskopis. Hasil pengamatan difoto atau digambar tangan, lalu diidentifikasi dengan buku-buku identifikasi dari Pitt dan Hocking (1979) dan Fardiaz (1992). Hasil identifikasi dapat dijadikan sebagai acuan pengambilan keputusan tindakan aplikasi yang akan dilakukan dalam penanganan pascapanen salak pondoh segar terhadap pengendalian pertumbuhan cendawan (Gambar 2)


(39)

Gambar 2 Diagram Alir Penelitian Tahap 1

Penentuan Perlakuan Penanganan

Berdasarkan hasil penelitian komoditi buah salak ini menunjukkan bahwa perlu adanya senyawa untuk menghambat pertumbuhan kapang Fusarrium sp, Aspergillus sp, Penicillium sp, dan Mucor sp. Maka Gel Aloe vera berpotensi untuk diaplikasikan dalam teknologi pelapisan (coating), karena gel tersebut

Buah Salak

Dimasukkan dalam Media Agar( PDA)

Identifikasi

Penentuan Perlakuan Penanganan Pengamatan Jaringan pada Media Agar ( PDA) dan

Pertumbuhan Misellium Diinkubasi pada suhu 30oC

(±7 hari)

Isolat Kapang ditumbuhkan

Pemanenan Pembersihan Penyimpanan Transportasi Sampel Buah Salak Pondoh


(40)

terdiri dari polisakarida yang mengandung banyak komponen fungsional yang mampu menghambat kerusakan pascapanen buah segar, seperti Aloe emodin dan komponen fenolik yang memiliki fungsionalitas antimikroba. Maka diharapkan aplikasi coating Aloe vera pada buah salak pondoh dapat menghambat pertumbuhan kapang, sehingga dapat menjaga mutu dari buah salak pondoh yang disimpan.

Tahap 2 : Aplikasi Perlakuan Pelapisan Buah dan Penyimpanan a. Pembuatan Gel dari Pelepah Daun Aloe vera L.

Pada tahap ini dilakukan pembuatan gel Aloe vera berdasarkan pembuatan minuman Aloe vera menurut He et al. (2003) dan memodifikasinya dengan memberikan berbagai perlakuan seperti pencucian dan pemanasan untuk menghilangkan lendir berwarna kuning yang dapat menurunkan mutu gel, seperti terjadinya perubahan warna gel menjadi lebih kuning dan timbulnya bau tidak sedap. Perlakuan pemanasan ini dilakukan dengan suhu 80°C selama 5 menit, pemansan ini juga berfungsi untuk mengurangi jumlah mikroba awal gel Aloe vera.

b. Aplikasi Pelapisan (Coating) Buah Salak

Langkah aplikasi pelapis pada buah salak pondoh adalah sebagai berikut : (1) Salak pondoh yang diperoleh dari petani di daerah Sleman Yogyakarta, kemudian dilakukan sortasi untuk memilih buah yang sehat dengan tingkat kematangan dan ukuran yang seragam, buah terpilih dicuci dengan air bersih kemudian ditiriskan dan dilap dengan tissue. (2) Salak pondoh dicelup dalam gel Aloe vera selama 60 detik pada konsentrasi sesuai dengan perlakuan. Pencelupan dilakukan dengan menggunakan kawat kasa yang diberi pegangan dari kayu.

c. Penyimpanan Buah Salak Pondoh

Buah salak pondoh yang sudah dilapisi gel Aloe vera berikut kontrol diletakkan pada baki plastik bertingkat tiga. Kemudian buah salak pondoh masing-masing disimpan pada dua ruang penyimpanan yaitu ruang bersuhu dingin (suhu 9 - 12oC) dan suhu kamar (26 - 27oC). Secara rinci bagan prosedur penelitian untuk tahap kedua tersebut adalah sebagai berikut: (Gambar 3).


(41)

Gambar 3 Diagram Alir Penelitian Tahap 2

D. Pengamatan dan Analisis

Parameter mutu yang diamati adalah perubahan laju respirasi, susut bobot, kekerasan, kadar air, total padatan terlarut, uji organoleptik dan uji mikroba. Pengamatan dilakukan setiap tiga hari penyimpanan sampai dengan 30 hari, sedangkan untuk mengetahui umur simpan akan dilakukan pengamatan dengan menggunakan nilai kekerasan sebagai indikator. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor suhu yang terdiri dari 2 taraf (10°C dan 26°C) dan faktor konsentrasi pelapisan (coating) yang terdiri 3 taraf (50%, 75% dan 100%), sebagai kontrol adalah salak pondoh tanpa perlakuan Aloe vera dan disimpan pada

Salak

Sortasi danPembersihan

Pembersihan Salak

Coating Pelapis Aloe vera

Konsentrasi 50% Konsentrasi 75%

Penyimpanan

Suhu Rendah (9-12oC) Suhu Ruang (26oC-27oC)

Laju Respirasi, Susut Bobot, Kekerasan, Kadar Air, TPT,

Organoleptik Uji Mikrobiologi Analisis


(42)

suhu ruang (26oC), semua perlakuan dilakukan dengan 2 ulangan. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 17, dan untuk melihat pengaruh perlakuan yang berbeda, dilakukan uji Duncan. Adapun model matematisnya adalah sebagai berikut:

ijk ij

j i

ijk A B AB

Y      ( )   ...(1) Keterangan :

Yijk = Respon setiap parameter yang diamati

µ = Nilai rataan umum

Ai = Pengaruh faktor perlakuan pelapisan dengan Aloe vera

Bj = Pengaruh faktor suhu penyimpanan

(AB)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B

εijk = Galat percobaan

Parameter Pengamatan

Untuk mengetahui perubahan mutu salak pondoh segar tersebut dilakukan pengukuran setiap 3 hari selama 30 hari penyimpanan terhadap laju respirasi, perubahan susut bobot, kekerasan, kadar air, dan organoleptik dengan uji hedonik serta uji mikroba.

1) Laju Respirasi

Laju respirasi diukur dengan Gas Analyzer Shimadzu dimana alat ini untuk mengukur konsentrasi gas O2 - CO2. Untuk menghitung laju respirasi

(ml/kg-jam) dipergunakan rumus berikut: (Mannapperuma & Singh 1990, diacu dalam Rokhani 2007)

Perhitungan Laju Respirasi :

R1 = Vdx1

Wdt .... (2)

R2 = Vdx2


(43)

Dimana :

Rr = Laju respirasi, ml/kg-jam

x = Konsentrasi gas, desimal

t = Waktu,jam

V = Volume bebas “respiration chamber”, ml

W = Berat produk, kg

Subkrip 1,2 = masing-masing menyatakan O2 dan CO2

2) Susut Bobot

Pengukuran susut bobot menggunakan metoda gravimetri yaitu berdasarkan persentase penurunan bobot bahan sejak awal sampai akhir penyimpanan. Untuk mengukur susut bobot digunakan rumus sebagai berikut:

Susut Bobot = W - Wa

W ×100% ……….. (4)

Dimana :

W = Bobot bahan awal penyimpanan (g)

Wa = Bobot bahan akhir penyimpanan (g) hari ke-n

3) Kekerasan

Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan Rheometer Model CR-300, dengan beban maksimum 10 kg; kedalaman 10 mm; dan diamater probe 2.5 mm. Pengukuran dilakukan dengan cara menusuk buah salak dengan jarum yang menempel pada alat tersebut sebanyak 3 kali pada tempat yang berbeda. Nilai kekerasan salak pondoh akan terlihat pada alat digital (display rheometer).

4) Kadar Air

Pengukuran kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode oven. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator. kemudian ditimbang. Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan. Selanjutnya cawan yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dan dipasang pada suhu 105°C. Pemanasan dilakukan selama 24 jam, kemudian didinginkan dengan desikator dan ditimbang kembali. Pekerjaan dihentikan bila


(44)

sudah didapat berat yang konstan. Menurut Winarno (1993) kadar air dapat dihitung dengan rumus:

Kadar Air (%berat basah) =

Kehilangan berat (g)

Berat sampel (g) ×100%... (5)

5) Pengukuran Total Padatan Terlarut

Total padatan terlarut ditentukan dengan menggunakan alat Refractometer, dimana bahan dihaluskan terlebih dahulu dengan cara ditumbuk atau diblender, kemudian diambil sarinya sebagai sample pengujian. Selanjutnya sampel diletakkan di atas obyek gelas yang terdapat pada Refractometer Atago PR-210, sehingga total padatan terlarut (TPT) dapat dilihat secara langsung pada display skala pembacaan dalam satuan oBrix.

6) Pengujian Organoleptik

Untuk menentukan umur simpan pada penyimpanan salak segar terbungkus pelapis edibel dengan suhu perlakuan, dilakukan pengujian organoleptik skala hedonik (Setyaningsih et al. 2010). Kondisi optimal adalah perlakuan yang menghasilkan masa simpan terpanjang dimana mutu produk masih dapat diterima oleh konsumen. Pengamatan dilakukan setiap 3 hari terhadap tingkat kesukaan konsumen akan tekstur, rasa dan penerimaan secara keseluruhan terhadap salak segar dengan coating Aloe vera berbagai konsentrasi dan tanpa coating Aloe vera yang disimpan pada suhu 10°C dan 26°C (suhu ruang).

Pengujian ini berdasarkan pada pemberian skor menurut panelis terhadap warna, aroma, kekerasan dan rasa. Pengujian menggunakan minimal 10 orang panelis. Skor yang diberikan terdiri dari 1 (sangat suka), 2 (suka), 3 (agak suka), 4 (netral), 5 (agak tidak suka), 6 (tidak suka) dan 7 (sangat tidak suka). Batas penolakan adalah pada skor 4.5.

Diskripsi tingkat kesukaan panelis terhadap salak pondoh segar pelapisan (coating) Aloe vera dan suhu penyimpanan tersebut adalah sebagaimana Tabel 5 berikut:


(45)

Tabel 5 Deskripsi mutu pada skor organoleptik

Skor Keterangan Diskripsi

1 Sangat suka Warna putih cerah mengkilap, aroma harum segar khas salak, kekerasan keras renyah garing dan rasa manis pondoh. 2 Suka Warna putih cerah, aroma agak harum segar, kekerasan keras

agak elastis dan rasa manis pondoh.

3 Agak suka Warna agak putih cerah, aroma agak harum segar, kekerasan keras agak elastis dan rasa agak manis pondoh.

4 Netral Warna putih keburaman sedikit bernoda, aroma sedikit harum, kekerasan sedikit keras elastis dan rasa manis gula.

5 Agak Tidak suka

Warna agak putih kecoklatan banyak noda, aroma asam jawa, kekerasan lunak elastis dan rasa agak asam.

6 Tidak suka Warna putih kecoklatan banyak noda, aroma asam jawa, kekerasan lunak elastis dan rasa asam.

7 Sangat tidak suka

Warna coklat banyak noda, aroma alkohol, kekerasan lunak seperti agar-agar dan rasa alkohol.

Sumber : Setyaningsih et al (2010)

7) Uji Pertumbuhan Kapang

Menurut Marzuan (1993) kerusakan yang terjadi pada buah salak saat pemanenan, setelah pemanenan dan selama penyimpanan dapat digunakan sebagai acuan dasar pada penentuan kerusakan salak selama penyimpanan pada penelitian tahap II. Sehingga salak yang digunakan hanyalah salak yang baik, yaitu bentuk buah masih utuh, tidak ada cacat pada kulit buah, daging buah masih keras, beraroma salak dan tidak ditumbuhi jamur. Sedangkan kerusakan penyimpnanan digunakan sebagai dasar penentuan umur simpan salak pondoh. Salak dikatakan rusak selama penyimpanan bila telah terdapat sátu atau lebih dari tanda-tanda salak yang rusak berikut ini, yaitu (1) terbentuknya warna coklat pada daging buah salak, (2) terbentuknya aroma salak yang menyimpang atau berbau alkohol, (3) terdapat pertumbuhan kapang pada kulit buah, (4) daging buah menjadi lunak, dan (5) busuk.

Untuk menguji laju pertumbuhan kapang maka sampel di-swab dengan luas permukaan tertentu, kemudian hasil swab tersebut dimasukkan kedalam larutan pengencer sebanyak 10 ml. Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam masing-masing dua cawan petri (duplo) steril yang


(46)

selanjutnya dituangkan media PDA steril yang telah didinginkan hingga suhunya 47-50°C dan digoyangkan secara mendatar diatas meja supaya contoh menyebar rata. Cawan berisi agar yang sudah membeku diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 30°C selama 2 hari. Total Kapang ditetapkan dengan SPC (Standard Plate Count) yang ditentukan dengan menggunakan rumus :

Koloni per gram= Jumlah koloni × 10 × 1


(47)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Identifikasi Penyakit Pascapanen Salak Pondoh

Berdasarkan pengamatan identifikasi dapat diketahui bahwa salak pondoh yang diserang oleh kapang secara cepat menjadi busuk setelah hari ke-7 masa isolasi. Setelah 7 hari masa isolasi buah salak pondoh tersebut menunjukkan gejala busuk dan dipisahkan untuk diindentifikasi. Dari tahapan pascapanen salak pondoh yang telah di isolasi dapat diketahui jenis kapang yang berkembang dan tumbuh dengan baik seperti dapat dilihat pada Tabel 6, Jenis kapang tersebut adalah Fusarrium sp, Aspergillus sp, Penicillium sp, Mucor sp, Jenis kapang yang paling dominan adalah jenis Mucor sp dan Fusarrium sp.

Tabel 6 Jenis kapang yang berkembang pada tahapan pascapanen salak pondoh Tahapan

Pascapanen

Jenis Kapang

Fusarrium sp Aspergillus sp Penicillium sp Mucor sp A1

(Panen tandan) (+) (-) (-) (+)

A2

(Pembersihan/tanpa tandan)

(+) (-) (-) (+)

A3

(Penyimpanan) (+) (+) (+) (+)

A4

(transportasi) (+) (+) (+) (+)

(+) menyatakan bahwa adanya cendawan, (-) menyatakan bahwa tidak adanya cendawan

Beberapa jenis kapang yang tumbuh pada buah salak pondoh ini disebabkan oleh adanya kerusakan pascapanen, dimana kerusakan pascapanen merupakan penyimpangan yang melewati batas dan tidak dapat diterima secara normal oleh panca indra, seperti buah sudah layu, ditumbuhi jamur yang tampak secara visual, berbau busuk, buah menjadi lunak dan berair serta tidak lagi untuk dikunsumsi (Suter 1988). Hal ini juga terjadi pada penelitian ini, dimana kerusakan pascapanen terjadi saat pemanenan, pembersihan, penyimpanan dan transportasi. Hasil penelitian Amiarsi et al. (1996) menunjukkan bahwa kerusakan buah salak meningkat dengan bertambahnya umur simpan, kerusakan tersebut sebagai akibat keaktifan mikroba yang dikenal dengan penyakit busuk lunak karena jamur


(48)

Thielaviopsis sp. Salak juga menjadi lebih rentan terhadap Botrytis pada suhu 5°C dan meningkat dengan makin lamanya penyimpanan (Soesanto 2006). Hasil penelitian Noorhakim (1992) menyatakan bahwa kapang yang tumbuh selama penyimpanan adalah Mucor sp, dan menurut Setiono (1995) menyatakan kapang yang menyebabkan busuk lunak pada salak pondoh kupas yang tumbuh selama penyimpanan adalah Penicillium sp dan Aspergillus sp. Menurut Aminah dan Supraptim (2003) menyatakan dalam penelitiannya bahwa kapang yang menyerang busuk buah pada salak segar yang terdapat di pasar tradisional dan swalayan adalah Fusarium sp.

Pada Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa kapang dapat menurunkan mutu atau kualitas dari salak pondoh, sehingga umur simpan menjadi lebih pendek. Untuk mengetahui kapang yang menyerang melalui bagian lentisel buah salak pondoh dapat diidentifikasi dengan mengambil contoh kapang dari permukaan kulit buah salak dan dilihat langsung melalui mikroskop menggunakan metode "slide culture". Selanjutnya dari kapang yang di potret melalui mikroskop didapat hasil yang diperoleh dari identifikasi berdasarkan buku-buku identifikasi dari Pitt dan Hocking (1979) dan Fardiaz (1992) adalah kapang yang tumbuh dipermukaan salak pondoh diantaranya:

1) Mucor sp

Gambar 4 Kapang Mucor sp

Gambar 4 diatas merupakan kapang yang dapat tumbuh dengan baik pada setiap tahapan pascapanen buah salak pondoh, koloni dari kapang ini tumbuh pada permukaan salak dimana pada awalnya berwarna putih mengapas dan kemudian menjadi berwarna hitam kecokelatan. Kapang tersebut memiliki ciri-ciri diantaranya mycelianya berbentuk non septat, kolumelanya berbentuk bulat (round),

spora mycelia


(49)

sporanya berwarna hitam serta kapang tersebut tidak memiliki stolon dan rhizoid. Melalui ciri-ciri tersebut, maka dengan mencocokkan gambar atau foto yang didapat dari contoh kapang pada permukaan kulit salak dengan foto-foto kapang lainnya yang telah diketahui berdasarkan Pitt dan Hocking (1979) ternyata serupa dengan gambar Mucor sp. Jadi jelas bahwa kapang yang tumbuh di permukaan kulit salak pondoh yang menyebabkan kerusakan pada buah salak berasal dari jenis Mucor sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noorhakim (1992), yang menyatakan bahwa jenis kapang yang menyerang buah salak pondoh adalah Mucor sp.

Adanya kapang ini disebabkan oleh sifat pertumbuhan kapang tersebut yang dapat tumbuh dengan baik di permukaan tanah, dimana pertumbuhan buah salak pondoh juga di atas permukaan tanah, sehingga hal ini memungkinkan salak pondoh yang memang buahnya berada dekat dengan permukaan tanah dapat dengan mudah diserang oleh Mucor sp. Pernyataan ini sesuai dengan Pelczar (1976) yang melaporkan bahwa Mucor sp merupakan mikroorganisme yang secara alami amat banyak terdapat di permukaan tanah dan sangat potensial untuk merusak hasil-hasil pertanian seperti buah-buahan dan sayuran. Kapang Mucor sp menyebabkan terjadinya busuk lunak pada bagian buah salak pondoh, sehingga dapat menurunkan kualitas/mutu salak pondoh yang dipanen.

2) Aspergillus sp

Gambar 5 Kapang Aspergillus sp

Gambar 5 merupakan kapang yang dapat tumbuh dengan baik pada tahapan pascapanen penyimpanan, dimana pada bagian buah yang terinfeksi tampak basah dan mengandung cairan kuning yang selanjutnya berubah menjadi cokelat di


(50)

bagian pangkal buah salak pondoh yang disimpan. Kapang tersebut memiliki ciri-ciri spesifik berupa (1) Hifa septat dan miselium bercabang, tidak berwarna, yang terdapat di bawah permukaan merupakan hifa vegetatif, sedangkan yang muncul di atas permukaan umumnya merupakan hifa fertil, (2) Koloni kompak, (3) Konidiofora septat atau nonseptat, muncul dari "foot cell" (yaitu sel miselium yang membengkak dan berdinding tebal), (4) Konidiofora membengkak menjadi vesikel pada ujungnya, membawa sterigmata di mana tumbuh konidia, (5) Sterigmata atau fialidanya sederhana, berwarna, atau tidak berwarna, dan (6) Konidia membentuk rantai yang berwarna hijau, cokelat atau hitam.

Berdasarkan ciri-ciri yang terdapat pada Gambar 5, maka kapang yang tumbuh di dalam ruang penyimpanan tersebut adalah kapang Aspergillus sp, identifikasi ini sesuai dengan pernyataan Soesanto (2006) yang menyatakan bahwa Aspergillus sp merupakan kapang yang dijumpai di dalam ruang simpan dan mempunyai kisaran inang yang luas terutama terhadap produk pascapanen yang disimpan, hal ini didukung dari hasil penelitian Setiono (1995), dimana kapang yang menyebabkan busuk lunak pada salak pondoh kupas yang tumbuh selama penyimpanan adalah Aspergillus sp.

3) Penicillium sp

Gambar 6 Kapang Penicillium sp

Seperti pada kapang Aspergillus sp, berdasarkan Gambar 6 diatas kapang tersebut dapat tumbuh dengan baik pada tahapan pascapanen penyimpanan. Bagian buah yang terinfeksi tampak daerah kecil yang busuk, yang berupa noda lunak berair. Pada gejala lanjut pada salak pondoh tampak miselium berwarna putih yang dihasilkan pada permukaan bercak, dan selanjutnya menghasilkan spora berwarna hijau zaitun.

konidia sterigmata


(51)

Kapang tersebut memiliki ciri-ciri spesifik berupa (1) Hifa septat, miselium bercabang, biasanya tidak berwarna, (2) Konidiofora septat dan muncul di atas permukaan, berasal dari hifa di bawah permukaan, bercabang atau tidak bercabang, (3) Kepala yang membawa spora berbentuk seperti sapu, dengan sterigmata atau fialida muncul dalam kelompok, (4) Konidia membentuk rantai karena muncul satu per satu dari sterigmata, (5) Konidia pada waktu masih muda berwarna hijau, kemudian berubah menjadi kebiruan atau kecokelatan. Berdasarkan ciri-ciri yang terdapat pada Gambar 5, maka kapang tersebut merupakan kapang Penicillium sp yang tumbuh di dalam ruang penyimpanan, identifikasi ini sesuai dengan pernyataan Soesanto (2006) yang menyatakan bahwa Penicillium sp merupakan kapang yang dijumpai di dalam ruang simpan dan mempunyai kisaran inang yang luas terutama terhadap produk pascapanen yang disimpan, hal ini didukung dari hasil penelitian Setiono (1995), dimana kapang yang menyebabkan busuk lunak pada salak pondoh kupas yang tumbuh selama penyimpanan adalah Penicillium sp.

Spora kapang ini menyebabkan busuk lunak (busuk air) pada buah salak pondoh, hal ini disebabkan oleh bahan penyimpanan atau pengepakan, termasuk peralatan, ruang simpan, alat transportasi, dan bahkan tempat pemasarannya yang telah terkontaminasi oleh spora yang berasal dari kapang Penicillium sp, sehingga pada akhirnya dapat menurunkan mutu dari salak pondoh yang dipanen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fardiaz (1992) yang menyatakan bahwa kapang Penicillium sp sering menyebabkan busuk lunak (busuk buah) pada tahapan pascapanen penyimpanan buah-buahan .

4) Fusarium sp

Gambar 7 Kapang Fusarium sp


(1)

Lampiran 15 Data Organoleptik

Rasa

Perlakuan

Nilai Organoleptik Rasa Hari ke-

Suhu

Konsentrasi

Aloe vera

3

6

9

12

15

18

21

24

27

30

10

o

C

0%

3.0

2.7

2.95

4.2

3.1

3.4

4.8

-

-

-

50%

3.2

1.6

3.4

3.3

2.9

3.2

3.1

3.2

3.8

4.8

75%

3.25

2.8

3.2

3.6

2.2

4.4

3.2

3.7

3.9

5.6

100%

3.6

2.2

2.7

2.9

2.4

4.7

3.6

3.6

3.9

6.0

26

o

C

0%

2.7

2.6

3.3

3.45

5.1

-

-

-

-

-

50%

3.35

3.15

3.75

4.5

3.8

-

-

-

-

-

75%

3.2

3.15

2.9

3.9

3.6

4.5

4.1

-

-

-


(2)

Lampiran 16 Hasil analisa sidik ragam untuk organoleptik tekstur

a.

Pada penyimpanan hari ke-15

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

ALOEV .332 3 .111 1.273 .347

SUHU 6.631 1 6.631 76.324 .000

ALOEV * SUHU .487 3 .162 1.868 .213

Error .695 8 .087

Total 195.150 16

Corrected Total 8.144 15


(3)

Lampiran 16 (lanjutan)

a.

Pada penyimpanan hari ke- 21

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

ALOEV 1.979 3 .660 395.750 .000

SUHU 3.251 1 3.251 1950.750 .000

ALOEV * SUHU .031 1 .031 18.750 .005

Error .010 6 .002

Total 185.600 12

Corrected Total 6.187 11

a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)

Uji Lanjut Organoleptik Tekstur hari ke-21

Perlakuan Nilai Organoleptik Tekstur Suhu Konsentrasi Aloe vera

10oC

0% 4.1 d

50% 2.8 a

75% 3.3 b

100% 3.5 c

26oC

0% -

50% -

75% 4.5 e

100% 4.9 f


(4)

Lampiran 17 Hasil Analisa sidik ragam untuk organoleptik rasa

a.

Pada penyimpanan hari ke-15

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

ALOEV 3.957 3 1.319 33.497 .000

SUHU 6.891 1 6.891 175.000 .000

ALOEV * SUHU .742 3 .247 6.280 .017

Error .315 8 .039

Total 188.130 16

Corrected Total 11.904 15

a. R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .950)

Uji lanjut data organoleptik rasa hari ke-15

Perlakuan Nilai Organoleptik Rasa

Suhu Konsentrasi Aloe vera

10oC

0% 3.1 c

50% 2.9 b

75% 2.2 a

100% 2.4 a

26oC

0% 5.1 f

50% 3.8 e

75% 3.5 d

100% 3.4 d


(5)

Lampiran 17 (Lanjutan)

a.

Pada penyimpanan hari ke-21

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

ALOEV 3.252 3 1.084 19.418 .002

SUHU 1.901 1 1.901 34.052 .001

ALOEV * SUHU .011 1 .011 .201 .669

Error .335 6 .056

Total 183.690 12

Corrected Total 5.049 11

a. R Squared = .934 (Adjusted R Squared = .878)

Uji Lanjut Organoleptik Tekstur hari ke-21

Perlakuan Nilai Organoleptik Rasa Suhu Konsentrasi Aloe vera

10oC

0% 4.8 b

50% 3.1 a

75% 3.2 a

100% 3.6 a

26oC

0% -

50% -

75% 4.1 b

100% 4.6 b


(6)

Lampiran 18 Hasil data pertumbuhan cendawan

Perlakuan

Tingkat Pengenceran

Perhitungan Pengenceran

Rata-rata

Lama

penyimpanan

(hari)

Suhu

Konsentrasi

Aloe vera

10

3

10

4

10

5

10

3

10

4

10

5

10

o

C

0%

TBUD

TBUD

297.5

-

-

29750000

29.7 x 10

6

21

50%

TBUD

TBUD

90.5

-

-

9050000

9 x 10

6

30

75%

134.5

18.5

1.00

134500

18500

-

1.3 x 10

5

30

100%

TBUD

TBUD

143

-

-

14300000

14 x 10

6

30

26

o

C

0%

187

60.5

13.5

187000

605000

-

4.8 x 10

5

15

50%

213.5

122.5

65

213500

1225000

6500000

3.6 x 10

6

15

75%

155

59.5

10.5

155000

595000

-

4.5 x 10

5

21

100%

128

19.5

5.5

128000

-

-

1.2 x 10

5

21