Jaques Lacan Psikoanalisis dan konsep mimikri Bhabha

4 dalam misi peradaban terkandung kesiapan berperang dan membunuh. Sifat ambivalensi yang melekat pada wacana kolonial itu membuka pintu interupsi bagi subjek terkoloniterjajah. Sebagaimana wacana kolonial, wacana tandingan ini pun bersifat ambivalen. Muncul konsep memuja keunggulan budaya Barat, tetapi sekaligus membencinya. Belanda yang memegang kekuasaan berusaha agar wacana kolonial menguntungkan kedudukan mereka. Oleh karenanya, mereka melakukan seruan-seruan tentang keunggulan jatidiri dan budaya mereka sekaligus menyusun seruan berkebalikan untuk pribumi. Alatas 1980 secara khusus meneliti teks orientalisme yang ada di Hindia Belanda, Malaysia dan Filipina. Keengganan pribumi bekerja di ladangbidang pendukung kapitalisme menghasilkan mitos pribumi malas, tukang kredit, peminum, pemadat, pencuri. Mitos tersebut ikut melegalkan dan melanggengkan kolonisasi dan kapitalisme . Dengan mitos dan stereotip, kolonisator merasa berhak mengatur, mengontrol, dan memberadabkan mereka. “Citra Superioritas” sebagaimana “citra inferioritas” menjadi bagian dari konsep “fixity” wacana kolonial. Fixity diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis dan kultural dalam wacana kolonial. Keberhasilan “fixity” menyebabkan terjajah memasuki situasi yang tidak menentu dan mempertanyakan identitas mereka. Mereka berusaha membentuk identitas mereka mengikuti “citra superioritas”. Bhabha, 1994: 82. Tindak mimikri peniruan identitas oleh terjajah melahirkan hibridisasi yang berada dalam ruang ketiga, ruang pertemuan “Barat” dan “Timur” disebut Bhabha 1994: 1-4; 2003 sebagai liminal space, sebuah ruang yang dilukiskan remang-remang bak twilight zone. Area remang-remang ini menjadi jalan setapak yang menghubungkan terjajah dan penjajah atau jaringan ikat yang membangun perbedaan antara mereka, si Hitam dan si Putih. Di tempat ini semua perbedaan antara mereka dipamerkan, diperlihatkan. Tempat itu akhirnya menandai perbedaan kedudukan mereka, perbedaan identitas mereka.

3.2. Jaques Lacan Psikoanalisis dan konsep mimikri Bhabha

Menanggapi indoktrinasi kemurnian ras dan pengejekan masyarakat, terjajah yang 5 mengalaminya akan melakukan perlawanan atau malahan peniruan mimikri. Homi Bhabha telah mengadopsi teori Lacan dalam pembahasannya mengenai hubungan terjajah- penjajah. Teori mimikri Lacan diilustrasikan dalam analogi pertahanan biologis serangga sehingga dalam resistensi tergambar mimikri Bhabha,1994: 120-121; Baart Moore- Gilbert, 1997: 133. Hasrat Lacan berasal dari pembacaannya atas teori Freud; Lacan menolak adagium Freud, ego berkuasa atas id; baginya seluruh eksistensi manusia dikontrol dan dipengaruhi oleh ketidaksadaran. Dia juga menandai konsep Freud need-demand-desire ke dalam kerangka “yang Real-yang Imajiner-yang Simbolik”. Ketika bayi memasuki tahap demand, dia menyadari kehadiran sang liyan yang ingin dihilangkannya. Kemustahilanpada permintaan mendorongnya memasuki tahap Yang imajiner”. Pada tahap ini, bayi melihat dirinya ego eksis melalui citra cerminal. Namun, ego yang dilihatnya di cermin, yang diakuinya sebagai dirinya itu sebenarnya berasal dari kesalahan mempersepsi citra cerminal, artinya gambaran tentang diri si “aku” tidaklah sama dengan kenyataannya. Hal ini berarti bahwa ‘tahap-cermin’yang melekat secara anatomis ke dalam perkembangan tid ak utuh dengan sendirinya menempatkan hubungan ganda imajiner; tahap ini menjadi dasar hubungan antar pribadi dengan sang liyan sekaligus prasyarat narsisisme primer dan sumber perilaku agresif Kurzweil, 2004. Citra cerminal ini yang selalu dibawa bayi untuk mengidentifikasikan sang liyan. Bertolak dari tahap ini bayi akhirnya memasuki tahap keinginan pada kepemilikan identitas; keinginan tersebut disebut sebagai hasrat desire. Disimpulkan Ibad 2012, “Bentuk hasrat lain adalah “keinginan untuk menjadi” sebuah subyek yang utuh, tidak terbelah, dan tanpa kekurangan dan penuh dengan pemenuhan karena hasrat dilahirkan oleh adanya kekurangan lack. Dalam pandangan Lacan Sarup, 2002 identitas terbentuk dalam ruang sosial, dengan demikian identitas diri juga menandakan perbedaan dengan yang lain. Dalam kerangkan kolonialisme, hasrat subjek kolonial juga muncul dari kekurangan. Bhabha Jefferess, 2008: 36 berpendapat bahwa subjek kolonial selalu bergerak mengitari poros stereotip dan dalam tindak pengingkaran dan fiksasi, subjek kolonial dikembalikan pada narsisme imajiner dan identifikasinya pada ego ideal adalah putih dan utuh. Karenanya, identitas selalu dikonstruksi seputar citra ideal yang bersifat imajiner. 6 Bhabha 1994 menggunakan konsep demand dan desire dalam mengartikan hubungan terjajah dan penjajah yang dibentuk oleh wacana kolonial. Selanjutnya, mengikuti konsep Lacan, Bhabha Ibid. menyebut bahwa penjajah memiliki tuntutan untuk diakui yang berada pada level ketidaksadaran. Pada area ini Bhabha dalam Sarup: 2002 ada tuntutan narsistik yang bila ditolak menimbulkan terjadinya paranoya; penolakan menyebabkan penjajah merasa bahwa terjajah membencinya. Dengan kata lain penjajah telah diperbudak oleh rasa superioritasnya dan selalu melakukan pengawasan. Namun, Bhabha berpendapat “although there is a surveillance, fixity is not achieved” meskipun ada pengawasan, kepastian tak tercapai Sarup, 2002: 161, artinya tuntutan untuk diakui tidak terpenuhi. Kondisi ini dilukiskan Bhabha dengan meminjam konsep Lacan tentang cara kerja hewan yang bermimikri. Mimikri oleh hewan digunakan sebagai tindakan pertahananperlindungan diri dengan cara menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Bila kita memperhatikan alam kita akan menemukan bahwa hewan dapat bertahan hidup dengan melakukan adaptasi tinggi dengan alam sekitarnya, sebut misalnya bunglon dan gurita yang berubah warna seperti lingkungan sekitarnya, atau ikan dan katak di kutub utara yang membeku padat di musim dingin agar tetap hidup. Bahkan, ada seekor katak ini meniru suara katak jantan lain yang memanggil pasangannya dan begitu katak betina muncul, dia ‘menerkamnya’ Bagi Lacan dalam Bhabha, 1994, mimikri kolonial analog dengan pertahanan serangga dan dia mengartikan bahwa dalam peniruan mimikri muncul efek kamuflase dan resistensi terjajah yang berada dalam level ketidaksadaran. Dalam area mimikri ada mockery sehingga keinginan kolonisator untuk mereformasi atau mencipta The Other akan selalu menghasilkan subyek tambal sulam almost the same, but not quite. Ambiguitas mimikri akhirnya juga menimbulkan gangguan identitas The Other. Bhabha 1994: 86; Saya meneliti representasi perlawanannya dalam dua novel yang berbeda bahasa dan berbeda nasionalitas pengarangnya, yaitu novel Bumi Manusia, berbahasa Indonesia, karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1980 meskipun berlatar awal abad 1900 dan DSK karya Louis Couperus yang terbit dalam Bahasa Belanda untuk pertama kalinya pada tahun 1900. Sebagai konsekuensinya, saya menggunakan metode perbandingan yang dilakukan dengan menerapkan pendekatan pascakolonial karena karya Couperus, DSK dan karya Pramoedya, BM, adalah dua karya 7 sastra memiliki kesejajaran untuk dibandingkan dan dibaca secara pascakolonial. Cara ini adalah langkah yang sangat relevan, sebagaimana pemikiran O’Reilly 2007: 117-118. Pertama, membandingkan dua karya sastra yang menanggapi sebuah periode atau peristiwa bersejarah; BM dan DSK menanggapi sejarah kolonialisme di Indonesia akhir abad 20 dan awal abad 21. Kedua, membandingkan dua karya sastra, teks kolonial dan teks pascakolonial yang memiliki settingregion yang sama dengan mendiskusikan masalah representasi dan perspektifnya dan kaitan antara keduanya. Kedua novel juga dapat dipandang sebagai teks naratif sehingga teori teks naratif dan model analasisnya dapat digunakan. Selain itu, identitas selalu harus dibicarakan dalam waktu dan ruang space and time Sarup, 1996; identitas selalu terkait dengan naratif yang didalamnya berisi story events dan discourse bagaimana cerita disampaikan atau disebut plot. Penelitian ini menerapkan juga analisis struktur naratif ala Rimon- Keenan 1993 terutama story ordertext order. Dengan analisis struktural ini diharapkan permasalah identitas dan resistensi dalam kedua novel tidak terlewatkan..

4. Pembahasan dan Hasil Penelitian