Pascakolonialisme Homi Bhabha: Ambivalensi dan Ruang Liminal

3 kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme Loomba, 2005: 15. Analisis wacana kolonial dan teori pascakolonial ini disimpulkan William sebagai kritik mengenai proses produksi pengetahuan tentang the Other Williams dan Chrisman, 1994: 8. Pascakolonialisme adalah strategi pembacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bias membantu mengidentifikasi tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut. Istilah pascakolonial menunjukkan tanda-tanda dan efek-efek kolonialisme dalam sastra, juga mengacu pada posisi penulis pascakolonial sebagai pribadi suara naratifnya Day dan Foulcher, 2002. Said 1979: 84 -87, meyakini bahwa selama masa kolonialisme proses produksi pengetahuan berlangsung terus menerus meskipun seorang Orientalis berusaha mempertahankan citra Timur. Definisi Timur disesuaikan dengan kebutuhan moral Kristen Barat dan dibatasi oleh rangkaian sikap dan penilaian yang mengarahkan Barat pertama- tama tidak kepada sumber Timur, tetapi pada karya orintalis yang lain. Timur diproduksi secara karakteristik dalam wacana para Orientalis sebagai, secara bervariasi,: voiceless, sensual, female, despotic, irrational and backward Said dalam Moore-Gilbert, 1979: 39. Dengan karyanya Said telah memberi kritik pedas pada cara orientalis melegitimasi agresi kolonial dan supremasi politik Barat King, 2001: 162.

3.2 Pascakolonialisme Homi Bhabha: Ambivalensi dan Ruang Liminal

Bhaba menolak pendapat Said yang mengesankan bahwa wacana kolonial semata- mata milik penjajah dan seragam Richard King, 2001. Young 2007 menambahkan, ‘He Bhabha showed how colonial discourse of whatever kind operation not only as an instrumental construction of knowledge but also according to the ambivalent protocols of fantasy and desire.’ Bagi Bhabha 1994, wacana kolonial merupakan hasil dari proses hibridisasi yang dipicu oleh benturan-benturan antara tradisi kolonialis dan pribumi. Wacana kolonialisme karenanya memiliki ketegangan mendalam yang mengakibatkan hubungan antara kolonisator dan yang terkoloni senantiasa ambivalen. Artinya, Wacana kolonial bergerak dinamis. Di sana ada hal-hal yang tidak stabil, kontradiktif, dan tidak identik. Timur dilihat sebagai yang indah sekaligus menakutkan, akrab, tetapi asing, atau cinta, tetapi benci, 4 dalam misi peradaban terkandung kesiapan berperang dan membunuh. Sifat ambivalensi yang melekat pada wacana kolonial itu membuka pintu interupsi bagi subjek terkoloniterjajah. Sebagaimana wacana kolonial, wacana tandingan ini pun bersifat ambivalen. Muncul konsep memuja keunggulan budaya Barat, tetapi sekaligus membencinya. Belanda yang memegang kekuasaan berusaha agar wacana kolonial menguntungkan kedudukan mereka. Oleh karenanya, mereka melakukan seruan-seruan tentang keunggulan jatidiri dan budaya mereka sekaligus menyusun seruan berkebalikan untuk pribumi. Alatas 1980 secara khusus meneliti teks orientalisme yang ada di Hindia Belanda, Malaysia dan Filipina. Keengganan pribumi bekerja di ladangbidang pendukung kapitalisme menghasilkan mitos pribumi malas, tukang kredit, peminum, pemadat, pencuri. Mitos tersebut ikut melegalkan dan melanggengkan kolonisasi dan kapitalisme . Dengan mitos dan stereotip, kolonisator merasa berhak mengatur, mengontrol, dan memberadabkan mereka. “Citra Superioritas” sebagaimana “citra inferioritas” menjadi bagian dari konsep “fixity” wacana kolonial. Fixity diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis dan kultural dalam wacana kolonial. Keberhasilan “fixity” menyebabkan terjajah memasuki situasi yang tidak menentu dan mempertanyakan identitas mereka. Mereka berusaha membentuk identitas mereka mengikuti “citra superioritas”. Bhabha, 1994: 82. Tindak mimikri peniruan identitas oleh terjajah melahirkan hibridisasi yang berada dalam ruang ketiga, ruang pertemuan “Barat” dan “Timur” disebut Bhabha 1994: 1-4; 2003 sebagai liminal space, sebuah ruang yang dilukiskan remang-remang bak twilight zone. Area remang-remang ini menjadi jalan setapak yang menghubungkan terjajah dan penjajah atau jaringan ikat yang membangun perbedaan antara mereka, si Hitam dan si Putih. Di tempat ini semua perbedaan antara mereka dipamerkan, diperlihatkan. Tempat itu akhirnya menandai perbedaan kedudukan mereka, perbedaan identitas mereka.

3.2. Jaques Lacan Psikoanalisis dan konsep mimikri Bhabha