DISSERTATION REPRESENTASI PERLAWANAN PR
i
REPRESENTASI PERLAWANAN PRIBUMI MASA
PERALIHAN ABAD KE-19 SAMPAI KE-20 DI HINDIA
BELANDA DALAM NOVEL
DE STILLE KRACHT
(KARYA
LOUIS COUPERUS) DAN
BUMI MANUSIA
(KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER)
DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Doktor
Program Studi Ilmu Sastra
Kelompok Bidang Ilmu-Ilmu Humanoria
Oleh
Christina Dewi Tri Murwani
08/274724/SSA/00234
PROGRAM STUDI PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA 2013
(2)
Lembar Pengesahan
REPRESENTASI PERLAWANAI\T PRIBUIUI MASA PERALTHAN ABAI) KE 19 SAMPAI KE-20 DI IIINDIABELANDADALAM NOVELI)E
STILLE TRACTTTGARYALOIIIS COUPERUS) rlAN BUMI L{,4NASU
(KARYA PRAMOEDYA ANAI{TA TOER)
Oleh
Chrtstina Dewi Tri Murwani 08n74124ISSA/00234
Disertasi ini telah diujikan dalam oleh Tim Penguji padaZ? Januari 2013 di Program Studi lhnu-Ilmu Humanoria (Sasfa) Pascasarjana Faklultas Ilmu Budaya UGM dan telah direvisi. Hasil perevisian telah disetujui untuk diajukan ke ujian terbuka.
Yogyakart4 ll April 2013
ll
Ketua
(3)
Lernbar Pengesahan
REPRE,SENTASI PERLAWANAN PRIBTIMI MASA PERALIIIAN ABAI) I(E'.19 SA.II/IPAI KE-20 UI,'TUNDIA BELANDA DALAM NOVEL DE, STILLE KRACIIT$(ARYA LO{ES COt PERUS) DAN BUMI MANUSIA
(KARYA PRAMOEDYA ANAI\TTA TOER)
Disertasi ini telah disetujui unhrk diujikan sec:ra terbuka oleh
ranggal
..t.I-.:.9-?...
:.?.:2.
ranggar...!.
Z. :.?.3..:..?..?.!2
Prof. Dr. Suminto A. Sawti Anggota Tim Penilai
r unssar..
A. :. 9..!...1.0.
..12...
ranggar
...
4.1..:..9..:..!flJ.
ranggar
.. !. L.o- t.. :.?.?.!
2.
- o e - z o t >
{ { iii
Tim Penilai
:uliasih K... S.U Anggota Tim Penilai
Penguji
(4)
HALAMAN PERNYATAJ${
Dengan surat ini saya menyatakan bahwa dalam disertasi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk menperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggr, dan sepnjang pengetahrmn sayajuga tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan orang lain" kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dao disebutkan sumbernyadalam daftarpustaka
Yogyakartal2 Apil 2nl3
,"\q
en
Christina Dewi Tri Murwani
(5)
v
KATA PENGANTAR
Dengan penuh suka cita, kelegaan, dan puji syukur atas rahmat yang telah dilimpahkan-Nya sehingga disertasi ini dapat saya selesaikan. Terima kasih pada seluruh staf pengajar dan karyawan program Pascasarjana Sastra termasuk staf perpustakaannya, pada staf perpustakaan Karta Pustaka, dan pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuannya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan saya ucapkan kepada mantan promotor saya, almarhum Prof. Imran T. Abdullah, yang meskipun dalam keadaan kurang sehat masih mencoba untuk membaca disertasi saya, dan ko-promotor saya, Prof. C. Soebakdi Soemanto, S.U. yang akhirnya menjadi tumpuan saya..
Terimakasih saya sampaikan pada Prof. Dr. Faruk, selaku ketua Tim Penilai, yang mengingatkan saya untuk berkonsentrasi pada teori pascakolonial yang digagas Homi Bhabha, pada Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dangan ketelitiannya memeriksa eksplorasi dan teknik penulisan saya, pada Dr. K. Juliasih, S.U. dengan rapi menyerahkan penilaian tertulis. Akhirnya, dengan persetujuan mereka, saya dapat menempuh ujian tertutup tanggal 22 Januari 2013.
Ujian tertutup dipimpin oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil dengan tim penguji sebagai berikut: Prof. C. Soebakdi Soemanto, S.U. (prompotor), Prof. Dr. Faruk (Ketua Tim Penilai), Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (anggota Tim Penilai), Dr. K. Juliasih, S.U (anggota Tim Penilai), Prof. Dr.
(6)
vi Suhartono (Penguji), dan Dr. Aprinus Salam, M.Hum (Penguji). Dalam ujian tertutup saya kembali menerima masukan-masukan. Akhirnya, puji Tuhan, setelah melalui proses revisi, para penguji memberikan persetujuan akhir draf disertasi saya untuk diajukan ke tahap ujian terbuka.
Terima kasih setulusnya kepada Bapak Dr. Gerard Termorshuizen yang selama tiga tahun ini selalu membalas email-email saya dan membantu saya dengan kiriman buku, majalah, maupun fotokopi teks. Beliau telah memberi teladan dan dorongan semangat pada saat saya nglokro. Terima kasih setulusnya juga pada Prof. Siti Chamamah dan Prof. Faruk yang bersedia menjawab pertanyaan saya meskipun kadang itu pertanyaan tentang kehidupan. Terimakasih pada yayasan Louis Couperus di Den Haag yang sudah memuat artikel saya dalam Arabesk, dan pada museum Louis Couperus yang memberikan saya salinan penggalan skenario film De Stille Kracht.
Dorongan dan kesabaran yang penuh kasih dari keluarga Elbers: suamiku Mas Paul, dan anak-anak kami Andres dan Francis, menjadi penopang dan memberi tenaga pada saya untuk menulis disertasi ini. Maaf, kalian harus menyesuaikan diri dengan irama dan ritme penulisan disertasi mama. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Ibu Franciska dan Ibu Viny yang mengajari saya menerjemahkan/memahami teks Belanda (terima kasih juga untuk suamiku).
Akhir kata, kritik dan saran sangat diharapkan untuk masukan bagi penelitian yang masih memiliki banyak kekurangan ini.
Salam hangat,
(7)
vii DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
BM = Bumi Manusia DSK = De Stille Kracht
KITLV = Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde VOC = Verenigde Oostindische Compagnie
NHM = Nederlandsche Handel-Maatschappij HBS = Hogere Burger School
(8)
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ……… ii
HALAMAN PERNYATAAN... iv
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ... vii
DAFTAR ISI ... viii
INTISARI... x
ABSTRACT ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 19
1.3Objek Penelitian ... 20
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 20
1.5Tinjauan Pustaka ... 22
1.6Kerangka Teori ... 28
1.7Metode Penelitian ... 55
1.8Sistematika Penulisan ... 56
BAB II REPRESENTASI MASA KOLONIAL DALAM SASTRA KOLONIAL DAN PASCAKOLONIAL 2.1Pengantar ... 58
2.2Konteks Historis dan Kultural... 63
2.2.1 Cultuurstelsel... 63
2.2.2 Arah Politik Etis... 72
2.2.3 Pers Hindia Belanda: Artikel Tebar Kebencian dan Medan Polemik ... 77
2.2.4 Penerjemahan dan Penerbitan: Pendukung dan Penentang Kolonialisme ... 81
2.2.5 Aturan dalam Kehidupan Sehari-hari: Pengukuhan Identitas dan Penerapan Apartheid... 97
2.3 Representasi Masa Kolonial dalam BM dan DSK... 105
2.3.1 Text-Order Kedua Novel... 108
2.3.2 Penokohan dalam Kedua Novel ... 114
2.3.3 Pembahasan Lanjut melalui Peristiwa-Peristiwa Penting dalam Kedua Novel (DSK dan BM) ... 120
2.4 Hindia Belanda dalam Perspektif Louis Couperus dan Pramoedya Ananta Toer ……… 146
BAB III MENGGAPAI IDENTITAS KULTURAL 3.1Pengantar………. 161
3.2Penanda-Penanda Identitas ... 165 3.2.1 Ruang sebagai Penanda Identitas : Penataan Ruang
(9)
ix
Domestik ... 168
3.2.2 Penamaan dan Pengaturan Ruang Umum sebagai simbol Kekuasaan : Hasrat Kolonial Menciptakan Eropa... 177
3.2.3 Pembantu: Tempat Pribumi dalam Ruang Domestik orang Belanda ... 186
3.2.4 Tempat Pribumi dalam Ruang Liminal ... 192
3.3. Citra yang Mengontruksi Identitas ... 198
3.3.1 Citra Pekerja Keras vs Pemalas ... 200
3.3.2 Keluarga Indo, Citra Verindisching, dan Hibridisasi ………… 203
3.4 Pakaian sebagai Penanda Identitas ... 214
BAB IV RESISTENSI DALAM MIMIKRI 4.1Pengantar ... 220
4.2Gambaran Perlawanan dalam Karya Sastra Hindia Belanda dan Indonesia ... 226
4.3Fixity dan Interupsi ………... 229
4.4Hibridisasi : Mempertahankan atau Menyesuaikan ... 238
4.5Kemiripan dan Ancaman ... 244
4.6Fantasi Pribumi dan Hasrat Kolonial ... 249
4.7Islam dan Pengingkaran ... 255
4.8Kamuflase dan Resistensi …………... 264
4.9Perbudakan Superioritas dan Inferioritas. ... 274
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 277
5.2 Saran ... 282
DAFTAR PUSTAKA ... 287
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran Gambaran Singkat Kedua Novel ... 295
Lampiran Daftar Karya Terjemahan Sastra Hindia Belanda ... 305
Lampiran Cuplikan Terjemahan DSK dan Skenario Film DSK (Gerard Soeteman/Paul Verhoeven). ... 312
(10)
x
INTISARI
REPRESENTASI PERLAWANAN PRIBUMI MASA PERALIHAN ABAD KE-19 SAMPAI KE-20 DI HINDIA BELANDA DALAM NOVEL DE STILLE KRACHT (KARYA LOUIS COUPERUS) DAN BUMI MANUSIA
(KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
)
Penelitian ini difokuskan pada karya sastra Indonesia (sastra pascakolonial) dan juga Hindia Belanda (sastra kolonial): Bumi Manusia (1980, Pramoedya Ananta Toer) dan De Stille Kracht (1900, Louis Couperus). Keduanya adalah karya pengarang besar pada masa hidup mereka; lewat kedua karya tersebut mereka telah merepresentasikan perlawanan pribumi masa peralihan abad ke-19 di Jawa terhadap penjajah. Penelitian ini bertujuan menemukan bentuk perlawanan tersebut dengan menggunakan teori pascakolonial, analisis struktural, dan perbandingan sastra. Terungkap dalam kedua novel bahwa perlawanan pribumi di Hindia Belanda ditunjukkan oleh manusia mimikri (bangsawan dan pejabat pribumi) yang memiliki akses memasuki ruang liminal, ruang “di antara” dua budaya. Mereka bermimikri hingga membentuk identitas yang berbeda dari aslinya, sama dengan yang ditirunya, tetapi tak sama persis. Manusia mimikri (Minke dan Nyai Ontosoroh, BM), melawan dan berkamuflase (keluarga Soenario, DSK). Manusia mimikri adalah manusia ‘berbahaya’ bagi otoritas kolonial secara mendalam karena kemiripan dan perlawanan yang dimilikinya. Dengan gaya tulisan berupa memoar, Minke (sebagai character-focalizer) melawan sistem kolonial dengan menolak kesempatan menjadi bupati, dan bersama Nyai Ontosoroh berjuang melawan ketidakadilan di pengadilan Putih. Dengan narasi oleh narator orang III, DSK mengungkapkan peringatan kepada pemerintah kolonial akan ancaman perlawanan Islam dan juga kisah perlawanan dengan menggunakan mistik/guna-guna. Dengan cara berbeda kedua karya sastra merepresentasikan bagaimana manusia mengalami kebenaran dan fakta tentang buruknya masa kolonial Hindia Belanda yang pernah menerapkan sistem apartheid, sebuah sistem yang tidak mengakui semua manusia memiliki harkat kemanusiaan yang sama sehingga mereka boleh diperlakukan berbeda.
Kata Kunci : BM dan DSK, perlawanan pribumi, ruang liminal, pascakolonial, mimikri dan kamuflase.
(11)
xi ABSTRACT
REPRESENTATION OF THE RESISTANCE OF NATIVE AT THE END OF THE 19TH CENTURY IN THE DUTCH INDIES, USING DE STILLE KRACHT (KARYA LOUIS COUPERUS) DAN BUMI MANUSIA (KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER
)
This research is focused to an Indonesian literary work (postcolonial literature) and a Dutch Indies literary work (colonial literature): Bumi Manusia (1980, Pramoedya Ananta Toer) and De Stille Kracht (1900, Louis Couperus). Both are great authors in their countries, The Netherlands and Indonesia. They represented the native’s resistance in colonial life at the end of the 19th century in Java. This research aims to find the form of the named resistance by using the postcolonial theory, structural analyse and comparing literature. I found out that the native’s resistance is showed by the mimic man (noble man and native civil servant), who entered the liminal space, ‘in-between’ space. They mimic the colonisator to create their new identity, which is different from their original one, just looks like the identity they imitate. The mimic people imitate and resist at the same time (Minke dan Nyai Ontosoroh, BM), they practice camouflage (Soenario family, DSK). The mimic people are ‘dangerous’ people manusia for the colonial authorities because of their resemblance and resistance. With the literary style of memoir, Minke as a character-focalizer resists toward colonial systeem : he rejects chance to be a regent and unjust law in the White-court. With the narration by narrator as a Third-person (narrator-focalizer), DSK reveals the narratee of warnings to the colonial government about threats of Islamic resistance and the story about native resistance by using mystic/magic. Both of these novels are using a different style, but they represent how mankind experiences the truth and facts about the cruelty of the colonial system in Dutch Indies; they applied ‘apartheid system’ and made a rasial settlement. This system didn’t recognize the equivalence of human dignity.
Kata Kunci : BM dan DSK, resistance of the native, liminal space, postcolonial theory, mimicry and camouflage.
(12)
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Des nachts, niet kunnende slapen, hoorde zij zelve of zij iets vreemds vernam: het kermen van de kindertjes. Te overvol van geluid was de Indische nacht, om haar niet rillen te doen op haar bed. Door het imperatieve brullen de vorsen om regen, om regen, om altijd meer regen nog, het aanhoudend gekwaak met eentonige brulkeel, hoorde zij rondtoveren duizende geluiden, die haar hielden uit de slaap. En door heen sloegen de tokke’s, de gekko’s als uurwerken hun slagen, als vreemde uren van geheimzinnigheid. De gehele dag dacht zij er aan. Ook Eldersma sprak er niet van. (DSK: 188).1
Louis Couperus, pengarang terkemuka Belanda, menggambarkan
malam di Hindia Belanda lewat pengalaman tokoh Eva dalam novelnya De
Stille Kracht, tahun 1900. Saya menduga bahwa hal-hal itu bukan menjadi
alasan utama orang-orang Belanda menempuh perjalanan berbahaya menuju
Timur yang jauh. Mungkinkah matahari hangat sepanjang waktu dan
keinginan menjadi makmur dan kaya mendorong mereka menuju Hindia
Belanda? Adakah harapan dan alasan lain yang melampaui kekhawatiran akan
alam-misteriusnya yang mendorong mereka berangkat, seperti ditulis Dick
Hartoko (1979) tentang C.Th. Deventer yang berangkat ke Hindia Belanda
1
Pada malam-malam dia tidak dapat tidur, dia berusaha mendengar sendiri adanya suara-suara aneh: tangisan anak-anak kecil. Malam di Hindia Belanda terlalu penuh suara-suara, membuatnya gemetar di ranjangnya.Suara-suara kodok yang mengorek di waktu hujan, dan yang selalu meminta tambah hujan, yang berbunyi terus menerus dengan korek monoton membuatnya terus terjaga.Dan ketika suara-suara tokek terdengar, terasa ada saat-saat aneh yang penuh misteri.Sepanjang hari Eva memikirkannya.Eldersma tak sekalipun membicarakannya.
(13)
2 dalam usia muda sebagai ahli hukum untuk bekerja pada
perusahaan/perkebunan pada masa itu. Ia pun menjadi kaya di Hindia
Belanda2. Keberhasilan ekonomis dan pulang ke Belanda dalam keadaan kaya
sebagaimana Deventer menjadi harapan orang Belanda di Hindia.Dalam
novelnya De Boeken der Kleine Zielen (1901), Couperus menggambarkan
kehidupan mantan pejabat tinggi Hindia Belanda di Den Haag yang
berkecukupan harta.
Para pendatang, orang-orang Belanda yang kemudian mengoloni tanah
Hindia Belanda berabad-abad menjadi bagian dari negeri itu. Mereka harus
hidup berdampingan dengan penduduk asli dan pendatang lainnya. Mereka
membawa sejarah, gaya hidup, makanan, tarian, musik dan karya seni mereka
sendiri. Karena alam yang berbeda, mau tak mau mereka melakukan adaptasi.
Suka duka, keluhan, hujatan, atau pujian, dituangkan oleh mereka ke dalam
tulisan-tulisan, baik berupa laporan perjalanan, memoir, puisi, maupun
roman/novel. Berikut kutipan dari Max Havelaar, salah satu karya sastra
Belanda yang terbit pada masa kolonialisme Belanda.
Ongkos-ongkos pengangkutan ke Eropa dengan perantaraan badan-badan perdagangan yang diberi hak istimewa. — dan karena seluruh perdagangan harus memberikan untung, keuntungan itu tidak bisa didapat dengan cara lain dari membayar si orang Jawa sekedar supaya ia jangan mati kelaparan, hal mana akan mengurangi tenaga untuk bangsa itu. Memang orang Jawa yang miskin dilecut oleh dua kekuasaan; memang ia ditarik dari mengerjakan sawah-sawahnya; —
2
Keluarga Deventer masih menaruh minat terhadap kesejahteraan bangsa Indonesia.Di tahun 1913 Nyonya Deventer mendirikan yayasan Kartini untuk membantu pendirian sekolah-sekolah bagi wanita.
(14)
3 memang tindakan-tindakan itu sering mengakibatkan bahaya kelaparan…tapi di Betawi, Semarang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Probolinggo, Pacitan, Cilacap, bendera-bendera berkibar gembira di kapal-kapal yang sarat memuat hasil-hasil panen yang menjadikan negeri Belanda kayaraya. (Multatuli, 1972:63-64).
Multatuli atau Douwes Dekker, pengarang novel Max Havelaar,
adalah salah satu pejabat Hindia Belanda yang pulang dalam kemiskinan.
Lewat novel monumental tersebut dia mengritik sistem tanam paksa,
mengritik ketidakadilan pemerintah terhadap penduduk pribumi di Hindia
Belanda, terutama Jawa. Indah karyanya, tajam kritikannya dan luas
gaungnya, sehingga mampu mendorong perubahan di Hindia Belanda.3
Karya sastra mengenai masa kolonial Belanda tidak hanya muncul di
kalangan orang Belanda. Di kalangan rakyat Indonesia pun dihasilkan karya
sastra, misal Student Hijo, Hikayat Kadiroen, Salah Asoehan (Yudiono,2007:
29-114). Karenanya, berhubungan dengan sejarah kolonial Belanda di
Indonesia, dapat dimengerti mengapa karya sastra zaman Hindia Belanda bisa
dibicarakan dalam satu koridor dengan beberapa karya sastra Indonesia.
Karya-karya tersebut dengan bahasa yang berbeda merepresentasikan
pandangan-pandangan dan nilai-nilai kemasyarakatan pada zaman itu. Orang
Belanda dan Indonesia pada zaman kolonial bersama-sama menjadi bagian
dari satu masyarakat yang digerakkan oleh sistem kekuasaan, sosial, dan
ekonomi yang sama. Wolff (1981) melihat karya seni bukanlah produksi yang
3
E.M. Beekman (1992) menilai Max Havelaar adalah contoh karya yang mewakili bentuk dialogis Bhaktin karena banyak suara (polyphonic)yang dikandungnya.
(15)
4 terisolasi, tetapi sebuah produk kesadaran kolektif; seorang seniman dimediasi
oleh institusi sosial dan ekonomis yang mempengaruhi mode produksi.
Dari zaman masa penjajahan hingga kini telah terbit ratusan karya
sastra berbahasa Belanda tentang Hindia Belanda yang kemudian disebut
sebagai sastra Indis atau sastra Hindia Belanda. Keberadaan sastra Hindia
Belanda di satu pihak menjadi semacam bukti penyebaran sastra Belanda ke
belahan dunia, di pihak lain menambah daftaran novel yang berbicara
mengenai Hindia Belanda (Indonesia tempo dulu). Sastra Indis menempatkan
Hindia Belanda (baca Timur) dalam kenangan dan menjadi tanah yang
dirindukan sekaligus dikritiknya. Karya sastra Indis yang ditulis atau terbit
sebelum masa kemerdekaan, misalnya karya Multatuli (Max Havelaar, 1860),
P.A. Daum (uit de suiker in de tabak/dari Gula ke Tembakau, 1883), E. du
Perron: Het land van herkomst/Tanah Asal (1935). Sastra yang terbit sesudah
kemerdekaan: Rob Nieuwenhuys dengan nama samaran E. Breton de Nijs
dalam Vergeelde Portrette (1954) atau Bayangan Memudar (1975), Hella
Haasse (1918-2011) dengan novel-novelnya tentang Hindia Belanda: Oeroeg
(1948), diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama, Heren
van de Thee (1986), dan Sleuteloog(2002), diterjemahkan dengan judul Mata
Kunci (2010). Bahkan muncul penulis yang lahir sesudah zaman kemerdekaan,
misalnya Marion Bloem (lahir tahun 1952) atau Alfred Birney (lahir pada
tahun 1961) dengan novelnya Vogels Rond een Vrouw (tahun 2002
(16)
5 Informasi sastra Hindia Belanda dapat dirunut dari pengarang Belanda
maupun Indonesia. Dalam dua tulisan Rob Nieuwenhuys, Oost-Indische
Spiegel (1978) dan juga Tussen Twee Vaderlanden (1967) dapat diperoleh
lebih banyak informasi tentang buku-buku sastra Hindia Belanda, bahkan yang
tidak cukup dikenal dalam sastra Indonesia. Buku Oost-Indische Spiegel
tersebut telah disadur oleh Dick Hartoko menjadi Bianglala Sastra (1979).
Dua buku yang lain misalnya, Sastra Hindia Belanda dan Kita karya Subagyo
Sastrowardoyo (1983) dan buku Kian Kemari (1973) yang diterbitkan oleh
Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.
Pihak pribumi (Indonesia) tidak mau ketinggalan menuliskan
pengalaman kehidupan kolonial dalam karya sastra; tulisan mereka dalam
bahasa Melayu bermunculan. Dalam Tempo Doeloe (Pramoedya, 2003) dapat
ditemukan cerita-cerita berbahasa Melayu-pasar tentang kehidupan masa
kolonial. Kisah hidup seorang Nyai yang dituangkan ke dalam karya sastra
dapat dibaca dalam Kesustraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia
karangan Boen Thio Tjin (2001). Novel Sitti Nurbaya dan Salah Asoehan juga
menggunakan setting masa kolonial. Seorang pengarang Indonesia, Suwarsih
Djojopuspito, bahkan menuliskannya dalam bahasa Belanda. Tulisan berjudul
Buiten Het Gareel yang kemudian diterjemahkan oleh pengarangnya sendiri
dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia Bebas bercerita tentang
(17)
6 pendidikan bagi bangsanya sendiri. Pramoedya juga menuangkan
pemikirannya tentang masa kolonial Belanda dalam karya sastranya.Buku
pertama, Bumi Manusia (1980), dari tetraloginya dengan jelas menanggapi
zaman itu.
Claudio Magris menyatakan bahwa filosofi dan religi menformulasikan
kebenaran, sejarah menentukan fakta, tetapi sastra –seni pada umumnya –
bercerita kepada kita bagaimana dan mengapa manusia mengalami kebenaran
dan fakta tersebut.4 Karya sastra dapat dipandang sebagai produk
masyarakatnya yang keberadaannya tidak terlepas dari dunia realita. Kondisi
ini mengundang pertanyaan tentang kaitan antara keduanya sehingga terbuka
dunia realita berdampingan dengan dunia sastra (Chamamah, 1994). Berkaitan
dengan penjajahan dan imperium, Said (1993: XII-XXII), sebagai peletak
dasar kritik pascakolonial memandang bahwa novel penting dan menjadi
satu-satunya objek estetika yang menarik untuk dipelajari karena memiliki kaitan
dengan masyarakat-masyarakat Inggris dan Perancis (dalam hemat saya juga
Belanda). Novel adalah bentuk budaya yang penting perannya dalam
pembentukan sikap, acuan, dan pengalaman imperial sehingga mengabaikan
novel atau mengabaikan pengalaman tumpang tindih antara bangsa Barat dan
Timur adalah meninggalkan apa yang penting dari dunia di abad lampau.
Artinya, karya sastra sebagai bagian dari narasi yang ikut berperan dalam
4 Dikutip dari surat edaran Nederlands letterenfonds/ Dutch foundation for literature
(“Filosofie en religie formuleren waarheden, geschiedenis stelt de feiten vast, maar literatuur –kunst in het algemeen –zegt ons hoe en waarom mensen die waarheden en die feiten beleven.)
(18)
7 pembentukan acuan dan sikap masyarakatnya penting untuk dipelajari. Karya
sastra yang menyuarakan kehidupan masa kolonial mengandung peran
mempertegas maupun memperlemah paham kolonialisme.
Mempertegas paham kolonialisme dapat dilakukan dengan
memperlemah pihak pribumi. Dalam beberapa roman berlatar belakang
perkebunan Deli wanita pribumi ditampilkan sebagai pribadi yang minder.
Zonneveld (2002) mengatakan bahwa karya sastra tersebut menyoroti para
Nyai sebagai wanita penggoda yang berperan besar terhadap demoralisasi
pejabat/pegawai perkebunan Belanda. Motif-motif lain yang juga dapat
ditemukan pada banyak roman Deli adalah puas diri, pemikiran yang dangkal,
materialisme dan sikap acuh tak acuh dari lingkungan perkebunan.
Pergundikan dan persaingan antara wanita Indo dan Eropa menghasilkan
drama percintaan. Penulis Carry van Bruggen yang mengawali karirnya
sebagai penulis di Deli menuangkan kesannya dalam karyanya Goenoeng
Djati (1909) yang bertema sentral demoralisasi di Deli. Van Bruggen secara
simpatik memperkenalkan seorang administrator tinggi, Administrator Kolff,
yang berkeinginan menikah dengan wanita Eropa, tetapi tidak dapat
melepaskan diri dari pengurus rumah tangganya yang bertahun-tahun sudah
hidup bersamanya. Dia sering merasa muak dan berusaha melepaskan diri dari
wanita Jawa itu, tetapi kembali dia dikuasai lebih kuat dan bertambah kuat;
pengaruh wanita itu bertambah; sensualitas yang gaib yang akhirnya akan
(19)
8 Novel-novel semacam Goenoeng Djati, bersamaan dengan teks-teks di
luar sastra –misal tulisan jurnalistik- menjadi semacam narasi yang digunakan
untuk mempertegas jati diri penjajah. Mereka menjadi bagian dari bacaan yang
dikontrol pihak penguasa; pihak yang digerakkan oleh pemikiran orientalisme,
pemikiran tentang Timur. Bacaan tersebut menjadi semacam panduan
bagaimana mereka harus menghadapi Timur dan mengurus Timur menjadi
semacam pedoman. Bahkan zaman Hindia Belanda terdapat sekolah khusus
memerintah Timur, yang disebut Indologi. Semua gagasan tentang Timur
disebut sebagai orientalisme. Suatu gagasan yang ikut menjaga kelangsungan
praktik kolonialisme. Said menilai bahwa dalam konsep orientalisme Timur
ditempatkan sebagai pihak yang lemah, terbelakang dan tidak mampu
berbicara. Mereka harus dikonstruksi, diatur dan juga diwakili.
Dengan hasil penelitiannya atas sejumlah besar teks yang ada dalam
masa kolonialisme, Said (1979) membuahkan kritikan tajam terhadap
pemikiran orientalisme; orientalisme disebutnya sebuah wacana. Said (Ibid.)
memndang bahwa orientalisme membuahkan konsep dan pandangan yang
menyangkut hubungan Timur dan Barat. Timur dianggap sebagai bagian
integral dari peradaban dan kebudayaan material Eropa karena Timur telah
membantu mendefinisikan Eropa (Barat) sebagai imaji, idea, kepribadian dan
pengalaman yang berlawanan dengannya. Dengan menggugat wacana Timur
(20)
9 dan kepentingan-kepentingan kolonial, Said dipandang sebagai peletak konsep
dasar pemikiran pascakolonial.
Sejak tahun 1778 di Hindia Belanda telah didirikan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1851 kemudian muncul KITLV
(Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) di Leiden, berdiri
Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (14 September 1908) di
Jakarta yang berubah menjadi Volkslectuur, 1917. Badan-badan di atas
meneliti budaya dan mengembangkan pengetahuan tentang Timur, dan juga
menyediakan, mengontrol bacaan untuk bumiputera di negara jajahan. Dari
hasil kerja lembaga-lembaga tersebut gambaran tentang Hindia Belanda akan
terbentuk; lembaga tersebut melahirkan banyak orientalis.
Badan-badan tersebut mendukung pendapat Said (1979:2) bahwa
Timur menjadi bagian intergral dari peradaban dan kebudayaan Eropa yang
ditampilkan oleh orientalisme secara budaya dan bahkan ideologis sebagai
suatu mode of discourse dengan lembaga-lembaga, perbendaharaan bahasa,
studi kesarjanaan, lambang-lambang dan doktrin-doktrin yang mendukungnya,
bahkan birokrasi kolonial dan gaya-gaya kolonialisme. Karenanya, wacana
orientalisme dengan dukungan tradisi, kekuasaan, dan modus penyebaran
pengetahuan telah menciptakan “mitos” dan “stereotip” tentang Timur yang
dikontraskan dengan Barat. Muncul dikotomi Barat dan Timur, minoritas dan
mayoritas, pusat dan pinggiran yang bersifat hierarkis dan juga bermakna tidak
(21)
10 Eropa membenarkan mereka dalam mengolonisasi, menguasai atau
menjinakkan “Yang Lain” (Budianta, 2002; Noor dan Faruk, 2003).
Pembalikan Said terhadap oposisi biner tersebut akhirnya menghasilkan
idealisasi terhadap wacana pascakolonial, sifat wacana pascakolonial adalah
resistensi, penggugatan, atau penolakan terhadap penindasan (Budianta,
1998:3).
Alatas (1980) secara khusus meneliti teks orientalisme yang ada di
Hindia Belanda, Malaysia dan Filipina. Dia memfokuskan perhatian pada
permasalahan mitos pribumi malas yang beredar dan mendukung kolonialisme
Belanda di Hindia Belanda, kolonialisme Inggris di Malaysia dan kolonialisme
Spanyol di Filipina. Keengganan pribumi bekerja di ladang/bidang pendukung
kapitalisme menghasilkan mitos pribumi malas. Mitos-mitos yang
menunjukkan keminderan pribumi: malas, tukang kredit, peminum, pemadat,
pencuri ikut melegalkan dan melanggengkan kolonisasi dan kapitalisme.
Dengan mitos dan stereotip, kolonisator merasa berhak mengatur, mengontrol,
dan memberadabkan mereka.
Citra tentang pribumi juga dipakai oleh Belanda untuk menuntut
penerapan kebijakan tertentu di suatu wilayah. Dalam buku karya Marieke
Bloembergen (2011: 45) dilaporkan bahwa residen Surabaya meminta pada
pemerintah agar pengawasan keamanan di Surabaya, sekitar tahun 1890-an,
(22)
11 memasuki Surabaya, yang notabene lebih kasar dibandingkan orang Bantam
(atau Banten) yang masuk ke Batavia.
Mitos pribumi tidak selamanya diterima begitu saja oleh pribumi.
Karya sastra yang kemudian ditulis oleh pengarang Indonesia (sebut pihak
terjajah) dapat memberikan citra yang berlawanan dengan yang diberikan oleh
pihak penjajah sehingga dapat menjadi alat perlawanan terhadap pihak
kolonial. Karya sastra bertema masa kolonial yang ditulis oleh bangsa
Indonesia mencitrakan Nyai berbeda dengan roman-roman Deli yang ditulis
penulis wanita Belanda. Nyai dalam Cerita Nyi Paina (yang termuat dalam
Tempo Doeloe) dicitrakan berbeda dari nyai dalam Goenoeng Djati.Karya
tersebut dapat dipandang sebagai karya sastra yang mengandung perlawanan
karena tokoh nyai Paina dalam novel tersebut dengan keberaniannya mencari
cara untuk menggagalkan sistem pernyaian. Cerita Nyi Paina menceritakan
perjuangan perempuan pribumi yang dijual ayahnya kepada pejabat Belanda
untuk mempertahankan status dan pangkatnya. Meski menerima ternyata
diam-diam dia memberontak dengan melumuri tubuhnya dengan wabah cacar
yang saat itu belum diketemukan obatnya. Toean Briot akhirnya tewas karena
cacar yang ditularkan Paina dan dengan demikian ia bebas kembali ke
desanya. Kisah serupa Nyi Paina ini akan dapat ditemukan dalam karya
Pramoedya Bumi Manusia. Seorang wanita yang juga keponakan dari Nyai
Ontosoroh memilih risiko terkena wabah cacar untuk menghindarkan diri dari
(23)
12 Sistem pernyaian dan pergundikan diduga menjadi salah satu akibat
langsung dari sistem kapitalisme perkebunan yang dibawa Belanda. Para
pejabat perkebunan dan pejabat swasta Belanda memelihara perempuan
pribumi untuk dijadikan gundik (Christanty, 1994:25). Pergundikan yang
terjadi menciptakan wacana bahwa perempuan pribumi adalah pemuas nafsu
lelaki Eropa. Gambaran ini setidaknya banyak terungkap dalam karya sastra
Indonesia baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan yang bertema
pernyaian, misal Nyai Dasima, Cerita Rossina, Cerita Nyai Ratna, Hikayat
Siti Mariah, Nyai Soemirah, Bumi Manusia.
Bhabha (1994) membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial
selalu bersifat ambigu, polisemik sehingga konstruksi dirinya maupun
mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam dan
bertentangan. Spivak juga menambahkan bahwa wacana kolonial bukanlah
sesuatu yang tertutup dari kemungkinan resistensi. Bahkan wacana itu sendiri
dapat melawan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan efek yang
berkebalikan dengan kehendak kekuasaan, yaitu efek yang memberdayakan
bagi masyarakat terjajah (dalam Faruk, 2007). Bisa terjadi juga, karya sastra
yang ditulis oleh masyarakat kolonial justru mengritik masyarakat penjajah.
Beberapa novel yang ditulis oleh orang Belanda, dalam bahasa
Belanda, dan terbit pada zaman tersebut mengritik sistem kolonialisme, misal
Kraspoekol (Willem van Hogendorp), Koeli, Rubber (Madelon H.
(24)
13 Novel-novel tersebut kebanyakan juga menampilkan orang pribumi sebagai
tokoh penting dalam karya sastra, bukan sekedar bujang penjaga pintu, atau
babu yang mengulek sambal terasi.
Di Indonesia, bahkan di dunia, novel Max Havelaar yang selalu
dikaitkan dengan citra antikolonial (Dewi, 2007; Faruk, 2007), sedangkan
novel De Stille Kracht tidak. Novel ini menampilkan tokoh wanita Belanda
yang bercitra miring, seorang istri residen yang berselingkuh dengan anak tiri
dan lelaki-lelaki lainnya. Suatu citra yang tidak berbeda dengan citra Nyai
yang digambarkan dalam roman Deli. Bahkan, oleh Zonneveld (2002
:133-159) novel tersebut dinilai mengritiktingkah laku orang-orang Belanda di
Asia; kritikan yang dilontarkannya bahkan dinilai lebih mendalam tentang
kehidupan masyarakat kolonial Belanda daripada Max Havelaar karya
Multatuli. Gambaran ringkas cerita DSK dapat dilihat dalam Bianglala Sastra
oleh Dick Hartoko (1979) atau Kian Kemari (1973).
Novel ini sedang dalam proses difilmkan (format layar lebar) oleh Paul
Verhoeven, sutradara Basic Instinct (2011)5 dengan mengambil lokasi
shooting di Thailand meskipun berlatar Hindia Belanda. Apakah ini terkait
dengan adegan telanjang atau isu mistik dan Islam yang ada dalam novel
DSK.DSK juga pernah difilmkan sebagai serial TV Belanda pada tahun 1977
5
Berita bahwa film ini terancam gagal direalisasikan pernah muncul di media televisi dan kemudian secara langsung saya diinformasikan oleh museum Couperus, 2012. Alasan kegagalan adalah dana. Dari beberapa proyek film yang diajukan Verhoeven, DSK termasuk film yang tidak mendapat dukungan finansial mencukupi. Contoh skenario film DSK yang ditulis oleh Gerard Soeteman terlampir (skenario saya dapatkan dari museum Louis Couperus di Den Haag).
(25)
14 dan sempat menghebohkan karena adegan telanjang pemainnya. Ketua Badan
Sensor Film Indonesia juga mengritik keras film ini karena menurutnya, film
ini mengesankan Indonesia yang tidak mementingkan pakaian (Hartoko,
1979). Film yang akan muncul dapat menjadi bahan penelitian baru terkait
dengan kreativitas karya sastra (ikranisasi).
Novel ini meramalkan kekalahan Belanda akibat perlawanan oleh
penduduk dan munculnya kekuatan Islam. Dalam pertentangan dingin antara
residen dan keluarga bupati, Residen Van Oudijck berada di atas angin.
Keluarga residen kemudian diceritakan diganggu oleh kekuatan gaib, oleh
sesuatu yang misterius. Mereka juga ditakutkan oleh munculnya kelebat
bayangan haji berjubah dan bertulban putih yang melintasi kediaman mereka.
Kekuatan misterius, kekuatan Timur yang sulit dikendalikan oleh nalar: hujan
batu kerikil, semburan ludah bersirih. Hal ini seakan-akan menggambarkan
peperangan kekuasaan antara Barat dan Timur yang tersembunyi, pertentangan
antara keluarga residen (penjajah) dan keluarga bupati (terjajah).
Sebagaimana De Stille Kracht, novel Bumi Manusia yang ditulis oleh
Pramoedya Ananta Toer juga membidik jaman kolonial Hindia Belanda pada
masa peralihan abad kesembilanbelas - abad keduapuluh. Bila De Stille Kracht
menampilkan anak residen –Theo yang berdarah Indo dari ibunya– yang
meniduri ibu tirinya, Bumi Manusia menghadirkan Robert Mellema pemuda
Indo yang tega memperkosa adik kandungnya. Pada bagian yang lain dalam
(26)
15 dan malas sebagaimana Theo, sekaligus seorang playboy. Mengapa pandangan
miring terhadap kelompok Indo zaman Hindia Belanda bermunculan? Hunter
dalam Clearing Space (2002) pernah menulis artikel berjudul “Indo as other,
identity, anxiety, and ambiguity in “Salah Asoehan”. Tulisan tersebut
mengesankan bahwa bagi kelompok kolonisator, Indo adalah juga The Other.
Permasalahan ini menjadi hal yang menarik bila dibahas lebih lanjut.
Bila De Stille Kracht (atau DSK) mengetengahkan tokoh wanita
Belanda, seorang istri Eropa, yang berselingkuh dengan beberapa pria, seorang
wanita yang citranya tidak jauh berbeda dengan nyai dalam Goenoeng Djati
maka Bumi Manusia (atau BM) menampilkan seorang Nyai yang mencoba
menjadi wanita terhormat dalam kemampuan dan keterbatasannya. Memang
menarik melihat tokoh Nyai dalam Bumi Manusia (BM). Sebagai seorang
nyai, Nyai Ontosoroh tampil sebagai perempuan yang cerdas dan mandiri. Ia
menjadi bukti bahwa wanita pribumi bukanlah wanita yang hanya memiliki
daya tarik seksual dengan moral rendah. Pramoedya, menurut Koh (1996)
berhasil memaparkan kekuatan citra wanita yang akan bangkit bila ditindas
oleh ketidakadilan sistem penjajah.
Meskipun Nyai Ontosoroh adalah wanita kuat,6 dia tetaplah tokoh
wanita yang akhirnya dikalahkan oleh hukum pemerintahan kolonial. Hukum
yang berpihak pada kelompok penguasa (non-pribumi). Keberanian dan
6
Dalam kajiannya Gerard Termorshuizen (1996) menyebut dia sebagai de mondige nyai (nyai yang berani dan tangkas berbicara. Senada dengan Termorshuizen, Katrin Bandel (1996) menyebut Ontosoroh sebagai nyai yang tidak lemah dan tergantung pada laki-laki sebagaimana nyai Dasima.
(27)
16 perlawanan Nyai Ontosoroh untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya
akhirnya harus dikalahkan. Hal ini berangkat dari hukum Belanda yang
menyatakan bahwa hubungan Nyai Ontosoroh dan Mellema adalah
perselingkuhan.Kekalahan yang justru mendudukkan hukum kolonial pada
tempat yang tidak manusiawi. Dalam novel Pram tersebut Nyai Ontosoroh
mengungkapkan pada Annelies bahwa dia telah diakui secara sah sebagai anak
bapaknya, tetapi harus kehilangan seorang ibu secara hukum (BM: 98).
Koh (1996: 70-93) menulis bahwa lewat Minke dan watak-watak lain
dalam tetralogi Bumi Manusia, gambaran/citra pemberontakan, terutama
terhadap ketidakadilan kolonial, dapat ditemukan. Menurut Koh, Pramoedya
ingin menyokong nasionalisme yang menolak kuasa penjajahan. Berkaitan
dengan pengertian wacana perlawanan (resistensi), Lo dan Gilbert (Budianta,
2002:62) menulis, jika dalam proses dekolonisasi terjadi pembalikan posisi
dan perlawanan, prosesnya menjadi tidak sederhana dan drastis; perlawanan
kemudian didasarkan atas struktur ganda, seringkali bersikap kontradiktif,
tidak selalu mudah dipilah karena bersifat tidak lengkap, tidak selesai, ambigu,
dan seringkali berkompromi dengan aparatus yang ingin dibongkarnya. BM
adalah novel yang mengungkap perlawanan bangsa Indonesia terhadap pihak
kolonial Belanda.
Dengan melihat bahwa wacana kolonial maupun wacana perlawanan
dapat bersifat ambigu sehingga menghasilkan banyak tanggapan maka
(28)
17 Bhabha (1994) mengungkapkan bahwa hubungan terjajah dan penjajah adalah
kompleks. Ketika terjajah dihadapkan pada pemahaman tentang kemurnian ras
untuk si putih, dia mencoba mengidentifikasikan dengan dirinya. Dengan
menolak untuk sepakat dengan pendapat Fanon (dalam Bhabha, 1997) bahwa
hanya ada dua pilihan psikis bagi terjajah: menjadi putih atau menghilang,
Bhabha (Ibid.) mengajukan tiga konsep: kamuflase, mimikri, dan kulit
hitam/kedok putih. Karenanya, bagi Bhabha dalam tindak mimikri terkandung
resistensi terjajah; terjajah menjadi (mirip) ‘putih’ yang dilekati resistensi.
Kedua novel, DSK karya Louis Couperus dan BM karya Pramoedya,
yang satu novel ditulis oleh anggota masyarakat penjajah dan satu lagi ditulis
oleh anggota masyarakat terjajah. Satu novel menampilkan seorang Nyai, satu
novel menampilkan seorang “mevrouw” Nyonya Belanda. Kedua novel ini
sama-sama melukiskan kehidupan keluarga Indo dalam kadar yang berbeda.
Istri terdahulu Van Oudijck atau ibu Theo dan Doddy adalah wanita Indo.
Kedua novel juga menyebut tentang Islam selain masalah guna-guna di Jawa.
Kedua novel bersetting utama Jawa Timur: novel DSK ini bersetting
Labuwangi, sebuah kota fiktif di Jawa Timur sedangkan BM mengambil
setting Wonokromo. Keduanya juga menyebut kota-kota lain, Batavia, Bogor.
Keberadaan kedua novel tersebut menimbulkan ketertarikan penelitian:
bagaimana karya sastra digunakan oleh pihak-pihak bertentangan
(Penjajah/Barat dan Terjajah/Timur) merepresentasikan pengalaman kolonial
(29)
18 Tulisan ringkas terhadap kedua novel, semacam pendahuluan dari
penelitian ini, pernah saya kirimkan dalam Atavisme (vol. 13, No.2, Desember
2010) dengan judul “Jejak Perlawanan dalam Novel Bumi Manusia dan De
Stille Kracht”.7 Tulisan tersebut difokuskan pada perlawanan terjajah pada
penjajahan yang muncul di dalam kedua novel dan mengaitkannya dengan
mimikri yang dilakukan Minke dan Ontosoroh. Mimikri dalam DSK tidak
disinggung, meskipun dalam novel tersebut juga muncul perlawanan lewat
mimikri (kamuflase). Bagaimana citra dan identitas kultural terbentuk dalam
masyarakat kolonial tidak dibahas dalam artikel itu. Tulisan di atas juga tidak
memberi ruang pada pembahasan latar historis kedua novel, padahal salah satu
alasan meneliti kedua novel adalah kesamaan latar historisnya.
Pertanyaan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana tuntutan
identitas kawula kolonial ideal dipenuhi dalam kehidupan masyarakat kolonial
Hindia Belanda, dan bagaimana sifat-sifat resistensi yang melekat dalam
tindak mimikri kolonial direpresentasikan dalam kedua novel. Sebelum
membahas resistensi, latar historis kedua novel disajikan –hal yang tidak
disinggung dalam tulisan saya sebelumnya– (kolonial/Hindia Belanda dan
Indonesia). Kedua novel dibandingkan, dibahas dengan pendekatan
pascakolonial dan dengan melaksanakan analisis struktural naratif.
7
Untuk mendukung disertasi ini, saya menerjemahkan DSK ke dalam Bahasa Indonesia dan telah diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta dengan judul Kekuatan Diam (2011).
(30)
19 1.2 Rumusan Masalah
Secara garis besar studi ini difokuskan pada representasi perlawanan
pribumi dalam kedua novel, membandingkan bagaimana tuntutan identitas
kawula kolonial ideal dipenuhi dalam kehidupan masyarakat kolonial Hindia
Belanda, dan mengungkap sifat-sifat resistensi mimikri kolonial dalam kedua
novel. Bagaimana kedua novel tersebut menanggapi dan mengemukakan
permasalahan kemasyarakatan dalam masa kolonialisme Belanda, pertemuan
dan hubungan penjajah dan terjajah: permasalahan antar ras (pribumi
danEropa), citra ideal dan identifikasi, mimikri dan aspeknya, dan bentuk/sifat
perlawanan kolonial dalam kedua novel.
Secara lebih rinci, permasalahan dirumuskan dalam beberapa pokok masalah.
a. Latar Historis dan Kultural: Hubungan Penjajah-Terjajah dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan Jawa zaman kolonial Belanda peralihan abad ke-19 dan
ke-20 (1889 s.d. 1917).
b. Identifikasi struktur naratif kedua novel: representasi masyarakat kolonial
dalam sastra kolonial (De Stille Kracht) dan pascakolonial (Bumi Manusia).
c. Konstruksi identitas kultural ideal dibentuk dan dipenuhi oleh kawula
kolonial dalam De Stille Kracht dan Bumi Manusia
d. Mimikri dan sifat perlawanan/resistensi dalam kedua novel sastra kolonial
(31)
20 1.3 Objek Penelitian
1.3.1 Objek Formal
Objek formal penelitian adalah representasi perlawanan pribumi dalam
masyarakat kolonial: struktur naratif, konstruksi identitas kultural, mimikri
kolonial dan bentuk perlawanan/resistensi dalam karya sastra berlatar masa
kolonialisme di Hindia Belanda yang ditulis oleh pengarang Indonesia dan
dalam bahasa Indonesia dengan karya sastra yang ditulis oleh pengarang
Belanda dan dalam bahasa Belanda.
1.3.2 Objek Material
Objek material adalah novel BM (karya Pramoedya Ananta Toer dan
terbit pertama kali tahun 1975 oleh penerbit Lentera Dipantara) terbitan Hasta
Prima tahun 1980, cetakan ke-tahun 2005 dan DSK (karya Louis Couperus dan
terbit pertama kali pada tahun 1900). Buku DSK cetakan terdahulu juga dilihat
untuk melihat adanya perubahan isi; ternyata tak ada perubahan isi.Buku
tersebut adalah cetakan ketujuh terbitan L. J. Veen’s Uitgeversmaatschappij
N.V., Amsterdam, tanpa tahun terbit. Buku ini diregistrasi di perpustakaan
UGM pertama kali pada tahun 1971, juga terbitan tahun 2007 yang diterbitkan
oleh Athenaeum, Polak en Van Gennep, Amsterdam.
1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian: Teoretis dan Praktis
Penelitian memiliki tujuan praktis yaitu mengungkapkan hasil
(32)
21 ditulis oleh orang Belanda dan Indonesia : (a) menunjukkan struktur naratif
novel De Stille Kracht dan Bumi Manusia, (b) menunjukkan hubungan
Penjajah-Terjajah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Jawa jaman
kolonial Belanda dalam De Stille Kracht dan Bumi Manusia, (c)
mengungkapkan konstruksi identitas kultural ideal dibentuk dipenuhi oleh
subjek kolonial dalam De Stille Kracht dan Bumi Manusia, (d)
mengungkapkan mimikri dan bentuk resistensi bangsa terjajah terhadap
kolonialisme dalam novel De Stille Kracht dan Bumi Manusia melalui struktur
naratifnya dalam kedua novel tersebut, (e) membandingkan poin-poin di atas
dengan melihat perbedaan dan persamaannya.
Model pendekatan yang digunakan mengarahkan penelitian pada
pembacaan pascakolonial, dengan menganalisis kedua novel menggunakan
pemikiran Homi Bhabha: membahas pandangan-pandangan dan
pertentangan-pertentangan kedua pihak (Timur-Barat/Penjajah-Terjajah) dalam kedua novel.
Sebagaimana diungkapkan Homi Bhabha bahwa penjajah diperbudak oleh
superioritasnya dan terjajah oleh inferioritasnya. Dalam hubungan keduanya
berlangsung ajang kompetitif untuk menunjukkan jatidiri mereka; superioritas
harus dipertahankan dari serangan Timur dan inferioritas harus dihilangkan
sehingga mereka sama dengan Barat. Oleh karenanya, penelitian ini membaca
novel DSK karya Louis Couperus dan novel BM karya Pramoedya Ananta
Toer dalam kajian pascakolonial: pemikiran-pemikiran tanding superioritas
(33)
22 mimikri kawula kolonial, hibridisasi masa kolonial, dan juga isu-isu
resistensi/perlawanan kolonial yang terkandung di dalamnya. Untuk
membantu pemahaman terhadap kedua karya sastra, analisis struktural naratif
dari Rimmon-Kenan (1993) digunakan. Analisis ini terutama untuk melihat
bagaimana ruang, waktu, karakter dan peristiwa difokalisasikan atau
diceritakan (alur) sehingga permasalahan penelitian terjawab. Dengan
demikian, semua data yang berguna untuk pembacaan pascakolonial tidak
terlewatkan. Selain itu, penggunaan struktur naratif diharapkan dapat
menunjukkan bagaimana sebuah karya sastra dapat digunakan untuk
merepresentasikan kehidupan masyarakat melalui teknik naratifnya.
Tujuan praktis penelitian adalah memberikan pemahaman bahwa
perbedaan tanggapan dan pengungkapan mengenai masalah kolonialisme
selalu muncul dalam karya sastra yang berbeda. Diharapkan penelitian ini
memperkaya informasi mengenai hubungan karya sastra Indonesia dengan
karya sastra lainnya, khususnya karya sastra Belanda. Penelitian diharapkan
juga memberikan tambahan informasi mengenai pengaruh kolonialisme dalam
kehidupan masyarakat dan memberikan cermin pada bangsa-bangsa masa
sekarang bahwa kolonialisme adalah hal buruk dan tidak boleh terulang lagi.
1. 5 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap BM telah banyak dilakukan, salah satunya sebagai
(34)
23 disajikan di bawah ini. Dalam buku Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam
Novel-Novel Mutahkhirnya karya Koh (1996) pembahasan terhadap BM
dilakukan bersama tiga novel lainnya (tergabung dalam tetralogi Bumi
Manusia). Keempat novel dikaji dengan pendekatan ekstrinsik secara umum
dan sosiologi sastra secara khusus. Dalam kajian ini latar belakang dan
pemikiran Pramoedya terhadap permasalahan kemasyarakatan dan dunia serta
perkembangan pandangan dunia digunakan untuk membahas tetralogi BM.
Dihasilkan kesimpulan bahwa keempat novel mengedepankan perlawanan
terhadap kuasa penjajah.
Pendapat serupa dikemukakan oleh Savitri Scherer (1981) dalam
disertasinya yang kemudian diterbitkan sebagai buku tiga tahun kemudian.
Menurut Scherer (2012: 142), BM telah melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial Belanda dan juga pertanyaan tentang siapa yang
membuat hukum dan siapa yang diuntungkan dengan hukum itu. Lewat jurnal
Sosiohumanika, Noor dan Faruk (2003) mengemukakan bahwa Minke dalam
BM menjadi figur yang mewakili perlawanan pribumi, bermula dari tahap
mimikri yang dilaluinya dalam sistem pendidikan kolonial.
Penelitian secara intertekstualitas pascakolonial terhadap tokoh Nyai
Ontosoroh dalam BM (Pramoedya) dan Nyai Dasima dalam Nyai Dasima
karya G. Francis pernah dilakukan oleh Katrin Bandel (2003). Disebutkan
dalam penelitian tersebut, Nyai Ontosoroh adalah respon terhadap Nyai
(35)
24 status nyai sebagai pengetahuan dan kesadaran baru, berbeda dengan Nyai
Dasima yang digambarkan lemah dan tergantung pada laki-laki. Pembahasan
terhadap BM bersamaan dengan Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi
dilakukan dengan cara pasca-kolonial oleh Pamela Allen (2004).Novel
Pramoedya tersebut dikaitkan dengan permasalahan kolonial: pemindahan
tempat, identitas dan hibridisasi atas Nyai Ontosoroh dan tokoh Minke.
Pembahasan BM juga dilakukan oleh Tineke Hellwig yang termuat dalam
buku In The Shadow of Change (2003). Novel tersebut dibahas bersama-sama
dengan 24 novel-novel Indonesia yang lain, seperti Gadis Pantai, Layar
Terkembang, Burung-Burung Manyar. Secara garis besar penelitiannya
menggunakan pendekatan kritik feminis dengan menerapkan pembacaan
secara diakronis. Pembahasan terhadap novel Bumi Manusia dilakukan dengan
melihat kedudukan wanita dalam masyarakat kolonial Belanda.
Dalam artikel berjudul “Life is not a scientific manual” Geert Onno
Prins (2008), membandingkan DSK (1900) dan Passage to India (1924) karya
E.M. Foster. Prins menyimpulkan bahwa kedua novel masing-masing
memiliki tiga tema: drama Mrs. Quested, drama koloni, persahabatan
(Passage to India) dan perjuangan antara nasib dan hasrat, perselisihan tak
teratasi Barat dan Timur, antara wanita dan laki-laki (DSK). Konfrontasi
antara Timur dan Barat menjadi benang merah yang membedakan kedua novel
(36)
25 hanya dapat terwujud melalui demokrasi, sedangkan Couperus tampak masih
meragukan keberhasilan persahabatan antara Barat dan Timur.
Pembahasan ringkas terhadap DSK terdapat dalam Europa Buitengaats
(D’haen, 2002). Hampir semua masalah yang sering dianggap sebagai bumbu
sastra Indis (Hindia Belanda), seperti pergundikan, percabulan sampai
materialisme, dibahas dalam novel DSK. Hal ini menjadikan DSK semacam
ikhtisar sastra tentang Hindia Belanda. Dengan buku ini tampaknya Couperus
ingin memperjelas masa-masa kolonialisme abad ke-20 dan prediksi bahwa
kekuasaan Belanda ditakdirkan untuk berakhir. Dengan cara ini Couperus
melakukan kritik yang lebih jauh terhadap kekuasaan kolonial dibandingkan
dengan Multatuli dalam Max Havelaar. Kritik tentang tingkah laku
orang-orang Belanda di Asia yang sudah terdengar sejak zaman VOC,tetapi tidak
pernah menjadi hal yang vokal (penting). Pokok pikiran tentang Verlichting
(Pencerahan) pada akhir abad ke -18 awal abad ke-19 menimbulkan kesadaran
pada beberapa orang bahwa kepentingan penduduk pribumi tidak cukup
mendapatkan perhatian. Juga berkat Max Havelaar dan diskusi tentangnya
pokok pembicaraan ini muncul dalam agenda politik, tetapi baru sekitar
pergantian abad mulai ada suatu perubahan yang hakiki. Dasawarsa pertama
abad itu berfungsi sebagai pedoman bagi politik Belanda.
Dalam buku Indische Spiegel (Nieuwenhuys, 1978) Couperus diulas
sebagai pengarang yang pintar dalam menampilkan realita dan suasana Jawa
(37)
26 iajuga dinilai pandai menempelkan hidung di atas bibir orang lain. Pendapat
ini muncul setelah Nieuwenhuys (1978) memperkirakan tokoh dalam DSK
adalah gambaran tokoh nyata, pribadi di sekitar kehidupan pengarang.
Misalnya tokoh Van Oudijck adalah gambaran pamannya yang menjadi
residen di Pasuruan. Nieuwenhuys (Ibid.) juga memperkirakan bahwa
Labuwangi adalah Pasuruan, tempat Couperus dan istrinya menginap di rumah
kakak iparnya seorang residen Pasuruan. Novel ini dibahas dalam kaitannya
dengan kehidupan/pengalaman pengarangnya dan juga orang-orang di
sekelilingnya.
Terdapat penelitian yang mengaitkan setting tempat novel DSK dengan
lokasi sebenarnya di Pasuruan, misal ruang tamu residen, perempatan dengan
jam kota di tengahnya, perahu-perahu Madura di kanal, hotel dan kampung
Tosari, stasiun Pasuruan. Karin Peterson (2009), dalam bukunya In Het
Voetspoor van Louis Couperus, menyertakan gambar-gambar dalam kutipan
teks novel.8
Artikel berjudul “Louis Couperus (1863-1923): De magie van het
onuitsprekelijke” dalam Paradijzen van weleer (Beekman, 1998) memberikan
ulasan dari sudut pandang yang hampir serupa dengan ulasan sebelumnya.
Ketakutannya terhadap Hindia Belanda yang gelap, pada harimau, pada
hantu-hantu pada masa dia kecil banyak mempengaruhi kisah DSK. Menurut
Beekman (1998), buku-buku yang dibaca oleh Couperus juga memberi
8
In Het Voetspoor van Louis Couperus /Menapak Jejak kaki Louis Couperus; contoh gambar dan kutipan, silakan lihat dalam lampiran gambar.
(38)
27 pengaruh pada karya-karyanya, misalnya studi Van Hien yang diantaranya
berbicara tentang jiwa-jiwa yang negatif, misal gendruwo atau gandarwa.
Ulasan atas DSK oleh peneliti Indonesiadari sisi sejarah dapat dibaca
dalam artikel “Studi Interdisipliner terhadap Sastra Hindia-Belanda” yang
termuat dalam buku Sastra Interdisipliner oleh Margana (2003). Meskipun
ada beberapa keganjilan dalam menampilkan warna lokal, Couperus dinilai
Margana cukup berhasil menampilkan dan mengkritisi suatu keaslian sejarah
(Historical authenticity).
Penelitian terhadap novel The Hidden Force, terjemahan dari DSK,
dapat dilihat dalam tulisan berjudul “The secrets and danger: interracial
sexuality in Louis Couperus’s ‘The Hidden Force’ and Dutch colonial culture
around 1900” dalam Domesticating, Race, Gender, and Family Life in French
and Dutch Colonialism (Pattynama, 1998). Pendekatan yang digunakan adalah
mengombinasikan historiografi kolonial (colonial historiography) dan analisis
semiotik dengan menambahkan mode pembacaan kontrapuntal yang diajukan
Edward Said. Karya sastra ini dinilai Pattynama seringkali menyajikan
perbedaan antara terjajah dan penjajah secara kiasan/metafora sebagai
rahasia/bahaya yang tak terduga yang menyelubungi masyarakat jajahan
Belanda di Hindia Timur. Tertanam dalam narasi utama yang mengeksplorasi
tatanan masyarakat umum kolonial, hal ini menyingkap bagaimana arti
perlawanan dihubungkan dengan ras/suku, gender/jenis kelamin, dan
(39)
28 Beberapa pembicaraan ringkas/resensi tentang DSK muncul dalam
www.studenten.samenvatting. Novel ini dipandang berhasil melukiskan
suasana Timur yang mencekam dan misterius dengan setting dan jalinan cerita
di dalamnya.
1.6 Kerangka Teori
Novel DSK dan BM adalah dua karya sastra yang bersetting dan
bercerita tentang zaman kolonial di Hindia Belanda. Banyak permasalahan dan
pertentangan antara golongan penjajah dan pribumi priyayi diketengahkan
dalam kedua novel itu. Dalam DSK pertentangan antara keluarga residen dan
keluarga bupati, keluarga turunan Sultan Madura yang menikah dengan putri
kraton Solo, berlangsung diam-diam meskipun akhirnya berbuntut
pemberontakan kecil. Pertentangan dalam BM berlangsung di kalangan
terpelajar, antara Minke dan pendukungnya dengan penguasa pemerintah
Hindia Belanda (Pengadilan Sipil). Pernikahan Minke dan Annelies yang sah
menurut hukum Islam dianggap batal dalam hukum Hindia Belanda karena
salah satu pengantinnya adalah warga Belanda.
Pandangan-pandangan dalam kedua novel, terutama tentang konstruksi
atau tuntutan citra ideal kawula kolonial dan bagaimana dipenuhi akan
dibahas, dihubungkan kaitan teksnya. Novel BM adalah wacana pascakolonial
yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. DSK karena ditulis oleh
(40)
29 sebagai wacana kolonial. Akan tetapi karena munculnya pendapat-pendapat
yang mengatakan bahwa novel tersebut juga melakukan kritik terhadap
kolonisator sebagaimana Max Havelaar maka tepat kiranya digunakan teori
pascakolonial untuk menganalisisnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap
BM.
Homi Bhabha (1994), sebagai salah satu ahli kritik pascakolonial,
mengungkapkan bahwa wacana kolonial dihasilkan dari benturan-benturan
antara tradisi kolonialis dan pribumi sehingga wacana kolonial akan selalu
bersifat ambivalensi dan kontradiktif. Dari pendapat tersebut dapat dimengerti
bahwa wacana kolonial tidaklah statis dan monolit, juga muncul wacana
tandingan atau yang menentang wacana kolonial. Kedua karya sastra yang
berasal dari pihak bertentangan −dalam konteks kolonialisme− yaitu, (Hindia) Belanda dan Indonesia, diteliti dengan teori pascakolonial yang dikembangkan
oleh Homi Bhabha.
1.6.1 Pascakolonialisme : Wacana kolonial dan Wacana Pascakolonial
Dengan berakhirnya PD II muncul semacam kesepakatan bahwa
kolonialisme oleh bangsa Eropa terhadap bangsa Asia telah berakhir di dunia.
Bertolak dari hal tersebut, teori pascakolonial tidak lagi memandang pada
perjuangan melawan kolonialisme dan menuntut kemerdekaan. Menurut
Loomba (2003: 16), pada masa ketika kolonialisme Perancis, Inggris, dan
(41)
30 sehingga pokok tersebut mengandung pengertian pada suatu perlawanan
terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme. Kata
kolonialisme sendiri bertaut dengan penaklukan, penguasaan suatu wilayah,
perbudakan, penindasan penduduk, pemaksaan bahasa atau penggantian
budaya. Menurut Tony Day dan Keith Foulcher (2002), penggunaan
pendekatan pascakolonial dalam kajian sastra dapat dianggap sebagai strategi
pembacaan untuk mempelajari cara karya sastra mengungkapkan jejak-jejak
perjumpaan kolonial : konfrontasi antar ras, antar bangsa, dan antar budaya
dalam kondisi hubungan kekuasaan tak setara, yang telah membentuk suatu
bagian signifikan dari pengalaman manusia sejak mula masa imperialisme
Eropa.
Teori pascakolonial didefinisikan sebagai karya yang dibentuk secara
mendasar oleh afiliasi-afiliasi metodologis pada teori “agung” Perancis
(Jaques Derrida, Jaques Lacan, dan Michel Foucault) dan dalam praktiknya
adalah teori Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha, dan Young
menyebutnya sebagai the the Holy Trinity ahli teori pascakolonial
(Moore-Gilbert, 1997: 1-2). Ketiganya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tiga ahli
Perancis di atas dalam mengembangkan teori pascakolonial. Salah satu alasan
kesuksesan orientalisme, tak diragukan lagi, adalah munculnya dua area yang
sangat berbeda secara bersama-sama: post-strukturalisme, dalam Michel
Foucault, dan Marxisme Barat, dalam kerangka Gramsci (William dan
(42)
31 Bhabha; menurut Young (2012) Bhabha memandang bahwa wacana kolonial
beroperasi menurut protokol ambivalen antara fantasi dan keinginan (fantasy
and desire).
Teori pascakolonial bukannya tidak mendapatkan kritik. Aijaz Ahmad
(dalam Moore Gilbert, 1997: 2), ahli teori Marxist dan gerakan perlawanan
kolonialisme/imperialisme dari India, menyerangnya dengan argumen bahwa
prosedur metodologisnya berasal dari teori kritik Euro-Amerika kontemporal
yang dalam sejumlah cara mundur secara politis. Bagi Aijaz Ahmad,
umumnya kritik budaya Barat bertahap terlepas dari hubungan konkrit dengan
perjuangan politik populer kurang lebih sejak tahun 1960-an. Loomba (2005:
15) berpendapat bahwa postkolonial atau pascakolonial dapat dipikirkan
sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan
warisan-warisan kolonialisme. Akhirnya analisis wacana kolonial dan teori
pascakolonial disimpulkan Williams sebagai kritik mengenai proses produksi
pengetahuan tentang The Other (Williams dan Chrisman, 1997: 8).
Pascakolonialisme akhirnya menempati suatu posisi dalam kajian
sastra. Day dan Foulcher (2002) melihat pascakolonialisme sebagai strategi
pembacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu
mengidentifikasi tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun
sastra, dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda
(43)
32 efek-efek kolonialisme dalam sastra, juga mengacu pada posisi penulis
pascakolonial sebagai pribadi suara naratifnya.
Kritik pascakolonial bergerak pada pembacaan teks-teks kolonial dan
pascakolonial. Teks kolonial atau teks orientalis atau wacana kolonial yang
dapat dijadikan objek penelitian meliputi banyak bidang, misalnya, hukum,
karya seni, sejarah, dan karya sastra. Theo D’haen (2002: 12-13), profesor
sastra dari universitas Leuven Belgia, mengatakan bahwa pada awalnya sastra
kolonial ditulis oleh penulis tanah pertiwi kolonial dan dalam bahasa ibu
mereka, dengan mata Eropa mereka melihat koloni dari pusat kekuasaan ke
wilayah terjajah. Sastra pascakolonial, umumnya muncul sesudah
kemerdekaan −D’haen menambahkan tidak harus demikian− dan ditulis oleh pihak (mantan) terjajah dalam bahasa mantan penjajah; sastra tersebut melihat
dari wilayah terjajah ke pusat kekuasaan koloni (dulu, yang secara de facto
sering masih ada) dan lingkungan sendiri.9Dalam sejarah sastra Indonesia,
hanya segelintir sastrawan Indonesia yang menerbitkan karyanya dalam
bahasa Belanda, misal Suwarsih Djojopuspito atau Kartini. Hal ini terkait
dengan kebijakan pemerintah Belanda mengenai bahasa Melayu.
Dalam pendekatan pascakolonial, kedua jenis karya sastra tersebut di
atas dapat dibaca dengan teori pascakononial. Bagaimana kedua novel melihat
9 Isi kutipan seluruhnya : “Postkoloniale literatuur’ dateert overwegend, hoewel niet
noodzakelijk, van na de onafhankelijkheid van een kolonie en is geschreven door (ex-) gekoloniseerden, in de taal van de (ex-) kolonisator. Ze kijkt vanuit de (ex-) koloniale periferie naar het vroegere –en vaak de facto ook nog huidige machtscentrum, en naar de eigen omgeving”D’haen (2002: 12-13).
(44)
33 hegemoni kolonial dan perlawanannya, bagaimana novel kolonial
mengonstruksi Timurdan bagaimana novel pascakolonial membalas konstruksi
tersebut.Sebagaimana dikemukakan oleh Day dan Foulcher (2002) di atas,
pascakolonialisme adalah strategi pembacaan yang membantu identifikasi
sifat-sifat kolonialisme dalam teks sastra.
Beberapa penelitian terhadap kedua jenis karya sastra, misalnya
dilakukan oleh Faruk (2007). Faruk meneliti sastra kolonial yang
diterjemahkan dan diedarkan pada masa kolonialisme Hindia Belanda, The
Count of Monte Cristo, Robinson Crusoe dan menyandingkan Max Havelaar,
baik dengan Hikayat Kadiroen maupun Siti Nurbaya dan menemukan
alusi-alusi pada sastra Indonesia terhadap Max Havelaar. Faruk menilai Max
Havelaar bersikukuh bahwa intervensi pemerintah Belanda akan
menyelesaikan penindasan dan kemiskinan di Jawa, Hikayat Kadiroen melihat
bahwa kemerdekaan dan kekuatan rakyat Indonesia yang mampu
menuntaskannya.
Pembahasan serupa, yang berbicara tentang kedua jenis sastra, juga
dilakukan oleh O’Reilly dalam Postcolonial Literature (2007) atau
dikumpulkan oleh Theo D’haen (2002) sebagai editor dalam Europa
Buitengaats, Koloniale en postkoloniale literaturen in Europese talen (Jilid 1
dan Jilid 2). Novel-novel seperti Heart of Darkness (Joseph Conrad),
Robinson Crusoe (Daniel Defoe, 1719), Passage to India (E.M. Foster) yang
(45)
34 pembahasan O’Reilly. Pembahasan novel-novel berikut juga dapat dilihat
pada buku D’haen: The Tempest (W. Shakespeare, 1611), Kim dan Jungle
Books (Rudyard Kipling), Jane Eyre (Charlotte Bronte, 1847), Midnight’s
Children (Salman Rushdie, 1981). Buku D’haen berisi pembahasan karya
sastra dari negara-negara bekas penjajah dan terjajah, mulai dari (Hindia)
Belanda,10 Antillia Belanda, Suriname, Perancis, Karibia, Haiti, Kongo Belgia,
Canada, Brasil, Portugis, Inggris, India, dan lain-lain.
1.6.2 Said sebagai peletak dasar teori Pascakolonialisme
Menyebut pascakolonialisme berarti menyadari adanya pengertian
kolonialisme di dalamnya. Kolonialisme dapat disimpulkan sebagai
penaklukan dan penguasaan (pendudukan) atas tanah dan harta penduduk, dan
segala tindakan untuk mewujudkan dan mempertahankannya seperti
pemaksaan, perbudakan, penindasan penduduk, pemaksaan bahasa dan
penggantian budaya hingga memunculkan kompleks inferioritas dalam diri
masyarakat terjajah lewat perbedaan warna kulit dan budaya. Meskipun
begitu, kolonialisme dapat bertahan selama ratusan tahun, sebagaimana halnya
di Indonesia yang berlangsung ratusan tahun.
10Europa buitengaats,Koloniale en postkoloniale literaturen in Europese talen, sesuai judul
bukunya ‘Meninggalkan Eropa, Sastra Kolonial dan Pascakolonial dalam Bahasa-bahasa Eropa’, pembicaraan sastra Indonesia hanya sedikit, sekali lagi misalnya, buku Soewarsih Djojopuspito, Buiten het gareel (1940). Pemerintah kolonial Belanda tidak menerapkan kewajiban penggunaan bahasa Belanda untuk pribumi sebagaimana Inggris atau Perancis.
(46)
35 Kolonialisme dapat bertahan lama karena dalam praktiknya
kolonialisme dapat dihubungkan dengan konsep hegemoni, pengaruh besar
atau kuasa atas yang lain, suatu bentuk kepemimpinan. Konsep hegemoni,
menurut Said (1979: 6-7) menilai ideologi sebagai medium yang dapat dipakai
untuk menyampaikan gagasan tertentu sehingga gagasan tersebut dipercaya
kebenarannya (lihat juga Loomba, 2005: 30-31). Hegemoni tersebut memberi
daya tahan bagi kolonialisme, disamping adanya pemikiran/ilmu tentang
Timur atau gagasan orientalisme yang terus mendampingi kolonialisme. Said
yang telah meneliti teks-teks yang berbicara tentang Timur menarik benang
merah bahwa kolonialisme berkaitan erat dengan orientalisme, dengan
pemahaman dan pengetahuan tentang Orient atau Timur; gagasan tentang
Timur seperti yang disusun oleh para orientalis telah ikut menjaga
kelangsungan kolonialisme beratus tahun.
Orientalisme adalah suatu cara untuk memahami Timur berdasarkan
tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa, suatu cara
orang Eropa memahami dunia Timur berdasarkan pengalaman mereka. Timur
bagi mereka adalah dekat karena merupakan tempat koloni; Timur bahkan
telah membantu mereka mendefinisikan Barat yang dipahami berbeda
dengannya. Barat memiliki idea, imaji, kepribadian yang berlawanan dengan
diri mereka. Misalnya, pandangan tentang orang Arab; orang Arab dinilai
sebagai pribadi yang mudah dikecoh, perpura-pura, licik, tidak penyayang
(47)
36 menyetujui aksi punale terhadap orang Jawa; mereka memang perlu dipukul
agar rajin bekerja karena mereka orang-orang yang malas (Termorshuizen,
2011).
Dengan menggugat wacana Timur sebagai suatu produksi ilmu
pengetahuan yang mempunyai landasan ideologisdan
kepentingan-kepentingan kolonial, Said dipandang sebagai peletak dasar teori
pascakolonial. Orientalisme pada akhirnya harus dilihat sebagai sebuah
wacana, yaitu serangkaian gambaran dan tindakan yang membentuk satu
realitas yang dianggap benar, obyektif mengenai Timur; suatu pandangan yang
akan memberikan kekuatan dan ketahanan pada orientalisme. Realitas Timur
adalah berbeda dengan realitas Barat: kebiasaannya, warna kulitnya,
budayanya. Timur adalah tempat penuh romansa dengan makhluknya yang
eksotik, kenangan dan pengalaman yang indah. Timur harus dipahami
memiliki keterbatasan dan kelemahan sehingga membutuhkan kekuatan dan
pengetahuan Barat. Dalam pandangan orientalisme, Timur siap untuk diatur
kembali, diperintah, dikuasai, direkonstruksi.
Orientalisme difokuskan pada apa yang disebut colonial discourse,
wacana kolonial, yaitu macam bentuk-bentuk tekstual dalam mana Barat
memproduksi dan menyusun pengetahuan tentang budaya-budaya dan
area-area non metropolitan, khususnya yang berada dibawah kontrol kolonial (Said,
1979). Satu dari wawasan Foucault yang penting mengenai proyek Said adalah
(48)
37 Orientalisme, kekuasaan Barat, khususnya kekuasaan untuk memasuki dan
menguji budaya-budaya lain dengan sekehendak hati, memperbolehkan
produksi sejumlah pengetahuan tentang budaya-budaya yang lain.
Proses produksi pengetahuan yang dipengaruhi orientalisme berlangsung
terus menerus dalam waktu yang lama. Said mengatakan bahwa seorang
orientalis memiliki tugas untuk mengukuhkan Timur di mata pembacanya dan
tidak berminat menggoyangkan keyakinan yang sudah mantap. Timur tidak
saja disesuaikan dengan kebutuhan moral Kristen Barat, tetapi Timur juga
dibatasi oleh rangkaian sikap dan penilaian-penilaian yang mengarahkan Barat
pertama-tama tidak kepada sumber Timur tetapi pada karya orientalis yang
lain (Ibid., hlm. 84-87). Dapat dimengerti bila akhirnya muncul kesimpulan
bahwa paham orientalisme menghasilkan konsep yang stereotip. Timur
kemudian diproduksi secara karakteristik dalam wacana para orientalis secara
bervariasisebagai: voiceless, sensual, female, despotic, irrational and
backward (Moore-Gilbert, 1997:39). Pandangan bahwa Timur tidak mampu
berpendapat dan harus diwakili oleh Barat, Timur sensual dan bagai wanita,
Timur adalah tiran, irasional dan terbelakang menjadi konsep stereotip yang
selalu dijaga keberadaannya dalam wacana kolonial.
1.6.3 Pascakolonialisme Homi Bhabha: Ambivalensi dan Ruang Liminal
Said meyakini bahwa gagasan orientalisme yang tertuang dalam wacana
(49)
38 kolonialisme. Said mengesankan bahwa wacana kolonial semata-mata milik
penjajah dan seragam, dan ini berbeda dengan pandangan Bhabha
(sebagaimana disimpulkan oleh Richard King, 1999). Young (2007)
menambahkan, ‘He (Bhabha) showed how colonial discourse of whatever
kind operation not only as an instrumental construction of knowledge but also according to the ambivalent protocols of fantasy and desire.’
Bagi Bhabha, wacana kolonial merupakan hasil dari proses hibridisasi
yang dipicu oleh benturan-benturan antara tradisi kolonialis dan pribumi.
Wacana kolonialisme karenanya memiliki ketegangan mendalam yang
mengakibatkan hubungan antara kolonisator dan yang terkoloni senantiasa
ambivalen.Hal ini dapat diartikan bahwa wacana kolonial, yang awalnya
bermula hanya dari paham orientalisme, berkembang dan bercampur dengan
pengalaman Barat ketika berada di lokasi Timur. Wacana kolonial bergerak
dinamis. Hibridisasi yang terjadi dalam wacana kolonial ini bisa kita lihat
ketika bangsawan Jawa dapat menjadi bupati yang tunduk di bawah
pemerintahan kolonial.
Hibridisasi dalam wacana kolonial ini yang melahirkan pandangan
Bhabha (1994) bahwa wacana kolonial tidak seragam dan bersifat labil.
Hibridisasi dalam ruang ketiga, ruang pertemuan “Barat” dan “Timur” disebut
Bhabha sebagai ruang liminal, sebuah ruang yang dilukiskan remang-remang
(50)
39 yang membangun struktur baru otoritas dan melahirkan inisiatif politik baru
sehingga hibriditas menjadi suatu situs perlawanan, suatu pembalikan strategi
dari proses dominasi yang mengembalikan yang terdiskriminasi menjadi mata
kekuasaan (Sardar dan Van Loon, 1997).
Memahami teori Homi Bhabha berarti harus memahami
argumentasinya mengenai ambivalensi yang membayangi hubungan terjajah
dan penjajah yang dibentuk oleh wacana kolonial. Artinya, ada hal-hal yang
tidak stabil, kontradiktif, dan tidak identik dalam wacana kolonial. Timur
dilihat sebagai yang indah sekaligus menakutkan, akrab, tetapi asing, atau
cinta, tetapi benci, dalam misi peradaban terkandung kesiapan berperang dan
membunuh. Sifat ambivalensi yang melekat pada wacana kolonial itu
membuka pintu interupsi bagi subjek terkoloni/terjajah. Sebagaimana wacana
kolonial, wacana tandingan ini pun bersifat ambivalen. Muncul konsep
memuja keunggulan budaya Barat, tetapi sekaligus membencinya. Wacana
tandingan atau wacana pascakolonial ini, disimpulkan J. Supriyono (2004),
dalam pengertian tertentu secara konsisten berada dalam ruang ambang ketiga
karena kutub-kutub retorika penjajahan di satu kutub dan karakter nasional
atau rasial, terus menerus dipertanyakan dan dipermasalahkan.
Interupsi terhadap wacana kolonial yang tidak labil harus ditanggapi
dengan mengembalikan pemahaman bahwa keunggulan dan kebenaran
(51)
40 Mereka mengusahakan kembali kepemimpinan moral dan intelektual. Pihak
kolonial melemparkan seruan-seruan budaya tentang keunggulan mereka dan
kekurangan masyarakat terjajah; tidak jarang cara ini juga dilakukan pihak
kolonial dengan melakukan pengejekan atau mockery terhadap terjajah.Walace
(1998) memberi stigma bahwa orang pribumi malas, gemar berhutang/kredit
bahkan gemar menghirup opium.
“Citra Superioritas” sebagaimana “citra inferioritas” menjadi bagian
dari konsep “fixity” wacana kolonial. Untuk memperkuat wacana kolonial
yang menguntungkan kedudukan pihak penjajah maka mereka melakukan
seruan-seruan tentang keunggulan budaya mereka secara berulang. Bhabha
(Ibid.) melemparkan konsep “fixity”tentang citra keunggulan dan superioritas
mereka. Fixity diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis dan kultural
dalam wacana kolonial. Penjajah mengorasikan kemurnian ras Putih, asal
usulnya, keunggulan budayanya dan sebagai akibatnya Terjajah menyadari
ketidakmurnian rasnya. Pikiran terjajah dipaksa memasuki situasi yang tidak
menentu dan mempertanyakan identitas mereka. Mereka berusaha membentuk
identitas mereka mengikuti “citra superioritas” (Bhabha, 1994: 82).11
Citra atau image yang dilontarkan menandai ambivalensi dari
identifikasi karena citra itu sendiri representasinya selalu terpisah secara
spasial (Bhabha, 1994: 51). Artinya apa yang digambarkan/diidealkan dalam
11
Bhabha mengutip Fanon (Black Skin White Mask) tentang wacana rasis terhadap negro yang goblok, jelek, seekor binatang...
(52)
41 citra tidaklah sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Mengikuti Fanon, Bhabha
(1994: 40-51) yang mengatakan bahwa identitas bekerja dalam wilayah
ambivalensi oleh karena adanya dominasi dan upaya keluar dari kontradiksi
yang tak pernah selesai antara kebudayaan kelas, perjuangan representasi fisik
dan realitas sosial, pandangan dan hasrat.
1.6.4 Lacan (Psikoanalisis) dan konsep mimikri Bhabha12
Menanggapi indoktrinasi kemurnian ras dan pengejekan masyarakat,
terjajah yang mengalaminya akan melakukan perlawanan atau malahan
peniruan (mimikri). Homi Bhabha telah mengadopsi teori Lacan dalam
pembahasannya mengenai hubungan terjajah-penjajah.Pada diri terjajah
maupun terjajah ada hasrat dalam ketidaksadaran manusia sehingga mereka
saling mencari pemenuhan agar menjadi utuh.Rengganis (2000)
menyimpulkan adanya dua cara pemenuhan.Pertama, sebagai pernyataan
bahwa subjek berhasrat untuk menjadi sasaran hasrat ‘Yang Lain', yakni
berhasrat untuk menjadi objek bagi hasrat ‘Yang Lain’. Kedua, sebagai
pernyataan bahwa hasrat subjek adalah hasrat ‘Yang Lain’, dan bahwa
asal-usulnya adalah dari lokus ‘Yang Lain’. Teori mimikri Lacan diilustrasikan
dalam analogi pertahanan biologis seranggasehingga dalam resistensi
12
Diramu dari pembacaan Homi Bhabha (1994), Bart Moore-Gilbert (1997), Irsyadul Ibad (2012), Rengganis (2004).
(53)
42 tergambar mimikri (Bhabha,1994: 120-121; Baart Moore-Gilbert, 1997: 133).
Hasrat juga menjadi bagian dari ketidaksadaran dalam teori Lacan.
'Hasrat' Lacan berasal dari pembacaannya atas teori Freud; Freud
mencurigai bahwa kesadaran adalah sesuatu yang terus direpresi oleh hasrat
yang berasal dari ruang ketidaksadaran. Meski demikian, dengan adagiumnya
'dimana ada id, selalu ego berpatroli' (Wo Es War, Soll Ich Werden), Freud
dinilai tetap meletakkan kesadaran sebagai pengontrol ketidaksadaran. Lacan
menolak adagium itu, ego berkuasa atas id; baginya seluruh eksistensi manusia
dikontrol dan dipengaruhi oleh ketidaksadaran. Dia juga menandai konsep
Freud 'need-demand-desire' ke dalam kerangka “yang Real-yang
Imajiner-yang Simbolik”. Ketika bayi memasuki tahap 'demand' (sesuatu yang tak dapat
atau tak mungkin terpenuhi), dia menyadari kehadiran 'sang liyan' yang ingin
dihilangkannya. Kemustahilanpada permintaan mendorongnya memasuki
tahap 'Yang imajiner”. Pada tahap ini, bayi melihat dirinya (ego) eksis melalui
citra cerminal. Namun, 'ego' yang dilihatnya di cermin, yang diakuinya
sebagai dirinya itu sebenarnya berasal dari kesalahan mempersepsi citra
cerminal, artinya gambaran tentang diri si “aku” tidaklah sama dengan
kenyataannya. Hal ini berarti bahwa ‘tahap-cermin’yang melekat secara
anatomis ke dalam perkembangan tak utuh dengan sendirinya menempatkan
hubungan ganda imajiner; tahap ini menjadi dasar hubungan antar pribadi
(dengan sang liyan) sekaligus prasyarat narsisisme primer dan sumber perilaku
(54)
43 'Citra cerminal' ini yang selalu dibawa bayi untuk mengidentifikasikan
sang liyan. Bertolak dari tahap ini bayi akhirnya memasuki tahap keinginan
pada kepemilikan identitas; keinginan tersebut disebut sebagai 'hasrat' (desire).
Disimpulkan Ibad, “Bentuk hasrat lain adalah “keinginan untuk menjadi”
sebuah subyek yang utuh, tidak terbelah, dan tanpa kekurangan dan penuh
dengan pemenuhan.”13 Karenanya, identitas selalu dikonstruksi seputar citra
ideal yang bersifat imajiner.
Bhabha menggunakan konsep demand dan desire dalam mengartikan
hubungan terjajah dan penjajah; dia menganalisis bagaimana aktor yang ambil
bagian dalam relasi itu dibentuk oleh wacana kolonial. Homi Bhabha
mengikuti konsep Lacan menyebut bahwa penjajah memiliki demand for
recognition; demand for recognition is negotiated at an unconcious level.
Pada area ini (Bhabha dalam Sarup: 2002) ada tuntutan narsistik yang bila
ditolak menimbulkan terjadinya paranoya; penolakan menyebabkan penjajah
merasa bahwa terjajah membencinya. Dengan kata lain penjajah telah
diperbudak oleh rasa superioritasnya.
Demand didefinisikan Lacan (via Ibad, loc.cit.) sebagai sesuatu yang tak
dapat atau tak mungkin terpenuhi.Bhabha berpendapat “although there is a
surveillance, fixity is not achieved” (meskipun ada pengawasan, kepastian tak
tercapai) (Sarup, 2002: 161), artinya tuntutan untuk diakui tidak
terpenuhi.Kondisi ini dilukiskan Bhabha dengan meminjam konsep Lacan
13
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
nama
tempat / tanggal lahir
PERNYATAAN
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
TULIS
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini
LhriEtina
7r.vi ki M.
bantul. 14 Jun't
gAB
NrM
O\lnqtaa lgg*loozza
I
mengizinkan kepada Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM
untuk memublikasikan karya tulis ilmiah saya ke portal Perpustakaan
FIB dengan ketentuan:
l) materiyang boleh dipublikasikan:(pilih salah satu)
@ iudul,abstrak,dan daftar isi saja;
b. seluruh bagian karya tulis ;
2) dengan ketentuan sekuritas:(pilih salah satu)
@ materi hanya boleh dibaca dengan format digital ;
b. mbteri boleh dibaca dan diunduh (download),
pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh dan tanpa tekanan
dari pihak manapun Dibuat di:
Pada :