Konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata di Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat

(1)

LEMBAH HARAU, SUMATERA BARAT

YOGI ISMET

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi baik yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Yogi Ismet


(3)

YOGI ISMET. Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat. Dibimbing oleh WAHJU QAMARA MUGNISJAH.

Lembah Harau memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan bentangan alam yang unik. Lembah Harau telah dikembangkan menjadi tempat wisata massal oleh pemerintah daerah setempat. Ekowisata dapat menjadi alternatif wisata sesuai dengan potensi yang dimiliki Lembah Harau. Dalam ekowisata terdapat prinsip berbasis masyarakat (community-based tourism) sehingga masyarakat dapat terlibat langsung dalam pengembangan kawasan. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi potensi dan kendala lanskap Lembah Harau dan menyusun konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Harau.

Penelitian dilakukan di kawasan TWA Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. TWA Lembah Harau memiliki dua kawasan utama, yaitu kawasan Aka Barayun dan Sarasah Bunta. Penelitian dimulai dari Maret 2010 hingga Januari 2011. Analisis yang dilakukan meliputi penilaian potensi dan kendala yang terdiri dari penilaian objek dan daya tarik wisata, penilaian kesiapan pengembangan community-based ecotourism, dan penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Selanjutnya menggunakan analisis SWOT (strength-weakness-opportunity-threat) untuk menentukan strategi pengembangan wilayah tersebut.

Berdasarkan analisis penilaian, TWA Lembah Harau memiliki kategori baik dari penilaian objek dan daya tarik wisata, kategori sedang dari penilaian kesiapan pengembangan community-based ecotourism, dan kategori sedang dari penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Potensi TWA Lembah Harau dari hasil penilaian adalah keunikan objek wisata dan tingginya keinginan masyarakat untuk berpartisipasi. Aspek pengelolaan dan sosial budaya menjadi kendala utama. Kendala aspek pengelolaan adalah belum adanya partisipasi masyarakat dan belum adanya kerja sama antara Pemda dan BKSDA selaku pengelola kawasan. Kendala aspek sosial budaya adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sehingga belum memahami tentang konservasi.

Hasil dari ketiga penilaian dijadikan sebagai dasar dalam analisis SWOT. Analisis SWOT menghasilkan strategi pengembangan, yaitu pelibatan masyarakat ke dalam rencana pengembangan dan pengelolaan Pemda dan BKSDA, adanya kerja sama antara Pemda, BKSDA, dan masyarakat, pengembangan produk wisata sesuai dengan potensi objek dan kegiatan wisata, pensosialisasian kegiatan konservasi kepada masyarakat, serta peningkatan SDM masyarakat terutama mengenai ekowisata melalui berbagai pelatihan dan pendampingan.

Strategi pengembangan tersebut dijelaskan lagi dalam bentuk konsep pengembangan. Konsep pengembangan dipadupadankan dengan Rencana Pengelolaan CA Lembah Harau Tahun 2000 oleh BKSDA dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Pariwisata Lembah Harau Tahun 2000 oleh Bappeda (Pemda). Konsep tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, pelibatan masyarakat dilakukan dalam bentuk kemitraan operasional, yaitu pelibatan dari awal hingga tahap evaluasi dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang telah disepakati bersama. Kedua, butir-butir kerja sama antara Pemda, BKSDA, dan masyarakat menggunakan dasar dari Rencana Pengelolaan CA Lembah Harau Tahun 2000 oleh


(4)

Keempat, akibat dari terganggunya kelestarian lingkungan, diperlukan pensosialisasikan kegiatan konsevasi kepada masyarakat yang berupa pengenalan konsep konservasi dan pengenalan batas wilayah. Kelima, diperlukan pelatihan dan pendampingan dalam hal-hal teknis yang dilaksanakan dengan kerja sama berbagai instansi terkait.


(5)

® Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(6)

SUMATERA BARAT

YOGI ISMET

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(7)

Barat

Nama : Yogi Ismet

NRP : A44062928

Departemen : Arsitektur Lanskap

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr. NIP 19491105 197403 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP 19480912 197412 2 001


(8)

Penulis bersyukur kepada Allah Swt. karena atas rahmat, hidayah, dan

karunia-Nya dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan judul “Konsep

Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat”. Lembah Harau merupakan lanskap alami yang ada di kota kelahiran penulis. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr. sebagai pembimbing skripsi. Terima kasih juga disampaikan kepada Pemda, KSDA, teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembacanya.

Bogor, Januari 2011 Penulis


(9)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Maret 1988. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Ayahanda Ismet Chas dan Ibunda Djasnimar.

Pendidikan penulis diawali pada tahun 1992 dan menyelesaikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Pertiwi pada tahun 1994. Pada tahun 2000 penulis lulus dari SD Pius, Kota Payakumbuh. Kemudian pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studi di SLTP 01 Kota Payakumbuh. Selanjutnya, pada tahun 2006 penulis lulus SMAN 02 Kota Payakumbuh.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Setahun setelah itu, tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama

menjalankan studi di IPB, penulis juga mengikuti kegiatan-kegiatan di luar akademik, yaitu Agria Swara.


(10)

DAFTAR ISI

Halama n DAFTAR TABEL ... xi DAFTAR GAMBAR ... xiii DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wisata Alam dan Ekowisata ... 3 2.2 Pengembangan dan Pengelolaan Ekowisata ... 5 2.3 Cagar Alam Lembah Harau ... 11

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 13 3.2 Metode Penelitian ... 13 3.3 Metode Analisis Penilaian

3.3.1 Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) ... 16

3.3.2 Metode Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based

Ecotourism (CBE) ... 17 3.3.3 Metode Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan

Ekowisata... 18

3.4 Metode Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities,

Threats) ... 19

IV. INVENTARISASI

4.1 Aspek Legal ... 24 4.2 Aspek Fisik dan Biofisik

4.2.1 Luas, Letak, dan Batas ... 24 4.2.2 Aksesibilitas... 25 4.2.3 Iklim... 25


(11)

4.2.4 Topografi ... 26

4.2.5 Hidrologi ... 26

4.2.6 Fasilitas ... 27

4.2.7 Vegetasi ... 29

4.2.8 Fauna ... 29

4.2.9 Objek Wisata ... 31

4.2.10 Aktivitas... 34

4.3 Aspek Sosial 4.3.1 Masyarakat... 36

4.3.2 Pengunjung ... 39

4.4 Aspek Pengelolaan 4.4.1 Kronologi Pengelolaan TWA Lembah Harau ... 40

4.4.2 Rencana Pengembangan dan Pengelolaan TWA Lembah Harau ... 42

V. ANALISIS DAN SINTESIS 5.1 Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata ... 44

5.2 Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism (CBE) ... 47

5.3 Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata .... 51

5.4 Strategi Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata ... 54

VI. KONSEP PENGEMBANGAN LANSKAP BERBASIS EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM LEMBAH HARAU 6.1 Pelibatan Masyarakat ke dalam Rencana Pengembangan dan Pengelolaan Pemda dan BKSDA ... 58

6.2 Kerja Sama Antara Pemda, BKSDA, dan Masyarakat ... 62

6.3 Pengembangan Produk Wisata Sesuai dengan Potensi Objek dan Kegiatan Wisata ... 64


(12)

6.5 Peningkatan SDM Masyarakat Melalui Berbagai Pelatihan dan

Pendampingan ... 68

VII.SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 70

7.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengambilan Data... 15

2 Kategori Penilaian ODTW ... 17

3 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE ... 18

4 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata ... 19

5 Tingkat Kepentingan Faktor Internal/Eksternal ... 20

6 Skala Penilaian Peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE) ... 21

7 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) ... 22

8 Matriks External Factor Evaluation (EFE) ... 22

9 Pemeringkatan Alternatif Strategi ... 23

10 Jarak Desa Penyangga ke Ibukota Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi .. 25

11 Data Curah Hujan Bulanan dan Intensitas Hujan 30 Tahun Terakhir di Sekitar Cagar Alam Lembah Harau ... 26

12 Jenis-Jenis Mamalia yang Ditemukan di Areal Pengamatan yang Dilindungi oleh UU No. 5/1990 ... 29

13 Jenis-Jenis Burung yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau ... 30

14 Jenis-Jenis Kupu-Kupu yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau .... 30

15 Potensi Objek Wisata Kawasan Aka Barayun ... 31

16 Potensi Objek Wisata Kawasan Sarasah Bunta ... 31

17 Air Terjun yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau... 31

18 Jumlah Penduduk Desa-Desa Penyangga pada Tahun 2000... 36

19 Tingkat Pendidikan dan Jumlah Responden di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato ... 37

20 Luas Peruntukkan Lahan di Desa Harau ... 37

21 Jumlah Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato ... 37 22 Jumlah Responden Menurut Kisaran Penghasilan di Desa Harau dan Desa


(14)

Tarantang Lubuak Limpato ... 38

23 Pengeluaran Biaya Hidup dari Responden di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato ... 38

24 Hasil Penilaian Aspek Daya Tarik ... 44

25 Hasil Penilaian Aspek Aksesibilitas... 45

26 Hasil Penilaian Kondisi Lingkungan Sosial Ekonomi ... 45

27 Hasil Penilaian Aspek Akomodasi ... 45

28 Hasil Penilaian Aspek Sarana dan Prasarana Penunjang (Radius 10 km dari Objek) ... 45

29 Kategori Penilaian ODWT ... 46

30 Hasil Penilaian Aspek Sosial Ekonomi ... 48

31 Hasil Penilaian Aspek Sosial Budaya ... 48

32 Hasil Penilaian Aspek Lingkungan ... 49

33 Hasil Penilaian Aspek Pengelolaan ... 49

34 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE ... 50

35 Hasil Penilaian Karakteristik Masyarakat ... 52

36 Hasil Penilaian Persepsi Masyarakat Mengenai Pengembangan Ekowisata ... 52

37 Hasil Penilaian Partisipasi dan Keinginan Masyarakat ... 53

38 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata ... 53

39 Tingkat Kepentingan Faktor Internal TWA Lembah Harau ... 55

40 Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal TWA Lembah Harau ... 55

41 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) TWA Lembah Harau ... 56

42 Matriks External Factor Evaluation (EFE) TWA Lembah Harau ... 56

43 Pemeringkatan Alternatif Strategi TWA Lembah Harau ... 57

44 Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau ... 57

45 Bentuk-Bentuk Mekanisme Partisipasi Publik... 60

46 Contoh Lembar Pemantuan dan Evalusi ... 61


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1 Peta Lokasi TWA Lembah Harau ... 14

2 Tahapan Studi... 13

3 Matriks Internal-Eksternal (IE) ... 22

4 Kios Makanan, Tanaman, dan Souvenir ... 27

5 Toilet, Loket Tiket, dan Mushala ... 28

6 Taman Bermain Anak ... 28

7 Sepeda Air ... 28

8 Area Berkemah dan Area Parkir ... 28

9 Kantor BKSDA dan Penginapan oleh Pihak Swasta ... 29

10 Air Terjun Aka Barayun dan Prasasti Aka Barayun ... 31

11 Air Terjun Air Lulus ... 32

12 Air Terjun Sarasah Bunta dan Prasasti Sarasah Bunta ... 32

13 Air Terjun Sarasah Murai... 32

14 Peta Lokasi Potensi Objek Wisata ... 33

15 Peta Pusat Kegiatan ... 35

16 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke TWA Lembah Harau Tahun 2009 ... 39

17 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke TWA Lembah Harau Tahun 2004, 2005, dan 2006 ... 40

18 Matriks Internal-Eksternal (IE) TWA Lembah Harau ... 56

19 Konsep Pembagian Kegiatan Wisata oleh Weaver ... 65


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Kriteria dan Bobot Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) ... 73

2 Kriteria Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism

(CBE) ... 77 3 Kriteria Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

(Kuesioner) ... 81 4 Data Pohon di Cagar Alam Lembah Harau... 84


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia memiliki lanskap alami yang indah. Lanskap alami ini perlu dijaga dan dikembangkan. Banyak potensi yang perlu dikembangkan dari keindahan lanskap tersebut.

Sumatera Barat merupakan salah satu tempat yang memiliki lanskap alami yang indah. Sumatera Barat dilalui oleh pegunungan Bukit Barisan yang memiliki keragaman bentuk topografi yang mengagumkan. Selain itu, juga memiliki keragaman flora dan fauna yang cukup terjaga keutuhannya. Lembah Harau adalah salah satu tempat yang memiliki lanskap tersebut. Tempat ini berada di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Lembah Harau telah menjadi cagar alam sejak 10 Januari 1993, kemudian dikembangkan menjadi taman wisata alam. Yang menjadikan Lembah Harau istimewa adalah adanya tebing terjal yang menjulang ke atas. Tebing ini memiliki ketinggian hingga 200 meter.

Dengan berbagai bentuk lanskap tersebut, Lembah Harau berpotensi dijadikan sebagai tempat wisata. Bentuk wisata massal telah dikembangkan oleh pemerintah daerah setempat. Wisata tersebut telah berkembang cukup baik, tetapi kegiatan wisata yang dilakukan terbatas pada berpiknik, berenang, dan berkemah. Ekowisata dapat menjadi alternatif bentuk wisata yang baik sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Lembah Harau. Ekowisata menurut Weaver (2001) adalah suatu bentuk wisata yang membantu perkembangan belajar berupa pengalaman dan penghargaan terhadap lingkungan ataupun sebagian komponennya di dalam konteks budaya yang berhubungan. Melalui pembelajaran, pengunjung akan lebih mengenal alam sehingga meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan di sekitar.

Dalam mencapai ekowisata, perlu dikembangkannya prinsip-prinsip ekowisata agar tercapai keberlanjutan (suistainable). Salah satu prinsip tersebut adalah berbasis masyarakat (community-based tourism). Melalui prinsip berbasis masyarakat, dapat dijembatani hubungan yang baik antara pengelola dengan masyarakat. Selain itu, melalui pengembangan berbasis masyarakat, kepedulian masyarakat terhadap alam akan meningkat sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang telah terjadi. Berbagai keuntungan dari pengurangan dampak tersebut


(18)

antara lain, yaitu masyarakat mengurangi eksploitasi alam yang berlebihan, pengawasan akan lebih mudah dengan adanya bantuan dari masyarakat, dan adanya potensi pengembangan pasar dan produk yang lebih beragam. Dalam pengembangan lanskap berbasis ekowisata diperlukan konsep yang matang. Pembentukan konsep akan dilakukan dalam tulisan ini melalui berbagai analisis.

1.2Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. mengevaluasi potensi dan kendala lanskap Lembah Harau;

b. menyusun konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata di kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau.

1.3Manfaat

Sebagai manfaat penelitian, produk penelitian yang berupa konsep pengembangan ini dapat diharapkan menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam pengembangan sumber daya alam di Lembah Harau sebagai objek ekowisata yang berkelanjutan.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Wisata Alam dan Ekowisata

Wisata merupakan perjalanan dan tinggal di suatu tempat (bukan tempat tinggal dan bekerja). Wisata memiliki beberapa jenis. Salah satunya adalah wisata alam. Menurut PP No 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam. Kegiatan dalam wisata alam berhubungan erat dengan alam itu sendiri. Ekowisata merupakan salah salah bentuk wisata alam.

Menurut Pendit (1981), ekowisata merupakan kegiatan mengunjungi kawasan alamiah yang relatif tidak terganggu dengan tujuan melihat, mempelajari, dan mengagumi wajah keindahan alam, flora, fauna, dan aspek budaya baik di masa lampau maupun sekarang yang terdapat di dalam kawasan tersebut. Secara konseptual, ekowisata menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia (2009) dapat didefinisikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari alam, sejarah, dan budaya di suatu daerah, yang pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam. Ekowisata menurut Weaver (2001) adalah suatu bentuk wisata yang membantu perkembangan belajar berupa pengalaman dan penghargaan terhadap lingkungan ataupun sebagian komponennya, di dalam konteks budaya yang berhubungan. Kegiatan ekowisata bertujuan menjadikan lingkungan dan sosial budaya yang berkelanjutan. Tiga hal penting dalam ekowisata menurut Weaver (2001) adalah berdasarkan lingkungan alami, pembelajaran, dan keberlanjutan.

Menurut Weaver (2001), ekowisata telah dipadupadankan dengan beberapa jenis wisata sejak tahun 1980-an, yaitu sebagai berikut.

a. Nature-based tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada lingkungan alami. Ekowisata telah menjadi bagian penting dari nature-based


(20)

tourism. Jadi, dapat dikatakan bahwa salah satu contoh kegiatan nature-based tourism adalah ekowisata.

b. Cultural tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada budaya dan sejarah suatu kawasan. Di dalam cultural tourism, ekowisata menjadi alternatif. Namun, antara kedua jenis wisata ini dapat terjadi kasus overlap

sehingga tidak mudah untuk menentukan wisata mana yang menjadi tujuan utama.

c. Adventure tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada kegiatan yang berisiko, menantang fisik sehingga wisatawan harus memiliki kemampuan tertentu. Beberapa ekowisata dapat menjadi bagian dari adventure tourism, tetapi banyak jenis adventure tourism tidak dapat menjadi bagian dari ekowisata. Hal ini karena pendekatan adventure tourism tidak selalu kepada

nature-based (dasar dari ekowisata).

d. Alternative and mass tourism merupakan suatu model wisata berskala kecil yang dimaksudkan untuk dapat menyediakan suatu alternatif yang lebih sesuai dengan wisata massal. Model ini memberikan peluang terhadap perkembangan ekowisata di antara wisata massal.

Dari keempat wisata ini, bentuk altenative dan mass tourism merupakan bentuk yang paling cocok untuk dipadupadankan dengan ekowisata. Bentuk ini memberikan hasil yang keberlanjutan (suistainable). Suistanable tourism

merupakan wisata yang memiliki prinsip pengembangan yang berkelanjutan dan untuk menggabungkan kriteria dari lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi (Weaver, 2001).

Menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi, Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia (2009) ekowisata memiliki lima prinsip sebagai berikut.

a. Nature-based

Nature-based adalah produk dan pasar yang berdasar dari alam. Wisata alam merupakan bagian atau keseluruhan alam itu sendiri. Konsevasi sumber daya alam merupakan hal mendasar dalam pengembangan dan pengelolaan wisata alam.


(21)

Kestabilan ekologi merupakan perencanaan dan manajemen kawasan berkelanjutan secara ekologi. Semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik, maupun sosial tetap berjalan dengan baik.

c. Environmentally educative

Pendidikan lingkungan ditujukan bagi pengelola dan pengunjung. Pendidikan adalah inti dari ekowisata yang membedakan dengan wisata alam lainnya. Pendidikan menciptakan suasana yang menyenangkan, bermakna, berkepedulian, dan apresiatif terhadap lingkungan. Kelestarian lingkungan dalam jangka panjang dapat berjalan dengan kegiatan pendidikan.

d. Bermanfaat untuk masyarakat lokal

Manfaat ini dapat secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung berupa, antara lain, masyarakat terlibat dalam kegiatan wisatawan, pelayanan terhadap wisatawan, dan penjualan barang-barang kebutuhan wisatawan. Manfaat tidak langsung berupa bertambahnya wawasan dari wisatawan atau pengelola.

e. Kepuasaan bagi wisatawan

Kepuasan merupakan pemenuhan harapan wisatawan terhadap segala sesuatu yang ditawarkan.

2.2Pengembangan dan Pengelolaan Ekowisata

Pengembangan pariwisata alam adalah kegiatan memanfaatkan ruang melalui serangkaian program kegiatan pembangunan untuk pariwisata alam yang meliputi pengelolaan pemanfaatan lahan sesuai dengan azas pemanfaatan ruang dengan mengkamodasi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna, serasi, seimbang, dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2007). Ekowisata merupakan salah satu jenis pariwisata alam yang baru dikembangkan.

Prinsip pengembangan pariwisata alam menurut Departemen Kehutanan (2007) adalah konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, ekonomi, dan rekreasi. a. Konservasi membantu mengurangi terjadinya gangguan kawasan seperti

penebangan liar, dan perambahan kawasan; mendukung upaya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa terutama tumbuhan dan satwa langka; melindungi


(22)

warisan alam dan warisan budaya khususnya yang ada di dalam kawasan; menunjang upaya pemanfaatan yang berkelanjutan.

b. Edukasi dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengunjung melalui pengembangan interpretasi (jika memungkinkan); meningkatkan kepedulian masyarakat dan partisipasi pengunjung; menunjang pengembangan penelitian di bidang pariwisata alam;

c. Partisipasi masyarakat berupa melibatkan masyarakat dalam proses pemanfaatan, sejak dari tahap perencanaan sampai ke monitoring dan evaluasinya; meningkatkan keterampilan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan; memperhatikan adat dan tradisi setempat, hak-hak masyarakat terasing, agama dan kepercayaan, kearifan tradisional, dan struktur sosial. d. Ekonomi menjamin kelangsungan usaha agar kegiatan pariwisata alam tetap

berlangsung; memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan konservasi dan pembangunan lokal, regional, dan nasional; membuka peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat.

e. Rekreasi memberikan keamanan dan kenyamanan pengunjung; memberikan informasi yang memadai bagi pengunjung sejak sebelum sampai di tempat tujuan dan setelah pengunjung keluar dari kawasan; menawarkan pilihan produk-produk wisata yang bervariasi.

Pengembangan perlu diimbangi dengan pengelolaan. Pengelolaan adalah suatu kegiatan manusia yang dibebankan kepada lanskap yang bertujuan memanen, memindahkan, mengangkut, atau mengisi sumber-sumber alami (U.S Department of Agriculture, 1974). Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No 167 Tahun 1994 tentang Sarana dan Prasarana Pengusahaan dan Pariwisataa Alam di Kawasan Pelestarian Alam, rencana pengelolaan kawasan pelestarian alam adalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan pengembangan dan perlindungan, serta pemanfaatan. Pengelolaan perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang berkelanjutan. Salah satu bentuk pengelolaan lanskap pada kawasan hutan adalah sistem pengelolaan visual. Pengelolaan visual dilakukan dengan cara menentukan kualitas visual objek, yaitu sesuatu yang diinginkan pada tingkat terbaik berdasarkan kondisi fisik dan


(23)

karakter masyarakat sekitar area. Tingkat ini mengacu pada tingkat perubahan yang dapat diterima dari lanskap (U.S Department of Agriculture, 1974).

Terdapat lima kualitas visual objek berdasarkan U.S Department of Agriculture (1974):

a. preservation, yakni suatu sasaran kualitas visual yang hanya untuk perubahan secara ekologis;

b. retention, yakni suatu sasaran kualitas visual untuk pengelolaan aktivitas pada jenis visual yang tidak jelas;

c. partial retention, yakni suatu sasaran kualitas visual untuk pengelolaan aktivitas pada jenis visual yang sebagian telah jelas;

d. modification, yakni suatu sasaran kualitas visual yang didominasi oleh karakter lanskap, tetapi pengelolaannya harus mempertahankan nilai alami; e. maximum modification, yakni suatu sasaran kualitas visual yang didominasi

oleh karakter lanskap, dengan pemandangan hanya sebagai latar belakang. Pengelolaan wisata alam dan ekowisata, menurut Departemen Kehutanan (2007), meliputi sebagai berikut.

a. Pengelolaan kawasan meliputi kondisi kawasan, penataan kawasan, dan pengamanan kawasan.

b. Pengelolaan produk wisata alam meliputi pengembangan produk, pemasaran produk, dan sistem informasi produk.

c. Pengelolaan pengunjung meliputi distribusi pengunjung, interpretasi, informasi bagi pengunjung, dan keselamatan pengunjung. Pengelolaan pengunjung adalah teknik untuk membatasi, memberikan informasi, dan mengawasi pengunjung yang datang ke suatu lokasi objek wisata alam agar sesuai dengan kemampuan daya dukung lokasi yang bersangkutan. Daya dukung kawasan adalah kemampuan ekosistem untuk mendukung kesehatan organisme sambil memelihara produktivitas, adaptasi, dan kemampuannya untuk memperbaiki dirinya. Pengelolaan pengunjung direncanakan untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak negatif akibat kunjungan. Pengelolaan pengunjung dapat dilakukan secara langsung dengan menghitung daya dukung dan pengaturan pengunjung atau secara tidak langsung melalui program interpretsi.


(24)

d. Pengelolaan dampak meliputi dampak ekologis dan dampak sosial, budaya, dan ekonomi. Dampak dikelola dengan berbagai cara bergantung pada besarnya dampak, luas areal yang terkena dampak, dampak penting, tingkat sentifitas wilayah, kerangka waktu, dan kemampuan untuk diperbaharui. e. Pengelolaan kelembangan meliputi organisasi, sumber daya manusia,

keuntungan, dan sarana dan prasarana.

Keberadaan masyarakat sekitar sangatlah penting untuk keberlanjutan suatu kawasan. Begitu juga dalam pengembangan dan pengelolaan wisata. Menurut Butler dan Boyd (2000) dalam Weaver (2001), jika masyarakat lokal tidak mendapatkan keuntungan dari suatu kegiatan (ekowisata), akan terjadi kesenjangan kesejahteraan sehingga masyarakat tidak akan peduli terhadap lingkungan. Bentuk ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan, antara lain, berupa penebangan kayu dan pembakaran lahan untuk berkebun di kawasan proteksi. Pengelolaan berbasis masyarakat akan memberikan hasil yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan masyarakat ikut serta sehingga menumbuhkan rasa memiliki dan menjaga suatu kawasan. Namun, pengelolaan ini harus memperhatikan nilai penting dari sosial budaya masyarakat. Menurut Weaver (2001), agar ekowisata dapat berjalan dengan lama (berkelanjutan), dampak positif dan negatif dari sosial budaya harus diperhatikan. Hal ini akan menjadi bagian yang krusial dalam pengelolaan dengan cara memberikan perhatian khusus terhadap budaya masyarakat itu sendiri.

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola (Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia, 2009).

Masyarakat mempunyai peran penting dalam pengelolaan berbasis masyarakat. Masyarakat ikut serta dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan pengembangan dan pengelolaan. Terdapat banyak bentuk partisipasi masyarakat.


(25)

Beberapa peneliti mengelompokkan menjadi beberapa bentuk. Menurut Preety (1995) dalam Mason (2003), tipologi dari partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut:

a. partisipasi manipulasi, yakni partisipasi yang tidak mempunyai kekuatan dalam organisasi;

b. partisipasi pasif, yakni partisipasi berupa pemberian informasi oleh masyarakat kepada pihak dalam pengelola;

c. partisipasi melalui konsultasi, yakni partisipasi berupa konsultasi mengenai masalah dan informasi mengenai proses pengelolaan;

d. partisipasi untuk perangsang material, yakni partisipasi yang hanya untuk mendapatkan upah, tetapi tidak mengerti proses pengelolaan;

e. partisipasi yang fungsional, yakni partisipasi yang lebih interaktif yang mendorong masyarakat mulai mempelajari proses pengelolaan, tetapi pengambilan keputusan masih di tangan pihak pengelola;

f. partisipasi yang interaktif, yakni partisipasi aktif dalam melakukan analisis, pengembangan, pengelolaan, dan pengambilan keputusan sehingga masyarakat telah menjadi bagian utama dalam pengelolaan;

g. pergerakan sendiri, yakni masyarakat membentuk institusi sendiri dan bekerja sama dengan pemerintah dan pihak-pihak yang dibutuhkan.

Konsep partisipasi sangat susah untuk diimplementasikan. Dibutuhkan usaha yang cukup keras untuk mengembangkannya dalam masyarakat. Menurut Jenkis (1993) dalam Mason (2003), terdapat tujuh halangan dalam mengembangkan wisata berbasis masyarakat, yaitu

a. masyarakat pada umumnya sulit untuk memahami konsep yang baru;

b. masyarakat tidak perlu memahami bagaimana proses dan cara pengambilan keputusan;

c. masalah dari pencapaian dan pemeliharaan adalah dalam proses pengambilan keputusan;

d. kurangnya semangat dari masyarakat sekitar;

e. peningkatan biaya berhubungan dengan waktu kerja dan upah kerja;

f. pada kenyataannya, proses pengambilan keputusan dari partisipasi masyarakat membutuhkan hasil yang lebih lama;


(26)

g. efisien secara keseluruhan kurang berpengaruh baik dalam proses pengambilan keputusan.

Akibat banyaknya halangan dalam implementasi konsep partisipasi, para peneliti telah mencoba mengembangkan berbagai metode. Salah satunya adalah menurut

Drake‟s (1991) dalam Mason (2003), yaitu a. memantakan peran dari partisipasi lokal; b. memilih tim untuk penelitian;

c. melakukan persiapan studi; d. memantapkan keterlibatan lokal;

e. memantapkan mekanisasi pendekatan partisipasi; f. melakukan permulaan dalam bentuk dialog; g. mengambil keputusan secara kolektif;

h. mengembangkan rencana dan implementasi skema; i. memantau dan mengevaluasi.

Pemerintah sangat berperan penting dalam implementasi konsep partisipasi. Pemerintah merupakan stakeholder yang berpengaruh dalam proses pengelolaan berbasis masyarakat. Menurut Weaver (2001), beberapa usaha yang dapat dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut:

a. menganalis pengembangan dan peraturan ekowisata dari waktu ke waktu dengan cara melihat dampak dari pengembangannya;

b. menganalisis fasilitas yang dapat dikembangkan di dalam kawasan dengan cara melihat tingkat interaksi mutu yang menguntungkan;

c. meneliti ketetapan umum yang berhubungan dengan bantuan eksternal dalam kaitannya dengan tujuan yang ditargetkan, stakeholder, dan hasil.

2.3Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Lembah Harau

Lembah Harau merupakan salah satu cagar alam yang ada di Sumatera Barat. Lembah Harau berada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kawasan ini memiliki luas 270,5 hektar (Korean addicted, 2009). Kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Alam (CA) sejak 10 Januari 1993. Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Harau merupakan bagian dari cagar alam. TWA Lembah Harau telah


(27)

dikembangkan menjadi kawasan rekreasi. Kawasan cagar alam tidak dikembangkan karena memiliki fungsi sebagai penyangga daerah sekitarnya.

Lembah Harau memiliki potensi lanskap berupa air terjun, gua, celah alam, dan tebing terjal. Tebing merupakan bagian yang mendominasi di kawasan ini. Tebing ini memiliki tinggi 150 hingga 200 meter dengan diameter mencapai 400 m. Tebing terbentuk dari batuan granit sehingga jarang terjadi longsor (Hade, 2009). Pada beberapa titik tebing, telah dikembangkan titik echo (gaung) yang menjadi salah satu objek wisata. Selain itu, tebing telah dikembangkan menjadi area panjat tebing. Lembah Harau mempunyai tujuh air terjun, yaitu lima buah di Sarasah Bunta dan dua buah di Aka Barayun. Air terjun di Sarasah Bunta masih alami berupa kerikil, sedangkan di Aka Barayun berupa kolam. Di kaki air terjun Sarasah Bunta terdapat sebuah monumen peninggalan Belanda yang merupakan bukti bahwa Lembah Harau sudah sering dikunjungi orang sejak 1926. Pada monumen itu tertera tanda tangan Asisten Residen Belanda di Lima Puluh Kota saat itu, F. Rinner, dan dua pejabat Indonesia, Tuanku Laras Datuk Kuning nan Hitam dan Datuk Kodoh nan Hitam (STR, 2009).

Cagar alam Lembah Harau memiliki keanekaragaman flora dan fauna. Flora didominasi oleh tanaman hutan hujan tropis. Fauna antara lain, berupa monyet ekor panjang (Macaca fascirulatis), siamang (Hylobates syndactylus), simpai (Presbytis melalopos), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis), beruang (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), kambing hutan (Capriconis sumatrensis), dan landak (Proechidna bruijnii). Lembah Harau juga memiliki 19 spesies burung, termasuk burung kuau (Argusianus argus), dan enggang (Anthrococeros sp.). Beberapa spesies yang ada merupakan hewan langka yang dilindungi (Korean addicted, 2009).

Lembah Harau telah dijadikan tempat wisata. Tempat ini memiliki fasilitas rekreasi seperti kolam pemandian, tempat berkemah, dan jalan setapak. Beberapa fasilitas telah ada yang rusak dan terdapat pula fasilitas yang baru dibangun. Selain itu, terdapat warung-warung ilegal yang didirikan oleh masyarakat. Warung tersebut menjual makanan, minuman, souvenir, dan tanaman hias. Tanaman hias yang dijual berupa tanaman langka seperti pakis monyet. Hal ini


(28)

menandakan masyarakat belum siap terhadap pengembangan wisata di Lembah Harau.


(29)

III. METODOLOGI

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi dilakukan di Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat (Gambar 1). Pelaksanaan studi dimulai dari bulan Maret 2010 sampai dengan Januari 2011.

3.2Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam studi ini meliputi inventarisasi, analisis, dan sintesis (Gambar 2).

Lanskap Lembah Harau

Aspek Fisik dan

Biofisik

Aspek Legal

Aspek Sosial

Aspek Ekonomi

Aspek Pengelolaan

ANAL

ISIS

DAN

SIN

T

E

SIS

INVE

NT

AR

ISA

SI

Strategi Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata pada KawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat

Penilaian

1.Objek dan Daya Tarik Wisata (ODWT)

2.Kesiapan Pengembangan Community-BasedEcotourism (CBE)

3.Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

Analisis SWOT

KONSE

P

Gambar 2 Tahapan Studi

Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat


(30)

Gambar 1 Peta Lokasi TWA Lembah Harau


(31)

a. Inventarisasi adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dan sekunder terdiri dari aspek fisik, biofisik, aspek legal, aspek sosial, dan aspek pengelolaan (Tabel 1). Data diperoleh dengan cara berikut:

1) observasi lapang yang dilakukan untuk mengetahui kondisi tapak, yaitu fisik, karakter lanskap, dan aktivitas masyarakat pengguna dan sekitarnya; 2) wawancara yang dilakukan kepada pengunjung, masyarakat, dan

pengelola;

3) studi pustaka yang didapat dari Dinas Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Perpustakaan Institut Pertanian Bogor untuk mendukung hasil observasi dan wawancara.

Tabel 1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengambilan Data

Jenis Data Satuan Sumber Kegunaan

Fisik dan Biofisik

1 Letak a. Letak b.Batas c. Aksesibiltas 2 Luas 3 Iklim a. Suhu

b.Curah hujan

4 Topografi 5 Hidrologi a. Letak 6 Fasilitas a. Jenis b.Letak

c. Kondisi fisik

7 Vegetasi

8 Satwa

9 Objek Wisata

a. Jenis

b.Letak

„LU,‟LS,‟BT,‟BB -

-

m2,km2,ha

o C mm/th % - - - - - - - - Bappeda, BKSDA KSDA Bappeda, BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA

Dinas Kehutanan, BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA

Posisi dengan tempat lain Hubungan dengan lingkungan Kemudahan pencapaian Daya dukung Kenyamanan Kenyamanan Kenyamanan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Legal

10 Peraturan - Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata, BKSDA

Pertimbangan pengembangan Sosial

11 Jumlah pengunjung

12 Masyarakat

a. Jumlah

b. Mata pencaharian

c. Tingkat pendidikan

orang

orang - -

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata BKSDA BKSDA BKSDA Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pengelolaan

13 Tenaga kerja - Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata, BKSDA


(32)

14 Kegiatan wisata - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, BKSDA

Pertimbangan pengembangan

b. Analisis adalah pengolahan hasil inventarisasi untuk mengetahui potensi dan kendala. Analisis dilakukan dengan dua metode yaitu penilaian dan analisis SWOT (strength, weaknesses, opportunity, threats). Proses sintesis menghasilkan strategi pengembangan lanskap berbasis ekowisata pada kawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat.

c. Produk akhir adalah konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata pada kawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat. Konsep ini merupakan penjelasan dari strategi pengembangan.

3.3 Metode Penilaian

3.3.1 Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW)

Penilaian ODTW ditentukan dalam Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007). Pedoman ini memiliki beberapa komponen aspek. Komponen aspek yang digunakan dalam kasus ini daya tarik, aksesibilitas, kondisi lingkungan sosial ekonomi, akomodasi serta sarana dan prasarana penunjang. Pengambilan data dilakukan melalui mengisi kriteria yang sesuai dengan kondisi dan gambaran kawasan. Kriteria dan pembobotan lebih lengkap disajikan pada Lampiran 1. Beberapa langkah dalam menentukan penilaian. Langkah pertama adalah penentuan nilai skor dengan persamaan (Departemen Kehutanan, 2007).

dengan

S = skor;

N = jumlah nilai dari unsur-unsur kriteria; B = bobot nilai .

Langkah kedua adalah penentuan kategori penilaian. Kategori disusun berdasarkan jumlah total dari setiap dan seluruh penilaian. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Oktadiyani (2006), kategori penilaian akan dihitung dengan menggunakan persamaan


(33)

dengan

Selang = nilai selang dalam penetapan selang kategori penilaian; Smaks = nilai skor tertinggi;

Smin = nilai skor terendah;

K = banyaknya kategori penilaian.

Penelitian ini menggunakan lima tingkat kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat buruk (Tabel 2). Langkah ketiga adalah memasukkan total skor dari penilaian (dari langkah pertama) ke dalam kategori penilaian. Penentuan kategori dilakukan berdasarkan selang yang telah dilakukan. Berdasarkan kategori, dapat diketahui gambaran dari kondisi kawasan.

Tabel 2 Kategori Penilaian ODTW

Kategori Derajat Interval

Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk

2328-2640 2016-2327 1704-2015 1392-1703 1080-1391

3.3.2 Metode Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism (CBE)

Penilaian kesiapan pengembangan CBE mengikuti Rancangan Standarisasi

Community-Based Ecotourism (CBE) yang dikembangkan WTO dan INDECON dalam penelitian Untari (2009). Aspek yang dipergunakan adalah aspek sosial ekonomi, sosial budaya, lingkungan, dan pengelolaan. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kriteria yang sesuai dengan kondisi dan gambaran kawasan. Kriteria dan pembobotan disajikan pada Lampiran 2. Penentuan penilaian kesiapan pengembangan CBE menggunakan langkah yang sama pada metode penilaian ODTW. Bentuk kategori penilaian kesiapan pengembangan CBE dapat dilihat pada Tabel 3.


(34)

Tabel 3 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE

Kategori Derajat Interval

Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk

1836-2040 1632-1835 1428-1631 1224-1427 1020-1223

3.3.3 Metode Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

Penilaian kesiapan masyarakat mengikuti Rancangan Standarisasi

Community-Based Ecotourism (CBE) yang dikembangkan oleh WTO dan INDECON dalam penelitian Untari (2009). Aspek yang dipergunakan adalah karakterisitk masyarakat, persepsi masyarakat mengenai pengembangan ekowisata, serta partisipasi dan keinginan masyarakat. Pengambilan data pada metode ini berbeda dengan metode sebelumnya. Pengambilan data dilakukan berdasarkan kuesioner dan wawancara. Kuesioner dan wawancara harus disesuai dengan kriteria penilaian. Kuesioner yang digunakan berasal dari kuesioner yang dilakukan oleh KSDA pada tahun 2000 dengan total responden 30 orang dari Desa Tarantang Lubuak Limpato dan 30 orang dari Desa Harau. Wawancara dilakukan terhadap Kepala Desa Harau, pemangku adat, dan 5 orang warga Desa Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Harau. Kriteria penilaian disajikan pada Lampiran 3. Penentuan penilaian kesiapan masyarakat menggunakan langkah yang sama pada metode penilaian ODTW. Bentuk kategori penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

Kategori Derajat Interval

Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk

1677-1890 1464-1076 1251-1463 1038-1250 825-1037


(35)

3.4 Metode Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)

Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi relasi-relasi sumberdaya ekowisata dengan sumber daya yang lain (Damanik dan Helmut, 2006). Selain itu, analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi manajemen program ekowisata. Analisis SWOT dilakukan dengan membandingkan faktor internal yang terdiri dari kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) dengan faktor eksternal yang terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan dengan pembobotan dan pemberian peringkat.

Langkah kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT menurut David (2008), yaitu penentuan faktor internal dan faktor eksternal; penentuan bobot faktor internal dan faktor eksternal; penentuan peringkat (rating) faktor internal dan faktor eksternal; pembuatan matriks faktor internal dan eksternal; penyusunan alternatif strategi; penentuan prioritas alternatif strategi.

a. Penentuan faktor internal dan faktor eksternal

Faktor internal atau Internal Factor Evaluation (IFE) ditentukan dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan. Faktor internal dalam kasus ini adalah masyarakat. Faktor eksternal atau External Factor Evaluation (EFE) ditentukan untuk mengetahui sejauh mana ancaman dan peluang yang dimiliki, yaitu dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2008). Faktor eksternal dalam kasus ini adalah non masyarakat seperti pemerintah, balai konservasi dan stakeholder lainnya.

b. Penentuan bobot faktor internal dan faktor eksternal

Pembobotan dilakukan untuk mengetahui fackor mana yang paling berpengaruh terhadap kawasan. Menurut Kinnear dan Taylor (1991), sebelum melakukan pembobotan perlu ditentukan tingkat kepentingannya agar bobot lebih subjektif. Penentuan tingkat kepentingan dilakukan dengan cara membandingkan setiap faktor internal dan eksternal (Tabel 5). Penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1-4:


(36)

1) 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor vertikal;

2) 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal;

3) 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertikal;

4) 4 jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor vertikal.

Tabel 5 Tingkat Kepentingan Faktor Internal/Eksternal

Faktor Strategis Internal/Eksternal

A B C D Total

(xi)

Bobot (ai) A

B C D

Total

Sumber: Kinnear dan Taylor, 1991

Setelah menentukan tingkat kepentingan, dilakukan pembobotan. Pembobotan setiap faktor diperoleh dengan menggunakan rumus Kinnear dan Taylor (1991):

dengan

ai = bobot faktor ke-i;

xi = nilai faktor ke-i;

i = A, B, C,…, n (faktor vertikal); n = jumlah faktor.

c. Penentuan peringkat (rating)

Penentuan peringkat setiap faktor diukur dengan menggunakan nilai peringkat berskala 1-4. Setiap faktor memiliki maksud yang berbeda dari setiap


(37)

peringkat. Skala penilaian peringkat dari setiap faktor dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Skala Penilaian Peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE)

Nilai Peringkat

Matriks IFE Matriks EFE

Strengths (S) Weaknesses (W) Opportunities (O) Threats (T)

1 2 3 4 Kekuatan kecil Kekuatan sedang Kekuatan besar Kekuatan sangat besar Kelemahan yang sangat berarti Kelemahan yang berarti Kelemahan yang kurang berarti Kelemahan yang tidak berarti Peluang rendah, respons kurang Peluang sedang, respons rata-rata Peluang tinggi, respons

di atas rata –rata

Peluang tinggi, respons superior Ancaman sangat besar Ancaman besar Ancaman sedang Ancaman kecil Sumber: David, 2008

d. Pembuatan matriks faktor internal dan eksternal

Setelah menentukan bobot dan peringkat setiap faktor, langkah selanjutnya adalah menentukan skor. Skor merupakan hasil perkalian dari bobot dengan peringkat. Jumlah skor dari faktor internal dan eksternal dapat menentukan langkah dalam pembuatan strategi. Bentuk dari matriks faktor internal dan eksternal dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Peringkat Skor Kode

Kekuatan Kelemahan Sumber: David, 2008

Tabel 8 Matriks External Factor Evaluation (IFE)

Faktor-Faktor Strategi Eksternal Bobot Peringkat Skor Kode

Peluang Ancaman Sumber: David, 2008

e. Penentuan tindakan strategi

Allen dalam David (2008), mengembangkan cara dalam menentukan tindakan strategi. Tindakan ini berfungsi sebagai pedoman pembuatan strategi. Tindakan tersebut ditentukan dengan Matriks IE (Gambar 3).


(38)

I II III

IV V VI

VII VIII IX

Gambar 3 Matriks Internal-Eksternal (IE)

Kuadran I, II, dan IV dipersepsikan sebagai tindakan grow dan build. Strategi yang intensif dan integratif dapat dijadikan pendekatan yang sesuai. Kuadran III, V, dan VII menunjukkan tindakan hold dan maintain. Pendekatan yang cocok adalah pengembangan pasar dan produk. Kondisi yang kurang baik ditunjukkan dalam kuadran VI, VII, dan IX. Tindakan harvest dan divest

menjadi pendekatan yang baik.

f. Penyusunan alternatif strategi dan penentuan prioritas alternatif strategi. Penyusunan alternatif dilakukan dengan mengkombinasikan antara faktor internal dengan faktor eksternal. Kombinasi tersebut adalah sebagai berikut: 1) kekuatan dan peluang (SO), yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan

untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya;

2) kekuatan dan ancaman (ST), yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman;

3) kelemahan dan peluang (WO), yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada;

4) kelemahan dan ancaman (WT), yaitu strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Strategi dirumuskan untuk mengatasi merangkum beberapa masalah dengan menggunakan potensi yang ada. Strategi tidak hanya fokus pada satu faktor, tetapi melibatkan banyak faktor. Penentuan prioritas alternatif strategi dilakukan dengan cara menjumlah semua skor dari faktor-faktor penyusunnya.

4 3 2 1

tinggi sedang rendah

rendah sedang tinggi

3 2 1

T

o

tal

Sk

o

r

E

FE


(39)

Strategi yang memiliki skor paling tinggi menjadi prioritas utama. Bentuk penentuan prioritas alternatif strategi disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Pemeringkatan Alternatif Strategi

Strategi Kode Pembobotan Total Skor Prioritas

SO1 SO2 SOn ST1 ST2 STn WO1 WO2 WOn WT1 WT2 WTn Sumber: David, 2008


(40)

IV. INVENTARISASI

4.1Aspek Legal

Menurut prasasti yang terdapat di lokasi air terjun Serasah Bunta, kawasan Lembah Harau dibuka pertama kali pada tanggal 14 Agustus 1926 oleh Asisten Residen 50 Kota yang bernama BO. Weirkein bersama dengan Tk. Laras Dt. Kuning Nan Hitam dan Asisten Damang Dt. Kondoh Nan Hitam. Kawasan ini dibangun berdasarkan Besluits Van Der Gouverneur General Van Netherlanch Indie No. 15 Stbl 24 tahun 1933 tanggal 10 Januari 1933 dengan status Nature Reserve (cagar alam) seluas 298 ha. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.478/Kpts/Um/8/1979 tanggal 02 Agustus 1979 sebagian kawasan Cagar Alam (CA) Lembah Harau dialihkan fungsinya menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Harau.

4.2Aspek Fisik dan Biofisik 4.2.1 Luas, Letak, dan Batas

Luas CA Lembah Harau adalah 270,5 ha, sedangkan luas TWA Lembah Harau adalah 27,5 ha (10,2%). TWA Lembah Harau berada dalam kawasan CA Lembah Harau. Secara geografis, CA Lembah Harau terletak pada koordinat 100o

39‟ 10” BT - 100o 41‟ 58” BT dan 00o 04‟ 39” LS - 00o 11‟ 46” LS. Dalam administrasi kehutanan, CA Lembah Harau termasuk dalam wilayah kerja BKPH Harau, RPH Harau, sedangkan menurut pembagian wilayah kerja unit Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) kawasan ini termasuk dalam wilayah kerja Sub Seksi KSDA Wilayah Pasaman. Dalam administrasi pemerintahan kawasan ini berada di dua desa, yaitu Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuk Limpato yang termasuk wilayah Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. CA Lembah Harau memiliki batas-batas berikut:

a. bagian utara berbatasan dengan Areal Penggunaan Lain (APL) dan Desa Harau;

b. bagian timur berbatasan dengan kawasan Hutan Lindung Mahat I; c. bagian selatan berbatasan dengan Desa Tarantang Lubuk Limpato;


(41)

d. bagian barat berbatasan dengan Dusun Padang Beringin, Desa Tarantang Lubuk Limpato.

Kawasan TWA Lembah Harau terdiri dari dua lokasi, yaitu Aka Barayun dan Sarasah Bunta.

Menurut hasil wawancara Pak Iwan, pegawai Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), batas tersebut ditandai dengan pal beton dengan ketinggian 1,5 m. Namun, kondisi pal di lapangan sekarang, sudah tidak sesuai karena banyak yang rusak dan hilang. Pengecekan yang dilakukan selama setiap 5 tahun tidak menjangkau seluruh kawasan sehingga telah tertutupnya jalan di sekeliling kawasan. Hal ini telah mengakibatkan ketidakpastian batas CA sehingga masyarakat sering tanpa sengaja menggarap lahan di kawasan CA.

4.2.2 Aksesibilitas

Kawasan CA Lembah Harau berbatasan langsung dengan ruas jalan negara Payakumbuh-Pekanbaru. Jalan menuju kawasan merupakan jalan beraspal yang dapat dilalui oleh kendaraan beroda empat. Berdasarkan klasifikasi jalannya, kawasan ini dilalui jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan desa, dan jalan setapak. Jarak CA Lembah Harau ke ibukota kawasan lain dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jarak Desa Penyangga ke Ibukota Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi

No Nama Desa Jarak ke Ibukota (km)

Kecamatan Kabupaten Propinsi

1 Harau 14 19 143

2 Tarantang Lb. Limpato 9 14 137

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

4.2.3 Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan CA ini mempunyai iklim Tipe A. Pada tahun 1997 jumlah rata bulan kering 4,92 dan jumlah rata-rata bulan basah 1,17. Suhu suhu rata-rata-rata-rata maksimum 25-330 C. Data curah hujan tahunan secara lengkap disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Data Curah Hujan Bulanan dan Intensitas Hujan 30 Tahun Terakhir di Sekitar Cagar Alam Lembah Harau


(42)

Bulan Stasiun klimatologi

Payakumbuh Pangkalan P. Mangatas M. Paiti Rata-rata

Januari X 225 264 180 269 234,50

Y 15 14 14 19 15,50

Februari X 173 271 156 260 215,00

Y 12 14 14 12 13,00

Maret X 263 345 225 277 277,50

Y 16 15 18 17 16,50

April X 237 258 201 399 273,75

Y 16 15 13 16 15,00

Mei X 161 220 123 322 206,50

Y 11 12 07 10 10,00

Juni X 107 113 82 159 115,25

Y 08 07 05 09 7,25

Juli X 108 127 130 211 144,00

Y 09 07 11 10 9,25

Agustus X 135 152 151 190 157,00

Y 11 10 13 11 11,25

September X 163 262 167 279 217,75

Y 12 13 15 17 14,25

Oktober X 206 274 177 290 236,75

Y 13 16 16 16 15,25

November X 220 327 246 313 276,50

Y 17 16 16 19 17,00

Desember X 212 432 289 343 319,00

Y 16 18 22 22 19,50

Jumlah (X) 2210 3045 2127 3312 2673,50

Jumlah (Y) 156 157 164 172 162,25

Rata-rata (X) 184,17 253,75 177,25 276 222,79

Rata-rata (Y) 13 13,08 13,67 14,33 13,52

Keterangan : X=Curah hujan (mm), Y=Hari hujan (hari)

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

4.2.4 Topografi

Kawasan CA Lembah Harau terletak pada ketinggian antara 400 m dpl sampai 850 m dpl. Topografi kawasan ini adalah berbukit (bergelombang), landai, dan terdapat tebing-tebing yang curam. Kawasan ini memiliki keunikan karena banyak terdapat tebing terjal dengan sudut 900, dengan ketinggian tebing 150-200 m.

4.2.5 Hidrologi

Kawasan CA Lembah Harau dialiri oleh 4 sungai, yaitu Batang Simolakama, Batang Air Putih, Sungai Air Tiris, dan Batang Harau. Sungai-sungai dalam kawasan ini tidak begitu besar, tetapi mempunyai peranan penting bagi masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai tersebut, terutama untuk pengairan areal pertanian, budi daya ikan, dan kebutuhan hidup sehari-hari.


(43)

4.2.6 Fasilitas

Kawasan TWA telah memiliki beberapa fasilitas yang telah dibangun, yaitu sebagai berikut (Gambar 4, 5, 6, 7, 8, dan 9).

a. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota telah membangun, gerbang masuk, pondok wisata, kolam renang, taman bermain anak, sepeda air, gazebo, kios makanan/souvenir, toilet/kamarganti, mushola, parker. Kios yang ada, disewakan oleh Dinas Pariwisata dengan membayar Rp 10.000,- hingga Rp 20.000,- per bulan. Namun, banyak penyewa yang tidak membayar dan beberapa masyarakat lain (bukan penyewa) membangun kios ilegal. Kondisi fasilitas kurang terpelihari akibat tidak adanya pengelolaan yang baik.

b. BKSDA telah membangun kantor BKSDA dan mes. Semua fasilitas tidak berfungsi lagi. Hal ini diakibatkan adanya masalah antara BKSDA dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota dalam hal pengelolaan.

c. Masyarakat membangun kios makanan/souvenir, toilet, camping ground, panjat tebing. Fasilitas yang dibangun merupakan bangunan ilegal kecuali yang menyewa, karena tidak adanya persetujuan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai pihak pengelola.

d. Swasta membangun tempat penginapan. Masih kurangnya campur tangan dari pihak swasta sehingga belum ada eksploitasi yang merugikan.


(44)

Gambar 5 Toilet, Loket Tiket, dan Mushala

Gambar 6 Taman Bermain Anak

Gambar 7 Sepeda Air


(45)

Gambar 9 Kantor BKSDA dan Penginapan oleh Pihak Swasta

4.2.7 Vegetasi

Susunan vegetasi kawasan CA Lembah Harau merupakan tipe ekosistem hutan hujan campuran non-Dipterocapaceae (Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000). Vegetasi hutan kawasan ini di didominasi oleh tumbuhan daratan tinggi. Spesies pohon yang terdapat CA Lembah Harau dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.2.8 Fauna

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan petugas KSDA bersama penduduk, tercatat beberapa jenis mamalia yang terdapat pada kawasan (Tabel 12).

Tabel 12 Jenis-Jenis Mamalia yang Ditemukan di Areal Pengamatan yang Dilindungi oleh UU No. 5/1990

No Famili Nama Jenis Nama Indonesia

1 Bovidae Capriconus sumatrensis Kambing hutan

2 Cervidae Cervus unicolor Rusa sambar

3 Felidae Panther tigris sumatrensis Harimau sumatra

4 Felidae Neofelis nebusula Harimau dahan

5 Hylobatidae Hylobates syndactilus Siamang

6 Tapiridae Tapirus indicus Tapir

7 Tragulidae Tragulus javanicus Kancil

8 Ursidae Helarctos malayanus Beruang madu

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Selain itu, terdapat beberapa jenis burung yang dijumpai (Tabel 13). Jenis burung pada kawasan ini umumnya merupakan jenis pemakan serangga, hanya sebagian kecil yang tergolong jenis pemakan buah, biji-bijian, dan nektar. TWA Lembah Harau telah membangun menara pengamatan untuk birdwaching di dekat Sarasah Murai, tetapi tidak ada pengembangun lebih lanjut.


(46)

Tabel 13 Jenis-Jenis burung yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau

No Famili Nama Jenis Nama Indonesia

1 Accipitridae Haliastur Indus

Ictinaetus malayensis

Elang bondol Elang hitam

2 Alcedinidae Alcedo althis Raja udang

3 Bucerotidae Berenicornis comatus

Beceros rhinoceros

Enggang Rangkong

4 Ciconidae Ciconia episscopus Bangau

5 Falconidae Falco tinnunculus Alap-alap curasia

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

CA Lembah Harau juga memiliki jenis kupu-kupu yang cukup beragam. Potensi kupu-kupu ini menjadi daya tarik oleh wisatawan terutama wisatawan mancanegara. Kegiatan ini dikembangkan oleh masyarakat setempat, belum ada pengembangan lebih lanjut oleh pihak pengelola. Jenis kupu-kupu komersial yang terdapat pada kawasan CA Lembah Harau dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Jenis-Jenis Kupu-Kupu yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau

No Nama Jenis Tanaman Pakannya

1 Papilio memnon

Papilio demoleus

Jeruk (Citrus sp.)

2 Graphium sarpedon Kulit Manis (Cynamomun burmanii)

3 Polyura scheiber Rambutan (Nephelium lappaceum)

4 Papilio palinurus

Papilio polytes

Sicerek (Glaucena excavata)

5 Graphium agamemnon Sirsak (Anonna muricata)

6 Trogonoptera brooklana *)

Triode Helena *) Triodes amphrysus*) Pachilipta aristolochiae

Tanaman Aka (Aristolochiae glaucifolia)

7 Antrophaneura nox Tanaman Aka (Apama corymbosa)

8 Papilio karna

Papilio demolion

Ulam/Pauh-pauh (Evodia malayana)

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

4.2.9 Objek Wisata

Lembah Harau memiliki objek wisata yang didominasi oleh air terjun dan tebing terjal (Gambar 10, 11, 12, 13 dan 14). Air terjun pada kawasan ini ditunjukkan dalam Tabel 15, Tabel 16, Tabel 17.


(47)

Tabel 15 Potensi Objek Wisata Kawasan Aka Barayun

Area Objek Wisata

Tebing Goa Tebing, ngalau

Echo Tebing

Liang Limbek Tebing, ngalau atau lembah

Panorama Tebing

Aka Barayun Tebing, air terjun

Ngalau Amu Tebing

Tabel 16 Potensi Objek Wisata Kawasan Sarasah Bunta

Area Objek Wisata

Sarasah Rupih Air terjun

Air Lulus Air terjun, tebing

Sarasah Bunta Air terjun, tebing

Sarasah Murai Air terjun, tebing

Tabel 17 Air Terjun yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau

No Nama Air Terjun Tinggi (m)

1 Akar Berayun 80

2 Sarasah Rupih 50

3 Sarasah Air Bulus 30

4 Sarasah Bunta 30

5 Sarasah Murai 60

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Gambar 10 Air Terjun Aka Barayun dan Prasasti Aka Barayun


(48)

Gambar 12 Air Terjun Sarasah Bunta dan Prasasti Sarasah Bunta

Gambar 13 Air Terjun Sarasah Murai

Akar Berayun dan Sarasah Bunta menjadi nama kawasan dari TWA Lembah Harau. Di kawasan Akar Berayun terdapat air terjun Akar Berayun, sedangkan kawasan Sarasah Bunta terdapat air terjun Sarasah Air Bulus, Sarasah Bunta, dan Sarasah Murai. Untuk Air Putih, Sarasah Gadang, dan Sarasah Rupih belum dikembangkan. Terdapat juga air terjun yang tidak boleh dikembangkan karena berada dalam kawasan CA Lembah Harau. Selain air terjun masih terdapat beberapa objek wisata lainnya (Gambar 14).


(49)

(50)

4.2.10Aktivitas

Aktivitas kegiatan wisata yang ada pada saat ini adalah berpiknik, berenang, berkemah, dan panjat tebing. Untuk kegiatan berpiknik dan berenang telah dialokasikan pada kawasan Aka Barayun, Air Lulus, Sarasah Bunta, dan Sarasah Murai. Untuk kegiatan berkemah telah dialokasikan pada kawasan Sarasah Murai. Untuk kegiatan panjat tebing telah dialokasikan pada kawasan Aka Barayun dan titik echo.

Aktivitas lainnya yaitu aktivitas pemerintahan dan pemukiman. Aktivitas ini terkonsentrasi pada kawasan pemukiman Desa Padang Baringin, yaitu terdapat Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Kantor Kepala Desa Tarantang. Selain itu, di depan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terdapat loket pembelian tiket. Aktivitas pemukiman yang berdekatan dengan TWA Lembah Harau, yaitu Desa Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Padang Baringin. Persebaran pusat aktivitas dapat dilihat pada Gambar 15.


(51)

(52)

4.3 Aspek Sosial 4.3.1 Masyarakat

Kawasan CA Lembah Harau terletak pada dua desa, yaitu Desa Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Harau. Jumlah penduduk dari kedua desa dapat dilihat pada Tabel 18. Desa Tarantang memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi daripada Desa Harau, yaitu 83 jiwa/ km2.

Tabel 18 Jumlah Penduduk Desa-Desa Penyangga Pada Tahun 2000

Desa Luas (km2) Penduduk (jiwa) Kepadatan

(jiwa/km2)

Laki-laki Perempuan Jumlah

Harau 29,75 448(47%) 505(53%) 953(100%) 32

Tarantang Lubuak

Limpato 22,63 916(49%) 953(51%) 1869(100%) 83

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

BKSDA telah melakukan survei pada tahun 2000 mengenai sosial ekonomi dari Desa Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Harau. Responden berjumlah 60 orang terdiri dari 30 orang dari Desa Tarantang dan 30 orang Desa Harau. Responden yang dipilih telah mewakili satu rumah tangga. Hal ini dilakukan agar dapat menggambarkan kondisi dari kedua desa secara menyeluruh. Tingkat pendidikan dari responden dapat dilihat pada Tabel 19. Dari segi pendidikan di kedua desa dapat disimpulkan cukup rendah, sebagian besar responden lulus pada tingkat Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama. Namun, masyarakat telah memiliki kemampuan dalam membaca dan menulis, terlihat dari angka yang tidak sekolah hanya 1 orang dari 60 responden. Menurut data dari BKSDA (2000), terdapat satu Sekolah Dasar (SD) di Desa Harau, tiga Sekolah Dasar (SD), satu Sekolah Luar Biasa (SLB), dan satu Sekolah Mengengah Pertama (SMP) di Desa Tarantang Lubuk Limpato.


(53)

Tabel 19 Tingkat Pendidikan dan Jumlah Responden di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato

Pendidikan Desa Jumlah

(%)

Harau (%) Tarantang Lb. Limpato (%)

Tidak Sekolah - 2 2

Sekolah Dasar 25 18 43

SMP 13 23 36

SMA 12 5 17

Perguruan Tinggi - 2 2

Jumlah 50 50 100

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Mata pencaharian masyarakat dari kedua desa didominasi oleh bertani. Petani pada kedua desa adalah petani padi (sawah) dan gambir. Hal ini dikarenakan peruntukan lahan pada kedua kawasan dijadikan sebagai area pertanian (Tabel 20). Jenis Pekerjaan dari responden dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 20 Luas Peruntukan Lahan di Desa Harau

Peruntukkan Lahan Luas (ha)

Hutan 9,976

Sawah 563

Perkebunan 847

Permukiman 21

Rawa 10

Lahan Kritis 54

Lain-lain 130

Sumber: Kantor Wali Nagari Desa Harau, 2010

Tabel 21 Jumlah Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato

Jenis Pekerjaan Desa Jumlah

(%)

Harau (%) Tarantang Lb. Limpato (%)

Tani 40 45 85

Tukang 3 - 3

Dagang 5 3 8

Pegawai 2 - 2

Lainnya - 2 2

Jumlah 50 50 100

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Menurut data BKSDA pada tahun 2000, setiap petani sawah memiliki sawah sekitar 0,25-0,5 ha. Irigasi sawah menggunakan aliran sungai. Namun, menurut Pak Firdaus, Wali Nagari Harau, jumlah penghasilan beras (dalam kg) di Desa Harau lebih kecil daripada di desa yang lain. Hal inilah yang mendorong


(54)

masyarakat untuk menjadi petani gambir. Masalah dalam pertanian tanaman pangan adalah sulitnya mengalirkan air dari sungai ke kebun sehingga meningkatkan biaya pengolahan. Peternakan dan perikanan merupakan mata pencaharian sampingan.

Jumlah penghasilan yang didapat dapat dilihat dalam Tabel 22, sedangkan biaya hidup dapat dilihat dalam Tabel 23. Dari kedua data terlihat bahwa masyarakat dari kedua desa memiliki pengeluaran yang lebih besar daripada penghasilan yang didapat. Hal ini ditunjukkan oleh data penghasilan yang didominasi oleh Rp 200.000,00 hingga Rp 300.000,00, sedangkan pengeluaran didominasi dengan pengeluaran sebesar Rp 300.000,00 hingga Rp 500.000,00. Akibat dari hal ini, masyarakat mencari penghasilan tambahan dengan cara berjualan di sekitar kawasan TWA Lembah Harau, seperti menjual makanan, minuman, dan souvenir.

Tabel 22 Jumlah Responden Sesuai Kisaran Penghasilan di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato

Penghasilan (x Rp 1000,-)

Desa Jumlah

(%)

Harau (%) Tarantang Lb. Limpato (%)

<100 2 2 4

100-200 - 5 5

200-300 38 10 48

300-500 7 20 27

>500 3 13 16

Jumlah 50 50 100

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Tabel 23 Pengeluaran Biaya Hidup dari Responden di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato

Penghasilan (x Rp 1000,-)

Desa

Jumlah (%)

Harau (%) Tarantang Lb. Limpato

(%)

<100 - 4 4

100-200 12 12 24

200-300 20 5 25

300-500 18 18 36

>500 - 11 11

Jumlah 30 50 100


(55)

4.3.2 Pengunjung

Jumlah pengunjung di kawasan TWA Lembah Harau cukup ramai, sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 16. Jumlah pengunjung terbesar terjadi pada musim libur seperti Januari (8.924 orang), Mei (11.197 orang), dan Juni (18.416). Sifat musim yang insidental juga mempengaruhi jumlah pengunjung, seperti bulan ramadhan dan lebaran pada bulan Agustus sebanyak 12.027 orang. Menurut data tahun 2004, 2005, dan 2006, jumlah pengunjung terus meningkat (Gambar 17). Hal ini menunjukkan bahwa CA Lembah Harau mulai dikenal oleh banyak masyarakat dalam dan luar negeri.

WISNU : wisatawan nusantara WISMAN: wisatawan mancanegara

Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota, 2009

Gambar 16 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke TWA Lembah Harau Tahun 2009 8824

4904 6228

5307 11097

18366

7781 11958

5979 3988

100 45 37 60 100 50 39 69 59 41

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000

J

um

la

h

P

e

ng

unj

ung

WISNU WISMAN


(56)

WISNU : wisatawan nusantara WISMAN: wisatawan mancanegara

Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota, 2009

Gambar 17 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke TWA Lembah Harau Tahun 2004, 2005, dan 2006

4.4 Aspek Pengelolaan

4.4.1 Kronologi Pengelolaan TWA Lembah Harau

Pemerintah mulai membangun sarana dan prasarananya pada TWA Lembah Harau sejak tahun 1979. Pembangunan sarana dan prasarana pertama kali dilakukan oleh BAPPARDA Tingkat I Sumatera Barat yang kemudian berubah menjadi Kanwil Pariwisata Tingkat I Sumatera Barat. Sarana yang dibuat pada saat itu adalah gerbang pintu masuk, kupel, jalan setapak, area parkir, tempat bermain anak-anak, dan toilet. Setelah pembangunan selesai, BAPPARDA Tingkat I Sumatera Barat menyerahkan kawasan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Lima Puluh Kota. Pada tanggal 12 Desember 1990 keluarlah Surat Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No.788/BLK/1990 tentang pembentukan Badan Pengelola Objek Wisata Alam Lembah Harau Kabupaten Lima Puluh Kota.

Pada tahun 1992, Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam mengeluarkan buku kumpulan peraturan tentang pungutan dan iuran bidang Pariwisata Alam serta pungutan masuk kawasan pariwisata alam yang memuat surat-surat keputusan dari berbgagai instansi:

57000

53000

58500

176 407 353

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

2004 2005 2006

J

um

la

h

P

eng

un

jun

g

WISNU WISMAN


(57)

a. Kepmenhut No.878/Kpts-II/19992 tanggal 8 September 1992 tentang Tarif Pungutan Masuk ke Hutan Wiasata,Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut;

b. Kepmenhut No.441/Kpts – II /1990 tanggal 24 Agustus 1990 tentang Pengenaan Iuran dan Pungutan Usaha di Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Nasionl Hutan Laut;

c. Kepmenhut No.688/Kpts-II/1989 tanggal 5 November 1989 tentang Tata cara Permohonn Izin Pengusahaan HutanWisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Hutan Laut;

d. Kepmenhut No.687/Kpts-II/1989 tanggal 15 November 1989 tentang Pengusahaan Hutan Wiasata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Hutan Laut;

e. Kepsekjend DepHut No.45/Kpts/II- KUM/92 tanggal 16 Juli 1992 tentang Tata Cara Pengenatan, Pemungutan, Pembagian, dan Tata Usaha Pungutan Usaha, dan Iuran Usaha Pariwisata Alam di Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Hutan Laut;

f. Surat Menteri Keuangan No.S- 978/MK.03/1992 tanggal 12 Agustus 1992 perihal Persetujuan Tarif Pungutan Masuk ke Hutan Wisata;

g. Kepdirjend PHPA No. 46/Kpts/ DJ- VI/1992 tanggal 1 Juli 1992 tentang Tarif Pungutan Usaha Pariwisata Alam di Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Hutan Laut;

h. Kepdirjend PHPA No.77/ Kpts/ DJ-VI/1992 tanggal 1 Oktober 1992 tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, Penyetoran dan Penatausahaan Pungutan Masuk ke Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Hutan Laut.

Buku ini kemudian direvisi kembali dengan PP No.18 Th 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Kawasan TWA Lembah Harau mengalami beberapa kali pergantian pihak yang bertanggung jawab dalam mengelola kawasan. Pada tahun 1998, pihak pengelola diserahkan kepada Pd Gojong Limo Sakato dan pada tahun 2000, Dinas Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota membuat surat perjanjian kerja sama


(58)

dengan PT Trio Dhora Nusantara Tour and Travel sebagai badan pengelola. Akibat adanya beberapa kali perpindahan pihak pengelola, Subseksi Wilayah KSDA Pasaman dengan surat no.10/5-SSKSDA-I/2001 tanggal 06 Februari 2001 membuat surat kepada Kepala unit KSDA Sumatera Barat untuk meminta penjelasan tentang penyerahan kewenangan Pemerintah Pusat ke Pemeritah Daerah. Masalah pihak pengelola mereda dengan perpindahan pengelolaan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota.

Pada 27 Februari 2007, Sekretaris Daerah Kabupaten Limapuluh Kota membuat surat kepada Kantor Pariwisata Lima Puluh Kota dengan No.500/132/Perek-PMD/2007 agar dapat memberikan informasi lengkap tentang ketentuan prosedur dan persyaratan pengelolaan kerjasama Lembah Harau oleh pihak swasta kepada Bupati Lima Puluh Kota. Sekda Kabupaten Lima Puluh Kota mengundang Kepala KSDA Sumatera Barat untuk rapat pembahasan pengelolaan Lembah Harau oleh pihak swasta. Hasil rapat tersebut adalah sebagai berikut. a. Pengelolaan TWA Lembah Harau oleh pihak ketiga izinnya dikeluarkan oleh

Menteri Kehutanan.

b. KSDA Sumatera Barat akan mengundang Pemda Kabupaten Lima Puluh Kota untuk rapat membahas pengelolaan TWA Lembah Harau.

c. Masa transisi pengelolaaan TWA Lembah Harau untuk sementara akan dikelola oleh Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lim Puluh Kota.

4.4.2 Rencana Pengembangan dan Pengelolaan TWA Lembah Harau

Pemda dan BKSDA memiliki beberapa rencana, yaitu Rencana Pengelolaan CA Lembah Harau Tahun 2000 oleh BKSDA dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Pariwisata Lembah Harau Tahun 2000 oleh Bappeda (Pemda). Kedua rencana ini dapat menjadi landasan dalam pembentukan konsep ekowisata. Di dalam Rencana Pengelolaan CA Lembah Harau Tahun 2000 terdapat butir-butir berikut:

a. pengukuhan dan pemeliharaan batas kawasan; b. penataan dan pengkajian kawasan;

c. pembangunan sarana dan prasarana;


(1)

6 Kepuasan pengunjung meningkat

4 Regulasi 1 Kesepakatan pengelolaan

yang legalitas hukumnya diakui masyarakat dan pemerintah desa

2 Adanya nota kerjasama atau management agreement dengan pemilik kawasan 3 Adanya code of conduct

20 15 10

5 Isu keberlanjutan 1 Tersedianya produk-produk

yang ramah lingkungan 2 Mandiri

20 15 10


(2)

Lampiran 3 Kriteria Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata (Kuesioner) 1 Karakteristik Masyarakat (berdasarkan sampel responden)

Bobot: 5

No Unsur/Sub Unsur Kriteria dan Nilai

1 Pendidikan Sebagian besar

lulus SMA ke atas

Sebagian besar lulus SMP ke atas

Sebagai besar lulus SD

Sebagian besar tidak lulus SD

30 25 20 15

2 Mata pencaharian penduduk Pemilik

lahan/pegawai

Sebagian besar pedagang

kecil,industry kecil dan pengrajin

Petani dan berkebun

Sebagian besar buruh tani

30 25 20 15

3 Status kependudukan Mayoritas

responden asli

Responden asli dan pendatang sama

Mayoritas responden pendatang

Tidak ada informasi

30 25 20 15

2 Persepsi Masyarakat Mengenai Pengembangan Ekowisata Bobot: 6

No Unsur/Sub Unsur Kriteria dan Nilai

1 Objek yang perlu dilestarikan: ≥ 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 Tidak Ada

a. Keindahan alam

b.Keanekaragaman hayati (flora dan fauna) c. Peninggalan sejarah

d.Kebudayaan lokal e. Lainnya

30 25 20 15 10


(3)

kelesatarian sependapat sependapat sependapat

30 25 20 15 10

3 Kegiatan menjamin kelesatarian kawasan: ≥ 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 Tidak Ada

a. Adanya pembatasan jumlah pengunjung

b. Kegiatan wisata yang bersifat merusak dihindarikan c. Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan wisata d. Adanya dukungan pemerintah sebagai fasilitator e. Lainnya

30 25 20 15 10

4 Bentuk pelayanan dan fasilitas menjamin kelestarian kawasan/objek:

≥ 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 Tidak Ada

a. Bangunan dengan bahan yang alami seperti kayu b.Bangunan permanen dengan jumlah yang tidak

terlalu banyak yang akan merusak keaslian kawasan objek wisata

c. Adanya interpreter (pemandu) yang dapat

memberikan penjelasan mengenai kondisi kawasan objek wisata

d.Adanya homestay (penginapan) dan makanan tradisional yang dapat memberikan suasana alami pada pengunjung

e. Lainnya

30 25 20 15 10

3 Partisipasi Dan Keinginan Masyarakat Bobot: 6

No Unsur/Sub Unsur Kriteria dan Nilai

1 Partisipasi masyarakat Mayoritas

berpartisipasi

Cukup banyak yang berpartisipasi

Sedikit yang berpartisipasi

Tidak ada

30 25 20 15

2 Persepsi masyarakat Mayoritas sangat

mendukung

Mayoritas mendukung

Mayoritas kurang mendukung

Mayoritas tidak mendukung

30 25 20 15


(4)

3 Keinginan masyarakat

≥ 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1

30 25 20 15

4 Dampak Mayoritas

menyampaikan dampak positif

Perbandingan sama antara positif dan negatif

Mayoritas menyampaikan dampak negatif

Tidak ada

30 25 20 15


(5)

Lampiran 4 Data Pohon di Cagar Alam Lembah Harau.

No Family Nama Botani Nama Daerah

1 Anacardiaceae Semecrpus sp. Rengas

2 Anacardiaceae Camnosperma auriculata Terentang

3 Araliaceace Arthrophyllum difersifolium Juluk Antu

4 Bambusaceae Bambusa sp. Bamboo

5 Bombacaceae Durio grafffithii Durian Hutan

6 Bursacece Medang Rapudahan

7 Burseraceae Santiria sp. Duku Anggang

8 Caesalpinaceae Sindora sumatrana Pare

9 Casuarinaceae Casuarinas junghuniana Cemara Gunung

10 Dilleniaceae Simpur

11 Dilleniaceae Dillenia exelsa Pingan-pingan

12 Dipterocarpaceae Hopea mangarawan Rangau

13 Dipterocarpaceae Shorea atrinervosa Medang Kuning

14 Dipterocarpaceae Shorea leprosula Meranti Merah

15 Dipterocarpaceae Vatica malichii Langsat Hutan

16 Elaeocarpaceae Elaeocarpus griffithii Balam

17 Euphorbiaceae Endospermum diadenum Medang Tapak Kuda

18 Euphorbiaceae Macaranga hypoleuca Sapek

19 Euphorbiaceae Pelangas

20 Euphorbiaceae Rambai

21 Fagaceae Castanopsis acuminatissima Resakn

22 Fagaceae Castanopsis sp. Ganggo Sicerek

23 Fagaceae Quercus argentats Barang

24 Fagaceae Quercus sp. Paning-paning Air

25 Flacourtiaceae Flacourtia rukam Rukam

26 Guttiferae Callopyllum sp. Bintangur

27 Guttiferae Garcinia forbesi Kandis Hutan

28 Guttiferae Garcinia sp. Manggis

29 Guttiferae Garcinia mangostana Medang manggis

30 Labiatea Hyptis capitata Subang-subang

31 Lauraceae Phoebe declinata Medang Keladi

32 Lauraceae Litsea cf.Sepikensis kosterm Medang Kulit Manis

33 Lauraceae Litsea velutina Medang Kepinding

34 Lauraceae Litsea sp. Medang Belukar

35 Lauraceae Litsea sp. Medang Kasik

36 Lauraceae Litsea sp. Medang Karisik

37 Lauraceae Litsea sp. Medang Labu Kabau

38 Lauraceae Litsea sp. Medang Miang

39 Lauraceae Litsea sp. Medang Pagar

40 Leguminoseae Desmodium heterocarpum Ureak Tubo

41 Leguminoseae Dialium indum Kuranji

42 Leguminoseae Phitecelobium clypearia Petai

43 Leguminoseae Sindora wallichii Jengkol

44 Magnoliaceae Talauna candolli Medang Abu

45 Meliaceae Toona sureni Merr. Surian

46 Moraceae Arthocarpus elasticus Tarok

47 Moraceae Artocarpus integra Cempedak Hutan

48 Moraceae Artocarpus sp. Mengkudu

49 Myristicaceae Knema laurina Mandarahan

50 Myrtaceae Euginia sp. Ganggo Damar

51 Myrtaceae Euginia sp. Kaleh Ubah

52 Myrtaceae Euginia sp. Kaleh Ulih

53 Myrtaceae Euginis densiflora Kaleh Jambu

54 Myrtaceae Euginia sp. Kaleh Pagar


(6)

56 Palmae Cyrtostachis lacca Pinang Raja

57 Palmae Pinanga culhii Pinang

58 Palmae Calamus caesius Rotan

59 Rosaceae Kalek Limbek

60 Rubiaceae Coffea malayana Kopi

61 Rubiaceae Coffea rubusta Kopi

62 Sapindaceae Nhepeleum lappaceum Rambutan Hutan

63 Sapotaceae Palaquium qutta Balam Timah

64 Sapotaceae Palaquium sp. Nyatuh

65 Styracaceae Styrax paralleloneurum Kemenyan Toba

66 Theaceae Eurya acuminate Jirak Putih

67 Ulmaceae Garcinia nerfosa Tapis

68 Urticaceae Lapotea stimulans Jilatang

69 Verbenaceae Calicarpa cana Tampang

70 Banilan

71 Damang Hitam

72 Sakin-sakin