Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst di Lembah Mulo Yogyakarta

(1)

PERENCANAAN LANSKAP EKOWISATA KARST

DI LEMBAH MULO YOGYAKARTA

FATHIIN MUHTADI PRIYATAMA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

potential objects and attractions for ecotourism at Mulo Valley. Further analysis was conducted to determine the sensitivity of the karst area for the development of ecotourism. The results showed that Mulo Valley has fifteen tourist objects and attractions. The sensitivity status of the karst area is amounted to 6,8 acres (41,39%) are sensitive, 9.63 acres (58,61%) are quite sensitive, and 0 acres (0%) are less sensitive of 16,43 acres total area. The final result of this research is landscape plan. The application of the ecotourism concept aims to keep the sustainability of the karst.


(3)

RINGKASAN

FATHIIN MUHTADI PRIYATAMA. Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst di Lembah Mulo Yogyakarta. Dibimbing oleh SITI NURISYAH.

Studi ini bertujuan untuk membuat suatu perencanaan lanskap ekowisata di Lembah Mulo dengan mempertimbangkan kepekaan kawasan dan ketersediaan objek dan atraksi wisata. Studi ini diharapkan mampu membantu melestarikan kawasan karst kawasan dan melalui kegiatan wisata akan meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Studi ini dilaksanakan di Lembah Mulo yang termasuk dalam wilayah administrasi Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah proses perencanaan lanskap yang dikemukakan oleh Gold (1980) dengan pendekatan kepekaan kawasan dan ketersediaan objek dan atraksi wisata pada tapak. Tahapan perencanaan ini mencakup kegiatan persiapan, pengumpulan data, analisis, sintesis, dan perencanaan lanskap dan penyususnan laporan.

Konsep dasar perencanaan lanskap ekowisata karst di Lembah Mulo ini adalah menjadikan Lembah Mulo sebagai kawasan wisata yang tetap menjaga kelestarian lingkungan, partisipatif, dan edukatif. Perencanaan kawasan berbasis ekologi bertujuan agar tidak merusak karst disana. Pemberdayaan masyarakat sekitar dalam pengelolaan untuk meningkatkan kesejahateraan mereka. Unsur edukasi dimasukkan dalam pengembangan konsep agar wisatawan dapat memperoleh pemahaman tentang kawasan karst yang merupakan bentang alam yang penting dan perlu dilindungi dan dilestarikan. Perencanaan kawasan Lembah Mulo diharapkan mampu menjadi icon kepariwisataan di Kabupaten Gunungkidul.

Secara umum perencanaan lanskap ekowisata karst di Lembah Mulo memiliki luas area sebesar 16,4 Ha yang terbagi atas empat ruang, yaitu ruang penerimaan (1,28 Ha), ruang pelayanan (2,78 Ha), ruang wisata (8,26 Ha), dan penyangga (4,08 Ha). Pengembangan jalur ekowisata yang akan direncanakan pada kawasan Lembah Mulo adalah dengan menghubungkan objek, atraksi


(4)

wisata, dan ruang-ruang yang terbentuk dan tersebar pada kawasan dengan mempertimbangkan kondisi eksisting dan tidak merusak dan mengurangi kualitas lingkungan sekitar. Terdapat tiga jalur sirkualsi yang akan dikembangkan pada tapak, antara lain jalur utama, jalur primer, dan jalur sekunder.

Pengembangan rencana fasilitas berdasarkan pada kebutuhan setiap ruangnya tergantung aktivitas dan kondisi eksisting. Penggunaan material yang ramah lingkungan dan berasal dari daerah setempat (lokal) akan memberikan kesan alami dan sesuai dengan konsep ekowisata kawasan yang akan dikembangkan. Fasilitas yang akan dikembangkan tidak boleh mengganggu dan merusak kondisi eksisting karst yang ada.

Daya dukung adalah kemampuan suatu kawasan dalam menampung aktivitas dan kegiatan yang ada diatasnya pada suatu batas tertentu dimana kawasan tersebut tidak akan mengalami kerusakan. Daya dukung dihitung untuk mengetahui kapasitas maksimal wisatawan yang dapat ditampung oleh kawasan. Kawasan karst yang sensitif dapat diantisipasi kerusakannya dengan mengetahui daya dukung kawasan tersebut. Daya dukung dihitung dengan cara membagi luas area dengan standar kebutuhan ruang per orang.

Rencana lanskap ekowisata karst di Lembah Mulo Yogyakarta mempertimbangkan kepekaan kawasan dalam pengembangannya sehingga meminimalisir bencana dan kerusakan karst. Kawasan Lembah Mulo memiliki kepekaan yang tinggi sehingga terbatas dalam pemanfaatannya. Sebesar 6,8 hektar (41,39% dari total kawasan) merupakan area yang peka, 9,63 hektar (58,61% dari total kawasan) merupakan area yang cukup peka, dan 0 hektar merupakan area yang kurang peka. Terdapat tiga belas objek dan atraksi wisata yang tersebar di sekitar kawasan. Objek wisata tersebut, antara lain Lembah Mulo, luweng, Goa Mulo, Goa Ngingrong, dan Telaga Serpeng. Sementara atraksi wisata yang tersebar, antara lain reog dogdog, rasulan, campur sari, dan kesenian wayang kulit. Penerapan konsep ekowisata bertujuan untuk menjaga kelestarian karst yang di Lembah Mulo.


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Fathiin Muhtadi Priyatama


(6)

© Hak Cipta milik Fathiin Muhtadi Priyatama dan IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan Fathiin Muhatdi Priyatama dan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Fathiin Muhtadi Priyatama dan IPB.


(7)

PERENCANAAN LANSKAP EKOWISATA KARST

DI LEMBAH MULO YOGYAKARTA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

FATHIIN MUHTADI PRIYATAMA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(8)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Usulan : Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst di Lembah Mulo Yogyakarta

Nama : Fathiin Muhtadi Priyatama NIM : A44080027

Menyetujui,

Pembimbing

Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP. 194809121974122001

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP. 194809121974122001


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan sukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat, hidayah, dan nikmat kesehatan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian Perencanaan Lanskap Kawasan Ekowisata Karst di Lembah Mulo Yogyakarta. Penelitian ini dibuat dalam memenuhi syarat untuk menghasilkan karya tulis ilmiah berupa skripsi dan merupakan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana.

Penulis mendapatkan banyak bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan penelitian ini, baik dari Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA selaku dosen pembimbing, keluarga, dan teman-teman. Sebagai ungkapan rasa sukur, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada penelitian ini. Oleh karena itu penulis dengan senang hati mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 13 April 1990, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, putra dari Bapak Suparamana dan Ibu Titi Sawitri Ertifa. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1994 sampai 1996 di Taman Kanak-kanak (TK) Kuncup Harapan Bogor. Penulis menjalani pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Bantarjati V Bogor pada tahun 1996-2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Bogor sampai tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Bogor sampai tahun 2008. Penulis kemudian diterima di Departemen Arsitektur Lanksap Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Penulis aktif dalam kegiatan organisasi kampus. Beberapa diantaranya menjabat sebagai pengururs Divisi PSDM (Pengembangan Sumberdaya Manusia) Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (Himaskap) periode 2009-2010 dan pada periode selanjutnya penulis dipercaya menjadi ketua umum. Penulis juga aktif dalam kegiatan seni dan pencinta alam internal departemen dan pernah menjadi asisten Mata Kuliah Analisis Tapak dan Perencanaan Lanskap pada tahun 2012.


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 3

Kerangka Pikir ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Karst ... 5

Wisata ... 7

Ekowisata ... 12

Perencanaan Lanskap ... 14

Daya Dukung Lanskap Ekowisata ... 15

BAB III METODOLOGI ... 18

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

Tahapan Penelitian ... 19

Metode Penelitian ... 20

Persiapan ... 20

Pengumpulan Data ... 20

Analisis ... 22

Sintesis ... 26

Rencana Lanskap ... 27

BAB IV KONDISI UMUM ... 28

Letak Geografis Lembah Mulo, Desa Mulo, Provinsi DIY ... 28

Tata Guna Lahan ... 29

Keadaan Fisik Lembah Mulo ... 30

Topografi dan Kemiringan ... 30


(12)

Hidrologi ... 40

Iklim ... 42

Keanekaragaman Hayati ... 43

Visual ... 46

Kondisi Sosial Budaya Desa Mulo ... 48

Kependudukan Desa Mulo ... 48

BAB V DATA, ANALISIS, DAN SINTESIS ... 50

Aksesibilitas ... 50

Analisis Kepekaan Pada Kawasan Karst Lembah Mulo ... 54

Analisis Keberadaan Objek Ekowisata ... 57

Potensi Objek dan Atraksi ... 57

Persebaran ... 58

Sintesis ... 60

Persepsi, Preferensi, dan Potensi Pengunjung Lembah Mulo ... 61

Sintesis ... 64

BAB VI PERENCANAAN LANSKAP ... 67

Konsep Lanskap Ekowisata ... 67

Ruang ... 67

Sirkulasi ... 69

Aktivitas dan Fasilitas ... 70

Rencana Pengembangan ... 71

Ruang Ekowisata ... 71

Jalur Ekowisata ... 72

Aktivitas Wisata, Fasilitas, dan Daya Dukung ... 73

Rencana Lanskap ... 74

Rencana Program dan Perjalanan Wisata ... 85

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

Kesimpulan ... 87

Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(13)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 4

2. Peta Lokasi Penelitian ... 18

3. Tahapan Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst ... 19

4. Peta Pembagian Segmen Pada Kawasan Lembah Mulo ... 22

5. Peta Orientasi Tapak Penelitian ... 28

6. Peta Tata Guna Lahan Lembah Mulo ... 29

7. Tata Guna Lahan Kawasan Lembah Mulo dan Sekitarnya ... 30

8. Peta Topografi Lembah Mulo ... 34

9. Peta Lereng... 35

10. Penampakan Tanah Pada Kawasan Lembah Mulo ... 38

11. Peta Tanah Lembah Mulo ... 39

12. Kali Ngingrong ... 40

13. Peta Hidrologi Lembah Mulo... 41

14. Vegetasi dan Satwa di Kawasan Lembah Mulo ... 44

15. Peta Keanekaragaman Hayati Lembah Mulo ... 45

16. Kondisi Visual Kawasan Lembah Mulo ... 46

17. Peta Visula Lembah Mulo ... 47

18. Kondisi Jalan Menuju Tapak ... 50

19. Aksesibilitas Menuju Tapak ... 51

20. Skema Transportasi Menuju Tapak ... 52

21. Alternatif 1 Akses Menuju Kawasan Lembah Mulo... 53

22. Alternatif 2 Akses Menuju Kawasan Lembah Mulo... 53

23. Alternatif 3 Akses Menuju Kawasan Lembah Mulo... 54

24. Peta Kepekaan Kawasan ... 56

25. Peta Persebaran Objek dan Atraksi Wisata di Kawasan Lembah Mulo 59 26. Peta Sintesis Kawasan Ekowisata ... 61

27. Persentase Kelompok Umur Pengunjung Lembah Mulo ... 62

28. Objek yang Menarik Pada Kawasan Lembah Mulo ... 63

29. Bentuk Keterlibatan Masyarakat Sekitar dalam Kegiatan Wisata ... 63


(14)

31. Diagram Konsep Pembagian Ruang ... 68

32. Diagram Konsep Sirkulasi ... 69

33. Referensi Rencana Aktivitas dan Fasilitas ... 70

34. Rencana Lanskap ... 75

35. Perspektif Keseluruhan Kawasan Lembah Mulo ... 76

36. Blow Up 1 Rencana Lanskap ... 77

37. Potongan Blow Up 1 ... 78

38. Ilustrasi Menara Pandang ... 78

39. Ilustrasi Caving di Goa Mulo ... 78

40. Blow Up 2 Rencana Lanskap ... 79

41. Potongan Blow Up 2 ... 80

42. Ilustrasi Gerbang Pintu Masuk ... 80

43. Ilustrasi Visual Lembah Mulo dari Jalan Raya ... 80

44. Blow Up 3 Rencana Lanskap ... 81

45. Potongan Blow Up 3 ... 82

46. Ilustrasi pada Jalan Setapak ... 82

47. Ilustrasi Area Pelayanan ... 82

48. Blow Up 4 Rencana Lanskap ... 83

49. Potongan Blow Up 4 ... 84

50. Ilustrasi Area Wisata Telaga Serpeng ... 84

51. Ilustrasi Sekitar Telaga Serpeng... 84


(15)

DAFTAR TABEL

1. Pola Sirkulasi yang Umum Digunakan ... 10

2. Jenis, Bentuk, Sumber, dan Cara Pengambilan Data ... 21

3. Klasifikasi Kepekaan Kawasan Karst ... 23

4. Luas dan Persentase Segmen pada Lembah Mulo ... 23

5. Kriteria Penilaian Objek dan Atraksi Ekowisata ... 24

6. Tata Guna Lahan Desa Mulo ... 29

7. Kondisi Iklim Gunungkidul (1995-2005) ... 42

8. Vegetasi pada Kawasan Lembah Mulo ... 43

9. Satwa pada Kawasan Lembah Mulo ... 44

10. Penduduk Desa Mulo Menurut Kelompok Umur ... 49

11. Pendugaan Kepekaan Kawasan Karst Lembah Mulo ... 55

12. Kawasan Lembah Mulo Hasil Analisis ... 56

13. Potensi Objek Alami di Kawasan Lembah Mulo ... 57

14. Potensi Atraksi Budaya di Kawasan Lembah Mulo ... 58

15. Analisis Nilai Potensi Objek Ekowisata di Kawasan Lembah Mulo .... 60

16. Bentuk Aktivitas Pada Objek dan Atraksi Wisata ... 65

17. Kebutuhan Ruang dan Daya Dukung ... 74

18. Rencana Program Wisata di Kawasan Lembah Mulo... 85


(16)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Objek dan daya tarik wisata yang berupa keindahan alam, flora, dan fauna yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Kepariwisataan mempunyai peranan yang penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan usaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, dan memperbesar pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Kepariwisataan juga mempunyai peran dalam memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya budaya nasional, memperkukuh jati diri bangsa, dan mempererat persahabatan antar bangsa (Setyanto 2006).

Indonesia memiliki banyak tempat wisata alam yang sangat menarik untuk dikunjungi. Karakter lanskapnya beragam mulai dari pantai, dataran rendah, sampai pegunungan. Setiap tempat memiliki ciri dan karakternya masing-masing. Salah satu potensi lanskap yang kurang begitu diperhatikan adalah karst. Padahal karakter lanskap tersebut cukup banyak tersebar di wilayah Indonesia.

Karst adalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup, drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk oleh pelarutan batuan kapur. Kawasan karst di Indonesia memiliki luas sekitar 154.000 km2 hektar dan tersebar hampir di seluruh Indonesia (Surono dkk. 1999). Wilayah karst biasanya berbukit-bukit dengan banyak gua. Bentang alam seperti ini dapat dijumpai, contohnya di sekitar Gombong Jawa Tengah dan Gunungkidul Yogyakarta.

Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini terdiri dari 18 kecamatan. Pusat pemerintahannya berada di Kecamatan Wonosari. Sebagian besar wilayah ini berupa pegunungan dan perbukitan kapur. Kawasan karst memiliki karakteristik yang unik di permukaan atas dan bawahnya. Secara fisik kawasan ini memiliki nilai estetik yang khas. Banyak dijumpai sungai bawah tanah yang menjadi pemasok ketersediaan air tanah bagi kawasan yang berada diatasnya. Menurut Purnomo (2005), salah satu potensi yang ada di daerah karst adalah rupa bumi dengan topografi yang unik dan air bawah tanah yang merupakan salah satu unsur


(17)

sumber daya alam yang sangat penting keberadaannya untuk kehidupan makhuk hidup karena menunjang berbagai aktivitas kehidupan.

Gunungkidul memiliki banyak tempat yang menarik berkaitan dengan rupa bumi setempat yang berbentuk karst. Lembah Mulo adalah salah satu wilayah di Desa Mulo Kecamatan Wonosari yang bentukan lanskapnya berupa cekungan karst. Lanskapnya berupa lembah yang tidak begitu luas. Terbentang sejauh kurang lebih 1 km. Dari ketinggian tertentu dapat dilihat kawasan sekitar dengan tebing-tebing curamnya dan vegetasi khas kawasan yang didominasi oleh pohon jati. Mulut gua tersebar di beberapa spot kawasan yang belum terjamah. Kawasan ini dengan jelas dapat terekspos dari pinggir jalan raya kabupaten. Namun, sepertinya belum ada pihak yang secara khusus memanfaatkan potensi yang berada di Lembah Mulo.

Perlindungan kawasan karst dan gua-gua dibawahnya dalam UU No. 5 pasal 1 (13) tahun 1990 bahwa kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pada pasal 3 juga disebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Perencanaan lanskap ekowisata karst di kawasan ini penting dilakukan untuk menata kawasan agar lebih fungsional, secara estetis indah, membentuk ikon wisata daerah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Tujuan

Tujuan dari perencanaan kawasan wisata karst ini adalah:

a. mengidentifikasi dan menganalisis kawasan karst Lembah Mulo berdasarkan potensi dan kendala untuk pengembangan tapak sebagai kawasan ekowisata b. mengidentifikasi dan menganalisis ketersediaan objek dan atraksi ekowisata

karst di Lembah Mulo


(18)

Manfaat

Penelitian perencanaan kawasan wisata karst ini dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat. Beberapa manfaat tersebut antara lain:

a. Mahasiswa

Mahasiswa dapat menganalisis dan mencoba membuat sebuah perencanaan kawasan wisata karst berbasis konservasi yang fungsional dan estetis dengan dasar ilmu yang telah didapat selama masa studi dalam usaha melestarikan lanskap karst Lembah Mulo, Yogyakarta.

b. Masyarakat

Masyarakat dapat mengetahui karakteristik dan potensi tapak dari keluaran penelitian ini sehingga dapat lebih arif dalam mengambil keputusan terkait penggunaan tapak dan meningkatkan kesejahteraan dari kegiatan wisata tersebut.

c. Pemerintah daerah setempat

Hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan tata ruang dan wilayah daerah setempat.


(19)

Kerangka Pikir

Berikut adalah kerangka pikir dalam melakukan perencanaan ekowisata karst di Lembah Mulo. Untuk mengembangkan area ini sebagai kawasan wisata dibutuhkan data dan analisis mengenai ketersediaan objek dan atraksi wisata, kepekaan kawasan, dan persepsi masyarakat sekitar. Selanjutnya disusun rencana ruang, aktivitas, dan fasilitas wisata untuk menghasilkan rencana lanskap.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Lembah Mulo di Provinsi D. I. Yogyakarta

Pengembangan kawasan sebagai area wisata yang belum optimal

Kondisi eksisting Lembah Mulo

Potensi objek dan atraksi wisata di kawasan Lembah

Mulo

Bentang lanskap yang khas, unik, dan

menarik Akses menuju tapak

yang mudah dijangkau

Analisis ketersediaan objek dan atraksi

wisata Zonasi kesesuaian tapak untuk ekowisata Persepsi dan preferensi masyarakat sekitar Rencana ruang Rencana aktivitas

Daya dukung tapak

Rencana fasilitas

Lanskap kawasan ekowisata Lembah Mulo di Provinsi Yogyakarta Potensi dikembangkan

menjadi kawasan wisata

Zonasi objek dan atraksi ekowisata Analisis kepekaan tapak berbasis lingkungan Rencana program dan perjalanan wisata


(20)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Karst

Secara terminologi, karst adalah bentang alam batuan gamping yang dibentuk oleh kegiatan pelarutan air. Proses itu akan berjalan baik selama batuan yang tersedia masih memiliki bagian yang bersifat mudah larut serta masih tersedia cukup air yang berfungsi sebagai pelarut. Proses pelarutan biasa disebut karstifikasi. Pembentukan bentang alam karst memerlukan waktu jutaan tahun. Bentang alam ini selain dapat mengandung berbagai jenis mineral berharga (diantaranya adalah emas, perak, tembaga, timbal, dan seng), sering juga memiliki keindahan yang luar biasa sehingga dapat membuat suatu daerah karst menarik dan mendapat perhatian berbagai golongan masyarakat (Maryanto 2006).

Secara umum para ahli menyebutkan bahwa kawasan karst mencakup luasan lebih dari 10% dari seluruh permukaan bumi (Jennings 1985). Laporan yang dibuat Hikespi (Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia) menyebutkan bahwa kawasan karst ditemukan hampir di seluruh pulau besar di Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, Kaliamantan, Sulawesi, dan Papua. Bappenas (2003) menyebutkan bahwa ada sekitar 15,4 juta hektar kawasan batuan gamping yang tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Namun hanya sebagian saja yang berkembang menjadi kawasan karst. Kawasan ini merupakan kawasan yang mempunyai nilai yang sangat tinggi baik dari segi ilmiah, ekosistem, budaya, sosial, ekonomi, dan tempat untuk pendidikan.

Lanskap Karst Pegunungan Sewu

Batu gamping neogen tersingkap luas di tengah Jawa bagian selatan. Tersebar dari mulai Parangtritis-Yogakarta hingga Teluk Pacitan-Jawa Timur, melalui Gunungkidul dan Wonogiri membentuk bentangan morfologi spesifik dinamakan karst. Kawasan ini dikenal dengan nama karst Gunung Sewu. Bentangan ini dicirikan adanya sekitar 40.000 bukit karst berbentuk kerucut (conical hills) (Uhlig 1980).

Kawasan Gunung Sewu merupakan bagian pegunungan di bagian selatan Pulau Jawa. Wilayahnya dari barat ke timur mencakup Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan. Secara geografis, kawasan ini membentang dari


(21)

Parangtritis hingga Teluk Pacitan sepanjang lebih dari 100 km, dengan batas selatan Samudera Hindia. Di sepanjang garis selatan ini, bentukan tebing terjal (cliff) merupakan kenampakan paling dominan, yang di beberapa bagian terputus oleh ujung-ujung lembah kering dan teluk, yang masing-masing diapit oleh lereng-lereng terjal dari perbukitan kerucut di kanan-kirinya. Ke arah utara, topografi kawasan Gunung Sewu dicirikan oleh sebaran bukit kerucut yang saling terpisahkan oleh depresi-depresi poligonal (cockpit) atau pun jaringan lembah kering menyerupai labirin. Beberapa dolin dan uvala yang berkembang di bagian inti (cockpit), kebanyakan berubah menjadi telaga pada musim hujan. Di bagian tengah, tubuh perbukitan karst Gunung Sewu menjorok ke utara sejauh kurang lebih 30 km sampai menjangkau wilayah Kecamatan Ponjong dan Eromoko yang diapit oleh dua depresi, yaitu Depresi Wonosari di sisi barat dan Depresi Baturetno di sisi timur (Samodra 2001).

Ciri dominan bentang alam karst Gunung Sewu, khususnya yang berkaitan dengan fenomena permukaan (eksokarst), berupa bukit-bukit kerucut berpuncak membulat (sinusoida) atau lancip (connica). Selain bangun residual tersebut, yang terjadi akibat adanya batuan yang lebih resisten terhadap proses pelarutan oleh air hujan (Ludman dan Coch 1982), kondisi eksokarst juga dicirikan oleh jaringan lembah kering antar perbukitan, baik yang terbuka maupun tertutup, depresi-depresi tertutup (doline dan uvala) yang seringkali menjadi telaga, mulut-mulut goa dan ponor (swallet), bentukan-bentukan/morfologi mikro (karren), serta ceruk-ceruk (rockshelters) pada lereng-lereng bukit dan lembah. Beberapa bangun karst permukaan tersebut telah mampu menyediakan sumberdaya lahan yang memiliki keterkaitan erat dengan eksistensi kehidupan manusianya, sejak zaman prasejarah hingga sekarang (Ludman & Coch 1982).


(22)

Wisata Pengertian Wisata

Wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan diluar dari lingkungan tempat tinggalnya, yang didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap (Nurisjah, 2008). Yoeti (1997) menjelaskan bahwa atraksi wisata dibedakan dengan ogjek wisata, karena dapat dilihat atau disaksikan melalui suatu pertunjukan yang khusus diselenggarakan untuk para wisatawan. Selain itu, dalam atraksi wisata untuk menyaksikannya harus dipersiapkan terlebih dahulu, sedangkan objek wisata dapat dilihat tanpa dipersiapkan terlebih dahulu.

Objek dan Atraksi Wisata

Objek wisata adalah sesuatu yang menjadi pusat daya tarik wisatawan dan dapat memberikan kepuasan kepada wisatawan. Objek wisata juga dapat berupa kegiatan, misalnya kegiatan masarakat keseharian, tarian, karnaval, dan lain-lain. Objek wisata bersifat statis, yakni penjualannya di tempat, tidak bisa dibawa pergi. Oleh karena itu, supaya orang dapat menikmatinya, seseorang perlu aktif mendekati. Seringkali wisatawan harus melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya menuju ke lokasi objek wisata untuk dapat menikmatina (Wardiyanta 2006). Menurut Damanik (2006) atraksi dapat diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan.

Potensi Wisata

Menurut Damanik (2006) potensi wisata adalah semua objek (alam, budaya, dan buatan) yang memerlukan banyak penanganan agar dapat memberikan nilai daya tarik bagi wisatawan karena memiliki peluang untuk dijadikan sebagai daya tarik wisata. Semua potensi wisata masih tergolong embrio objek dan daya tarik wisata. Setelah unsur-unsur aksesibilitas, amenitas, dan

hospitality menyatu dengan potensi objek tersebut maka ia merupakan produk wisata yang siap dikonsumsi oleh wisatawan.


(23)

Menurut Raharjana (2009) ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan berkenaan dengan daya tarik dari suatu objek wisata. Aspek-aspek ini merupakan sisi objek yang dapat dikatakan menarik. Beberapa diantaranya adalah:

a) Keunikan

Suatu objek wisata biasanya menjadi menarik antara lain karena keunikannya, kekhasannya, dan keanehannya. Artinya objek ini sulit didapatkan kesamaannya atau tidak ada dalam objek-objek lain. Aspek keunikan ini seringkali terkait dengan sejarah dari objek itu sendiri, baik itu sejarah dalam arti yang sebenarnya maupun sejarah dalam arti yang lebih mitologis. Oleh karena itu dalam mengidentifikasi objek-objek wisata, aspek keunikan ini perlu diperhatikan karena ini dapat menjadi daya tarik yang kuat bagi wisatawan.

b) Estetika

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah aspek keindahan dan ini merupakan unsur yang paling penting dari suatu objek wisata untuk dapat menarik wisatawan. Aspek keindahan ini sangat perlu diperhatikan dalam proses pengembangan suatu objek wisata. Suatu objek yang tidak unik dapat saja menarik bagi wisatawan karena keindahan yang dimilikinya. Bilamana keindahan ini menjadi menonjol, maka keindahan tersebut kemudian menyatu dengan keunikan dan membuat objek tersebut semakin menarik.

c) Keagamaan

Suatu objek wisata bisa saja tidak unik, tidak menarik, namun mempunyai nilai keagamaan yang tinggi. Artinya objek tersebut dipercaya sebagai objek yang bersifat suci, wingit, atau mempunyai kekuatan supernatural tertentu yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Aspek keagamaan ini perlu diperhatikan ketika identifikasi dan promosi dilakukan karena wisatawan tertentu seringkali tertarik oleh hal-hal semacam ini.

d) Ilmiah

Suatu objek wisata juga dapat menarik banyak wisatawan karena nilai ilmiah atau nilai pengetahuan yang tinggi yang dimilikinya, walaupun unsur unik, estetis, dan keagamaannya kurang. Namun, nilai ilmiah yang tinggi dari suatu objek wisata pada dasarnya merupakan bagian dari keunikannya. Aspek ilmiah ini perlu diperhatikan dalam proses identifikasi, pengembangan, dan promosi objek


(24)

wisata tersebut karena ini merupakan salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menarik lebih banyak wisatawan.

Masih menurut Raharjana, daya tarik sebuah objek wisata akan semakin kuat jika berbagai elemen penarik tersebut hadir bersama-sama. Jika tidak, maka dalam proses pengembangan dan promosi elemen-elemen yang masih kurang menonjol hendaknya diperkuat lagi agar objek tersebut mampu menarik wisatawan lebih banyak lagi. Selanjutnya dalam mengidentifikasi suatu objek perlu memperhatikan tiga hal, yaitu: kriteria atau patokan yang digunakan dalam identifikasi, metode identifikasi, dan dokumentasi hasil identifikasi. Kriteria identifikasi objek didasarkan pada sifat objek yang diidentifikasi. Berdasarkan sifatnya objek dibagi menjadi dua, yaitu: objek material (benda) dan objek non material (aktivitas). Sebagai contoh, objek budaya material adalah objek-objek yang mencakup hasil perilaku manusia, seperti rumah, barang kerajinan, ataupun objek alam yang direkayasa manusia. Objek non material sifatnya lebih mengarah pada aktivitas manusia, baik itu aktivitas yang rutin, ataupun yang jarang dilakukan dan berlangsung karena ada sesuatu atau waktu-waktu yang khusus. Metode identifikasi objek wisata yang dilakukan seperti halnya ketika melakukan penelitian, diantaranya pengamatan dan survei lapangan, observasi, dan wawancara mendalam.

Aksesibilitas

Inskeep (1994) dalam Damanik (2006) menjelaskan bahwa aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke,dan selama di daerah tujuan wisata, baik dari darat, laut,maupun udara. Akses ini tidak hanya menyangkut aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan waktu, kenyamanan, dan keselamatan. Sirkulasi menghubungkan ruang satu dengan ruang lainnya. Selain itu sirkulasi pun dapat menghubungkan ruang yang sudah ada atau memiliki sirkulasi sendiri. Terdapat pola sirkulasi yang umum digunakan, antara lain linier, radial, spiral, grid, dan jaringan (Tabel 1).


(25)

Tabel 1. Pola Sirkulasi yang Umum Digunakan

No. Nama Keterangan Gambar

1. Linier Jalan yang lurus dapat menjadi unsur pengorganisir utama deretan ruang. Jalan dapat berbentuk lengkung atau berbelok arah, memotong jalan lain, bercabang-cabang, atau membentuk putaran (loop)

2. Radial Pola radial memiliki jalan-jalan lurus yang berkembang dari sebuah pusat bersama

3. Spiral Suatu jalan tunggal menerus yang berasal dari titik pusat, mengelilingi pusatnya dengan jarak yang berubah

4. Grid Pola grid terdiri atas dua pasang jalan sejajar yang saling berpotongan pada jarak yang sama dan menciptakan bujur sangkar atau kawasan ruang segi empat

5. Jaringan Pola yang terdiri dari jalan-jalan yang menghubungkan titik-titik tertentu dalam ruang

Sumber: Darma (1998)

Jalur interpretasi adalah rute yang dirancang guna objek interpretasi dijelaskan dengan bantuan pemandu, tanda-tanda, pemflet atau peralatan elektronik. Hal ini dimaksudkan agar pengunjung mendapatkan pengetahuan tentang faktor-faktor lingkungan tersebut dengan pengalaman secara langsung di lapangan. Salah satu yang harus dipersiapkan dalam sebuah interpretasi adalah lintasan jalur. Trails adalah lintasan jalan setapak untuk pejalan kaki yang biasa


(26)

digunakan pada wisata alam atau wisata perjalanan menuju objek tujuan tertentu (Sam 1992). Menurut Douglas (1982) bentuk trails dapat berupa lintasan dalam tapak (interior trails), di luar tapak (exterior trails) atau lintasan alami (natural trails). Interior trails adalah lintasan jalan setapak pada area rekreasi buatan intensif yang bersifat komersial. Exterior trails adalah lintasan jalan setapak untuk menunjang aktifitas rekreasi intensif (lintas alam, mendaki, atau berkuda), sedangkan natural trails adalah rute interpretasi alam untuk menuntun pengunjung menuju lokasi objek tertentu seperti onjek geologi, biologi, sejarah, atau budaya yang dilengkapi dengan fasilitas pemandu wisata, papan petunjuk, pamflet, brosur, dan lain-lain. Lintasan dilengkapi oleh papan petunjuk tentang flora dan fauna di sepanjang lintasan.

Menurut Departemen Kehutanan (1986) rute lintasan dapat melalui kawasan hutan (forest trails) untuk menyaksikan, menikmati, mempelajari, atau mengkaji keindahan flora dan fauna serta fenomena alam dikiri-kanan lintasan. Jalan setapak di pedesaan (pedestrian trails) atau kawasan hutan (forest trails) juga tergolong sebagai natural trails. Lintasan selain berfungsi sebagai akses penghubung juga memberikan keindahan pandangan. Keindahan diperoleh dari kualitas alami dan kesederhanaan. Desain untuk perjalanan perlahan dengan mengutamanakan elemen lokal sehingga pengembangannya lebih ditujukan pada kepentingan konservasi. Pengunjung berjalan lalu berhenti sejenak untuk piknik atau istirahat serta interpretasi keindahan alam. Pada area konservasi lintasan disesuaikan dengan bentuk lahan guna meminimalisir pengaruh negatifnya. Lintasan harus aman, menghindari daerah berbahaya, memiliki keindahan pandangan dan objek yang khas, nyaman, tidak terlalu jauh dan licin, mudah dilalui, dilengkapi papan petunjuk, dan tidak mengganggu kehidupan alami (Berkmuller 1981). Fasilitas ditepi jalan dapat berupa shelter atau gazebo. Jarak lintasan jauh atau dekat tergantung bentuk tapaknya. Menurut Departemen Kehutanan (1988) pola alur lintasan tunggal melingkar dengan awal dan akhir disatu titik adalah bentuk ideal untuk lintasan alami.


(27)

Ekowisata Pengertian Ekowisata

Menurut Lascurain (1996) ekowisata adalah perjalanan ke tempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini. Rumusan di atas hanyalah penggambaran tentang kegiatan wisata alam biasa. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990 bahwa ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Definisi ini sebenarnya hampir sama dengan yang diberikan oleh Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan kegiatan wisata di alam terbuka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan pontensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus. Definisi di atas telah telah diterima luas oleh para pelaku ekowisata.

Pengembangan Ekowisata

Ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Secara umum pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Dalam naskah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2001), pengembangan ekowisata sangat dipengaruhi oleh keberadaan unsur-unsur yang harus ada dalam pengembangan itu sendiri, yaitu:


(28)

a. Sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya

Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk pengembangan ekowisata. Ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar untuk mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional maupun lokal.

b. Masyarakat

Pada dasarnya pengetahuan tentang alam dan budaya serta daya tarik wisata kawasan dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat menjadi mutlak, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan.

c. Pendidikan

Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya.

d. Pasar

Kenyataan memperlihatkan kecenderungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berperilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai sejarah dan budaya setempat.

e. Ekonomi

Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang non ekstraktif, sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata mewujudkan ekonomi berkelanjutan.


(29)

f. Kelembagaan

Pengembangan ekowisata pada mulanya lebih banyak dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, pengabdi masyarakat dan lingkungan. Hal ini lebih banyak didasarkan pada komitmen terhadap upaya pelestarian lingkungan, pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.

Namun kadangkala komitmen tersebut tidak disertai dengan pengelolaan yang baik dan profesional, sehingga tidak sedikit kawasan ekowisata yang hanya bertahan sesaat. Sementara pengusaha swasta belum banyak yang tertarik menggarap bidang ini, karena usaha seperti ini dapat dikatakan masih relatif baru dan kurang diminati karena harus memperhitungkan social cost dan ecological cost dalam pengembangannya. Dalam naskah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2001), pengembangan ekowisata perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Konservasi b. Pendidikan c. Ekonomi

d. Peran aktif masyarakat e. Wisata

Perencanaan Lanskap Pengertian Perencanaan

Pengertian perencanaan mempunyai beberapa definisi yang berbeda satu dengan lainnya. Cuningham menyatakan bahwa perencanaa adalah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuna, fakta, imajinasi, dan asumsi untuk masa yang akan datang dengan tujuan memvisualisasi dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima dan digunakan dalam penyelesaian.


(30)

Lanskap

Menurut Simonds (2006) lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dengan karakter lanskap tersebut. Dalam hal ini indera manusia memegang peranan penting merasakan suatu lanskap. Setiap tempat memiliki bentukan dan karakter lanskap yang berbeda baik terbentuk secara alami ataupun buatan. Karakter lanskap alami terdiri atas banyak tipe, antara lain gunung, bukit, lembah, hutan, padang rumput, aliran air, rawa, laut, danau, dan padang pasir. Karakter ini terbentuk oleh adanya kesan harmoni kesatuan antara elemen-elemen lanskap yang ada di alam seperti suatu bentukan lahan, formasi batuan, vegetasi, dan fauna. Derajat dari harmoni atau kesatuan dari berbagai elemen lanskap tidak hanya diukur dari kesan menyenangkan yang akan ditimbulkan, tetapi juga dari ukuran kualitas yang disebut dengan keindahan. Keindahan dapat diartikan sebagai hubungan harmoni nyata dari keseluruhan komponen perasaan.

Perencanaan Lanskap

Perencanaan lanskap adalah salah satu bentuk produk dalam kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan suatu bentuk kegiatan penataan ang berbasis lahan (land bassed planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik, dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan daqn keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan, termasuk kesehatannya (Nurisjah 2008).

Daya Dukung Lanskap Wisata Alam Pengertian Daya Dukung

Dalam merencanakan suatu kawasan wisata alam perlu dipertimbangkan kenyamanan dan kepuasan pengunjung atas sumberdaya wisata yang ditawarkan dan pada saat bersamaan juga harus dilakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam ini. Upaya utama yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan ini adalah


(31)

dengan merencanakan suatu bentuk pengelolaan kawasan wisata berdasarkan pendekatan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungannya (Nurisjah 2003) .

Wagar (1978) menyatakan bahwa daya dukung suatu kawasan alam adalah tingkat penggunaan sumberdaya alam, terutama dalam kegiatan rekreasi alam pada suatu area dimana dalam melakukan kegiatan ini tetap dapat mempertahankan kualitas sumberdaya alam yang digunakan. Dinyatakan selanjutnya bahwa daya dukung ini merupakan suatu konsep ukuran yang dinamis yang dapat dimanipulasi dengan pengelolaan melalui bantuan pengaturan, pembiayaan, dan pembatasan penggunaan suberdaya alamnya.

Masih menurut Nurisjah (2003), pengelolaan suatu kawasan wisata alam yang berdasarkan nilai daya dukung umumnya tidak bersifat absolut, tetapi bersifat probabilistic. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya, tidak hanya terhadap kelestarian yang dapat diberikan oleh sumberdaya alam dan lingkungan untuk wisata ini, tetapi juga terhadap kepuasan dan kenyamanan serta keamanan pengunjung kawasan. Karena itu maka bentuk dan intensitas serta model pengelolaan yang direncanakan akan sangat penting artinya guna penentuan besaran daya dukung ini.

Faktor yang Mempengaruhi Daya Dukung

Guna menduga nilai daya dukung suatu kawasan wisata alam, maka harus terlebih dahulu diketahui berbagai parameter yang mempengaruhi penilaian itu. Secara umum dapat dinyatakan bahwa daya dukung kawasan wisata alam ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

a. faktor wisatawan

b. faktor biofisik lingkungan kawasan

Karena umumnya penyebaran pengunjung dalam ruang dan waktu tidak merata maka daya dukung lingkungan suatu kawasan wisata sulit dan tidak dapat dihitung berdasarkan rata-rata ruang dan waktu penggunaan, tetapi harus juga memperhatikan setiap lokasi yang dikunjungi dan pada waktu-waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan pengunjung, berdasarkan penelitian Hendee, et al. (1978), diketahui bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi daya dukung kawasan wisata alam ini umumnya adalah tingkat atau intensitas penggunaan, tipe


(32)

kelompok pengunjung, dan perilaku pengunjung. Menurut Gold (1980) daya dukung terbagi menjadi 2 aspek, yaitu:

a. daya dukung fisik, yaitu kemampuan suatu area rekreasi untuk mendukung atau menampung penggunaan aktivitas rekreasi yang diinginkan

b. daya dukung sosial, yaitu kemampuan suatu area rekreasi untuk memberikan kualitas pengalaman rekreasi yang diinginkan.

Analisis daya dukung fisik dan sosial menggunakan standar-standar yang berlaku dan kebutuhannya disesuaikan dengan tujuan perencanaan lanskap.


(33)

BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan tersebut berada di pinggir jalan arteri kabupaten dan dapat ditempuh selama 1,5 jam dari pusat kota Yogyakarta dengan jarak tempuh sekitar 60 km dan 7 km dari Kecamatan Wonosari (Gambar 2). Pengambilan data penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Maret 2012 dan dilanjutkan dengan kegiatan penyusunan laporan (Tabel 2).

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Provinsi D. I. Yogyakarta


(34)

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari lima tahap mengacu pada tahapan yang dikemukakan oleh Gold (1980), yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis, sintesis, dan perencanaan (Gambar 3).

Gambar 3. Tahapan Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst

Persiapan

Pengumpulan data

Analisis

Sintesis

Perencanaan lanskap

Perumusan masalah, penetapan tujuan, pengumpulan informasi terkait

permasalahan, dan perizinan dinas terkait

1. Umum

Luas tapak, batas administrasi, dan tata guna lahan

2. Tapak

Topografi, tanah dan geologi, hidrologi, iklim, dan hayati

3. Aspek ekowisata

Ketersediaan objek dan atraksi wisata, nilai visual tapak, ketergantungan masyarakat pada tapak, dan potensi pengunjung

Analisis kesesuaian kawasan karst utk pengembangan ekowisata

Analisis ketersediaan objek dan atraksi wisata

Zonasi ekowisata tapak

Rencana lanskap


(35)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah perencanaan kawasan ekowisata berbasis kualitas dan kepekaan lingkungan. Pengolahan data didahului dengan menganalisis kesesuaian kawasan karst untuk ekowisata. Selanjutnya dilakukan analisis keberadaan objek dan atraksi wisata pada tapak Lembah Mulo.

Tahap pertama dilakukan analisis kesesuaian kawasan karst untuk ekowisata pada tapak. Kriteria dibuat untuk menilai sensitifitas kawasan karst. Area sensitif dimanfaatkan untuk kepentingan konservasi dan area yang kurang sensitif dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata. Tahap selanjutnya adalah melakukan identifikasi ketersediaan objek dan atraksi wisata pada tapak. Aspek yang dipertimbangkan dalam penilaian adalah keunikan, kelangkaan, keindahan, seasonality, sensitifitas, aksesibilitas, dan fungsi sosial (Avenzora 2007).

Persiapan

Tahap ini merupakan tahapan awal yang dilakukan dengan usulan penelitian, perumusan masalah, penetapan tujuan penelitian, pengumpulan informasi yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti, dan perizinan penelitian pada dinas terkait. Kemudian dilanjutkan dengan perumusan konsep awal dari kegiatan perencanaan yang dilakukan sebelum diadakan turun lapang, yang bertujuan untuk memudahkan dalam pengambilan data yang dibutuhkan sesuai konsep dan tujuan yang telah dikembangkan.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Maret 2012 selama kurang lebih dua minggu dan feel of the land pada tapak. Data yang diambil adalah data aspek bio-fisik, sosial, dan budaya serta potensi wisata keadaan awal tapak. Data terdiri atas data primer dan data sekunder yang diperoleh dari survey lapang, studi pustaka, dan wawancara. Data yang diambil terdapat pada Tabel 3. Bentuk data pada tahapan ini adalah berupa data tabular, peta kondisi tapak, dan foto untuk merekam visual tapak.


(36)

Data primer didapatkan dengan cara melakukan survey lapang dan pengamatan langsung keadaan lokasi penelitian untuk memperoleh potensi, hambatan, dan peluang pengembangan lanskap kawasan ekowisata karst. Sementara data sekunder berasal dari studi pustaka yang dilakukan untuk memperoleh data fasilitas standar yang digunakan, peraturan dan kebijakan yang mengikat dan membatasi pengembangan tapak, dan data keadaan fisik dan bio-fisik serta sosial ekonomi (Tabel 2). Data persepsi masyarakat sekitar diambil dengan melakukan wawancara kepada 40 responden yang tersebar secara acak disekitar kawasan Lembah Mulo berdasarkan pertanyaan yang telah disusun. Wawancara juga dilakukan terhadap instansi terkait untuk mendapatkan data dan informasi lebih dalam mengenai tapak.

Tabel 2. Jenis, Bentuk, Sumber, dan Cara Pengambilan Data

Aspek No Jenis Data Bentuk

Data Sumber Data Cara Pengambilan Fisik 1 Letak, luas, batas Primer,

Sekunder

Bakosurtanal Survey, Studi pustaka 2 Tanah dan geologi Primer,

Sekunder

Bappeda Survey, Studi pustaka 3 Topografi Sekunder Bakosurtanal Studi pustaka 4 Hidrologi Primer,

Sekunder

Bakosurtanal Survey, Studi pustaka 5 Tata guna lahan Sekunder Bappeda Studi pustaka 6 Vegetasi dan satwa Primer,

Sekunder

Tapak Survey, Studi pustaka

7 Iklim Sekunder BMG Studi pustaka

8 View Primer Tapak Survey

Sosial Budaya

1 Karakter, persepsi, dan preferensi masyarakat

Primer Tapak Survey

2 Aktivitas dan perilaku

Primer, Sekunder

Tapak Survey

Potensi Wisata

1 Atraksi/objek wisata

Primer, Sekunder

Tapak Survey

2 Aksesibilitas Primer Tapak Survey 3 Potensi tapak Primer Tapak Survey 4 Potensi pengunjung Primer,

Sekunder

Tapak Survey

Keterangan:

Bakosurtanal : Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah


(37)

Analisis

Analisis dilakukan untuk menilai keberadaan suatu objek dan atraksi serta kesesuaiannya apabila dikembangkan sebagai kawasan ekowisata pada tapak. Selanjutnya data identifikasi didapatkan dengan survey lapang dan wawancara. Analisis sumberdaya wisata dilakukan dengan mendata potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan sebagai atraksi. Dalam menganalisis dan identifikasi keberadaan atraksi atau objek wisata dinilai berdasarkan peluang kegiatan wisata yang dapat dilakukan pada objek wisata.

Tahap pertama dilakukan analisis kepekaan kawasan karst pada tapak. Kriteria dibuat dengan mengkombinasikan aspek fisik, yaitu geologi, tanah, dan topografi pada tapak seperti yang tersaji pada Gambar 4, Tabel 3, dan Tabel 4. Untuk pengamatan penelitian, Lembah Mulo dibagi menjadi segmen berdasarkan

penutupan lahan. Penutupan lahan dipilih menjadi unit analisis karena merupakan

penampakan nyata lahan yang ada saat ini dan memiliki atribut seperti kemiringan, jenis tanah, geologi, vegetasi, dan visual yang dapat dianalisis.


(38)

Tabel 3. Klasifikasi Kepekaan Kawasan Karst

No. Aspek

Kelas Kesesuaian Kurang peka (3) Cukup peka (2) Peka (1) 1. Geologi Bentukan alam

karst masih terlihat (sedikit) meskipun sabagian hilang atau rusak

Bentukan alam karst tidak terlalu terlihat dan ketebalan batu gamping tipis

Terdapat bentukan alam karst yang unik, spesifik, dan langka: conical hill, dolina, uvala, polce, sinkhole, atau goa 2. Tanah Aluvial, planosol,

hidromorf kelabu, latosol

Brown forest soil, mediteran

Regosol, litosol, organosol, rendzina

3. Topografi 0-15% 15-25% >25%

Sumber: Hidayat (2002), SK Menteri Pertanian No. 837/K pts/Um/11/1980, dan modifikasi Jumlah nilai = peka: 3-4 cukup peka: 5-7 kurang peka: 8-9

Tabel 4. Luas dan Persentase Segmen pada Lembah Mulo

Segmen Luas Tutupan Lahan Dominan

(Ha) (%)

1 1,70 10,35 Tegalan

2 0,17 1,04 Tegalan

3 5,10 31,04 Tegalan

4 4,93 30,00 Perkebunan

5 0,41 2,49 Perkebunan

6 0,32 1,95 Perkebunan

7 1,30 7,91 Telaga

8 0,62 3,77 Pemukiman

9 0,73 4,44 Tegalan

10 1,15 7,01 Tegalan

Total 16,43 100

Masing-masing aspek yang dinilai kemudian di-overlay sehingga menghasilkan kategori kurang peka, cukup peka, dan peka. Zona peka memiliki skor 8-9, cukup peka 5-7, dan kurang peka 3-4. Dalam perencanaan kawasan daerah peka merupakan area yang harus dikonservasi, daerah cukup peka merupakan area yang pemanfaatannya terbatas, dan daerah yang kurang peka merupakan area yang dapat dikembangkan menjadi kawasan untuk aktivitas ekowisata.

Analisis selanjutnya adalah penilaian terhadap keberadaan objek dan atraksi wisata pada tapak. Menurut Avenzora (2005), dalam penilaian objek wisata setidaknya perlu untuk menilai tujuh aspek nilai yang terkait dan berasosiasi dalam potensi suatu objek wisata, yaitu keunikan, kelangkaan, keindahan, seasonalitas, aksesibilitas, sensitifitas, dan fungsi sosial (Tabel 5).


(39)

Lima aspek pertama merupakan aspek-aspek penting dalam ranah kepariwisataan, sedangkan dua aspek yang terakhir adalah aspek penting dalam ranah sustainable development.

Objek yang potensial dinilai dengan menggunakan kriteria dan indikator yang telah ditetapkan. Setiap potensi objek dan atraksi yang terdapat dalam tapak dinilai berdasarkan kriteria yang telah dibuat (Tabel 5). Objek mendapatkan skor 1 pada tiap poin yang tertera pada aspek yang dinilai. Tiap objek dinilai berdasarkan 7 aspek pada kriteria yang telah dibuat. Selanjutnya skor tiap objek diakumulasi sehingga menghasilkan skor total. Objek bernilai rendah apabila memiliki skor 7-18, sedang 19-30, dan tinggi 31-42. Hasil dari analisis ini berupa data tabular dan spasial.

Tabel 5. Kriteria Penilaian Objek dan Atraksi Ekowisata

No Aspek Indikator Skor

1 Keunikan  Bentuk gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya

 Warna-warna gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya

 Manfaat dan fungsi gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya

 Tempat dan ruang gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya

 Waktu gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya

 Ukuran dimensi gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya

1 1 1 1 1 1

2 Kelangkaan  Gejala alam tersebut telah masuk dalam daftar kelangkaan internasional

 Gejala alam masuk dalam daftar kelangkaan nasional

 Gejala alam tersebut tidak ada di provinsi lain

 Gejala alam tersebut tidak ada di kabupaten lain

 Gejala alam tersebut tidak ada di kecamatan lain

 Pengulangan proses kejadian gejala alam tersebut sangat langka dalam kurun waktu tertentu

1 1 1 1 1 1

3 Keindahan  Keindahan komposisi dan nuansa bentuk dari gejala alam tersebut

 Keindahan komposisi dan nuansa warna dari gejala alam tersebut

 Keindahan komposisi dan nuansa dimensi ukuran dari gejala alam tersebut

 Keindahan komposisi dan nuansa gejala alam dari gejala alam tersebut

 Keindahan komposisi dan nuansa visual secara totalitas dari gejala alam tersebut

 Kepuasan psikologi pengunjung dari komposisi dan nuansa yang dihasilkan gejala alam tersebut

1 1 1 1 1 1


(40)

4 Seasonality  Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung beberapa saat saja pada hari tertentu

 Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada hari tertentu dalam periode minggu tertentu

 Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada minggu tertentu dalam periode bulan tertentu

 Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada bulan tertentu dalam periode tahun tertentu

 Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada bulan tertentu dalam periode kondisi tahun tertentu

 Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada kelompok umur, fisik, dan status sosial tertentu. 1 1 1 1 1 1

5 Sensitifitas  Peristiwa kejadian alam tersebut tidak terpengaruh oleh kehadiran sedikit/banyak pengunjung

 Kualitas kejadian alam tersebut tidak terpengaruh oleh kehadiran sedikit/banyak pengunjung

 Kuantitas kejadian alam tersebut tidak terpengaruh oleh kehadiran sedikit/banyak pengunjung

 Kehadiran pengunjung untuk menikmati gejala alam tersebut tidak mempengaruhi terjadinya kejadian fenomena alam lain disekitarnya

 Dalam bentuk kontak fisik tidak akan menyebabkan berubahnya secara permanen kualitas dan kuantitas gejala alam tersebut dan gejala alam lainnya.

 Daya dukung fisik, ekologis, dan psikologis tidak terganggu

1 1 1 1 1 1 6 Aksesibilitas  Lokasi gejala alam tersebut dapat dijangkau dengan

kendaraan umum dalam waktu maksimal dua jam dari ibukota kabupaten

 Lokasi gejala alam tersebut dapat dijangkau dengan kendaraan umum dalam waktu maksimal satu jam dari ibukota kecamatan

 Lokasi gejala alam tersebut dapat dijangkau oleh semua jenis kendaraan roda empat

 Pengunjung dapat menjangkau lokasi gejala alam tersebut tanpa harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melebihi 2 km

 Untuk mencapai lokasi tersebut tersedia kendaraan umum yang beroperasi setidaknya 16 jam per hari

 Lokasi tersebut dapat dicapai dalam segala kondisi cuaca

1 1 1 1 1 1

7 Fungsi Sosial  Gejala alam tersebut diyakini masyarakat sekitar mempunyai sejarah yang sangat kuat dengan cikal bakal komunitas yang tinggal di kawasan tersebut

 Gejala alam tersebut hingga saat ini masih digunakan sebagai salah satu sumber elemen kehidupan sosial/budaya keseharian masyarakat sekitar

 Gejala alam tersebut hingga saat ini masih digunakan sebagai salah satu sumber elemen budaya pada berbagai upacara budaya dalam dinamika budaya masyarakat setempat

 Gejala alam tersebut hingga saat ini hanya digunakan sebagai salah satu sumber elemen budaya pada upacara

1

1

1


(41)

budaya tertentu saja dalam dinamika sosial budaya masyarakat setempat

 Gejala alam tersebut hingga saat ini digunakan sebagai salah satu sumber elemen ekonomi utama bagi kehidupan sosial ekonomi keseharian masyarakat setempat

 Gejala alam tersebut hingga saat ini hanya digunakan sebagai salah satu identitas regional bagi masyarakat setempat

1

1

Sumber: Avenzora 2008

rendah: 7-18 sedang: 19-30 tinggi: 31-42

Sintesis

Sintesis merupakan tahap pemecahan masalah dan pemanfaatan potensi dari suatu tapak yang disesuaikan dengan tujuan perencanaan. Setelah dilakukan pemecahan masalah dan pemanfaatan potensi akan diperoleh alternatif-alternatif perencanaan yang selanjutnya ditentukan alternatif terpilih yang merupakan satu alternatif atau modifikasi dan kombinasi dari beberapa alternatif perencanaan. Pada tahap ini ditentukan objek dan atraksi yang potensial untuk dikembangkan dalam kegiatan ekowisata yang akan direncanakan. Sensitifitas area yang telah diketahui membantu dalam menentukan area yang harus dikonservasi, dimanfaatkan terbatas, dan area utama untuk kegiatan ekowisata. Pada tahap ini juga ditentukan konsep pengembangan tapak yang mengacu pada fungsi dan tujuan yang telah ditetapkan dan perhitungan daya dukungnya. Daya dukung lahan dihitung untuk mengetahui kapasitas tampung dan aktivitas pada area wisata maupun konservasi di Lembah Mulo agar dalam pengembangan wisata tidak merusak dan tetap menjaga kelestarian tapak. Pendugaan nilai daya dukung wisata berdasarkan pada standar rata-rata individu dalam m2/orang (Boulon dalam WTO dan UNEP, 1992 dalam Siti Nurisjah et. al., 2003):

DD = A/S DD = Daya dukung tapak

A = Area yang digunakan untuk wisata

T = DD x K S = Standar rata-rata individu

T = Total hari kunjungan

K = N/R K = Koefisien rotasi

N = Jam kunjungan per-hari


(42)

Rencana Lanskap.

Pada proses ini konsep tersebut dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk rencana tata ruang, tata letak aktifitas dan fasilitas rekreasi. Hasil dari tahap ini berupa rencana tapak (site plan) yang menggambarkan aktifitas dan fasilitas yang dapat dikembangkan, jalur sirkulasi yang direncanakan, tata letak elemen lanskap dan fasilitas yang pendukung.


(43)

BAB IV KONDISI UMUM

Letak Geografis Lembah Mulo, Desa Mulo, Provinsi DIY

Penelitian ini dilakukan di kawasan Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Mulo terletak pada posisi geografis 8° 1’ 0’’ LS - 8° 2’ 0’’ LS dan 110° 34’ 0’’ BT - 110° 34’ 30’’ BT. Lokasi kawasan penelitian berjarak 60 km dari ibukota Yogyakarta dan terletak pada ketinggian 150-300 meter di atas permukaan laut. Secara administratif Desa Mulo berbatasan dengan Desa Duwet di sebelah utara, Desa Kemiri (Kecamatan Tepus) di sebelah selatan, Desa Serpeng (Kecamatan Semanu) di sebelah Timur, dan Desa Wunung di sebelah Barat.

Lembah Mulo secara administrasi terletak di Desa Mulo, Kecamatan Wonosari seperti yang tersaji pada Gambar 5. Desa Mulo memiliki luas 120,7 Ha sementara luas Lembah Mulo sendiri adalah 17 Ha. Kawasan tersebut belum dikembangkan secara optimal dan berpotensi sebagai objek wisata andalan desa sekaligus kabupaten dengan menerapkan konsep ekowisata. Lembah Mulo berbatasan dengan tegalan di sebelah utara, perkebunan milik warga di sebelah selatan, pemukiman di sebelah barat, dan perkebunan milik Departemen Kehutanan di sebelah timur.

Gambar 5. Peta Orientasi Tapak Penelitian (Sumber: Google Map diakses pada 17 Desember 2012)


(44)

Tata Guna Lahan

Desa Mulo memiliki luas total kawasan sebesar 162,30 Ha. Kawasan tersebut terdiri atas lahan terbangun (31,29 Ha) dan lahan terbuka (131,01 Ha). Lahan terbangun terdiri dari pemukiman warga, tempat ibadah (masjid, mushola, dan gereja), fasilitas publik (sekolah, kantor pemerinahan dan administrasi), dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan lahan terbuka terdiri atas tegalan, perkebunan rakyat, pemakaman, dan sawah tadah hujan (Tabel 6).

Tabel 6. Tata Guna Lahan Desa Mulo

No. Tata Guna Lahan Luas

(Ha) %

1 Lahan terbangun 31,29 19,28

2 Sawah tadah hujan 55,41 34,14

3 Tegalan 72,71 44,80

4 Perkebunan 2,89 1,78

Jumlah 162,30 100

Kawasan Lembah Mulo sendiri memiliki luas 16,4 Ha dan secara administrasi masuk ke wilayah Desa Mulo dan sebagian kecil lainnya masuk wilayah Kecamatan Semanu seperti tersaji pada Gambar 6 dan Gambar 7. Kondisi saat ini didominasi oleh ruang terbuka. Lahan terbangun berupa pemukiman warga tersebar di beberapa dusun pada kawasan ini. Terdapat dua telaga yang terletak tidak jauh dari lembah.


(45)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 7. Tata Guna Lahan Kawasan Lembah Mulo dan Sekitarnya (a) tegalan, (b) perkebunan, (c) permukiman, (d) telaga

Keadaan Fisik Lembah Mulo Topografi dan Kemiringan

Kawasan karst di Kabupaten Gunungkidul terletak pada zona Pegunungan Seribu di bagian selatan kabupaten yang dikenal dengan Pegunungan Sewu. Zona ini mempunyai topografi yang khas sebagai bentukan ekosistem karst. Morfologi yang terbentuk akibat proses karst ini, antara lain kerucut karst, telaga karst, shink hole, goa, sungai bawah tanah, dan tebing terjal. Kecamatan Wonosari dan sekitarnya memiliki ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan lereng rata-rata 25-30°. Luas keseluruhan Pegunungan Sewu adalah 78.344,20 Ha.

Secara geomorfologi daerah karst Pegunungan Sewu Kabupaten Gunungkidul dapat digolongkan ke dalam karst transisi, dimana tipe ini merupakan kawasan yang memiliki karakteristik antara tipe holokarst dan mezokarst. Ciri dari tipe ini adalah adanya bentukan-bentukan eksokarst dan endokarst seperti kubah karst, doline, ulava, dan sedikit landcover. Kawasan ini berdrainase permukaan yang sedikit dan mempunyai banyak lembah-lembah kering. Kawasan karst Pegunungan Sewu mempunyai lapisan yang semakin


(46)

menipis dari arah selatan ke utara dengan cliff pada pantai serta beberapa teluk yang datar.

Menurut terjadinya, karst Pegunungan Sewu termasuk karst tropik dengan ciri pelarut batuan yang tinggi, kapasitas menyalurkan air yang tinggi, ketinggian di atas permukaan laut yang bervariasi, intensitas hujan yang tinggi, tektonisasi,

cone karst, doline karst, tower karst, dan collapse sinkhole. Karst di Pegunungan Sewu juga dapat digolongkan ke dalam fluviokarst karena beberapa tempat tertutup vegetasi dan dipengaruhi aliran sungai. Berdasarkan Kajian Pengelolaan dan Pengembangan Ekosistem Kawasan Karst di Kabupaten Gunungkidul yang dilakukan oleh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998, Kawasan Pegunungan Sewu dibagi menjadi dua satuan medan:

a. Dataran aluvial dan lembah karst. Satuan medan ini secara umum merupakan dataran dengan proses solusi yang intensif yang membentuk bentukan-bentukan negatif, seperti lembah karst, doline, dan uvala. Topografi medan adalah datar bergelombang, lereng berbentuk U, dan lapisan tanahnya dalam karena proses deposisi.

b. Perbukitan karst, komplek doline dan kubah karst. Satuan medan ini merupakan bagan terbesar pada kawasan karst Gunungkidul. Perbukitan karst tropika basah. Bentuk bukit membulat dan berlereng curam ini mempunyai lapisan tanah yang tipis. Permukaannya berlapis dan diperkirakan terbentuk di bawah kondisi penutup hutan.

Bersadasrkan ketebalan dan kenampakan kawasan karst Kabupaten Gunungkidul dibagi kedalam:

a. Zona Inti Karst

Merupakan daerah inti karst dimana terjadi proses kartisifikasi yang sesungguhnya dengan cepat. Bentuk eksokarst dan endokarst dominan dijumpai pada kawasan ini. Ketebalan batu gamping mencapai 800 meter. Kawasan ini meliputi bagian selatan kawasan karst Pegunungan Sewu yang secara administratif meliputi Kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari, Tepus, Tanjungsari, Girisubo. Rongkop, sebagian Semanu, sebagian Playen, dan sebagian Ponjong.


(47)

b. Zona Sub-Inti Karst

Merupakan daerah dengan ketebalan batuan gamping yang mulai menipis. Kawasan ini telah banyak dimanfaatkan secara intensif guna keperluan manusia terutama pertambangan. Secara administratif meliputi Kecamatan Playen, Paliyan, dan sebagian besar Semanu serta Ponjong.

c. Daerah Karst Pantai

Merupakan daerah karst yang berada di bagian paling selatan dari Pegunugan Sewu dengan kenampakan cliff, mushroom rock, pantai, teluk, dan sempadan pantai. Daerah pantai karst ini memanjang dari ujung barat sampai ujung timur Pegunungan Sewu meliputi Kecamatan Purwosari, Saptosari, Tanjungsari, Tepus, dan Girisubo.

Kondisi topografi pada kawasan Lembah Mulo berbukit-bukit dengan

focal point berupa lembah karst dengan kemiringan yang curam dan lebih dari 60% seperti terlihat pada Gambar 8. Lembah karst tersebut dikelilingi oleh tapak yang berbukit-bukit dengan kemiringan bervariasi seperti terlihat pada Gambar 9. Tapak dengan kondisi datar dapat ditemui pada kawasan Desa Mulo dan Desa Serpeng yang didominasi oleh pemukiman warga. Titik tertinggi kawasan berada pada 152 meter di atas permukaan laut sedangkan titik terendah kawasan berada pada ketinggian 47 meter di atas permukaan laut. Klasifikasi kemiringan dibedakan menjadi datar, landai dan miring. Angka tertingi diberikan kepada kemiringan 0-15% (datar) karena tapak ini sangat mendukung untuk kegiatan ekowisata. Nilai terendah diberikan untuk kemiringan >25 % karena pada tapak ini kurang mendukung untuk dibangun suatu bentuk fisik bangunan dan juga rawan terjadi erosi, sehingga pembangunan fisik sangat dibatasi.

Daerah dengan kemiringan datar tersebar pada area pemukiman warga, sekitar jalan raya dan pada beberapa tempat di dasar lembah. Tapak yang datar dapat dimanfaatkan sebagai kawasan yang dapat digunakan sebagai area terbangun. Peletakan bangunan seperti shelter, gardu pandang, dan perkemahan dapat dikembangkan pada area ini. Dasar lembah yang relatif datar juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan tracking susur lembah pada waktu-waktu tertentu.


(48)

Area dengan kemiringan sedang tersebar pada kawasan perkebunan, tegalan, dan sekitar tebing lembah. Area dengan kemiringan ini merupakan tempat mengalirnya air menuju area yang lebih rendah pada kawasan. Pemanfaatan area ini sebatas jalur ekowisata, perkemahan pada spot-spot tertentu, dan selebihnya dibiarkan sebagai kawasan hijau. Sementara area dengan kemiringan curam merupakan daerah dengan pemanfaatan minimum berhubung dengan sensitifitas area ini yang tinggi. Area ini hanya dimanfaatkan sebagai objek view dan sisanya dibiarkan tetap alami. Pada beberapa spot lereng yang sangat curam dapat dilakukan pengembangan berupa area panjat tebing.


(49)

34


(50)

35


(51)

Geologi dan Tanah

Menurut Suyoto (1994) berdasarkan susunan stratigafinya formasi batuan yang ada di Pegunungan Sewu Gunungkidul memiliki urutan-urutan dari tua ke muda, yaitu sebagai berikut:

a. Formasi Wungkal-Gamping

Merupakan formasi yang berada paling bawah dan paling tua dalam zona Pegunungan Sewu, yang terdiri dari batu pasir, kuarsa, napal pasiran, batu lempung, dan lensa batu gamping dengan umur Eosen atas.

b. Formasi Kebo-Butak

Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Wungkal-Gamping dengan ketebalan 650 meter. Kelompok batuan yang menyusun formasi ini ada dua, yaitu: bagian bawah terdiri dari batu pasir, lanau, lempung, serpih, tulf, dan aglomerat; dan bagian atas yang terdiri atas batu pasir dan batu lempung dengan sisipan tipis tuf

asam. Umur dari formasi ini adalah Oligosen hingga Miosen bawah. c. Formasi Semilir

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Kebo-Butak dengan material penyusun berupa breksi batuan apung, batu pasir, dan serpih. Umur formasi ini Miosen awal bagian tengah sampai tengah bagian bawah.

d. Formasi Nglanggran

Formasi ini menjari dengan Formasi Semilir dengan material penyusun berupa breksi gunung api, batu pasir vulkanik, lava andesit basalt, breksi autoklastik, serta mempunyai umur Miosen awal bagian tengah sampai tengah bagian bawah.

e. Formasi Sambipitu

Formasi ini mempunyai posisi menjari tehadap Formasi Nglanggran yang tersusun oleh perselingan batu pasir dan serpih. Umur formasi ini adalah Miosen tengah bagian bawah.


(52)

f. Formasi Oyo

Formasi ini diendapkan secara tidak selaras dengan Formasi Nglanggran dan membagi dengan Formasi Sambipitu. Penyusun formasi ini terdiri atas batu gamping, napal, dan tuf andesit. Umur formasi ini adalah Miosen awal bagian atas sampai tengah bagian bawah.

g. Formasi Wonosari

Posisi formasi ini menjari terhadap Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo. Batuan penyusun formasi ini adalah batu gamping berlapis, reef limestone, batu gamping napalan, dan batu lamau.

h. Formasi Kepek

Formasi ini menjari tehadap Formasi Wonosari dengan penyusunan utama batuannya adalah perselingan batu gamping dengan napal. Formasi ini mempunyai umur Miosen atas.

i. Endapan kuarter terrarosa dijumpai di daerah karst Pegunungan Sewu. Endapan ini adalah campuran tanah pelapukan gamping, sisa-sisa sedimen yang tidak mampu terangkut oleh air dan tanah lempung berwarna merah. Terrarosa tersebar dan mengisi bagian dasar cekungan dan bagian dasar dolina-dolina.

j. Endapan Aluvial

Endapan ini berasal dari deposisi sungai dan tersusun oleh lempung berwarna hitam, lanau, pasir, kerakal, berangkal, dan sisa-sisa tanaman.

Kawasan Lembah Mulo didominasi oleh batuan kapur yang tersebar pada penjuru kawasan. Berdasarkan data pada peta tanah yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Gunungkidul tahun 2010, kawasan Lembah Mulo memiliki jenis tanah mediteran merah dan rendzina. Jenis tanah ini memiliki hubungan dengan iklim laut tengah (mediterania) yang dicirikan dengan musim dingin banyak hujan dan musim panas kering. Tanah ini pertama kali ditemukan dan diselidiki sekitar laut tengah disepanjang pantai Eropa, sepanjang pantai asia barat yang mengitari laut tengah.


(53)

Selain itu tanah inipun terdapat di Amerika Selatan dan Asia Tenggara (Indonesia, Laos, Filipina). Jenis tanah ini terutama yang merah juga terkenal dengan nama Terra Rossa. Dibandingkan dengan batu kapur sebagai bahan induk tanah Mediteran Merah Kuning memperlihatkan akumulasi sesquioksida dan silika, sedangkan jika dibandingkan dengan jenis-jenis tanah dari daerah humid seperti latosol, jenis tanah ini mempunyai lebih kadar alkali dan alkali tanah.

Tingginya kadar Fe dan rendahnya kadar bahan organik menyebabkan tanah Mediteran Merah Kuning berwarna merah mengkilat, bertekstur geluh dan mengandung konkresi Ca dan Fe. Di Indonesia tanah jenis ini lanjut mengalami pembentukan tanah dengan cara lixiviasi dan kalsifikasi lemah, tekstur berat, konsistensi lekat, kadar bahan organik rendah, reaksi alkalis, derajad kejenuhan bsa tinggi, horison B tekstur berwarna kuning merah, mengandung konkresi-konkresi kapur dan besi, horison eluvial umumnya tererosi, dengan topografi berbukit sampai pegunungan.

Area tapak didominasi oleh tanah jenis mediteran merah dan rendzina seperti tersaji pada Gambar 10 dan Gambar 11. Tanah mediteran merupakan jenis tanah yang tergolong kurang peka (SK. Menteri Pertanian 24 November 1980 dalam Penuntun Analisis Tapak). Tanah jenis ini dalam bentuk fisik merupakan pelapukan dari batuan kapur sehingga kadar hara pada tanah ini rendah. Kedalaman top soilnya tidak terlalu dalam. Area sensitif tanah jenis ini pada tapak terletak pada daerah yang dekat dengan pinggiran lembah karena rawan erosi. Tanah disekitar kali memiliki kandungan hara yang lebih baik dari tanah disekitarnya karena area tersebut dialiri air dan lumpur yang kaya akan bahan organik.


(54)

39


(55)

Hidrologi

Kawasan Lembah Mulo merupakan daerah yang kering dan kesulitan air. Pada dasar lembah terdapat bekas aliran Kali Ngingrong yang kondisi kualitas dan kuantitas airnya seperti yang tersaji pada Gambar 12. Kali Ngingrong akan terisi air ketika musim hujan dan akan surut ketika musim kemarau tiba. Kali Ngingrong berujung pada dua buah mulut goa yang berbeda, yaitu Goa Ngingrong dan Goa Mulo. Kali tersebut selanjutnya masuk ke dalam gua dan pada dasar gua terdapat telaga dan sungai bawah tanah (pada Goa Ngingong). Sungai dan telaga bawah tanah tersebut kabarnya merupakan sumber air masyarakat sekitar pada zaman dulu. Pada tempat lain di Desa Serpeng terdapat dua telaga karst, yaitu Telaga Serpeng I dan Telaga Serpeng II. Telaga Serpeng II dari segi ukuran dan kuantitas air lebih luas daripada Telaga Serpeng I. Kedua telaga tersebut merupakan daerah tangkapan air kawasan sekitar khususnya Desa Serpeng seperti tersaji pada Gambar 13.

Hidrologi pada kawasan ini dibedakan berdasarkan keberadaan dan tingkat kebersihannya. Nilai tertinggi diberikan pada badan air yang berada di endokarst karena keberadaannya sangat langka dan sensitif. Sedangkan nilai paling rendah diberikan pada badan air yang berada di eksokarst, kotor, dan keruh.


(56)

41


(1)

87

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Lembah Mulo merupakan kawasan karst yang unik dan menarik. Kawasan ini berpotensi dikembangkan menjadi kawasan ekowisata. Kawasan Lembah Mulo memiliki kepekaan yang tinggi sehingga terbatas dalam pemanfaatannya. Sebesar 6,8 hektar (41,39% dari total kawasan) merupakan area yang peka, 9,63 hektar (58,61% dari total kawasan) merupakan area yang cukup peka, dan 0 hektar merupakan area yang kurang peka. Terdapat tiga belas objek dan atraksi wisata yang tersebar di sekitar kawasan. Objek wisata tersebut, antara lain Lembah Mulo, luweng, Goa Mulo, Goa Ngingrong, dan Telaga Serpeng. Sementara atraksi wisata yang tersebar, antara lain reog dogdog, rasulan, campur sari, dan kesenian wayang kulit. Penerapan konsep ekowisata bertujuan untuk menjaga kelestarian karst yang di Lembah Mulo.

Saran

Ekowisata dapat berjalan dengan baik apabila terdapat kerjasama dan hubungan yang baik antara masyarakat sekitar, pemerintah daerah, dan pihak-pihak lain yang terkait. Kesadaran masyarakat sekitar untuk tetap menjaga kelestarian kawasan dibutuhkan agar pemanfaatan kawasan untuk kegiatan wisata dapat dikontrol dan tidak berlebihan. Pemerintah daerah juga harus dapat mengakomodasi dan memfasilitasi kegiatan wisata di Lembah Mulo khususnya dalam hal promosi.

Perencanaan ekowisata karst di Lembah Mulo diharapkan dapat menjadi model perencanaan wisata bagi kawasan-kawasan karst lain yang berada di sepanjang Pegunungan Sewu. Penerapan ekowisata selain akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar juga akan melindungi dan melestarikan kawasan karst yang secara ekologi memiliki peran vital bagi kehidupan manusia yang tinggal di atasnya.


(2)

PERENCANAAN LANSKAP EKOWISATA KARST

DI LEMBAH MULO YOGYAKARTA

FATHIIN MUHTADI PRIYATAMA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(3)

88

DAFTAR PUSTAKA

[Bappeda Kabupaten Gunungkidul]. 2005. Triple A Atlas Gunungkidul. Yogyakarta: Badan Perencana Pembangunan Daerah.

[Bappeda Provinsi Yogyakarta]. 2007. Triple A: Special Province of Yogyakarta.

Yogyakarta: Badan Perencana Pembangunan Daerah.

[BPS Kabupaten Gunungkidul]. 2008. Wonosari dalam Angka 2008. Gunungkidul: Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul.

[Dinparbud Kabupaten Gunungkidul]. 2008. Laporan Akhir Penyusunan Site Plan Objek Wisata Karst Mulo – Kalisuci Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul.

Avenzora R. 2008. Penilaian Potensi Obyek dan Atraksi Wisata. Aspek dan Indikator penilaian. Di dalam: Avenzora, R, Editor. Ekoturisme Teori dan Praktek. BRR NAD – NIAS.

Bappenas. 2003. Startegi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. (INSAP) Dokumen Nasional Pemerintah Indonesia. Bappenas: Jakarta.

Chiara dan Koppelman. 1997. Standar Perencanaan Tapak. Erlangga: Jakarta. Damanik, dkk. 2006. Perencanaan Ekowisata: dari Teori ke Aplikasi.

Yogyakarta: Andi.

Dharma A. 1998. Seri Diktat Kuliah Teori Arsitektur 2. Depok: Gunadarma. Departemen Kehutanan. 1986. Pedoman Bumi Perkemahan Taman Nasional.

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.

Departemen Kehutanan. 1988. Pedoman Interpretasi Taman Nasional. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.

Departemen Pertanian. 1980. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor :837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Lindung. Jakarta

Douglas RW. 1992. Forest Recreation. New York: Pergamon Press.

Ekowisata Indonesia. 2007. Definisi Ekowisata Indonesia (terhubung berkala) http://www.ekowisata.info/definisi_ekowisata.html [7 April 2011].

Gold SM. 1980. Recreation Planning and Design. Mc Graw-Hill Book Co., Inc New York.


(4)

Gunn CA. 1994. Tourism Planning: Basic, Concept, Cases. Washington: Taylor Francis.

Hidayat N. 2002. Analisis Pengelolaan Kawasan Eksokarst Gunungkidul Sebagai Kawasan Geowisata. [Thesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Jenning JN. 1985. Karst Geomorphology. Oxford: Bail Blackwell.

Lascurain H. 1996. Tourism, Ecotourism, and Protected Area. Switzerland: IUCN.

Ludman A & N. K. Coch. 1982. Physical Geology. McGray-Hill Book Company: Ney York.

Maryanto I. 2006. Manajemen Bioregional: Karst, Masalah, dan Pemecahannya, Dilengkapi Kasus Jabodetabek. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.

Nurisyah S & Pramukanto. 2003. Daya Dukung Lahan dalam Perencanaan Tapak. Departemen Arsitektur Lanskap, IPB. Bogor

Nurisjah S & Pramukanto. 2008. Penuntun Praktikum Perencanaan Lanskap. Departemen Arsitektur Lanskap, IPB. Bogor.

Raharjana D. 2009. Identifikasi Potensi Kawasan Pedesaan Sebagai Kawasan Wisata (terhubung berkala). http://www.google.com. [4 Februari 2011]. Samodra H. 2001. Kawasan Karst di Indonesia: Pengelolaan dan

Perlindungannya. Publikasi Khusus. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Setyanto H. 2006. Pemanfaatan Kawasan Karst sebagai Objek Wisata. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.

Simond JO & Starke. 2006. Landscape Architecture. Ney York: McGraw-Hill Book Co, Inc.

Surono dkk. 1999. Batuan Karbonat pembentuk morfologi karst di Indonesia. Kumpulan Makalah Lokakarya Kawasan Karst. Jakarta: Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral.

Suyoto. 1994. Sikuen Stratigrafi Karbonat Gunung Sewu. Makalah Ikatan Ahli Geologi Indoneisa. 5-8 Desember 1994.


(5)

90

LAMPIRAN LEMBAR KUESIONER

Selamat pagi/siang/sore/malam. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam penelitian saya. Perkenalkan nama

saya Fathiin Muhtadi Priyatama. Saya mahasiswa semester 8, Departemen Arsitektur

Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saya sedang melakukan

penelitian mengenai Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst di Lembah Mulo

Yogyakarta. Saya mengharapkan partisipasi Saudara/Saudari untuk menjadi responden dari kuisioner penelitian saya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan sebenar-benarnya. Terima kasih.

Data Pribadi Responden

1. Jenis Kelamin

a. Laki-laki b. Perempuan

2. Umur

a.18-22 thn c.31-40 thn e.51-60 thn

b.23-30 thn d.41-50 thn f.>60 thn

3. Pekerjaan :

a. Pelajar d. Karyawan swasta

b. Mahasiswa e. Wiraswasta

c. PNS f. Lainnya...

4. Kependudukan :

a. Asli b. Pendatang dari ……….

5. Pendidikan terakhir :

a. Tidak sekolah d. SMA

b. SD e. Akademik

c. SMP f. Sarjana

Rencana Pengembangan Kawasan Wisata

1. Apakah Anda pernah berkunjung ke Lembah Mulo?

a. Ya

b. Tidak

2. Frekuensi kunjungan ke Lembah Mulo dalam setahun?

a. Seminggu sekali

b. Dua minggu sekali

c. Sebulan sekali

d. Enam bulan sekali

e. Setahun sekali

3. Hari kunjungan?

a. Hari libur

b. Hari biasa

4. Waktu kunjungan?

a. Pagi

b. Siang

c. Sore

d. Malam

5. Apa tujuan Anda mengunjungi Lembah Mulo?

a. Lewat saja saat bepergian

b. Iseng-iseng, bermain


(6)

d. Lainnya ...

6. Kegiatan apa yang biasa Anda lakukan di Lembah Mulo?

a. Duduk-duduk

b. Berjalan mengitari kawasan

c. Melihat pemandangan

d. Lainnya ...

7. Setujukah Anda dengan kegiatan wisata di Lembah Mulo?

a. Setuju

b. Tidak

8. Bagaimana situasi Lembah Mulo menurut Anda?

(pilih salah satu jawaban dari setiap poin) a. Indah/Tidah indah

b. Unik/Tidak unik c. Menarik/Tidak menarik

d. Membanggakan/Tidak membanggakan e. Bernilai budaya tinggi/Tidak bernilai budaya f. Bernilai sejarah tinggi/Tidak bernilai sejarah g. Sesuai/Tidak sesuai untuk wisata

h. Terjaga/Tidak terjaga keadaannya

9. Menurut Anda objek apa yang menarik di Lembah Mulo?

a. Lembah

b. Luweng

c. Goa

d. Danau

e. Lainnya ...

10. Menurut Anda fasilitas apa yang perlu ditambahkan atau diperbaiki di Lembah

Mulo?

a. Tempat duduk

b. Pagar pengaman

c. Shelter

d. Menara pandang

e. Lainnya ...

11. Menurut Anda kegiatan apa yang cocok untuk dikembangkan disana?

a. Menikmati pemandangan

b. Lintas alam

c. Susur goa

d. Lainnya ...

12. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk pengelolaan Lembah Mulo jika

dikembangkan menjadi kawasan wisata?

a. Pemerintah daerah

b. Masyarakat

c. Pemerintah daerah dan masyarakat

d. Lainnya ...

13. Bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat yang diharapkan dalam kegiatan

wisata di kawasan Lembah Mulo?

a. Terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan

b. Menjadi objek wisata

c. Penyedia jasa wisata

d. Menjadi penjual (makanan, cindera mata, dll)

e. Lainnya ...