Iklim Mikro Bagi Anakan Tegakan Hutan

(1)

KARYA ILMIAH

IKLIM MIKRO BAGI ANAKAN TEGAKAN HUTAN

Oleh

Bejo Slamet, S.Hut, M.Si

Nip. 132 259 569

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2008


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis pankatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan sekian banyak karunia sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan Karya Ilmiah ini. Karya ilmiah ini diberi judul “IKLIM MIKRO BAGI ANAKAN TEGAKAN HUTAN” dengan pokok pembahasannya pada pengaruh iklim mikro bagi pertumbuhan anakan/seedling tegakan hutan. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Selain itu penulis juga berharap agar karya ilmiah ini dapat membantu mahasiswa yang sedang melaksanakan penelitian atau pembuatan karya ilmiah yang terkait dengan iklim mikro. Demikianlah karya tulis ini dibuat semoga bermanfaat.

Medan, April 2008


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

IKLIM MIKRO BAGI ANAKAN TEGAKAN HUTAN... 1

A. Faktor Cahaya ... 3

B. Faktor Cahaya ... 7

C. Faktor Cahaya ... 7

D. Faktor Cahaya ... 8 E. Faktor Cahaya ...

10

F. Faktor Cahaya ... 16

G. Faktor Cahaya ... 19

H. Faktor Cahaya ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 24


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pengaruh metode penyiapan lahan terhadap lingkungan fisik anakan. Peningkatan atau penurunan mengacu pada perubahan relatif terhadap lahan yang tidak diberi perlakuan

(Spittlehouse and Stathers, 1990)... 3 Tabel 2. Faktor-faktor iklim makro, lahan, vegetasi dan tanah yang

mempengaruhi suhu udara (Spittlehouse and Stathers,

1990) ... 12 Tabel 3. Faktor-faktor iklim makro, lahan/site, tanah dan vegetasi

yang menentukan regim kelembaban tanah. Pengaruh dari setiap faktor terhadap input dan output air dalam keseimbangan hidrologi juga di tampilkan (Spittlehouse and

Stathers, 1990). ... 15 Tabel 4. Sifat-sifat termal relatif terhadap pasir kering dari tanah,


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pengaruh dari cahaya, suhu udara dan air tanah tersedia terhadap laju fotosintesis bersih tanaman spruce

(Spittlehouse and Stathers, 1990)... 2 Gambar 2. Rasio Antara Permukaan Berlereng Dan Permukaan

Horisontal Pada Kondisi Radiasi Matahari Dengan Keadaan Cerah (Clear-Sky) Di Lintang 500LU (Spittlehouse and

Stathers, 1990)... 5 Gambar 3. Pengaruh dari komunitas fireweed, ladyfern, dan

thimbleberry terhadap penerimaan photosynthetically active radiation (par) pada ketinggian anakan selama musim pertumbuhan di tegakan spruce zona sub-boreal dekat Prince George. (Adapted from Draper et al. 1988, and C. DeLong 1989, B.C. Forest Service, unpublished data dalam

Spittlehouse and Stathers, 1990.)... 5 Gambar 4. Bagian dari photosynthetically active radiation (PAR) harian

yang diterima oleh anakan di bawah kanopi ladyfern dan pada perlakuan pembuatan gundukan, dan PAR di atas kanopi pada kondisi langit cerah di di tegakan spruce zona sub-boreal dekat Prince George. (Adapted from Draper et

al. 1988 dalam Spittlehouse and Stathers, 1990.)... 6 Gambar 5. Nilai PAR rata-rata pada tanggal 18 Juli 1998 di Gunung

Bear... 6 Gambar 6. Profil kecepatan angin di hutan yang telah mengalami

perlakuan tebang habis (A) arah angin berasal dari areal tebang habis yang lebih luas menuju ke areal tebang habis yang lebih sempit, dan (B) arah angin berasal dari areal tebang habis yang lebih sempit menuju ke areal tebang

habis yang lebih luas... 9 Gambar 7. Variasi tahunan dari suhu udara maksimum dan minimum

dan suhu tanah pada areal tebang habis di zona spruce pegunungan daerah lembah sungai Harley dekat jembatan

gold (Spittlehouse and Stathers, 1990)... 11 Gambar 8. Profil topografi yang menggambarkan suhu udara minimum

pada ketinggian 20 cm di atas permukaan pada suatu radiasi khas pendingian di malam hari, dan jumlah hari yang mengalami pembekuan/pendinginan dari tanggal 1 Juni sampai 31 Agustus 1988 di zona dalam Douglas-fir dekat 100 Mile House. (O. Steen, B.C. Forest Service,

unpublished data dalam Spittlehouse and Stathers, 1990)... 13 Gambar 9. Diagram skematis komponen hidrologi dari lingkungan

anakan... 16 Gambar 10. Variasi Tahun ke Tahun pada Kondisi Penanamn Musim

Semi pada Lahan Yang kering dekat Pemberton (Spittlehouse and Childs, 1990 dalam Spittlehouse and

Stathers, 1990)... 17 Gambar 11. Kapasitas cadangan air tersedia dan tekstur tanah... 17


(6)

Gambar 12. Pengaruh tekstur tanah dan kandungan batu terhadap

penghilangan air setelah penanaman... 18 Gambar 13. Pengaruh penutupan vegetasi terhadap kehilangan air tanah

setelah penanaman, pada tanah dengan tekstur liat berdebu. 19 Gambar 14. Profil suhu tanah pada areal tebang habis dan pada areal

hutan dekat Western Hemlock di zonapesisir Western Hemlock dekat Port Albeni . (Spittlehouse and Stathers,

1990)... 20 Gambar 15. Range dari suhu tanah diurnal pada tanah mineral terbuka

dan pada tanah mineral yang ditutupi horison organik setebal 10 cm ( Cochran, 1969 dalam Spittlehouse and

Stathers, 1990)... 21 Gambar 16. Perubahan Musiman dari Suhu Rata-Rata Permukaan

Tanah Harian dan Potensial Air Tanah. (Tsf = Suhu diukur

pada permukaan tanah mineral, SWP = Potensial air tanah)... 22 Gambar 17. Perubahan musiman variabilitas spasial dari suhu udara

rata-rata harian, suhu permukaan tanah dan suhu tanah. (Ta = suhu udara diukur pada ketinggian 2 meter dari permukaan, Tsf = Suhu diukur pada permukaan tanah


(7)

IKLIM MIKRO BAGI ANAKAN TEGAKAN HUTAN

Oleh

Bejo Slamet, S.Hut, M.Si

(Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara)

Pengaruh iklim makro terhadap tanaman telah dipergunakan untuk pembuatan tingkatan zona dan subzona klasifikasi menurut Sistem Klasifikasi Ekosistem Biogeoklimatik. Divisi dalam subzona merupakan refleksi dari bagaimana faktor tapak/site memodifikasi pengaruh dari kondisi Iklim makro untuk menghasilkan iklim mikro tapak tersebut. Sebagai contoh adalah efek terrain/kondisi lapangan terhadap penerimaan radiasi matahari dan drainase air tanah, efek dari bayangan vegetasi (vegetation shading), efek dari komposisi dan struktur tanah terhadap cadangan dan transfer panas maupun air di dalam tanah.

Komunitas vegetasi dan distribusi spesies tanaman mempunyai hubungan yang sangat erat dengan lingkungan fisik disekitarnya. Satu komponen dari lingkungan fisik, yaitu iklim mikro, mempengaruhi distribusi komunitas tumbuhan bawah maupun tumbuhan yang lebih tinggi, serta komposisi spesiesnya. Drumond (2002) mengemukakan hasil penelitiannya di Propan National Park Australia bahwa distribusi komunitas dipengaruhi oleh radiasi matahari yang datang langsung diatas kanopi, suhu maksimum harian dan kelembaban relatif minimum. Suhu dan kelembaban relatif menunjukkan variasi yang sangat besar, dengan kelembaban absolut menunjukkan efek musiman yang kuat. Ekeleme et al (2002) mengemukakan bahwa kondisi iklim mikro juga dapat mempengaruhi kemunculan gulma. Salah satu gulma penting yang diteliti adalah tropic ageratum (Ageratum conyzoides). Untuk mengendalikannya maka diperlukan pengetahuan tentang iklim mikro yang mendorong kemunculannya. Dengan diketahui faktor-faktor tersebut akan mempermudah dalam mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan gulma Ageratum conyzoides.

Iklim mikro memainkan peranan yang penting dalam kesuksesan pertumbuhan anakan. Apalagi saat sekarang ini sedang digalakkannya usaha rehabilitasi lahan dan hutan oleh Departemen Kehutanan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Sehingga untuk bisa suksesnya upaya tersebut, selain kondisi kualitas tapak (lebih kearah kesuburan tanah) maupun kualitas dari bibit yang akan ditanam, kondisi iklim mikro setempat juga harus diperhatikan. Untuk itu dalam tulisan ini akan dipaparkan secara umum pengaruh dari kondisi iklim mikro terhadap pertumbuhan anakan.

Cahaya, suhu, dan kelembaban mempengaruhi berbagai proses-proses fisik maupun fisiologi penting yang akan mempengaruhi ketahanan dan pertumbuhan anakan. Sebagai contoh, pengaruh dari ketiga variabel lingkungan tersebut terhadap laju relatif laju fotosistesis bersih (net photosynthesis) tanaman spruce dapat dilihat pada Gambar 1. Kondisi tingkat penerimaan cahaya yang rendah akan menurunkan laju fotosintesis sebagaimana halnya kondisi suhu udara yang berada dibawah 50C atau yang lebih dari 300C. Jika zona perakaran mengering cukup besar, maka besarnya fotosintesis bersih juga akan menurun sebagai akibat dari respon anakan terhadap peningkatan kondisi cekaman air (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Kondisi cahaya/penyinaran, suhu dan kelembaban yang ekstrem dapat menyebabkan kerusakan fisik dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian pada anakan. Biasanya efek yang merugikan dari iklim hanya akan diperhatiakn manakala telah terjadi kerusakan yang mematikan (lethal effect). Namun demikian, efek yang tidak mematikan (sublethal effect) tetapi mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan anakan juga penting untuk diperhatikan, hal ini dikarenakan kondisi tersebut dapat menurunkan potensi pertumbuhan anakan, meningkatkan kemudahan


(8)

anakan untuk terserang stres lingkungan lainnya, dan meningkatkan kerentanan (susceptibility) terhadap serangan hama dan penyakit.

Gambar 1. Pengaruh dari cahaya, suhu udara dan air tanah tersedia terhadap laju fotosintesis bersih tanaman spruce (Spittlehouse and Stathers, 1990). Demi kesuksesan usaha reforestasi, maka menjadi hal yang penting bagi rimbawan untuk memadukan antara kebutuhan-kebutuhan silvikultur dari spesies yang akan ditumbuhkan dengan kondisi lingkungan tapak (termasuk kondisi iklim mikro). Kesalahan dalam mempertimbangkan lingkungan yang baik bagi anakan suatu spesies akan dapat menyebabkan kesalahan seluruh penanaman maupun akan membentuk suatu kondisi tegakan yang tumbuh dengan lebih lambat dari yang diharapkan ataupun juga kerusakan yang berulang karena kondisi cuaca yang merugikan.

Kondisi cuaca, faktor tapak/tempat tumbuh dan aktifitas pengelolaan hutan saling berinteraksi secara kompleks dalam menentukan iklim mikro bagi anakan tegakan hutan. Mengetahui adanya potensi pembatas berupa iklim mikro pada lahan penanaman adalah aspek yang sangat penting dalam proses persiapan/perencanaan sebelum pembukaan hutan dilakukan. Para Rimbawan (forester) harus memahami bagaimana dampak perlakuan silvikultur terhadap penerimaan dan pendistribusian energi maupun air di permukaan tanah, dan bagaimana faktor tanah mempengaruhi pergerakan dan penyimpanan bahang maupun air di dalam tanah. Dengan pemahaman ini akan menuntun para rimbawan dalam menetapkan tujuan dari penyiapan lahan dengan lebih baik, dan juga untuk evaluasi perlakuan penyiapan lahan yang diharapkan memberikan kondisi iklim mikro terbaik bagi seedling (anakan) dengan memperhatikan berbagai keterbatasan seperti ketersediaan biaya dan peralatan.

Dengan mengabaikan metode yang dipergunakan, maka tujuan dari persiapan lahan (site preparation) adalah untuk menanggulangi keterbatasan-keterbatasan yang dapat mempengaruhi ketahanan dan pertumbuhan anakan pohon dengan cara membuat/memanipulasi lahan agar mempunyai sejumlah kondisi yang cukup sesuai, serta ruang tumbuh yang baik bagi pertumbuhan anakan. Jadi, penggunaan dari kegiatan persiapan lahan secara tidak langsung memberikan pengertian bahwa faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan ketahanan dari suatu spesies pohon tertentu pada suatu lahan tertentu telah dipahami dan membutuhkan perbaikan untuk mencapai kondisi yang dapat diterima oleh anakan. Tergantung pada lahan dan metode pengerjaan dari persiapan lahan, faktor-faktor yang dapat dimodifikasi dengan kegiatan persiapan lahan adalah suhu tanah, air tanah, aerasi tanah, ketersediaan nutrisi tanah, kompetisi antar vegetasi (terhadap cahaya, nutrisi, air dan ruang tumbuh) dan kerentanan dari anakan pohon terhadap tekanan vegetasi, hama dan frost (McKinnon, et al, 2002).


(9)

Ringkasan dari efek perlakuan silvikultur terhadap lingkungan anakan dapat dilihat pada Tabel 1. Sehingga dengan memahami pengaruh iklim mikro ini, diharapkan peran rimbawan dalam menyukseskan geakan rehabilitasi lahan dan hutan akan lebih baik lagi.

A. Faktor Cahaya

Yang dimaksudkan dengan cahaya dalam tulisan ini adalah Photosynthetically Active Radiation (PAR), yaitu spektrum radiasi matahari tampak. Panjang gelombang inilah yang diserap oleh tanaman dan dipergunakan untuk reaksi fotosintesis. Sekitar 45% energi matahari adalah cahaya tampak dan 55% lainnya merupakan bagian non-visible dari spektrum matahari.

Sebagian besar energi matahari memanaskan lingkungan anakan dan mengevaporasikan air. Fotosintesis hanya menggunakan 2 sampai 5% dari energi tersebut. Namun demikian, mekanisme penyerapan cahaya oleh tanaman membutuhkan sepertiga sampai setengah dari penyinaran penuh di musim panas untuk tercapainya laju fotosintesis maksimum (Gambar 1). Cahaya yang kurang dari 10% dari penyinaran penuh tidak cukup memberikan laju fotosintesis yang cukup tinggi bagi tersedianya karbohidrat yang akan hilang karena dipakai untuk respirasi anakan. Konsekuensinya, anakan yang mendapatkan naungan berat akan mempunyai akumulasi biomassa yang sedikit, tumbuh dengan lambat dan mempunyai bentuk pertumbuhan yang kurus (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Tabel 1. Pengaruh metode penyiapan lahan terhadap lingkungan fisik anakan. Peningkatan atau penurunan mengacu pada perubahan relatif terhadap lahan yang tidak diberi perlakuan (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Perlakuan Cahaya Suhu tanah Kelembaban Tanah Evaporasi Tanah Transpirasi Frost Hazard Areal dampak

Herbisida Meningkat, beberapa ternaungi

Meningkat Meningkat tajam Sedikit berubah Menurun sampai mendekati Nol Tergantung vegetasinya Seluruh lahan dan sekeliling anakan

Mulsa Meningkat Menurun seiring kedalaman

Meningkat tajam Menurun tajam

Menurun tajam Meningkat Sekeliling anakan

Tebasan Meningkat, beberapa ternaungi Meningkat Meningkat sedikit Meningkat sedikit Sedikit berubah Menurun Bervariasi dan tidak seragam di lahan tersebut

Shadecard Menurun, ternaungi Menurun pada permukaan Meningkat sedikit Sekit berubah Sedikit berubah Sedikit berubah Areal yang sangat kecil di sekeliling anakan

Spot scalp Meningkat Meningkat Meningkat Besar Besar Menurun Sekeliling anakan Broadcast burn Meningkat Meningkat, cakupan yang lebih luas Meningkat Meningkat sedikit

Menurun Menurun Seluruh areal,

bervariasi

Parit Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Menurun Menurun Sekeliling anakan

Ripping Meningkat meningkat Meningkat Meningkat Menurun Menurun Seluruh areal

Gundukan Meningkat Meningkat, cakupan yang lebih luas Menurun (Meningkatkan drainase)

Meningkat Menurun Menurun Sekeliling anakan Selokan yang dalam Meningkat Meningkat, cakupan yang lebih Menurun (Meningkatkan drainase)

Meningkat Menurun Menurun di berm

Sekeliling anakan


(10)

luas Shelter-wood Menurun, bintik-bintik cahaya Menurun, jcakupan yang sempit Meningkat sedikit Menurun tipis Meningkat, dari kedalaman Menurun tajam Bervariasi dan tidak seragam untuk seluruh lahan

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan cahaya adalah faktor iklim makro, faktor lahan, dan faktor vegetasinya. Faktor iklim makro yang berperan besar adalah penyinaran matahari. Pada kondisi hari yang cerah di lintang 500 LU, pada pertengahan musim panas akan sepuluh kali lebih panjang dibandingkan dengan penyinaran pada pertengahan bulan Desember. Adanya awan akan menyerap dan memantulkan radiasi serta mengurangi besarnya PAR yang ditransmisikan ke anakan.

Sedangkan faktor lahan yang paling berperan adalah kelerengan, aspek (arah lereng) dan latitude. Kelerengan dan aspek/arah lereng mempunyai pengaruh yang utama terhadap jumlah radiasi matahari yang diterima di atas kanopi vegetasi (Gambar 2.). Namun demikian, faktor ini lebih berpengaruh terhadap pemanasan tapak/lahan daripada terhadap fotosintesis. Sedangkan lintang/latitude mempengaruhi panjang hari serta intensitas radiasi matahari. Pada lintang-lintang tinggi, hari yang panjang selama musim panas cenderung untuk mengakibatkan penurunan intensitas radiasi matahari. Hal ini akan menguntungkan bagi fotosintesis anakan karena penyinaran yang lebih sedikit dari penyinaran penuh adalah yang dibutuhkan oleh anakan untuk mencapai fotosintesis yang maksimum.

Jumlah dari vegetasi yang berada di sekitar anakan akan mengarur seberapa banyak radiasi matahari mencapai anakan dan permukaan tanah. Secara individual, sebuah daun dapat menyerap atau memantulkan lebih dari 90% radiasi matahari yang datang. PAR yang berada di bawah vegetasi terdiri dari fraksi hasil transmisi yang sedikit dan sejumlah cahaya langsung maupun difuse yang tidak diintersepsikan oleh daun. Tinggi, kerapatan dan orientasi daun dari kanopi vegetasi yang berada di sekeliling anakan akan mengontrol besarnya cahaya yang diintersepsikan. Cahaya yang mencapai anakan akan mencapai tingkat suboptimal pada kondisi kanopi yang tinggi dan rapat yang menutup permukaan seluruhnya. Jika kanopi vegetasinya rapat namun setengah-setengah/tidak sempurna atau diskontinyu, maka cahaya yang berada di tempat-tempat terbuka biasanya tersedia dengan cukup bagi anakan.

Kompetisi antara spesies akan memberikan pengaruh yang bervariasi terhadap bagaimana cahaya diterima oleh anakan. Kejadian ini berhubungan dengan perbedaan yang terjadi akibat perubahan waktu dan laju perkembangan daun selama musim pertumbuhan, sebagaimana halnya dengan tinggi dan kerapatan daun dari kanopi. Gambar 3 menunjukkan prosentase pengurangan cahaya dari sepertiga paling atas tajuk tanaman fireweed, ladyfern, dan thimbleberry. Fireweed membentuk kanopi yang rapat lebih dulu dibandingkan denganspesies yang lain, selain itu juga memulai senesce lebih dahulu. Tingkatan cahaya yang berada di di sekitar anakan dengan tumbuhan bawah yang baik akan berkurang sampai dibawah 10% dari kondisi cahaya di atas kanopi.

Kondisi regim cahaya yang rendah seringkali merupakan masalah yang serius di beberapa tempat di Subzona yang lebih dingin di British Columbia. Perlakuan herbisida dan mekanis juga dipergunakan dalam mengendalikan vegetasi yang tumbuh. Sebagai contoh untuk menunjukkan pengaruh penyiapan lahan terhadap cahaya adalah pembuatan gundukan. Pengaruh pembuatan gundukan terhadap tingkat cahaya di bawah kanopi ladyfern yang rapat adalah seperti pada Gambar 4 (Draper et al, 1988 dalam Spittlehouse and Stathers, 1990). Pembuatan gundukan akan membuka areal dengan luasan yang berdiameter sekitar 60 cm dan menghasilkan tingkat cahaya dengan rata-rata 70% dari yang diterima di atas


(11)

kanopi. Sedangkan cahaya yang diterima oleh anakan tanpa perlakuan pembuatan gundukan berada dibawah kondisi titik jenuh untuk fotosintesis anakan di sebagain besar hari, bahkan pada saat kondisi cerah dengan rata-rata hanya 10-15% dari cahaya yang diterima oleh bagian atas kanopi ladyfern. Selain semakin meningkatnya ketersediaan cahaya bagi fotosintesis anakan, keuntungan yang lain adalah semakin menurunnya tekanan vegetasi terhadap anakan, dan juga meningkatkan suhu tanah pada lahan-lahan yang mempunyai horison organik tipis. Di wilayah arida, pertumbuhan dan ketahanan diperbaiki dengan cara meninggalkan naungan bagi anakan-anakan, misalnya dengan pohon pelindung (shelterwoods). Pada siuasi ini, pengurangan tekanan panas (heat stress) lebih penting artinya dibandingkan dengankehilangan potensi fotosintesis (Flint, and Childs, 1987; Hungerford and Babbitt 1987 dalam Spittlehouse and Stathers, 1990).

Gambar 2. Rasio Antara Permukaan Berlereng Dan Permukaan Horisontal Pada Kondisi Radiasi Matahari Dengan Keadaan Cerah (Clear-Sky) Di Lintang 500LU (Spittlehouse and Stathers, 1990).


(12)

Gambar 3. Pengaruh dari komunitas fireweed, ladyfern, dan thimbleberry terhadap penerimaan photosynthetically active radiation (par) pada ketinggian anakan selama musim pertumbuhan di tegakan spruce zona sub-boreal dekat Prince George. (Adapted from Draper et al. 1988, and C. DeLong 1989, B.C. Forest Service, unpublished data dalam Spittlehouse and Stathers, 1990.)

Gambar 4. Bagian dari photosynthetically active radiation (PAR) harian yang diterima oleh anakan di bawah kanopi ladyfern dan pada perlakuan pembuatan gundukan, dan PAR di atas kanopi pada kondisi langit cerah di di tegakan spruce zona sub-boreal dekat Prince George. (Adapted from Draper et al. 1988 dalam Spittlehouse and Stathers, 1990.)

Meyer et al (2001) mengemukakan bahwa perlakuan restorasi (penjarangan dan introdusir spesies yang mempunyai intensitas rendah) dapat meningkatkan penetrasi cahaya ke lantai hutan, namun tidak memberikan dampak yang nyata terhadap suhu udara ambien dan defisit tekanan uapnya (vapour pressure deficit).

Gambar 5. menunjukkan pengaruh dari kerapatan vegetasi terhadap besarnya PAR yang sampai ke lantai hutan.terdapat kecenderungan bahwa semakin rapat tegakan (jumlah batang per hektarnya makin besar) akan semakin kecil PAR yang sampai ke lantai hutan (Coopersmith, et al, 2000).


(13)

B. Faktor Presipitasi

Pengaruh dari presipitasi terhadap anakan adalah menyediakan kelembaban tanah yang digunakan oleh anakan guna mengimbangi kebutuhan evaporasi atmosfer. Microsite yang mempunyai kapasitas cadangan air tanah rendah di zona perakaran membutuhkan curah hujan yang sering untuk memastikan bahwa anakan akan bertahan selama periode musim panas yang kering. Tanpa kelembaban tanah yang cukup di zona perakaran, anakan akan mengalami tingkat cekaman air/water stress yang bisa mengurangi pertumbuhan (Gambar 1).

Faktor iklim makro yang mempengaruhi presipitasi adalah tipe hujan (type of storm), baik frontal atau konvektif, akan menentukan jumlah dan luasan areal dari presipitasi. Hujan konvektif biasanya terjadi pada musim panas dan dapat terjadi secara lokal, sedangkan hujan frontal lebih besar dan menyediakan hujan yang lebih seragam untuk seluruh bentang alam. Di wilayah yang mempunyai empat musim, perubahan waktu sepanjang tahun mempengaruhi jumlah dan bentuk presipitasi (hujan atau salju).

Selain iklim makro, presipitasi juga dipengaruhi oleh lokasi geografis, misalnya jarak dari pantai atau badan air yang besar lainnya, dan untuk skala yang roman topografi (topographic features), misalnya kelerengan dimana arah angin bertiup (windward) yang berhadapan dengan umumnya arah datangnya hujan dan daerah bayangan hujan. Presipitasi secara umum akan meningkat dengan semakin meningkatnya elevasi (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Gambar 5. Nilai PAR Rata-Rata Pada Tanggal 18 Juli 1998 di Gunung Bear.

C. Faktor Kelembaban Atmosfer

Kandungan uap air di udara (tekanan uap ataupun kerapatan uap) secara langsung mempengaruhi kebutuhan evaporasi atmosfer anakan, yang akan menentukan laju transpirasi tanaman. Evaporasi yang tinggi dapat menyebabkan anakan mengalami water stress dan berikutnya mengurangi laju pertumbuhan. Laju transpirasi anakan dipengaruhi oleh defisit tekanan uap. Ini merupakan perbedaan antara tekanan uap di daun (yang tergantung suhu daun) dengan tekanan uap udara yang berbatasan dengan udara. Kekurangan tekanan uap biasanya akan mencapai maksimum pada saat tengah-hari ketika suhu udara dan daun paling tinggi. Kelembaban relatif udara merupakan rasio antara tekanan uap aktual dan tekanan uap jenuh. Peningkatan defisit tekanan udara (penurunan kelembaban relatif) dari udara akan meningkatkan kebutuhan evaporasi, sekaligus juga akan meningkatkan potensi tekanan air (water stress) terhadap tanaman. Pengeringan musim dingin (Winter desiccation) sering kali terjadi manakala daun-daun jarum terbuka dan berhubungan langsung dengan kelembaban relatif yang rendah. (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kelembaban relatif disekitar anakan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu faktor iklim makro, faktor lahan/site, dan faktor vegetasi. Faktor iklim makro yang berperan dalam mempengaruhi kondisi kelembaban udara adalah pergerakan massa udara regional. Pergerakan ini akan menentukan tekanan uap dan kelembaban relatif dekat anakan. Kelembaban dari massa udara ini dimodifikasi oleh permukaan tanah dan permukaan badan air yang telah dilewatinya. Permukaan-permukaan ini akan akan mensuplai kelembaban ke udara melalui mekanisme evapotranspirasi atau hilang oleh adanya kondensasi atau


(14)

presipitasi. Faktor lahan seperti lokasi geografi dan elevasi hanya berperan kecil saja pengaruhnya terhadap kondisi tekanan uap di atmosfer. Spittlehouse and Stathers (1990) mengemukakan bahwa tekanan uap, kelembaban relatif dan suhu udara di bawah kanopi vegetasi dengan ketinggian 1 m atau kurang akan sama dengan kondisi yang berada di atas kanopi. Sedikit peningkatan tekanan uap akan terjadi dibawah kondisi kanopi yang tinggi dan rapat. Kondisi di bawah kanopi yang demikian akan terasa lebih dingin dan lebih lembab bagi manusia dibandingkan dengan di tempat terbuka, umumnya dikarenakan oleh pengurangan sejumlah radiasi matahari yang memanaskan tubuh kita.

Penyiapan lahan yang dilakukan sebelum kegiatan penanaman akan mempunyai sedikit pengaruh terhadap jumlah uap air di udara. Namun demikian defisit kelembaban relatif dan tekanan uap akan mempengaruhi anakan melalui perubahan suhu udara dekat anakan. Suhu udara yang dekat dengan tanah/ground pada perlakuan tebang habis dapat lebih panas 3 samapi 60C dibandingkan dengan pada ketinggian 6 meter (Spittlehouse and Stathers, 1990).

D. Faktor Angin

Angin mempunyai efek langsung yang sedikit terhadap anakan, namun demikian angin dapat menyebabkan blowdown, patahnya cabang, bengkoknya batang pada pohon-pohon yang lebih besar. Bagian pinggir dari blok tebang habis yang meninggalkan jalur adalah daerah yang paling mudah untuk terkena pengaruh angin ini. Gesekan angin kemungkinan akan menghilangkan salju yang tertahan, dan akan memaparkan anakan pada kondisi yang merugikan/tidak cocok. Spittlehouse and Stathers (1990) mengemukakan bahwa peningkatan kecepatan angin mempunyai efek yang dapat diabaikan terhadap kehilangan air dari tegakan konifer. Keberadaan lapisan perbatas disekitar daun-daun jarum konifer sangatlah tipis. Peningkatan kecepatan angin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap ketebalan lapisan tersebut. Permukaan evaporasi yang lebih besar seperti tanaman daun-lebar, permukaan genangan, kolam dan tanah mempunyai lapisan perbatas yang lebih tebal yang mana akan lebih sensitif terhadap perubahan kecepatan angin. Konsekuensinya, kecepatan angin yang besar akan meningkatkan laju evaporasi dari tanah-tanah yang lembab/basah maupun laju transpirasi dari vegetasi daun-lebar, namun mempunyai efek yang kecil terhadap transpirasi anakan. Sedangkan konsep angin dingin (wind chill) hanya dapat diterapkan pada obyek yang dapat menghasilkan panas seperti binatang-binatang dan rumah-rumah. Daun dan batang dari tanaman dapat tidak terkena pengaruh dari wind chill tersebut. Angin juga akan meningkatkan percampuran di udara dimana suhu tanaman akan sangat dekat dengan udara di sekitarnya.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi angin adalah faktor iklim makro, faktor lahan dan faktor vegetasi. Kecepatan angin pada suatu lahan utamanya ditentukan oleh proses-prose meteorologi dalam skala yang lebih besar. Perbedaan pemanasan permukaan oleh radiasi matahari akan mengakibatkan variasi perbedaan suhu yang cukup besar yang tentunya juga akan berakibat pada variasi tekanan udara. Pergerakan udara, misalnya saja angin ribut, merupakan respon dari perbedaan tekanan ini. Perbedaan suhu yang sangat besar akan menghasilkan perbedaan tekanan yang besar dan tentunya juga akan menghasilkan angin yang besar. Topografi lokal dapat meningkatkan maupun menurunkan kecepatan angin di permukaan. Sebagai contoh, kecepatan angin dapat meningkat pada punggung bukit dan akan berkurang banyak di bagian bawah punggung bukit (lee of the ridge). Pemanasan siang hari terhadap lembah-lembah dapat membangkitkan angin ke arah atas lereng (anabatik), karena pemanasan maka udara di lembah yang mempunyai tekanan lebih rendah akan terangkat menuju udara yang lebih dingin. Angin yang dibangkitkan oleh kebakaran hutan merupakan contoh efek ekstrem pergerakan ke atas dari udara panas. Angin down-slope dan angin down-valley


(15)

(katabalik) terjadi pada malam hari, karena adanya pendinginan maka udara yang lebih dingin dibagian atas lereng mengalir ke bawah lereng. Adanya gletser pada bagian atas dari lembah dapat mengakibatkan angin katabalik yang kuat selama siang hari. Penghilangan kanopi vegetasi akan meningkatkan kecepatan angin di dekat permukaan. Ukuran dan bentuk dari pembukaan blok tebang habis akan mempengaruhi pola dan kecepatan angin (Spittlehouse and Stathers, 1990). Profil kecepatan angin dan pola aliran sebagai akibat dari pengaruh penebangan dapat dilihat pada Gambar 6.


(16)

Angin mendapatkan perhatian yang sangat besar di bidang kehutanan karena dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Potensi dari angin ribut (blowdown) dipengaruhi oleh batas lokasi areal tebang habis dan jalur-jalur yang di tinggalkannya (Moore, 1977 dalam Spittlehouse and Stathers, 1990) serta kedalaman perakaran dari pohon-pohon. Daerah dengan kecepatan angin tinggi seperti bagian atas punggung bukit sebaiknya dihindari, dan panjang aksis dari areal tebang habis haruslah berada pada sudut angin yang tepat. Lekukan yang tajam dan sudut empat persegi dari batas areal tebang habis sebaiknya juga dihindarkan. Tebang pilih (partial cutting) dengan meninggalkan serumpun/sekelompok pepohonan, dan terjadi pengulangan untuk jangka waktu tertentu disarankan dipergunakan pada

A

B

Gambar 6. Profil kecepatan angin di hutan yang telah mengalami perlakuan tebang habis (A) arah angin berasal dari areal tebang habis yang lebih luas menuju ke areal tebang habis yang lebih sempit, dan (B) arah angin berasal dari areal tebang habis yang lebih sempit menuju ke areal tebang habis yang lebih luas.


(17)

daerah yang mempunyai resiko tinggi terhadap windfall (Alexander, 1986 dalam Spittlehouse and Stathers, 1990).

E. Faktor Suhu Udara

Suhu udara mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan ketahanan anakan. Proses-proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi termasuk reaksi-reaksi biokimia merupakan reaksi yang tergantung pada suhu (Gambar 1). Sedangkan proses-proses fisik seperti transpirasi juga merupakan proses yang tergantung pada suhu. Untuk sebagian besar spesies pohon, laju pertumbuhan tidak berarti pada suhu dibawah 2 sampai 50C. Kerusakan serius akibat pembekuan (frost) atau kematian anakan dapat terjadi jika suhu udara jatuh di bawah -2 sampai -50C selama masa pertumbuhan aktif ketika anakan tidak berada pada kondisi yang kuat. Laju pertumbuhan anakan akan suboptimal jika suhu udara berada di bawah 150C, optimal pada suhu 15 sampai 250C, dan akan meningkat dengan suboptimal jika suhu di atas 300C. Kerusakan fisik jaringan akan tergantung pada durasi dan intensitas suhu udara yang tinggi sebagaimana juga tergantung pada tipe jaringan yang mengalami kerusakan (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Suhu udara dekat permukaan mempunyai variasi yang lebar untuk siang maupun malam hari. Sebagi contoh adalah variasi tahunan dari suhu udara maksimum dan minimum harian serta suhu tanah pada areal yang di tebang habis tanpa adanya naungan dapat dilihat pada Gambar 7. Radiasi matahari diserap oleh permukaan sepanjang siang hari, dan dihamburkan melalui kehilangan bersih akibat radiasi termal (gelombang panjang), pemanasan udara dan tanah serta evaporasi (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Robeson et al (1998) mengemukakan hasil penelitiannya tentang adanya perbedaan yang substansial antara suhu udara di tempat terbuka dengan suhu udara di bawah kanopi. Suhu udara maksimum harian di hutan lebih rendah 30C dibandingkan dengan di lahan terbuka. Sedangkan suhu udara minimum hariannya juga lebih rendah 1-2 0C dibandingkan dengan di lahan terbuka. Faktor sky view adalah variabel yang berguna dalam menjelaskan perbedaan pengamatan dan pola temporal mereka. Kondisi di hutan sendiri juga mempunyai variasi yang cukup lebar, meskipun demikian, areal yang berada di dasar jurang akan lebih dingin dibandingkan dengan lokasi sepanjang sisi jurang.

Sejumlah radiasi gelombang panjang yang diemisi dari permukaan meningkat seiring dengan peningkatan suhu udara. Selama langit lebih dingin dari permukaan tanah, jumlah radiasi gelombang panjang yang diemisi ke langit akan lebih besar dibandingkan dengan yang diemisi kembali oleh langit ke permukaan. Kehilangan radiasi gelombang panjang dari permukaan ini akan mengakibatkan permukaan tanah menjadi lebih dingin. Pendinginan permukaan di malam hari terjadi utamanya karena peristiwa ini. Bahang yang disimpan di profil tanah dan di lapisan atmosfer ditransfer untuk mendinginkan permukaan, sehingga mengakibatkan penurunan suhu tanah dan suhu atmosfer di malam hari. Suhu permukaan tanah dapat terus mengalami penurunan sepanjang terjadi kehilangan bahang secara radiasi dari permukaan menuju ke langit. Suhu minimum harian terjadi biasanya pada saat terbitnya matahari. Sebagai hasil dari pertukaran-pertukaran energi ini, variasi suhu yang paling besar terjadi di permukaan tanah dan di sekitar anakan. Suhu udara setinggi 2 m dari permukaan sering kali dapat mencapai 3 sampai 60C lebih dingin diwaktu siang dan lebih panas 2 sampai 50C pada malam hari dibandingkan dengan suhu udara yang dekat dengan permukaan, khususnya pada kondisi yang tenang dan cerah (Gambar 7). Kerapatan udara akan meningkat jika udara mengalami pendinginan. Pada suatu lahan yang rata, hal ini akan membentuk suatu lapisan udara yang stabil dengan inversi suhu yang cenderung untuk menekan pertukaran atmosfer. Sedangkan pada lahan yang miring, peningkatan kerapatan dari udara


(18)

dingin akan mengakibatkan aliran ke bawah lereng (Spittlehouse and Stathers, 1990).


(19)

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi suhu udara, secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 2.

Kondisi cuaca sebagian besar menentukan kondisi suhu udara dekat permukaan. Utamanya yang penting adalah jumlah radiasi matahari yang tersedia untuk memanaskan permukaan. Penutupan awan akan menurunkan panjang pemanasan matahari maupun mengurangi pendinginan karena dilepaskannya gelombang panjang, sebagai hasilnya adalah mengurangi variasi suhu siang hari. Sejarah dan asal dari massa udara juga mempengaruhi suhu. Peningkatan uap air di udara akan meningkatkan emisi gelombang panjang dari atmosfer menuju permukaan tanah. Kecepatan angin yang tinggi mempengaruhi suhu udara dekat permukaan melalui peningkatan percampuran massa udara dekat permukaan dengan udara di atmosfer yang lebih tinggi.

Gambar 6. variasi tahunan dari suhu udara maksimum dan minimum serta suhu tanah pada areal tebang habis di zona spruce pegunungan daerah lembah Sungai Harley dekat Jembatan Gold(Spittlehouse and Stathers, 1990).


(20)

Tabel 2. Faktor-faktor iklim makro, lahan, vegetasi dan tanah yang mempengaruhi suhu udara (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Kategori Faktor Pengaruh

Iklim Makro Penutupan awan Radiasi matahari dan turunnya rasiasi gelombang panjang

Suhu udara Radiasi gelombang panjang Kelembaban udara Radiasi gelombang panjang dan

pelepasan bahang oleh kondensasi

Kecepatan angin Percampuran udara

Lahan/tapak Elevasi Kondisi atmosfer

Sudut slope Drainase udara dingin

Topografi Drainase udara dingin dan angin Posisi slope Ukuran dari sumber udara dingin

yang berat

Slope dan aspek Penerimaan radiasi matahari untuk pemanasan udara dan tanah

latitude Panjang hari, kondisi cuaca

Vegetasi Penutupan Kecepatan angin, drainase

udara dingin, kesetimbangan radiasi gelombang panjang, dan pemanasan tanah

Tanah Komposisi Cadangan bahang tanah dan

pelepasannya

Kadar air Evaporasi dan cadangan bahang

Kombinasi antara kondisi langit yang cerah, kecepatan angin yang rendah, dan udara kering dapat menghasilkan embun beku (frost). Langit yang cerah pada malam hari akan menghasilkan kehilangan gelombang panjang yang besar, dan kecepatan angin yang rendah akan meminimalisir percampuran antara udara permukaan yang dingin dengan udara yang hangat di atas permukaan. Laju pendinginan udara akan berkurang ketika kondensasi dan pengembunan atau timbunan embun beku terbentuk. Konsekuensinya adalah, resiko terjadinya radiasi yang membeku (radiation frost) lebih besar terjadi di daerah arid dan daerah dengan elevasi yang tinggi dimana udara permulaannya kering pada saat matahari terbenam (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Sedangkan lahan mempunyai pengaruh terhadap suhu udara melalui pengaruh mereka terhadap keseimbangan energi permukaan lokal. Lokasi geografis mempengaruhi regim iklim dari lahan. Suhu udara umumnya menurun dengan meningkatnya elevasi, sebagian merupakan respon dari perubahan kondisi cuaca yang terjadi karena peningkatan elevasi. Pendinginan di malam hari karena radiasi gelombang panjang akan lebih besar terjadi di elevasi yang lebih tinggi pada daerah yang mempunyai regim iklim yang sama. Latitude/lintang mempunyai pengaruh terhadap panjang hari demikian juga panjang waktu untuk pemanasan permukaan atau pendinginan di malam hari (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Slope dan aspek secara nyata mempengaruhi jumlah energi matahari yang diterima (Gambar 2), seperti aspek yang mengarah ke selatan cenderung untuk lebih hangat dibandingkan dengan yang lainnya, meskipun suhu masih didominasi oleh massa udara regional. Slope dan topografi dari lahan akan mempengaruhi drainase


(21)

udara dingin dan akumulasi dari embun beku. Udara yang mengalami pendinginan radiatif di elevasi yang lebih tinggi akan mengalir ke lereng yang lebih bawah dan terakumulasi di areal yang lebih rendah, dimana kedalaman dari tampungan udara dingin tersebut akan bertambah manakala pendinginan radiatif terus berlanjut. Gambar 8 menunjukkan bagaimana suhu minimum malam hari di permukaan tanah dapat bervariasi sepanjang slope selama musim panas. Kerusakan akibat pendinginan/pembekuan khususnya terjadi pada teras/petak yang datar sepanjang slope dimana aliran udara menurun, dan terjadi di areal yang lebih rendah dimana udara dingin terakumulasi (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Vegetasi yang menaungi permukaan menurunkan suhu udara yang ekstrem bagi anakan. Naungan mengurangi pemanasan matahari selama siang hari dan pendinginan radiasi gelombang panjang di permukaan tanah melalui perubahan mayoritas transfer radiasi dari permukaan menuju kanopi vegetasi. Penutupan semak-semak yang kuat/lebat dapat menghasilkan suhu anakan dan suhu permukaan tanah yang hampir sama dengan udara di sekelilingnya. Pengurangan pendinginan akibat radiasi gelombang panjang di malam hari dapat mengurangi terjadinya pendinginan/pembekuan. Efek ini sangat besar pada kanopi yang tinggi (seperti; hutan, penebangan secara terpilih, tegakan yang jarang dan pohon-pohon naungan/shelterwoods) dimana udara di sekeliling daun biasanya tercampur dengan baik dan hangat daripada udara dekat tanah. Batas lokasi tebang habis dapat mempengaruhi suhu udara permukaan. Batas yang melintang/memotong lereng dapat berfungsi sebagai ‘dam udara’, yang menghasilkan tampungan udara dingin serta untuk terjadinya paket pendinginan/pembekuan. Albedo atau refleksifitas radiasi dari permukaan mempengaruhi suhu sekeliling anakan. Permukaan yang berwarna gelap akan menyerap radiasi lebih banyak dan sebagai konsekuensinya adalah akan lebih cepat panas dibanding permukaan yang lebih terang. Di daerah yang beriklim 4 musim, keberadaan salju dapat berperan sebagai insulator/penyekat, menyebabkan suhu dengan amplitudo yang kecil (Gambar 7). Salju juga mempunyai albedo yang tinggi, dan tidak meyerap energi yang banyak atau tidak cepat hangat seperti permukaan yang berwarna gelap (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Gambar 8. Profil topografi yang menggambarkan suhu udara minimum pada ketinggian 20 cm di atas permukaan pada suatu radiasi khas pendingian di malam hari, dan jumlah hari yang mengalami pembekuan/pendinginan dari tanggal 1 Juni sampai


(22)

Keseimbangan energi yang terjadi di permukaan tanah menentukan seberapa banyak radiasi matahari yang diserap ditransfer kedalam profil tanah dan seberapa banyak yang dihamburkan ke atmosfer sebagai bahang atau uap air. Permukaan tanah mineral memungkinkan lebih banyak konduksi bahang kedalam profil yang lebih dalam dibandingkan dengan permukaan tanah organik. Sebagai hasilnya adalah, suhu udara persis dibawah permukaan organik akan lebih panas selama siang hari dan lebih dingin di malam hari dibandingkan dengan yang terjadi di permukaan tanah mineral. Kadar air tanah di permukaan tanah mempengaruhi suhu udara melalui mekanisme penggantian keseimbangan energi di permukaan. Ketika permukaan pada kondisi basah, sejumlah besar energi matahari yang diserap dipergunakan untuk mengevaporasi air di permukaan tanah daripada untuk menaikkan suhu tanah maupun suhu udara. Serupa dengan hal ini, adalah ketika tanah lembab, permukaan bervegetasi dapat lebih dingin dibandingkan ketika tanah kondisinya kering, sebab lebih banyak energi yang diserap dipergunakan untuk transpirasi (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Persiapan lahan dapat mempengaruhi anakan dan suhu permukaan tanah melalui perubahan penyerapan dan penghamburan energi di permukaan, meskipun pengaruh ini hanya signifikan pada ketinggian lebih dari 0,5 meter. Shelterwoods/pohon pelindung dan tebang pilih dapat menurunkan suhu udara maksimum harian sebesar 1 sampai 20C di ketinggian anakan dibandingkan dengan yang ditebang habis. Pengaruhnya akan sangat besar pada malam hari, yaitu peningkatan suhu minimum sebesar 2 sampai 50C dibawah kondisi cuaca yang cerah (Odin et al. 1984; Hungerford and Babbitt 1987; Stathers 1989 dalam Spittlehouse and Stathers, 1990). Pemaparan terhadap tanah-tanah mineral sebagai akibat dari penghilangan vegetasi penyekat dan lapisan organic, misalnya melaui pembakaran, pencatutan, pembuatan parit, pembuatan gundukan dan ripping, mempunyai pengaruh yang kecil terhadap suhu udara siang hari. Meskipun demikian, beberapa hasil studi mengatakan bahwa perlakuan ini akan mengurangi resiko kerusakan akibat radiasi dingin (radiation frost). Penanaman dalam microsites yang dapat mereduksi sejumlah sky cold yang bisa menimpa anakan (‘sky view factor”) seperti parit, atau yang menyimpan dan meradiasikan kembali energi ke anakan pada malam hari seperti dekat dengan tunggul yang besar atau tempat tumbangnya log/balok kayu, dapat juga mengurangi kerusakan akibat pendinginan. Batas daerah tebang habis haruslah di desain sehingga mereka tidak menghalangi jalan drainase udara dingin. Perlakuan persiapan lahan dapat mereduksi, tapi tidak dapat menghilangkan, frekuensi dan kedahsyatan dari summer frost (Spittlehouse and Stathers, 1990).

F. Faktor Kelembaban Tanah

Pengaruh kelembaban tanah terhadap anakan dimulai ketika anakan baru ditanam, dimana pada awal penanaman ini anakan hanya mengeskploitasi sedikit tanah, oleh karena itu anakan akan mudah terkena cekaman air. Cekaman air (water stress) dapat terjadi melalui :

♥ Kelangkaan air, misalnya dari curah hujan yang rendah atau hilang akibat kompetisi dengan vegetasi yang lain

♥ Tingginya kebutuhan atmosfer akan air, misalnya cerah dengan hangat, udara kering, atau


(23)

♥ Kelebihan air, misalnya banjir yang menggenangi zona perakaran karena drainase yang jelek

Tanah yang basah juga sering dingin dan aerasinya jelek. Perlakuan persiapan lahan dapat memodifikasi regim kelembaban tanah baik melalui konservasi air yang tersedia bagi tanaman maupun menghilangkan kelebihan air. Potensial air bagi anakan merupakan ukuran dari status internal air. Hal ini merupakan integrasi dari pengaruh kebutuhan air atmosfer dan kemampuan dari tanah untuk mensuplai air. Potensi air tanaman (plant water potential) merupakan penjumlahan dari potensial turgor (fungsi dari volume air yang berada dalam sel dan elastisitas dinding sel), potensial osmotis (fungsi dari konsentrasi gula-gula dan pati dalam sel). Potensi turgor akan menurun seiring dengan hilangnya air dari anakan melalui transpirasi selama siang hari. Layu akan terjadi pada saat turgor sama dengan nol dan pengeringan lebih lanjut akan merusak sel. Potensial osmotis anakan akan menurun dengan lambat selama musim pertumbuhan sebagai respon dari meningkatnya stres lingkungan (Livingston and Black 1987dalam Spittlehouse and Stathers, 1990).

Stomata daun dipergunakan oleh anakan untuk mengontrol laju transpirasi dan memelihara potensial turgor agar berada diatas nol. Stomata dipengaruhi oleh jumlah peubah-peubah lingkungan. Penutupan stomata bisa diakibatkan oleh peningkatan kekeringan udara (defisit tekanan uap), tanah kering, tingkat penyinaran matahari dibawah 10% dari penyinaran lengkap, pendinginan malam sebelumnya, dan karena suhu tanah yang rendah (De Lucia and Smith 1987; Livingston and Black 1987b dalam Spittlehouse and Stathers, 1990).

Regim kelembaban bagi anakan dapat dikuantifikasi sebagai keseimbangan hidrologi masukan air ke dalam profil tanah dan kehilangan air dari profil tanah. Hal ini secara skematis seperti pada Gambar 9. Perubahan simpanan air dalam profil tanah bervariasi dengan waktu dan kedalaman air dalam tanah tergantung pada keseimbangan antara :

Input : presipitasi, maupun rembesan dari tempat yang lebih tinggi di beberapa tempat

Kehilangan/losses : intersepsi, evaporasi tanah, transpirasi, runoff, redistribusi dalam tanah dan drainase tanah.

Faktor-faktor yang mengendalikan regim kelembaban tanah secara ringkas seperti yang tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Faktor-faktor iklim makro, lahan/site, tanah dan vegetasi yang menentukan regim kelembaban tanah. Pengaruh dari setiap faktor terhadap input dan output air dalam keseimbangan hidrologi juga di tampilkan (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Kategori Faktor Pengaruh

Iklim Makro Radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin

Transpirasi dan evaporasi tanah

Presipitasi Input air

Site/tapak/lahan Lokasi geografis, elevasi, aspek, dan kelerengan

Radiasi matahari, suhu udara, RH, dan presipitasi

Posisi lereng Drainase tanah dan aliran permukaan

Tanah Tekstur, pecahan/fragmen kasar, bulk density, dan bahan organik

Kapasitas simpanan air tersedia, drainase dan evaporasi tanah Kedalaman profil tanah Simpanan air tanah


(24)

Vegetasi Tinggi tanaman, penutupan (leaf area) dan spesies

Intersepsi, dan transpirasi


(25)

Gambar 8. Diagram skematis komponen hidrologi dari lingkungan anakan 9.

Variasi dari kondisi cuaca dalam suatu tahun sangat mempengaruhi ketahanan dan pertumbuhan anakan. Distribusi musiman curah hujan kadang-kadang dapat lebih penting dibandingkan dengan total hujan dalam setahun. Variasi tahunan dari cuaca juga penting. Gambar 10 menunjukkan variasi yang besar akan ketersediaan kelembaban pada akhir musim semi dan permulaan musim panas. Tahun-tahun tersebut diklasifikasikan sebagai cukup, marginal, terlalu kering untuk ketahanan anakan yang baik dibarengi dengan pengendalian vegetasi kompetitor. Ketiga kategori ersebut terjadi secara berturut-turut 35%, 44% dan 32% (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Distribusi ukuran pori tanah (tekstur tanah) menentukan volume air relatif di dalam tanah yang tersedia bagi tanaman. Cadangan kapasitas air tersedia untuk berbagai tekstur tanah dapat dilihat pada Gambar 11. Pasir mempunyai kapasitas yang lebih kecil dibandingkan dengan liat, liat mempunyai kapasitas yang lebih kecil dibandingkan dengan lempung (rasio 1:1,3:1,6). Liat mempunyai volume pori yang paling besar, namun sebagian besar air pada potensial yang sangat rendah. semakin besar fraksi kasarnya, maka akan menurunkan kapasitas cadangan air yang tersedia bagi tanaman. Sedangkan kedalaman tanah menentukan total cadangan air yang disimpan. Bahan organik akan meningkatkan sifat-sifat retensi air dari tanah manakala ketersediaannya berada dalam jumlah yang sedikit. Bahan organik ini mempunyai efek yang sangat besar untuk tanah-tanah engan tekstur kasar. Kapasitas cadangan air tersedia bagi tanaman dari suatu lapisan organik dipermukaan yang terdekomposisi (Gambar 11) adalah tinggi seakan-akan mempunyai porsi yang besar dari pori-pori kecil (Spittlehouse and Stathers, 1990).


(26)

Gambar 9. Variasi tahun ke tahun pada kondisi penanaman musim semi

pada lahan yang kering dekat Pemberton (Adapted from

Spittlehouse and Childs 1990 dalam Spittlehouse and Stathers,

1990). 10.


(27)

Air dalam tanah akan hilang melalui transpirasi dan evaporasi dari permukaan tanah gundul. Perbedaan kapasitas cadangan air tersedia antara pasir dan lempung (Gambar 12) direfleksikan oleh waktu pengeringan dari fraksi lempung yang lebih panjang. Stress air akan dapat terjadi dengan cepat pada tanah-tanah pasir dengan curah hujan pada musim pertumbuhan terjadi sangat jarang. Pengaruh dari kandungan fragmen kasar terhadap laju pengeringan tanah diperlihatkan oleh garis/kurva yang ditengah pada Gambar 12, yaitu ketika lempung ditambah dengan fragmen kasar sebesar 20%. Prosentase kandungan fragmen kasar akan menurunkan jumlah hari untuk mencapai suatu kondisi kandungan air tanah sekitar 25% (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Gambar 12. Pengaruh tekstur tanah dan kandungan batu terhadap penghilangan air setelah penanaman

Evaporasi dari permukaan tanah akan menghilangkan air dari daerah perakaran anakan. Kondisi cuaca dan jumlah dari vegetasi naungan akan menentukan kebutuhan atmosfer akan air dengan cara mengatur jumlah radiasi matahari yang mencapai ke permukaan tanah maupun mengendalikan kecepatan. Tekstur tanah dan kadar air tanah menentukan laju tanah untuk dapat mensupali air (konduktifitas hidrolik tanah) ke permukaan tanah untuk dievaporasikan, dan jumlah dari air yang tersedia untuk evaporasi. Tanah akan mengalami pengeringan pertama kali pada kedalaman 1 sampai 2 cm. Kekeringan pada lapisan ini (lapisan mulsa) akan mempunyai konduktifitas hidrolik yang rendah, keadaan ini akan menghasilkan pengurangan laju evaporasi dari tanah. Lapisan-lapisan permukaan organik dan pasir berjerami akan lebih mudah tersedia dibandingkan dengan tanah yang bertesktur baik. Konduktifitas hidrolik tidak jenuh (unsaturated hydraulic conductivity) yang lebih tinggi dari tanah-tanah yang bertekstur baik akan mempermudah pergerakan air ke permukaan dari lapisan-lapisan yang lebih rendah. Diperkirakan butuh 15 hari pada kondisi hujan yang kecil untuk mengeringkan tanah dengan ketebalan 5 sampai 10 cm dari tanah mineral yang dipaparkan agar bisa mencapai kondisi titik layu permanen (permanent wilting point). Jika tidak ada vegetasi, tanah yang berada pada kedalaman 15 sampai 20 cm akan tetap lembab (moist).

Pengaruh dari vegetasi terhadap kadar air tanah dapat dipahami dari mekanisme intersepsi hujan dan transpirasi. Intersepsi hujan oleh vegetasi akan mengevaporasikan air lebih banyak dari pada infiltrasi ke dalam tanah. Pada kasus vegetasi yang berumur pendek, intersepsi hujan akan signifikan manakala curah hujan kurang dari 3 mm. Sedangkan untuk hutan dan pohon pelindung


(28)

(shelterwoods), curah hujan yang kurang dari 5 mm hampir semuanya akan diintersepsikan oleh daun-daun kanopi. Sekitar 10 sampai 30% curah hujan dari hujan-hujan yang besar diintersepsikan, besarnya air yang diintersepsikan tersebut tergantung pada kerapatan kanopi. Penyerapan air tanah oleh vegetasi pesaing lainnya akan dengan cepat menghabiskan air yang berada di zona perakaran anakan. Laju transpirasi tergantung pada kebutuhan atmosfer akan air, kemampuan tanah untuk mensupali air dan jumlah dari vegetasi pesaing. Peningkatan jumlah dari vegetasi penutup juga akan meningkatkan laju kehilangan air. Namun demikian, puncak dari transpirasi ini akan tercapai manakala leaf area index (luas daun per satuan luas lahan) mencapai 4. Sedangkan evaporasi dari permukaan tanah akan menurun seiring dengan peningkatan naungan (shading). Vegetasi akan cenderung untuk menghilangkan air dari lapisan permukaan tanah dengan laju yang sangat besar dibandingkan pada lapisan-lapisan yang lebih bawah karena umumnya kerapatan akar yang paling besar adalah dekat permukaan. Gambar 13 menunjukkan pengaruh dari penutupan vegetasi terhadap laju kehilangan air dari suatu kontainer tanah sedalam 20 cm yang ditanami anakan (tekstur tanah adalah liat berlempung/loamy clay). Keberadaan vegetasi akan mempercepat laju pengeringan tanah dibanding dengan tanah kosong. Dari gambar 13 juga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa curah hujan yang memadai diperlukan untuk menjaga kondisi tanah yang baik bagi pertumbuhan anakan pada lahan-lahan dengan vegetasi yang tidak terkontrol (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Dalam pemgelolaan hutan, persiapan lahan mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberadaan air tanah. Dengan persiapan lahan dapat dilakukan usaha peningkatan air tanah dalam zona perakaran maupun konservasi air tanah untuk anakan, ataupun untuk menghilangkan kelebihan air yang berada dalam zona perakaran. Konservasi air tanah dapat dilakukan dengan cara mematikan vegetasi pesaing dengan memanfaatkan herbisida, pembakaran terkendali maupun peralatan mekanis.

Gam ar 12.b Pengaruh penutupan vegetasi terhadap kehilangan air tanah setelah penanaman,

pada tanah dengan tekstur liat berdebu. Gambar 13.

G. Faktor Temperatur Tanah

Suhu tanah mempengaruhi pertumbuhan anakan dan ketahanannya melalui pengaruhnya pada proses fisik dan fisiologi seperti respirasi ataupun penyerapan air oleh akar. Suhu tanah yang rendah pada zona perakaran akan menjadikannya sebagai faktor pembatas pada tahap awal perkembangannya.


(29)

Profil suhu tanah ditentukan oleh lokasi lahan, kondisi atmosfer (cuaca), penutupan tanah, dan sifat-sifat fisik tanah. Suhu tanah bervariasi terus-menerus sebagi respon dari perubahan energi yang diterima dan pembagiannya dipermukaan tanah. Gambar 14 menunjukkan pola harian suhu tanah yang sebenarnya dikendalikan oleh radiasi matahari.


(30)

Iklim makro yang mempengaruhi suhu tanah adalah radiasi matahari, penutupan awan, hujan dan angin. Pada hari dengan kondisi berawan maka variasi suhu tanah akan kecil. Hujan akan mempengaruhi kadar air tanah, perubahan air tanah juga akan mempengaruhi sifat-sifat thermalnya. Angin juga dapat menurunkan suhu selama siang hari melalui peningkatan laju kehilangan bahang ke tamosfer. Sedangakn dari faktor lahan, yang mempengaruhi suhu tanah adalah latitude (lintang), elevasi, slope dan aspect. Faktor permukaan lahan yang berpengaruh terhadap suhu tanah adalah penutupan vegetasi, albedo dan untuk daerah dengan iklim empat musim adalah penutupan salju. Sedangkan faktor-faktor tanah yang mempengaruhi suhu tanah adalah kapasitas volumetrik bahang (volumetric heat capacity) serta konduktifitas termal. Kapasitas volumetrik bahang didefinisikan sebagai jumlah dari bahang yang dibutuhkan untuk merubah suhu dari suatu volume tanah sebesar 10C. Sedangkan konduktifitas termal menentukan laju aliran bahang ke tanah pada suatu gradien suhu tertentu.

Kedua sifat termal tersebut dapat bervariasi disebabkan oleh perbedaan profil tanah. Variasi ini tergantung komposisi tanah (tekstur, kandungan bahan organik dan kandungan fragmen batu), bulk density, serta kandungan air tanahnya. Sifat-sifat termal relatif terhadap pasir kering dari berbagai tanah yang mempunyai kandungan berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar 13. Profil suhu tanah di areal tebang habis dan pada areal dekat hutan Western Hemlock di zona pesisir Western Hemlock dekat Port Alberni (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Gambar 14.

Tabel 4. Sifat-sifat termal relatif terhadap pasir kering dari tanah, gambut, udara dan air (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Material Volumetric Heat

Capacity

Konduktifitas termal

Diffusivity

Tanah kering 1.0 1.0 1.0

Tanah basah 2.3 7.0 3.0

Gambut kering 0.4 0.3 0.7

Gambut Basah 3.0 1.8 0.6

Udara (tenang) 0.001 0.1 ≈ 100


(31)

Soil thermal diffusivity merupakan rasio antara konduktifitas termal dan Volumetric Heat Capacity, merupakan suatu indeks yang menyatakan bagaimana perubahan suhu di permukaan tanah ditransmisikan ke seluruh profil tanah. Tanah-tanah yang bertekstur baik seringkali tetap lebih dingin dibandingkan dengan Tanah- tanah-tanh dengan tekstur kasar selama musim panas dikarenakan mempunyai Volumetric Heat Capacity dan water-holding capacity yang lebih tinggi.

Perlakuan persiapan lahan untuk memodifikasi suhu tanah dilakukan dengan cara merubah pertukaran energi di permukaan tanah dan merubah sifat-sifat thermal dari profil tanah. Penghilangan vegetasi yang menutupi permukaan tanah akan menghangatkan tanah. Pemaparan tanah mineral meningkatkan thermal diffusivity di permukaan tanah, selanjutnya juga akan meningkatkan konduksi bahang ke dalam profil tanah. Perlakuan dengan pembuatan gundukan akan memperbaiki drainase air tanah serta pengeringan tanah, selanjutnya akan menyebabkan penurunan Volumetric Heat Capacity tanah serta pemanasan yang besar untuk setiap bahang yang disimpan.

Pada kondisi hari cerah di musim panas, tanah yang kering, berwarna hitam, mem punyai lapisan organik permukaan yang terbakar dapat menjadi sangat panas dan mematikan anakan. Sebuah pembersihan kecil terhadap lapisan ini dapat membantu menurunkan suhu permukaan tanah di sekitar leher akar anakan. Penyisiran naungan, pembuatan shelterwoods atau pemangkasan sebagain dapat juga digunaan untuk mencegah terjadinya suhu permukaan tanah yang tinggi.

Gambar 14. Range dari variasi suhu tanah diurnal pada tanah mineral terbuka dan pada tanah mineral yang ditu

Gambar 15.

tupi oleh horizon organic sedalam 10 cm (Cohcran, 1969 dalam Spittle ouse and Stathers, 1990). h

Sedangkan untuk melihat pola tahunan suhu tanah, maka harus dilakukan pengukuran yang kontinyu sepanjang tahun. Pola tahunan dari suhu tanah dan potensial air tanah berbeda-beda untuk lokasi yang berbeda. Gambar 16 menunjukkan contoh pola tahunan di iklim mediteran (Ma, 2003). Dari pola tersebut terlihat bahwa perubahan suhu terjadi secara signifikan pada akhir bulan Maret dan Desember sedangkan kondisi kelembaban tanah berubah pada pertengahan bulan Juli dan Nopember. Kondisi air tanah berubah lebih tajam daripada perubahan suhu tanah. Tanah berada pada kondisi jenuh pada selama periode musim semi (April, Mei, Juni), meskipun suhu rata-rata harian meningkat dari 00C sampai 100C. Potensial air tanah berubah menjadi negative dengan cepat. Sepanjang musim gugur (September, Oktober, dan November), potensial air tanah akan kembali menjadi nol.


(32)

Gambar 16. Perubahan Musiman dari Suhu Rata-Rata Permukaan Tanah Harian dan Potensial Air Tanah. (Tsf = Suhu diukur pada permukaan tanah mineral, SWP = Potensial air tanah)

Gambar 17. Perubahan musiman variabilitas spasial dari suhu udara rata-rata harian, suhu permukaan tanah dan suhu tanah. (Ta = suhu udara diukur pada ketinggian 2 meter dari permukaan, Tsf = Suhu diukur pada permukaan tanah mineral, Ts15 = suhu tanah pada kedalaman 15 cm) Fluktuasi dari variabilitas spatial harian dari suhu udara permukaan, suhu permukaan tanah dan suhu tanah terlihat berbeda untuk setiap musimnya (Gambar 17). Variabilitas spasial tertinggi dari ketiga suhu yang diukur (3.0 – 3.80C) terjadi


(33)

pada selama musim semi dan musim gugur, sebaliknya variabilitas spasial terendah (0.7 – 0.9 °C) terjadi pada musim dingin. Variasi spasial pada ketinggian 2 meter dari permukaan lebih besar dibandingkan Suhu yang diukur pada permukaan tanah mineral dan suhu tanah pada kedalaman 15 cm. selama musim panas, variabilitas spasial dari suhu pada ketinggian 2 meter dari permukaan lebih kecil dari Suhu yang diukur pada permukaan tanah mineral namun lebih besar dari suhu tanah pada kedalaman 15 cm (Ma, 2003).

H. Penutup

Faktor yang mendukung pertumbuhan tanaman dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman salah satunya adalah kondisi iklim mikro selain faktor tanah, namun penelitian tentang arti penting iklim mikro dalam mendukung suksesnya suatu program penanaman (rehabilitasi maupun reboisasi hutan) masih kalah dibandingkan dengan penelitan-penelitian tentang kualitas bibit, kesuburan tanah dan genetika. Padahal iklim mikro sangat erat kaitannya dengan ketahanan dan pertumbuhan suatu anakan. Untuk itu dari tulisan yang bersifat umum ini, diharapkan dapat memberikan wawasan bahwa dengan mengetahui kondisi iklim mikro maka peluang suksesnya program rehabilitasi lahan dan hutan akan lebih besar meskipun contoh yang diberikan sebagian besar bukan berada di daerah tropis,. Selain itu juga diharapkan untuk memacu program penelitian tentang iklim mikro yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anakan pohon.

DAFTAR PUSTAKA

Coopersmith, D., B. Sagar and D. Thompson. 2000. Ten Year result of The Bear Mountain Mixedwood Trial (EP 1077): The Effect of Overtopping Aspen Canopies on White Spruce Seedling Growth and Seedling Microclimate. Forest Research Notes PG-23. March 2000. Prince George Forest Region. Ministry of Forests. British Columbia. Canada. http://www.for.gov.bc.ca/rni/Research/ Extension_notes/PG23_bearmtn.pdf (19-06-2004)

Drumond, L. 2002. Relationship Between Vegetation and Microclimate in Propan National Park. Macquarie University. Sydney Australia.

http://www.es.mq.edu.au/ physgeog/postgrad/abs/drummond_abs1.pdf(23-05-2004)

Ekeleme, F., F. Forcella, D. Archer, and D. Chikoye. 2002. Weed Seedling Emergence and Microclimate in a Tropical Environment. North Central Weed

Science Society Abstracts 57:125.

http://www.mrsars.usda.gov/morris/recntpub/02reprnt/1027.PDF (27-05-2004)

Ma, S. 2003. Interactions between Microclimate, Soil Respiration, and Disturbances in a Forest Ecosystem: Lessons from the Teakettle Experimental Forest in California’s Sierra Nevada. Dissertation for the Doctor of Philosophy Degree in Biology (Ecology-track). The University of Toledo.

McKinnon, L. M., A. K. Mitchell and A. Vyse. 2002. The Effects Of Soil Temperature And Site Preparation On Subalpine And Boreal Tree Species: A Bibliography. Information Report BC-X-394. Pacific Forestry Centre. Canadian Forest Service. Natural Resources Canada. http://dsp-psd.communication.gc.ca/ Collection/Fo46-17-394E.pdf (19-06-2004)


(34)

Meyer, C. L., T. D. Sisk, and W. W. Covington. 2001. Microclimatic Changes induced by Ecological Restoration of Ponderosa Pine Forest in Northern Arizona. Restoration Ecology Vol. 9 No. 4, pp. 443-452. http://www.envsci.nau.edu/sisklab/ recent_publications/meyer_etal_2001.pdf (23-05-2004)

Robeson, S. M., C. S. B. Grimmond and J. Schoof. 1998. Comparison Of Open-Site And Below-Canopy Climatic Conditions Within An Eastern North American Deciduous Forest. Department of Geography. Indiana University. Bloomington. USA. http://www.indiana.edu/~climate/projects/birdconf.pdf (23-05-2004)

Spittlehouse, D. L and R. J. Stathers. 1990. Seedling Microclimate. Land Management Report Number 65. Ministry of Forest. British Columbia. Canada. http://www.for.gov.bc.ca/hfd/pubs/Docs/Mr/Lmr/Lmr65.pdf (23-05-2004)


(1)

Profil suhu tanah ditentukan oleh lokasi lahan, kondisi atmosfer (cuaca), penutupan tanah, dan sifat-sifat fisik tanah. Suhu tanah bervariasi terus-menerus sebagi respon dari perubahan energi yang diterima dan pembagiannya dipermukaan tanah. Gambar 14 menunjukkan pola harian suhu tanah yang sebenarnya dikendalikan oleh radiasi matahari.


(2)

Iklim makro yang mempengaruhi suhu tanah adalah radiasi matahari,

penutupan awan, hujan dan angin. Pada hari dengan kondisi berawan maka variasi suhu tanah akan kecil. Hujan akan mempengaruhi kadar air tanah, perubahan air tanah juga akan mempengaruhi sifat-sifat thermalnya. Angin juga dapat menurunkan suhu selama siang hari melalui peningkatan laju kehilangan bahang ke tamosfer. Sedangakn dari faktor lahan, yang mempengaruhi suhu tanah adalah latitude (lintang), elevasi, slope dan aspect. Faktor permukaan lahan yang berpengaruh terhadap suhu tanah adalah penutupan vegetasi, albedo dan untuk daerah dengan iklim empat musim adalah penutupan salju. Sedangkan faktor-faktor tanah yang mempengaruhi suhu tanah adalah kapasitas volumetrik bahang (volumetric heat capacity) serta konduktifitas termal. Kapasitas volumetrik bahang didefinisikan sebagai jumlah dari bahang yang dibutuhkan untuk merubah suhu dari suatu volume tanah sebesar 10C. Sedangkan konduktifitas termal menentukan laju aliran bahang ke tanah pada suatu gradien suhu tertentu.

Kedua sifat termal tersebut dapat bervariasi disebabkan oleh perbedaan profil tanah. Variasi ini tergantung komposisi tanah (tekstur, kandungan bahan organik dan kandungan fragmen batu), bulk density, serta kandungan air tanahnya. Sifat-sifat termal relatif terhadap pasir kering dari berbagai tanah yang mempunyai kandungan berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar 13. Profil suhu tanah di areal tebang habis dan pada areal dekat hutan Western Hemlock di zona pesisir Western Hemlock dekat Port Alberni (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Gambar 14.

Tabel 4. Sifat-sifat termal relatif terhadap pasir kering dari tanah, gambut, udara dan air (Spittlehouse and Stathers, 1990).

Material Volumetric Heat

Capacity

Konduktifitas termal

Diffusivity

Tanah kering 1.0 1.0 1.0

Tanah basah 2.3 7.0 3.0

Gambut kering 0.4 0.3 0.7

Gambut Basah 3.0 1.8 0.6

Udara (tenang) 0.001 0.1 ≈ 100


(3)

Soil thermal diffusivity merupakan rasio antara konduktifitas termal dan Volumetric Heat Capacity, merupakan suatu indeks yang menyatakan bagaimana perubahan suhu di permukaan tanah ditransmisikan ke seluruh profil tanah. Tanah-tanah yang bertekstur baik seringkali tetap lebih dingin dibandingkan dengan Tanah- tanah-tanh dengan tekstur kasar selama musim panas dikarenakan mempunyai Volumetric Heat Capacity dan water-holding capacity yang lebih tinggi.

Perlakuan persiapan lahan untuk memodifikasi suhu tanah dilakukan dengan cara merubah pertukaran energi di permukaan tanah dan merubah sifat-sifat thermal dari profil tanah. Penghilangan vegetasi yang menutupi permukaan tanah akan menghangatkan tanah. Pemaparan tanah mineral meningkatkan thermal diffusivity di permukaan tanah, selanjutnya juga akan meningkatkan konduksi bahang ke dalam profil tanah. Perlakuan dengan pembuatan gundukan akan memperbaiki drainase air tanah serta pengeringan tanah, selanjutnya akan menyebabkan penurunan Volumetric Heat Capacity tanah serta pemanasan yang besar untuk setiap bahang yang disimpan.

Pada kondisi hari cerah di musim panas, tanah yang kering, berwarna hitam, mem punyai lapisan organik permukaan yang terbakar dapat menjadi sangat panas dan mematikan anakan. Sebuah pembersihan kecil terhadap lapisan ini dapat membantu menurunkan suhu permukaan tanah di sekitar leher akar anakan. Penyisiran naungan, pembuatan shelterwoods atau pemangkasan sebagain dapat juga digunaan untuk mencegah terjadinya suhu permukaan tanah yang tinggi.

Gambar 14. Range dari variasi suhu tanah diurnal pada tanah mineral terbuka dan pada tanah mineral yang ditu

Gambar 15.

tupi oleh horizon organic sedalam 10 cm (Cohcran, 1969 dalam Spittle ouse and Stathers, 1990). h

Sedangkan untuk melihat pola tahunan suhu tanah, maka harus dilakukan pengukuran yang kontinyu sepanjang tahun. Pola tahunan dari suhu tanah dan potensial air tanah berbeda-beda untuk lokasi yang berbeda. Gambar 16 menunjukkan contoh pola tahunan di iklim mediteran (Ma, 2003). Dari pola tersebut terlihat bahwa perubahan suhu terjadi secara signifikan pada akhir bulan Maret dan Desember sedangkan kondisi kelembaban tanah berubah pada pertengahan bulan Juli dan Nopember. Kondisi air tanah berubah lebih tajam daripada perubahan suhu tanah. Tanah berada pada kondisi jenuh pada selama periode musim semi (April, Mei, Juni), meskipun suhu rata-rata harian meningkat dari 00C sampai 100C. Potensial air tanah berubah menjadi negative dengan cepat. Sepanjang musim gugur (September, Oktober, dan November), potensial air tanah akan kembali menjadi nol.


(4)

Gambar 16. Perubahan Musiman dari Suhu Rata-Rata Permukaan Tanah Harian dan Potensial Air Tanah. (Tsf = Suhu diukur pada permukaan tanah mineral, SWP = Potensial air tanah)

Gambar 17. Perubahan musiman variabilitas spasial dari suhu udara rata-rata harian, suhu permukaan tanah dan suhu tanah. (Ta = suhu udara diukur pada ketinggian 2 meter dari permukaan, Tsf = Suhu diukur pada permukaan tanah mineral, Ts15 = suhu tanah pada kedalaman 15 cm) Fluktuasi dari variabilitas spatial harian dari suhu udara permukaan, suhu permukaan tanah dan suhu tanah terlihat berbeda untuk setiap musimnya (Gambar 17). Variabilitas spasial tertinggi dari ketiga suhu yang diukur (3.0 – 3.80C) terjadi


(5)

pada selama musim semi dan musim gugur, sebaliknya variabilitas spasial terendah (0.7 – 0.9 °C) terjadi pada musim dingin. Variasi spasial pada ketinggian 2 meter dari permukaan lebih besar dibandingkan Suhu yang diukur pada permukaan tanah mineral dan suhu tanah pada kedalaman 15 cm. selama musim panas, variabilitas spasial dari suhu pada ketinggian 2 meter dari permukaan lebih kecil dari Suhu yang diukur pada permukaan tanah mineral namun lebih besar dari suhu tanah pada kedalaman 15 cm (Ma, 2003).

H. Penutup

Faktor yang mendukung pertumbuhan tanaman dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman salah satunya adalah kondisi iklim mikro selain faktor tanah, namun penelitian tentang arti penting iklim mikro dalam mendukung suksesnya suatu program penanaman (rehabilitasi maupun reboisasi hutan) masih kalah dibandingkan dengan penelitan-penelitian tentang kualitas bibit, kesuburan tanah dan genetika. Padahal iklim mikro sangat erat kaitannya dengan ketahanan dan pertumbuhan suatu anakan. Untuk itu dari tulisan yang bersifat umum ini, diharapkan dapat memberikan wawasan bahwa dengan mengetahui kondisi iklim mikro maka peluang suksesnya program rehabilitasi lahan dan hutan akan lebih besar meskipun contoh yang diberikan sebagian besar bukan berada di daerah tropis,. Selain itu juga diharapkan untuk memacu program penelitian tentang iklim mikro yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anakan pohon.

DAFTAR PUSTAKA

Coopersmith, D., B. Sagar and D. Thompson. 2000. Ten Year result of The Bear Mountain Mixedwood Trial (EP 1077): The Effect of Overtopping Aspen Canopies on White Spruce Seedling Growth and Seedling Microclimate. Forest Research Notes PG-23. March 2000. Prince George Forest Region. Ministry of Forests. British Columbia. Canada. http://www.for.gov.bc.ca/rni/Research/ Extension_notes/PG23_bearmtn.pdf (19-06-2004)

Drumond, L. 2002. Relationship Between Vegetation and Microclimate in Propan National Park. Macquarie University. Sydney Australia.

http://www.es.mq.edu.au/ physgeog/postgrad/abs/drummond_abs1.pdf(23-05-2004)

Ekeleme, F., F. Forcella, D. Archer, and D. Chikoye. 2002. Weed Seedling Emergence and Microclimate in a Tropical Environment. North Central Weed

Science Society Abstracts 57:125. http://www.mrsars.usda.gov/morris/recntpub/02reprnt/1027.PDF (27-05-2004)

Ma, S. 2003. Interactions between Microclimate, Soil Respiration, and Disturbances in a Forest Ecosystem: Lessons from the Teakettle Experimental Forest in California’s Sierra Nevada. Dissertation for the Doctor of Philosophy Degree in Biology (Ecology-track). The University of Toledo.

McKinnon, L. M., A. K. Mitchell and A. Vyse. 2002. The Effects Of Soil Temperature And Site Preparation On Subalpine And Boreal Tree Species: A Bibliography. Information Report BC-X-394. Pacific Forestry Centre. Canadian Forest Service. Natural Resources Canada. http://dsp-psd.communication.gc.ca/ Collection/Fo46-17-394E.pdf (19-06-2004)


(6)

Meyer, C. L., T. D. Sisk, and W. W. Covington. 2001. Microclimatic Changes induced by Ecological Restoration of Ponderosa Pine Forest in Northern Arizona. Restoration Ecology Vol. 9 No. 4, pp. 443-452. http://www.envsci.nau.edu/sisklab/ recent_publications/meyer_etal_2001.pdf (23-05-2004)

Robeson, S. M., C. S. B. Grimmond and J. Schoof. 1998. Comparison Of Open-Site And Below-Canopy Climatic Conditions Within An Eastern North American Deciduous Forest. Department of Geography. Indiana University. Bloomington. USA. http://www.indiana.edu/~climate/projects/birdconf.pdf (23-05-2004)

Spittlehouse, D. L and R. J. Stathers. 1990. Seedling Microclimate. Land Management Report Number 65. Ministry of Forest. British Columbia. Canada. http://www.for.gov.bc.ca/hfd/pubs/Docs/Mr/Lmr/Lmr65.pdf (23-05-2004)