Lima Mimpi Petapa Gotama

Agama Buddha dan Budi Pekerti 57 Ketika kelima Petapa meninggalkan-Nya, Petapa Gotama hidup menyendiri dan mengalami kemajuan berkonsentrasi. Setelah lima hari hidup dalam kesunyian, tepat tanggal empat belas di bulan Waisak, Beliau bermimpi tentang lima hal, yaitu: 1. Tertidur di atas permukaan tanah, dengan pegunungan Himalaya sebagai bantalnya, tangan kiri-Nya di Samudra Timur, tangan kanan-Nya di Samudra Barat dan kedua kaki-Nya di Samudra Selatan. 2. Sejenis rumput yang disebut tiriya dengan tangkai merah berukuran sebuah gandar sapi muncul dari pusar-Nya dan sewaktu Beliau melihat, rumput tersebut tumbuh, tinggi dan lebih tinggi hingga mencapai langit, angkasa luas, seribu yojanà ke atas dan diam di sana. 3. Sekumpulan ulat berbadan putih dan kepala hitam perlahan-lahan merayap ke atas kaki-Nya, menutupi dari ujung kaki hingga ke lutut-Nya. 4. Empat jenis burung berwarna biru, keemasan, merah, dan abu-abu terbang datang dari empat penjuru dan sewaktu mereka turun dan berdiri di atas kedua kaki-Nya, semua burung-burung itu berubah menjadi putih. 5. Berjalan mondar-mandir, ke sana kemari di setumpukan kotoran setinggi gunung tanpa menjadi kotor. Petapa Gotama menafsirkan sendiri mimpi tersebut dan berkesimpulan: ”Pasti Aku akan mencapai Kebuddhaan hari ini juga.”

B. Dàna Nasi Susu Ghana Oleh Sujàtà

Setelah mandi pagi, Petapa Gotama pergi ke pohon banyan yang setiap tahunnya dikunjungi oleh Sujata. Sujata adalah putri seorang kaya yang di masa mudanya sering berdoa di bawah pohon banyan. Ia meminta kepada dewa pohon supaya kelak jika menikah, mendapatkan suami orang kaya dan kasta yang sama. Hal itupun terkabul hingga akhirnya setiap tahun di bulan purnama Waisak, Sujàtà mempersembahkan ghana nasi susu kepada para dewa yang menunggu pohon tersebut. Dengan tujuan untuk melakukan persembahan nasi susu ghana, Sujàtà bangun pagi sekali pada hari purnama di bulan Vesàkha. Kemudian, Sujàtà memerah susu dari delapan ekor sapi miliknya. Anak-anak sapi yang tidak diikat dengan tali tidak berani mendekati induknya. Anehnya, ketika mangkuk susu ditempatkan tepat di bawah ambing sapi, susu mengalir deras terus menerus meskipun tidak diperah. Sujàtà menyaksikan peristiwa ajaib ini. Sujàtà mengulurkan tangannya dan menuangkan susu yang mengalir terus-menerus tersebut ke dalam kendi baru dan menyalakan api dengan tangan lainnya. Tidak lama kemudia, Sujàtà mulai memasak nasi susu. Sujàtà memanggil pelayannya, Punnà, dan memerintahkan, “Punnà, hari ini dewa penjaga pohon banyan, sedang berbaik hati. Selama dua puluh tahun ini, aku belum pernah menyaksikan peristiwa-peristiwa ajaib ini. Cepat pergi bersihkan pohon banyan, tempat tinggal dewa penjaga. Punnà si pelayan menjawab, “Baiklah, Nyonya.” Ia segera pergi ke dekat pohon dan melihat Pertapa Gotama duduk di bawah pohon menghadap Kelas VI SD 58 ke timur. Punnà si pelayan melihat seluruh pohon bercahaya kuning keemasan dengan cahaya yang terpancar dari tubuh Petapa GotamaBodhisatta. Punnà si pelayan ketakutan dan berpikir, “Hari ini dewa penjaga pohon banyan telah turun ke bawah pohon, kelihatannya Beliau duduk di sana untuk menerima dàna dengan tangannya sendiri.” Ia tergesa-gesa kembali ke rumah dan melaporkan hal ini kepada Sujàtà. Sudah menjadi tradisi dhammata bagi seorang Bodhisatta untuk menerima persembahan nasi susu ghana pada hari Beliau akan mencapai Kebuddhaan, dan menerima makanan ini hanya menggunakan cangkir emas seharga satu lakh. Sujàtà berpikir, “Aku harus menempatkan nasi susu ghana ini dalam cangkir emas. Sujata mempersembahkan dana nasi susu ghana. Petapa Gotama menjelaskan bahwa dirinya bukan dewa pohon, namun seorang Petapa yang ingin mencari obat penderitaan bagi semua makhluk. Setelah memakan dana makanan, Petapa Gotama pergi ke sungai Neranjara dan bertekad dalam hatinya. “Aku akan mencapai kebuddhaan pada hari ini” Setelah menyatakan tekad tersebut, Petapa Gotama melemparkan patta Bowl mangkuk emas ke sungai Neranjana. Beliau berkata, “jika patta Bowl ini melawan arus sungai, maka aku akan mencapai kebuddhaan pada hari ini juga.” Ucapan Petapa Gotama terbukti karena Patta Bowl yang dilemparkannya ke sungai melawan derasnya aliran sungai Neranjana dengan kecepatan yang luar biasa.

C. Munculnya Singgasana Permata yang Besar

Petapa Gotama beristirahat di Hutan Sala di tepi Sungai Neranjarà. Beliau melakukan meditasi ànapàna, setelah mencapai delapan Lokiya Jhàna dan lima Abhinnà. Di kesejukan senja menjelang malam, Beliau berjalan di sepanjang jalan yang telah dihiasi oleh para dewa dan brahmà. Setelah turun dan mandi di Sungai Neranjarà, Beliau berjalan menuju pohon Mahàbodhi melalui jalan yang dibuat oleh para dewa dan brahmà. Pada waktu itu, dewa nàga, Yakkha, dan Gandabbha memberi hormat kepada-Nya dengan persembahan bunga-bunga dan wangi-wangian surgawi. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu surgawi yang merdu. Sepuluh ribu alam semesta hampir seluruhnya tertutupi oleh bunga-bunga dan wangi-wangian surgawi, juga oleh sorak-sorai para dewa dan brahmà. Pada saat itu Sotthiya, seorang brahmana pemotong rumput berjalan datang dari arah berlawanan membawa rumput-rumputan kering. Ketika Sotthiya mengetahui bahwa Bodhisatta menginginkan beberapa rumput, ia memberikan delapan ikat rumput kering kepada-Nya. Bodhisatta membawa delapan ikat rumput tersebut pergi menuju Mahàbodhi untuk bermeditasi. Kemudian, Bodhisatta mempersiapkan tempat duduk di sebelah Timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima sebelumnya dari Sotthiya. Sumber: baruabd.weebly.com Gambar 4.5 Sujata Menemui Petapa Gotama