TINJAUAN PUSTAKA Dampak Kurang Vitamin A

8 makan setempat. Program fortifikasi dapat meliputi satu atau lebih pangan yang secara umum dikonsumsi luas atau fortifikasi pangan yang didesain untuk sub group populasi khusus, dan atau fortifikasi pangan untuk penyediaan pasar. Sasaran fortifikasi adalah satu atau lebih sekelompok masyarakat yang diindikasikan secara klinis defisiensi gizi mikro. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam fortifikasi diantaranya: 1 Pangan yang akan difortifikasi merupakan makanan yang paling sering dan banyak dikonsumsi penduduk termasuk penduduk miskin, 2 Pangan hasil fortifikasi mempunyai sifat organoleptik yang tidak banyak berubah dari aslinya, 3 Pangan yang difortifikasi aman untuk dikonsumsi, dan ada jaminan terhadap kemungkinan efek samping yang negatif, 4 Pangan untuk fortifikasi diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, 5 Tersedia teknologi fortifikasi sesuai dengan pangan pembawa dan fortifikan yang digunakan, 6 Harus ada sistem monitoring yang tegas terhadap pabrik-pabrik fortifikasi, 7 Ada kerjasama yang nyata antara pihak pemerintah, non pemerintah dan swasta, 8 Perlu mekanisme untuk melakukan pengawasan dan evaluasi program fortifikasi, 9 Pangan hasil fortifikasi, harganya tetap terjangkau oleh kelompok target, 10 Dari sisi konsumen diyakini tidak akan terjadi konsumsi berlebihan dan diperhitungkan berdasarkan AKG nya. Dalam fortifikasi pangan, karakteristik pangan pembawa sangat menentukan keberhasilannya. Sifat fisik pangan pembawa vehicle ada yang berupa padat, cair atau semi padat. Sifat fisik pangan pembawa akan menentukan jenis fortifikan apa yang dikehendaki baik sensorik maupun bioavailabilitas zat gizi yang ditambahkan. Syarat pangan pembawa menurut Lotfi et al. 1996 diantaranya adalah: 1 pangan pembawa dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk dan dikonsumsi secara teratur dalam jumlah yang relatif konstan, 2 pengolahan dilakukan secara terpusat, 3 tidak mengalami perubahan sensorik warna, bau, stabilitas dan bioavailabilitas mikronutrien tinggi pada produk akhir dan selama penyimpanan. Menurut Benade 2003, didasarkan pada laporan terbaru bahwa prevalensi global untuk defisiensi vitamin A klinis pada anak sekolah tahun 1995 diperkirakan mencapai 1.2 persen. Pada basis global diperkirakan 140 juta anak pra sekolah menderita defisiensi vitamin A subklinis. Prevalensi defisiensi vitamin A klinis maupun subklinis terjadi di Asia Selatan dan Sub Saharan Afrika dimana 30-40 persen anak pra sekolah berisiko menderita sakit dan kematian akibat defisiensi tersebut. Beberapa strategi yang diterapkan dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut antara lain: 1 suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi, 2 fortifikasi pangan dan 3 diversifikasi pangan dan pendidikan gizi. Salah satu langkah penyediaan pangan kaya akan vitamin A di masyarakat dapat dilakukan dengan memanfaatkan pangan lokal yang dikonsumsi secara luas sebagai pangan pembawa zat gizi. Salah satu diantara jenis pangan yang potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif dalam pengentasan masalah KVA berbasis pangan adalah gula kelapa. 9 Gula Kelapa Gula kelapa coconut palm sugar, disebut juga sebagai gula merah adalah jenis gula yang dibuat dari nira bunga kelapa secara tradisional. Gula kelapa umumnya diproduksi pada skala industri rumah tangga meskipun saat ini sudah banyak bermunculan gula kelapa pada skala yang lebih besar dengan kapasitas produksi mencapai 700 kghari. Produksi gula kelapa di Jawa tengah mencapai 218.235 tontahun. Kabupaten Banyumas merupakan salah satu sentra produksi gula kelapa dengan jumlah produksi tahun 2001 sebesar 46.991,75 ton BPS 2002. Pada tahun 2004 produksi gula kelapa Banyumas mencapai 250 ton per bulan Dishutbun 2005. Dalam pemanfaatannya, gula kelapa banyak dipergunakan sebagai pemanis, pembentuk rupa appearance, tekstur, warna dan aromaflavor. Peran gula kelapa dalam pengolahan jenis makanan tertentu sering tidak dapat digantikan dengan gula lain, misalnya pada pembuatan kecap, dodol, getuk goreng ataupun pada beberapa jenis makanan tradisional lainnya. Teknologi pengolahan gula kelapa sangat sederhana dan dalam salah satu tahapannya adalah penambahan minyak sayur ketika memasuki fase jenuh, yang dimaksudkan untuk menurunkan buih defoaming. Jumlah minyak yang biasa digunakan perajin berkisar 10 ml – 30 ml setiap pengolahan 10 liter nira. Penggunaan minyak yang mengandung pro vitamin A tinggi seperti minyak sawit merah RPO untuk defoaming dapat meningkatkan nilai nutrisional gula yang dihasilkan terutama kandungan pro vitamin A. Hasil penelitian Dwiyanti et al. 2005, menunjukkan bahwa penggunaan sumber karoten wortel yang dilarutkan dalam minyak sawit pada suhu 70 C selama 72 jam dengan jumlah penambahan 10 mlL nira menghasilkan gula dengan kadar total karoten paling tinggi, yaitu 9020 g100g bahan. Namun demikian, setelah disimpan selama 2 minggu terjadi penurunan kadar karoten 51,08 persen, yaitu menjadi 4413 g100 g bahan atau setara dengan vitamin A 367 RE. Kecukupan vitamin A untuk anak dan dewasa berkisar 400 – 600 RE per hari Gropper 2009, sehingga bila diasumsikan konsumsi gula per hari 25 gram, maka mampu menyumbangkan kebutuhan vitamin A per hari 15-25 persen. Gula kelapa cetak dihasilkan dari proses pemanasan nira bunga kelapa, hingga mencapai kondisi lewat jenuh sehingga akan terjadi proses kristalisasi sukrosa yang ditandai dengan terjadinya pemadatan gula. Nira kelapa merupakan cairan jernih yang diperoleh dari penyadapan mayang bunga kelapa yang belum mekar. Proses penyadapan nira kelapa meliputi tahapan: 1 pememaran mayang yang bertujuan untuk melancarkan aliran nira, pengikatan dan pembengkokan mayang yang ditujukan untuk memudahkan penampungan nira dalam wadah penampung pongkor, dan pengirisan pucuk mayang. Nira yang dihasilkan ditampung dalam wadah bambu yang disebut pongkor. Meskipun dapat berasal dari pohon palma yang lain, pohon kelapa adalah sumber yang utama. Negara penghasil gula kelapa terutama adalah Indonesia dan Philipina. Beberapa jenis tanaman palmae lain yang juga menghasilkan nira dan diolah lebih lanjut menjadi gula antara lain: aren Arenga pinata, siwalan Borasus sp, sagu Caryota urens dan nipah Nypa fruticans. Proses penyadapan nira dan pengolahan nira menjadi gula juga melalui tahapan yang 10 sama dengan proses pembuatan gula kelapa. Perbedaannya terutama terletak pada tekstur dan rasa gula yang dihasilkan. Gula aren mempunyai warna yang lebih gelap dan tekstur lebih keras. Beberapa istilah untuk gula aren antara lain: Sugar Palm, Arenga palm, Areng palm, Black fiber palm, Gomuti Palm, Aren,Enau,Irok, dan Kaong. Di Indonesia dikenal dengan nama gula aren, sedangkan di India dikenal dengan nama “gur”. Gula nipah, berasal dari nira tanaman nipah yang biasa tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang surut dekat tepi laut dengan salinitas yang tinggi, sehingga mengakibatkan rasa gula menjadi sedikit asin. Nira nipah selain diolah menjadi gula juga dapat difermentasi untuk menghasilkan tuak atau tuba dalam bahasa Philipina dan fermentasi lanjut akan dihasilkan cuka. Di Malaysia, nira nipah banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku etanol Heyne 1987. Secara umum proses pengolahan gula palmae adalah sama. Tahap pertama pengolahan gula kelapa adalah pemurnian nira. Di dalam nira terkandung komponen-komponen seperti: air, gula, protein, lemak, mineral, dan juga vitamin C, serta kotoran impurities Brekhman dan Nestrenko 1983. Adanya kotoran impurities dalam nira mengakibatkan kristalisasi sukrosagula yang terdapat dalam nira menjadi terhambat, sehingga tekstur gula menjadi lembek Tjahjaningsih 1991. Oleh karena itu, semaksimal mungkin kotoran- kotoran yang terdapat dalam nira harus dihilangkan. Pemurnian nira kelapa terdiri atas dua tahap, yaitu pemisahan kotoran yang tidak larut seperti bunga kelapa, serangga, dan lain-lain dengan cara penyaringan dan tahap yang kedua adalah memisahkan nira jernih dari impurities yang berupa koloid yang telah bereaksi dengan kapurkalsium membentuk endapan. Menurut Brekhman dan Nestrenko 1983, mutu gula kelapa ditentukan oleh bentuk, warna dan kekerasannya tekstur. Kekerasan tekstur gula kelapa terutama ditentukan oleh gula reduksi, pektin, dan protein yang terkandung dalam nira. Komponen-komponen seperti karbohidrat dan lemak juga merupakan impurities yang berpengaruh pada tekstur gula yang dihasilkan. Makin besar kadarnya, tekstur gula yang dihasilkan makin lembek. Untuk menghilangkan senyawa- senyawa impurities tersebut dapat dilakukan dengan pemberian air kapur. Kalsium dalam larutan kapur akan bereaksi dengan senyawa impurities membentuk endapan, sehingga memudahkan dalam proses pemurnian nira. Adanya impurities dalam nira akan menghalangi kristalisasi sukrosa, yang akan berpengaruh terhadap kekerasan tekstur gula yang dihasilkan. Hal lain yang penting dalam pemasakan gula kelapa adalah penentuan suhu akhir pemasakan end point. Menurut Tjahjaningsih 1991 suhu akhir pemasakan pengolahan gula kelapa gula cetak berkisar 117 o C. Sebelum tercapai end point, nira yang dipanaskan akan mengalami pembuihan foaming. Untuk penurunan buih defoaming, ditambahkan minyak sayur antara 10-20 ml setiap 10 liter nira. Penggunaan minyak yang mengandung karoten pro vitamin A, misalnya CPO atau RPO untuk penurunan buih, akan meningkatkan mutu fungsional gula kelapa yang dihasilkan. Diagram alir pengembangan produk gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO disajikan pada Gambar 1. Mutu gula kelapa bervariasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, teknik pengolahan dan pengalaman perajin gula kelapa itu sendiri dan kualitas nira yang digunakan. Nira yang telah mengalami kerusakan, apabila diolah 11 menjadi gula akan menghasilkan produk dengan kualitas yang rendah, terutama teksturnya yang lembek, bahkan bila tingkat kerusakan niranya tinggi, gula yang dihasilkan tidak dapat dicetak. Selain itu juga kadar gula reduksinya tinggi. Berikut ini adalah standar mutu gula kelapa menurut SNI-01-3743-1995 Tabel 1. Tabel 1 Standar mutu gula kelapa menurut SNI-01-3743-1995 No Kriteria uji Satuan Gula Cetak Bentuk Normal Warna Kuning kecoklatan sampai coklat Rasa Normal dan khas Bahan tak larut air bb Maks 1 Air bb Maks 10 Abu bb Maks 2 Gula pereduksi bb Maks 10. Jmlh gula sbg sukrosa Mineral: bb Min 77 Timbal mgkg Maks 2 Tembaga mgkg Maks 10 Seng mg kg Maks 40 Timah mgkg Maks 40 Air raksa mgkg Maks 0.03 Nira kelapa Penyaringan Pemasakan nira Fase Jenuh 110 C Penambahan minyak sayur Modifikasi dengan CPORPO Penurunan buih defoaming End Point 118 C – 119 C Tahap Solidifikasi Pencetakan Pengemasan Gambar 1 Diagram alir pengembangan produk gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO 12 Potensi Minyak Sawit Merah Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini mencapai 5,5 juta hektar dan lahannya tersebar di 16 propinsi dan 52 kabupaten. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia memproduksi Crude Palm Oil CPO atau minyak kelapa sawit kasar sebanyak minimal 16 juta ton per tahun. Kapasitas produksi yang besar ini menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit kedua setelah Malaysia GAPKI 2007. Indonesia dan Malaysia merupakan dua produsen CPO terbesar di dunia. Namun sejak tahun 2003-2004, Indonesia menjadi penghasil kelapa sawit terbesar pertama mengungguli Malaysia. Produksi kelapa sawit Malaysia meningkat dari 2,57 juta ton di tahun 1980-1981 menjadi 18.50 juta ton pada tahun 2009-2010, sedangkan Indonesia mencatat laju kenaikan produksi yang lebih tinggi dibanding Malaysia, yaitu meningkat dari 0,75 juta ton tahun 1980-1981 menjadi 20,75 juta ton tahun 2009-2010, atau dengan laju pertumbuhan tahunan annual growth rate 12,80 KARVY 2010. Gambar 2 Produksi CPO di Malaysia 1980 -2010 Gambar 3 Produksi CPO di Indonesia 1980 -2010 13 Crude palm oil CPO berasal dari mesokarp buah sawit Elaeis guineensis, diperoleh dari proses pengepresan, netralisasi dan purifikasi mesokarp buah sawit merah dan masih mengandung gum Gambar 4 Gambar 4 a Buah Sawit, b tandan buah segar TBS dan c CPO, RPO Melalui proses degumming dan netralisasi CPO, akan dihasilkan red palm oil RPO Morad et al. 2006. CPO akan mengalami proses yang intensif sebelum sampai ke konsumen antara lain adsorption bleaching untuk menghasilkan refined, bleached and deodorized palm oil RBD palm oil. Proses fraksinasi akan memisahkan fraksi cair olein atau super olein yang umum digunakan untuk minyak goreng dari fraksi padat stearin yang umum digunakan untuk shortening dan margarin Che Man et al. 1999. Secara alamiah minyak sawit mengandung berbagai zat gizi yang sangat penting untuk peningkatan kesehatan, seperti asam lemak, karotenoid, tokoferol, ubiquinon dan sterol. Crude Palm Oil mengandung 50 persen asam lemak jenuh dan 50 persen asam lemak tak jenuh. Trigliserida fraksi olein adalah C 50 42,58 persen dan C 52 45,66 persen dengan bilangan iodin sekitar 56. Fraksi stearin terdiri dari C 48 22,3 persen, C 50 40 persen dan C 52 29 persen dengan bilangan iodin sekitar 44 Tan et al. 1981. Menurut Aziz 2006, asam lemak penyusun sawit merah adalah: asam lemak tak jenuh, yaitu asam oleat 40, asam linoleat 10 persen, asam linolenat 0,4 persen dan asam lemak jenuh , yaitu asam palmitat 44 persen, asam stearat 4,6 persen, asam mirystat 1,1 persen dan asam laurat 0,2 persen. Kandungan karoten di dalam minyak sawit adalah yang tertinggi dibandingkan dengan tanaman lain, yaitu berkisar antara 600 – 1000 ppm Naibaho 1990 dan tokoferol serta tokotrienol vitamin E berkisar antara 800- 1000 ppm Nasaretman 1999. Tokotrienol merupakan bentuk vitamin E yang sangat kuat yang berperan sebagai super-antioksidan Aziz 2006. Menurut Kamsiah et al. 2001, komposisi CPO berbeda dengan RBD refined, bleached and deodorized palm oil. CPO mengandung karoten konsentrasi tinggi dengan 60 – 70 persen adalah -karoten dan 30 – 35 persen nya adalah α- karoten. Refined palm oil golden oil, secara normal mengandung vitamin E tinggi, tetapi tidak dengan karoten. Berbeda dengan RPO minyak sawit merah yang merupakan non bleached palm oil, mengandung sekitar 400 ppm karoten dan700 ppm vitamin E. a b c 14 Tabel 2 Komposisi asam lemak CPO, RBD palm oil, RBD palm olein, RBD palm stearin dan Super olein Che Man et al. 1999 Asam Lemak Komposisi asam lemak CPO RBD palm oil RBD olein RBD stearin Superolein Jenuh Miristat 0.93 0.92 0.89 1.21 0.81 Palmitat 45.48 46.30 41.54 61.21 38.47 Stearat 3.49 3.52 3.51 4.00 3.14 Total 49.91 50.74 45.94 66.42 42.42 Tak jenuh Oleat 40.17 39.58 43.63 27.54 45.77 Linoleat 9.92 9.68 10.43 6.05 11.81 Total 50.09 49.26 54.06 33.59 57.58 Manorama et al. 1999 melaporkan bahwa konsumsi RPO menurunkan TC total cholesterol, LDL-cholesterol, TG triasil gliserol dan meningkatkan HDL- cholesterol. Lebih lanjut Kamsiah et al. 2001, melaporkan bahwa konsumsi RPO dalam keadaan segar fresh maupun dipanaskan heating, tidak berpengaruh terhadap profil lipid dan MDA serum, karena adanya karoten dan vitamin E yang mempunyai kemampuan antioksidan dan berperan sebagai antiatherogenic. Warna merah pada CPO maupun RPO karena adanya karotenoid yang cukup tinggi karoten, lycopen dan xanthophylls, dan rata-rata 13-15 kali lebih tinggi dari karoten dalam wortel serta 40 sampai 50 kali dari karoten dalam tomat. Komposisi karotenoid dalam sawit merah disajikan dalam Tabel 3. Gambar 5 Kandungan vitamin E pada beberapa jenis minyak Aziz 2006 15 Tabel 3 Komposisi karotenoid dalam sawit merah Karotenoid mgkg dalam RPO α- karoten 36,2 500 - 700 - karoten 54,4 Lycopen 3,8 Xanthophylls 2,2 Sebagai bahan baku untuk pembuatan minyak goreng, minyak sawit mengalami tahapan proses pemucatan atau bleaching, yang akan merusak dan menghilangkan komponen gizi dan biologi dalam minyak sawit. Jika produksi minyak sawit di Indonesia mencapai minimal 16 juta ton per tahun, sedangkan kandungan karoten dalam minyak sawit mencapai 600 ppm atau 600 mgkg minyak, maka bisa dibayangkan jumlah karoten yang dihancurkan setiap tahunnya sangatlah besar. Oleh karena itu perlu suatu terobosan baru untuk memanfaatkan potensi alam Indonesia pro vitamin A dalam minyak sawit, yang sebenarnya sangat diperlukan guna menunjang kesehatan masyarakat. Absorbsi dan Metabolisme Vitamin A Vitamin A terikat dengan komponen makanan yang lain, dimana retinol terikat dengan ester asam lemak umumnya dalam bentuk retinyl palmitate, juga membentuk kompleks dengan protein. Kompleks protein karotenoid maupun protein retinyl ester, terlebih dahulu dicerna oleh protease lambung yaitu pepsin. Di dalam duodenum pelepasan protein dari karotenoid dan retinyl ester dilanjutkan oleh protease duodenum. Hasil kerja enzim pankreatik hidrolase dan esterase akan menghasilkan karotenoid dan retinol bebas, yang selanjut bergabung dengan garam empedu dan fraksi lemak lainnya membentuk misel yang selanjutnya melewati membrane brush border microvilli masuk ke dalam enterocyte Gropper et al.2009. Menurut Bender 2003, retinyl ester dihidrolisis oleh lipase pankreas dan karboksil ester lipase dalam misel lemak di dalam lumen usus halus, dan juga oleh satu atau lebih retinyl ester hidrolase di dalam membrane intestinal mucosal brush border. Pada level intake fisiologis, uptake retinol kedalam enterocyte adalah dengan difusi terfasilitasi dari misel lipid. Ketika protein transport di dalam sel intestinal mucosal brusborder dalam keadaan jenuh, juga terjadi uptake pasif dari retinol. Proses pencernaan dan absorbsi vitamin A dan karotenoid disajikan pada Gambar 6. Sekitar 70 – 90 persen dietary retinol diabsorbsi. Sekitar 90 persen vitamin A tubuh disimpan sebagai retinyl ester di dalam hati, dan hati mempunyai kapasitas untuk menyimpan cukup vitamin A untuk beberapa bulan, dengan kapasitas penyimpanan lebih besar pada orang dewasa dibandingkan pada anak- anak Semba 2002. 16 Gambar 6 Pencernaan dan absorbsi karotenoid dan vitamin A dan reesterifikasi retinol di dalam sel intestinal Gropper et al. 2009 Keterangan : 1. Cellular retinol binding protein CRBP II terikat baik pada retinol maupun retinal di dalam sel intestinal 2. Retinal yang terikat pada CRBP II dikonversi menjadi retinol dalam bentuk CRBP II retinol 3. Lechitin retinol acyl transferase LRAT mengeserifikasi asam lemak asam palmitat pada CRBP II retinol membentuk CRBPII-retinyl palmitat. 4. Retinyl ester bergabung bersama dengan fosfolipid, triasil gliserol, kolesterol ester, carotenoid dan apoprotein membentuk kilomikron. 5. Kilomikron meninggalkan sel intestinal dan masuk ke dalam sistem limfatik. 6. Asam retinoat dapat secara langsung masuk ke dalam aliran darah dan akan terikat pada albumin untuk ditransport ke hati. Di dalam enterocyte, retinol terikat pada cellular retinol binding protein CRBP II dan diesterifikasi oleh lecithin retinol acyltransferase LRAT yang mempergunakan phosphatidilcholin sebagai donor asam lemak, terutama menghasilkan palmitat, meskipun sejumlah kecil stearat dan oleat juga dibentuk. Pada unphysiologically level retinol tinggi, ketika CRBP II dalam keadaan jenuh, acyl CoA:retinol acyltransferase ARAT mengesterifikasi retinol bebas yang terakumulasi di dalam membrane interselluler. Selanjutnya retinyl ester masuk ke dalam sirkulasi lymphatic dan kemudian ke aliran darah di dalam kilomikron, bersama dengan dietary lipid dan karotenoid Harrison and Hussain, 2001. Sejumlah kecil dietary retinol dioksidasi menjadi asam retinoat, yang kemudian diabsorbsi kedalam sirkulasi portal dan terikat pada albumin serum. Beberapa retinyl ester juga ditransfer ke dalam sirkulasi portal. Pasien dengan abetalipoproteinemia, yang mana tidak punya kemampuan untuk mensintesis kilomikron, namun demikian dapat menjaga status vitamin A yang memadai asalkan dengan intake retinol yang relative tinggi Bender, 2003. Bentuk vitamin A yang dapat diutilisasi terbaik adalah ester retinol dalam larutan minyak. Ester masuk secara utuh melewati mulut dan lambung, dan dihidrolisis menjadi retinol pada intestin bagian atas, dan diabsorbsi sebagai misel 17 ke dalam mukosa intestinal. Retinol selanjutnya tersesterifikasi dengan asam lemak rantai panjang dan terutama dengan asam palmitat, bergabung menjadi kilomikron dan disekresikan ke dalam limpa. Trigliserida dalam kilomikron dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak oleh lipoprotein lipase, dan sisanya yaitu kilomikron remnant diambil oleh hati dan sebagian kecil oleh jaringan lain. Di dalam hati, retinol mengalami reesterifikasi dan disimpan untuk digunakan selanjutnya. Pada kondisi diet normal, preformed vitamin A diserap dengan baik dan disimpan secara efisien. Preformed vitamin A terutama bersumber dari pangan hewani Olson 1999. Vitamin A mengerahkan efeknya melalui reseptor asam retinoat dan reseptor retinoid yang dijumpai dalam nukleus sel Benade, 1999. Di dalam sitoplasma, retinol dikonversi menjadi all-trans retinoic acid dan 9-cis-retinoic acid. Retinoic acid mempengaruhi ekspresi gen melalui reseptor spesifik. Retinoic acid receptor RARs berperan sebagai aktivator transkripsi untuk beberapa target gene yang spesifik. RAR diekspresikan sebagai beberapa isoform yaitu α, , dan . dan juga retinoid–x-reseptor RXR, yaitu RXR α, , dan . RARs dan RXRs membentuk heterodimer yang terikat pada DNA dan mengontrol ekspresi gene. Asam retinoat retinoic acid adalah ligand untuk RARs, sedangkan 9-cis retinoic acid adalah ligand untuk RARs dan RXRs. Sequens DNA yang berinteraksi dengan RARs maupun RXRs dikenal sebagai retinoic acid response elemen RARE Gambar 7. Vitamin A memodulasi banyak aspek yang berbeda dari fungsi imun, meliputi komponen imun non spesifik innate contoh: fagositosis dan pemeliharaan permukaan mucosa, dan komponen imun spesifikadaptive yaitu pembangunan respon antibodi. Gambar 7 Model hipotesis aksi retinoic acid pada ekspresi gene Gropper et al. 2009 18 Jaringan dapat mengambil retinyl ester dari kilomikron, tetapi kebanyakan di dalam kilomikron remnant yang diambil ke dalam hati melalui endositosis. Retinyl ester dihidrolisis di dalam membran sel hepatocyt, dan retinol bebas ditransfer ke reticulum endoplasmic kasar, dimana akan terikat pada apo-RBP. Holo RBP selanjutnya akan bergerak melalui RE halus menuju ke Golgi dan disekresikan sebagai komplek 1:1 dengan thyroid hormone binding protein yaitu trasthyretin. Studi replesi vitamin A pada hewan menunjukkan bahwa kebanyakan retinol ditransfer dari hepatocyt ke sel-sel perisinusoidal stellate dari hati. Selanjutnya diesterifikasi oleh LRAT menjadi retinyl palmitat 76-80, dengan sejumlah kecil stearat 9-12, oleat 5-7 dan linoleat 3-4. Sel-sel stellate mengandung vitamin A hepatik 90-95 sebagai droplet lemak cytoplasmic yang terdiri sekitar 12-65 retinyl ester. Meskipun simpanan utama vitamin A adalah di dalam hati 50-80 dari total kandungan tubuh, jaringan adipose mengandung sekitar 15-20 dari total kandungan vitamin A tubuh. Kebanyakan dari vitamin A tersebut diambil dari kilomikron, retinyl ester dihidrolisis oleh lipoprotein lipase, tetapi sebagian vitamin A juga diambil dari sirkulasi vitamin yang terikat pada RBP. Pelepasan retinol dari jaringan adipose adalah melalui hidrolisis retinyl ester simpanan, yang dikatalisis oleh cAMP-stimulated hormone-sensitive lipase, terikat pada RBP, yang disintesis oleh jaringan adipose. Konsentrasi vitamin A plasma dijaga relatif konstan melalui kontrol homeostatic interchange vitamin A antara plasma, liver dan jaringan ekstra hepatik. Absorbsi dan Metabolisme Karotenoid. Vitamin A juga dapat dibentuk dari pigmen tanaman yaitu karotenoid. Beberapa sumber karotenoid yaitu wortel, ubi jalar, buah-buahan dan sayuran daun yang berwarna hijau. Kandungan karotenoid dalam buah dan sayuran dipengaruhi antara lain oleh: varietas tanaman, tingkat kematangan, iklim, penanganan pasca panen dan prosesing. Karotenoid yang mempunyai aktivitas vitamin A provitamin A, yaituμ -karoten, α- karoten dan -kriptosantin. Struktur karotenoid disajikan pada Gambar 8. Karena strukturnya yang sangat tidak jenuh, karotenoid mudah mengalami isomerisasi dari bentuk trans- menjadi cis- isomer serta mengalami oksidasi baik ensimatis maupun non enzimatis yang mengakibatkan terjadi penurunanhilangnya warna dan aktivitas provitamin A. Gambar 8 Struktur α- dan - karoten Britton et al. 2009 19 Karotenoid mempunyai bioavailabilitas yang lebih rendah dari pada preformed vitamin A. Hal tersebut karena: 1 karotenoid terikat secara kuat di dalam matriks sayuran atau buah-buahan, dan harus dilepaskan melalui proses pencernaan, 2 penyerapannya kedalam sel intestin lebih banyak persyaratannya dari pada vitamin A, 3 harus di lepaskan secara ensimatis menjadi vitamin A di dalam sel intestin atau sel di jaringan lain, 4 disimpan sebagai vitamin A atau sebagai karotenoid itu sendiri di dalam berbagai jaringan. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas karotenoid antara lain: 1 Spesies dari karotenoid ; 2 Linkage ikatan di tingkat molekuler; 3 Amount jumlah karotenoid dalam makanan; 4 Matriks dimana karotenoid terikat; 5Absorbtion modifiers factors faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan, seperti lemak. ; 6 Nutrient status of the host status gizi inang. Aktivitas ensim dioksigenase yang berperan dalam biokonversi karotenoid ke vitamin A meningkat ketika status vitamin A rendah; 7 Faktor genetik ; 8 Host related factorsfaktor-faktor yang berhubungan dengan inang. Diantaranya adalah adanya parasit intestinal dan athropic gastritis, yaitu kondisi yang umum pada manula dimana sekresi asam lambung sedikit atau tidak ada; dan 9 Interaksi diantara faktor-faktor tersebut. Karotenoid diabsorbsi secara pasif dan terlarut dalam misel lemaklipid. Beberapa studi memperkirakan ketersediaan biologis dan absorbsi dietary carotene sekitar 5-60 persen, tergantung pada alami dari pangan apakah dimasak atau mentah dan jumlah lemak dalam makanan. Umumnya, kebanyakan karoten dalam pangan berada dalam bentuk kristal yang sulit larut Bender 2003. Menurut Semba β00β, karotenoid provitamin A seperti -karoten kemungkinan dikonversi menjadi retinaldehyde melalui pemecahan oleh carotenoid- 15,15’- dioxygenase symetric cleavage atau melalui jalur pemecahan asymetrical yang keduanya terjadi di dalam enterocyte. Pemecahan simetris -karoten pada ikatan rangkap 15,15’ menghasilkan dua molekul retinaldehida, sedangkan karotenoid provitamin A yang lain hanya menghasilkan satu molekul retinaldehida. Kebanyakan retinaldehida yang dibentuk dari karotenoid akan terikat pada cellular retinol binding protein II CRBP-II dan secara reversibel direduksi menjadi retinol oleh retinaldehyde reductase. Kompleks retinol-CRBP-II selanjutnya digunakan sebagai substrat untuk esterifikasi Ball 2006. Karotenoid remnant tidak terakumulasi dalam hati, tetapi dilepaskan kedalam sirkulasi sebagai komponen very low density lipoprotein VLDL yang selanjutnya didelipidasi menjadi LDL. Pada fasted state, LDL merupakan carier utama karotenoid non polar. Karotenoid dilepaskan dari LDL dan diambil oleh beberapa jaringan terutama adiposa dan disimpan. Menurut Benade 1999, beberapa faktor yang mempengaruhi konve rsi - karoten dan karotenoid provitamin A yang lain adalah: 1 faktor yang mempengaruhi aktivitas ensim pemecah yang utama yaitu 15,15’-dioxygenase, dan 2 faktor yang mempengaruhi absorbsi karotenoid provitamin A dalam saluran pencernaan. -karoten dioxygenase meningkat aktivitasnya dengan adanya intake yang tinggi dari lemak terutama lemak tak jenuh ganda, protein dan -karoten. Aktivitasnya akan meningkat dengan baik ketika status vitamin A buruk. Terkait dengan absorbsi, umumnya karotenoid hidrokarbon agak baik diabsorbsi sebagai xanthophyll dan apo-carotenoid. All-trans isomer diabsorbsi lebih baik dari pada cis-isomer. Ketika berada dalam saluran pencernaan 20 bertendensi untuk berkompetesi dengan yang lainnya. -karoten menghambat absorbsi lutein dan canthaxanthin, sekurang-kurangnya ketika bersama-sama berada dalam jumlah besar, tetapi akan mempertinggi absorbsi lycopene. Hal-hal yang mempengaruhi absorbsi dan utilisasi karotenoid sebagai sumber vitamin A antara lain: jumlah yang di intik, struktur karotenoid, kompetisi diantara karotenoid, keadaan fisik dari karotenoid, dimana karotenoid dalam minyak atau berupa beadlets adalah sangat mudah diabsorbsi, sedangkan yang terdapat dalam sayuran maupun buah-buahan lebih sulit diabsorbsi. Adanya lemak dan antioksidan dalam saluran pencernaan akan memperbaiki stabilitas dan absorbsi - karoten, sedangkan adanya serat dan oksidan akan berdampak sebaliknya. Faktor lain yang menghambat absorbsi karotenoid adalah sindroma malabsorbsi lemak yang akan menurunkan absorbsi dan adanya infeksi parasit pada saluran pencernaan yang akan menurunkan uptake karotenoid. Faktor-faktor genetik secara nyata mempengaruhi semua aspek metabolisme karotenoid dan vitamin A Olson 1999. Lebih lanjut dikatakan bahwa ratio konv ersi maksimum -karoten dalam minyak ke vitamin A in vivo adalah 2:1. Menurut Gropper et al. 2009, karotenoid diserap sekitar 5 persen untuk yang berasal dari sayuran atau buah-buahan yang tidak mengalami pemanasan, dan sekitar 60 persen jika terdapat cukup minyaklemak atau yang berasal dari suplemen. Di dalam enterocyte, -karoten akan diubah menjadi 2 retinal dan selanjutnya dikonversi menjadi retinol dengan bantuan retinal reduktase retinal oksidase. Didalam intestin, sebagian retinal juga dioksidasi menjadi asam retinoat retinoic acid, dan sebagian asam retinoat dikonjugasi menjadi retinoyl β-glucuronide RAG. RAG dan retinoic acid masuk ke sirkulasi melalui vena porta sedangkan retinol melalui sistem limfatik. Menurut Benade 1999, untuk mendapatkan jumlah kontribusi dari karotenoid, kandungan total vitamin A pangan diekspresikan sebagai microgram dari retinol equivalen, yaitu jumlah yang disediakan oleh retinoid dan karotenoid. Karena absorbsi karoten yang relatif rendah dan metabolism yang tidak lengkap untuk menghasi lkan retinol, maka 6 g -karoten adalah 1 g retinol equivalen, yang merupakan ras io molar dari γ,β mol -karoten equivalen terhadap 1 mol retinol. Β-karoten diabsorbsi lebih baik pada susu dibandingkan dari makanan lain. Di dalam susu, β g -karoten adalah 1 g retinol equivalen 1.07 mol equivalen terhadap 1 mol retinol. Provitamin A karotenoid yang lain menghasilkan setengah retinol dari beta karoten dan 1β g dari komponen tersebut = 1 g retinol equivalen. Pada basis ini, 1 IU vitamin A activity = 1.8 g - karoten atau 3. 6 g dari karotenoid provitamin A yang lain. USCanadian Dietary Reference memperkenalkan istilah retinol activity equivalent RAE untuk mendapatkan jumlah dari incomplete absorbs and metabolism dari k arotenoid. 1 RAE = 1 g trans retinol; 1β g -karoten dan 24 g α-karoten atau - cryptoxanthin. Pada basis tersebut 1 IU vitamin A activity = 3. 6 g -karoten atau 7.β g dari karotenoid provitamin A yang lain. Karotenoid berbeda dengan vitamin A yaitu memiliki efek samping yang minimal dan tidak mengakibatkan keracunan bila dikonsumsi dalam jumlah berlebih. -karoten dicantumkan pada generally recognized as safe GRAS tercantum dengan FDA untuk digunakan sebagai suplemen gizi dan diet, juga untuk pewarna makanan, kosmetik dan obat. Asupan oleh dewasa hingga 180 mg -karoten setiap hari selama beberapa bulan menunjukkan tidak ada efek samping 21 yang serius. Hypercarotenosis dapat terjadi pada individu yang mengkonsumsi sekitar γ0 mg atau lebih -karoten per hari yang berakibat pigmentasi kulit menjadi kekuningan, dan kondisi tersebut akan menghilang ketika karotenoid ditiadakan dari diet Gropper et al. 2009. Interaksi Vitamin A dan Karotenoid dengan Zat Gizi yang Lain Vitamin A dan karotenoid dapat berinteraksi dengan vitamin E dan K. Asupan vitamin A yang berlebihan dapat mengganggu absorbsi vitamin K, sedangkan intake -karoten yang tinggi dapat menurunkan konsentrasi vitamin E plasma. Menurut Gropper et al. β00λ, adanya vitamin E dapat melindungi - karoten dan produknya dari oksidasi. Akan tetapi, dosis vitamin E yang tinggi dapat menghambat absorbsi -karoten dan konversinya menjadi retinol di dalam usus halus. Protein dan zink berpengaruh terhadap status dan transport vitamin A. Intake protein yang tidak memadai dapat menurunkan aktivitas ensim carotenoid dioxygenase yang berperan memecah -karoten. Seluruh metabolisme vitamin A berhubungan erat dengan status protein dan zinc karena transport dan penggunaan vitamin A tergantung pada beberapa protein pengikat vitamin A, dan zinc diperlukan untuk sintesis protein. Gangguan dalam sintesis protein, termasuk protein pengikat retinol dan transthyetin, akan mengurangi mobilisasi retinol dari hati Gropper et al. 2009. Status zat besi dengan vitamin A juga berhubungan. Defisiensi vitamin A menurunkan penyatuan zat besi ke dalam sel darah merah dan meminimalkan mobilisasi zat besi dari simpanan sehingga defisiensi vitamin A dapat dihubungkan dengan microcytic iron deficiency anemia. Vitamin A dan Imunitas Defisiensi vitamin A merupakan masalah gizi kesehatan masyarakat yang serius dan merupakan penyebab paling penting terjadinya kebutaan pada anak- anak di negara berkembang. Defisiensi vitamin A marginal merupakan faktor yang signifikan yang mengakibatkan anak anak terkena infeksi dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas di negara berkembang, meskipun dinegara maju vitamin A bersama dengan zat besi adalah zat gizi yang sering disuplai dalam jumlah yang marginal. Pada kenyataannya, defisiensi vitamin A pertama disebabkan karena defisiensi vitamin, dan kedua, defisiensi vitamin A dihasilkan dari KEP, karena terganggunya sintesis RBP yang diperlukan untuk transport vitamin dari hati. Bentuk aktif fisiologis yang utama dari vitamin A adalah retinaldehyde dan asam retinoat, keduanya berasal dari retinol. Fungsi retinaldehyde dalam sistem visual penglihatan sebagai gugus prostetik dari opsin yang berperan sebagai sinyal transducers antara penerimaan cahaya di dalam retina dan inisisasi impuls syaraf. Asam retinoat memodulasi ekspresi gene dan diferensiasi jaringan dan bekerja melalui jalur reseptor nuclear. 22 Secara in vitro dan pengujian pada hewan coba, vitamin A mempunyai peran anti kanker melalui perannya dalam memodulasi ekspresi gene dan diferensiasi jaringan. Hal tersebut akan mengganggu inisisasi dan pertumbuhan beberapa tumor. Namun hal tersebut hanya menunjukkan efek pada level toksik, dan sejumlah analog sintetik yang dikenal dengan retinoid telah dikembangkan untuk digunakan sebagai obat antikanker dan dermatologi. Menurut Villamor 2000, defisiensi vitamin A mengganggu integritas epithelial dan systemic immunity, dan meningkatkan insiden dan beratnya infeksi selama masa anak-anak. Suplementasi vitamin A pada anak-anak pra sekolah diketahui dapat menurunkan resiko kematian dan kesakitan dari beberapa bentuk infeksi seperti virus HIV, campak measles, diare dan malaria. Efek pada morbiditas dari campak measles berhubungan dengan peningkatan produksi antibodi dan proliferasi limfosit. Menurut Rumore 1993, pada penderita campak penggunaan vitamin A tubuh meningkat kemungkinan karena destruksi epithelial permukaan berlangsung cepat. Kerusakan imun yang diakibatkan dari defisiensi vitamin A diakibatkan karena penurunan glikoprotein membrane limfosit, yang memberikan efek merugikan pada fungsi sel T helper, efek pada jaringan epithel dan beberapa mekanisme lainnya. Penelitian pada binatang dan cell lines menunjukkan bahwa vitamin A dan retinoid yang berhubungan, memainkan peranan penting didalam imunitas, meliputi ekspresi keratin dan mucin, lymphopoiesis, apoptosis, ekspresi cytokine, produksi antibodi dan fungsi dari neutrofil, sel NK, monosit atau makrofag, limfosit T dan limfosit B Semba 1999. -karoten yang merupakan karotenoid provitamin A diketahui dapat menstimulir dan memperbaiki proses sistem imun, yaitu dapat meningkatkan jumlah sel-sel imun seperti seperti sel limfosit B dan T dan juga mempertinggi aktifitas sel NK. Sel T memainkan peranan sangat penting dalam menentukan status imun dan diproduksi di dalam kelenjar thymus yang sensitif terhadap kerusakan karena r adikal bebas. Selain itu, -karoten melindungi makrofag yang merupakan sel darah putih yang akan menelan dan menghancurkan benda asing antigen serta memfasilitasi komunikasi antara sel imum dan membuat aksi stimulatory dari interferon pada sistem imun lebih lebih kuat Bookman 2011. Respon Imun Berdasarkan responsnya, secara garis besar system pertahanan tubuh terbagi menjadi dua, yaitu respon imun non-spesifik innate dan respon imun spesifik adaptif. Respon imun non-spesifik mencegah invasi benda asing melalui kulit, mukosa dan permukaan tubuh. Respon imun spesifik adaptif terdiri dari pertahanan humoral dan seluler. Respon imun sangat tergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen yang terdapat pada patogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan Roitt 2008. Respon imun adalah sistem interaksi kompleks yang menyesuaikan inang host untuk membedakan substansi self dan non-self, kemudian menghancurkan atau menghilangkan invasi organism, dan substansi biologis lain yang berbahaya. 23 Respon Imun Non-Spesifik Apabila suatu antigen dapat masuk ke dalam jaringan tubuh, pertama kali akan dilawan oleh sistem imun non-spesifik, yang merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan antigen yang masuk dan dapat memberikan respon langsung. Pertahanan non-spesifik tidak ditujukan terhadap mikroorganisma tertentu. Pertahanan tersebut telah ada dalam tubuh dan siap berfungsi sejak lahir, yaitu kulit dan mukosa. Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi seperti epithel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada permukaan epitel; berbagai jenis protein dalam darah termasuk diantaranya komponen sistem komplemen, mediator inflamasi dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit sel polymorphonuclear dan makrofag dan sel natural killer NK Kresno 2001. Upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen dalam respon imun non-spesifik adalah melalui proses fagositosis dan inflamasi. Pada proses fagositosis, maka antigen yang masuk dihancurkan oleh sel leukosit fagosit yang berperan yaitu makrofag, neutrofil dan monosit. Fagositosis terjadi bila antigen melekat pada permukaan sel fagosit. Untuk itu diperlukan bantuan faktor kemotaktik atau leukotaktik yang dilepaskan oleh antigen, sel fagosit maupun komplemen, yang akan menarik sel fagosit menuju antigen sasaran. Sebelum terjadi fagositosis, antigen juga akan mengalami opsonisasi pelapisan oleh immunoglobulin atau komplemen, agar lebih mudah ditangkap oleh sel fagosit. Selanjutnya antigen masuk ke dalam sel fagosit dengan cara endositosis, dan oleh proses pembentukan fagosom, antigen terperangkap dalam kantung fagosom seperti ditelan, dan selanjutnya dihancurkan baik oleh proses oksidasi- reduksi maupun derajat keasaman yang ada dalam fagosit, penghancuran oleh lisozim dan gangguan metabolism bakteri. Pada manifestasi respon imun nonspesifik melalui reaksi inflamasi, maka sel-sel imun yang tersebar di seluruh tubuh dan produk-produk yang dihasilkannya dipusatkan di lokasi infeksi. Selama respon berlangsung, terjadi 3 proses penting, yaitu: peningkatan aliran darah di area infeksi, peningkatan permeabilitas dinding vascular yang mengakibatkan eksudasi protein plasma dan cairan, dan migrasi leukosit keluar vascular Kresno 2001. Dalam sistem pertahanan fisikmekanik, kulit, selaput lendir, silia, batuk dan bersin merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Lapisan epidermis kulit sehat dan mukosa yang utuh tidak dapat ditembus oleh sebagian mikroba. Sebaliknya kulit yang rusak akibat luka bakar dan selaput lendir yang rusak akibat asap rokok akan meningkatkan resiko infeksi Baratawidjaja 2006. Dalam pertahanan kimiawi, beberapa mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh melalui kelenjar sebaseus dan folikel rambut. Adanya pH asam, keringat dan sekresi sebaseus, dan berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunyai efek denaturasi terhadap protein membrane sel sehingga dapat mencegah infeksi yang terjadi melalui kulit. Zat-zat yang berperan dalam pertahanan ini antara lain antibodi, komplemen, interferon dan C-reactive protein CRP. 24 Respon Imun Spesifik Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Namun umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen, dan fagosit dengan sel T dan makrofag. Antibodi akan muncul bila ada antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing baginya dan akan terjadi sensistisasi sel-sel imun. Bila sel-sel imun yang sudah tersensitisasi terpapar antigen yang sama, maka akan dapat dikenal dengan lebih cepat untuk selanjutnya dihancurkan. Limfosit merupakan inti dalam respon imun spesifik karena sel-sel ini dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstrasellular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah Kresno 2001. Secara garis besar, limfosit digolongkan dalam 2 populasi yaitu: limfosit T yang berfungsi dalam respon imun selular dan limfosit B yang berfungsi dalam respon imun humoral. Meskipun merupakan respon imun spesifik, namun respon imun yang terjadi merupakan interaksi antara limfosit dan fagosit. Respon imun spesifik dimulai dengan aktifitas makrofag atau antigen precenting cell APC yang memproses antigen sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi dengan sel-sel sistem imun spesifik. Adanya rangsangan tersebut mengakibatkan sel-sel imun berproliferasi dan berdiferensiasi sehingga memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen Baratawidjaja 2006. Dalam mengenali antigen secara spesifik, ada 3 jenis molekul pengikat antigen yang terlibat, yaitu: reseptor antigen pada permukaan sel B immunoglobulin permukaan, sIg, reseptor antigen pada sel T TCR dan molekul major histocompatibility complex MHC kelas I dan II Kresno 2001. Secara garis besar mekanisme sistem imun spesifik dibedakan atas 3 macam, yaitu pertahananrespon imun selular, humoral dan interaksi antara respon imun selular dan humoral Kresno 2001. Respon imun selular. Yang berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Dua mekanisme yang dilakukan untuk menyingkirkan mikroorganisme intraselular adalah: 1 sel terinfeksi dapat dibunuh melalui sistem efektor ekstraselular misalnya oleh sel sitotoksik, dan 2 sel terinfeksi diaktivasi agar mampu membunuh mikroorganisme yang menginfeksinya. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper Th akan mengenali antigen yang terdapat pada sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui reseptor TCR dan molekul MHC kelas II. Sinyal yang diterima dari sel terinfeksi, menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan antigen tersebut. Subpopulasi sel T yang lain yaitu sel T-sitotoksik Tc juga berfungsi menghancurkan antigen intraselular yang disajikan bersama dengan MHC kelas I dengan cara kontak langsung antar- sel cell to cell contact . Sel Tc juga menghasilkan -interferon yang mencegah penyebaran antigen ke sel-sel yang lainRoitt dan Delves 2001 Respon Imun Humoral. Yang berperan dalam respon imun humoral adalah sel B atau limfosit B yang berperan dalam sintesis antibodi dan merupakan 20 dari seluruh limfosit tubuh, serta berfungsi dalam pertahanan terhadap antigen ekstraselular Baratawidjaja 2006. Respon diawali dengan diferensiasi limfosit B 25 menjadi suatu populasi klon sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah Kresno 2001. Antibodi berbentuk humoral atau dalam cairan tubuh seperti darah, cairan getah bening dan lain-lain. Fungsi utama antibodi adalah pertahanan terhadap infeksi ekstrasellular, virus dan bakteri, serta menetralisasi toksik Baratawidjaya 2006. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibodi diperlukan bantuan limfosit Th yang atas sinyal yang diberikan oleh makrofag, merangsang sel B untuk memproduksi antibodi. Pada respon humoral juga berlaku respon primer yang membentuk klon sel B memori. Terjadinya respon imun humoral adalah karena infeksi, imunisasi aktif dengan toksoid atau virusbakteri yang dilemahkan. Integritas respon imun humoral pada manusia sering dinilai dengan mengukur kadar berbagai jenis kelas immunoglobulin di dalam serum atau mengukur naiknya titer antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup Kresno 2001. Dalam sistem imun humoral dikenal 5 kelas immunoglobulin Ig, yaitu: IgA, IgG, IgM, IgD dan IgE. Komponen-komponen yang berperan dalam respon imun humoral, yaitu: antibodi, sel B, komplemen, dan leukosit polimorfonuclear. Antibodi sangat penting untuk pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kumanbakteri ekstraseluler. Antigen dan Antibodi Istilah antigen mempunyai dua makna, yaitu pertama, menyatakan suatu molekul yang merangsang timbulnya respon imun disebut juga sebagai imunogen, dan kedua, antigen adalah suatu molekul yang bereaksi dengan antibodi atau sel-T yang sudah disensitisasi Roitt 2002, Baratawidjaya, 2006. Secara fungsional, antigen dibedakan atas imunogen dan hapten. Imunogen adalah substansi yang dapat merangsang respon imun humoral, sellular maupun keduanya, sedangkan hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada preformed secara langsung tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung. Hapten dapat menjadi imunogen apabila sudah diikat oleh protein pembawa carrier, dan dalam fungsinya, hapten akan dikenali oleh sel B sedangkan carrier akan dikenali oleh sel T. Dalam imunisasi, carrier sering digabung dengan hapten. Menurut Kresno 2001, bagian dari antigen yang bereaksi dengan antibodi atau dengan reseptor spesifik dari limfosit T disebut dengan epitop. Jumlah epitop untuk masing-masing antigen adalah berbeda. Interaksi kimia antara antibodi dan antigen adalah non kovalen, yang meliputi: ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik, kekuatan van der Walls dan interaksi hidrofobik. Antigen yang dalam menginduksi respon imun memerlukan bantuan sel-T disebut dengan antigen yang T-dependent, sedangkan imunogen yang dapat merangsang respon imun tanpa melibatkan sel-T dan dapat langsung merangsang sel B untuk memproduksi antibodi disebut dengan antigen yang T-independent. Respon imun yang ditimbulkan umumnya berbeda dengan yang ditimbulkan oleh antigen yang T-dependent, yaitu antibodi yang diproduksi terutama IgM, atau hanya IgM. Selain itu respon yang ditimbulkan tidak menghasilkan sel memori. 26 Pembentukan Respon Imun Apabila tubuh diberikan imunogen akan terjadi respon imun. Perkenalan pertama dengan suatu imunogen akan membangkitkan respon imun primer. Bila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, akan terjadi suatu respon imun primer yang ditandai dengan munculnya immunoglobulin M IgM beberapa hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah 7 hari, dimana pada saat itu juga mulai muncul IgG dalam serum dapat dideteksi, selanjutnya kadar IgM mulai menurun sebelum kadar IgG mencapai puncaknya. Kadar IgG mencapai puncaknya antara 10-14 hari setelah pemaparan antigen Tizard 1988. Kadar antibodi kemudian berkurang, namun IgG biasanya masih dapat dideteksi hingga 4-5 minggu setelah pemaparan. Bila pemaparan antigen yang sama terjadi lagi untuk kedua kalinya, maka akan terjadi pembentukan respon imun sekunder booster, dimana IgM dan IgG cepat meningkat. Imunoglobulin G IgG Dalam serum orang dewasa normal, IgG merupakan 75 persen dari immunoglobulin total dan merupakan imunoglobulin utama yang dibentuk atas rangsangan antigen. Ada empat kelas IgG yaitu: IgG, IgG2, IgG3 dan IgG4. IgG1 merupakan subklas IgG yang paling banyak dijumpai yaitu mencapai 70 dari total IgG. Imunoglobulin G dapat menembus plasenta dan masuk ke dalam peredaran darah janin, sehingga pada bayi baru lahir IgG yang berasal dari ibu yang melindungi bayi terhadap infeksi. Diantara semua kelas immunoglobulin, IgG paling mudah berdifusi ke dalam jaringan ekstravaskular dan melakukan aktivitas antibodi di jaringan. IgG mempunyai sifat opsonin yang efektif karena mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dari IgG sehingga mempererat hubungan fagosit dengan sel-sel sasaran. Kadar IgG meninggi dalam infeksi kronis dan penyakit autoimun. IgG pada manusia disintesis kira-kira 35 mlkghari dengan waktu paruh half life sekitar 23 hari. Karena ukurannya yang relative kecil, maka IgG lebih mudah keluar dari pembuluh darah dibandingkan dengan immunoglobulin yang lain, sehingga cepat mengambil bagian utama dalam mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan tubuh Tizard 1988. Setiap molekul Imunoglobulin terdiri dari satu ekor rantai terminal-C rantai peptide dengan gugus karboksil bebas yang mempunyai susunan urutan asam amino yang relatif konstan dan dua lengan rantai terminal-N gugus amino bebas dengan susunan asam amino sangat berubah-ubah bagian variabel. Karena perubahan susunan asam amino tersebut, maka pada rantai ini merupakan tempat pengikatan antigen yang mengakibatkan setiap molekul IgG berfungsi bivalen Tizard 1988. Bagian variabel tersebut dibentuk oleh empat rantai polipeptida dasar yakni dua rantai berat heavyH dan dua rantai ringan lightL. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfide. Struktur immunoglobulin G disajikan pada Gambar 9. 27 Gambar 9 Struktur immunoglobulin G Virella 2007 Penilaian Status Vitamin A Penentuan status vitamin A penting untuk melihat kadar vitamin A dalam tubuh seseorang. Menurut Gropper et al 2009, status vitamin A dapat diukur melalui beberapa cara, meliputi: uji histologis, pengukuran biokimia dan test fungsional. Test tersebut mencakup pengukuran untuk buta senja atau ambang adaptasi gelap dark adaptation threshold. Conjunctival impression cytology CIC, yang merupakan metode pengukuran histologi, meliputi pemeriksaan mata. Konjungtiva diperiksa untuk perubahan-perubahan, khususnya reduksi sel-sel goblet dan dearrangement dari sel-sel epithel yang terjadi akibat terganggunya status vitamin A Olson, 1994. Kekurangan vitamin A mengakibatkan perubahan-perubahan histopatologi pada epithel konjungtiva, yang terjadi secara berurutan, yaitu: 1 Normal, lapisan dari epitel sel kecil dengan sel goblet yang berlimpah dan spot-spot mucin; 2 Borderline, hanya sedikit goblet sel dan spot mucin. Epithel sel yang membesar mulai berpisah dari lapisan dan; 3Abnormal, tidak ada sel goblet atau mucin spot. Ditandai dengan pembesaran sel epithel. Conjunctival impression cytology dapat mendeteksi physiologi awal dari defisiensi vitamin A Gibson 2005. Stable Isotope Methods dan cadangan Total Vitamin A. Prosedur isotope dilution adalah metode yang mengukur secara kuantitatif cadangan vitamin A dalam hati, yaitu dengan cara memberikan secara oral tetradeuterated vitamin A. Dose isotop memungkinkan untuk seimbang dengan cadangan vitamin A dalam tubuh, kemudian dilakukan pengambilan darah, dan ratio dari komponen deuterated dan non-deuterated diukur dengan spektrofotometer Gibson 2005. Konsentrasi vitamin A dalam hati , dipertimbangkan sebagai indikator terbaik untuk status vitamin A. Namun, melakukan biopsi secara langsung pada hati untuk penentuan vitamin A adalah metode yang tidak mungkin dilakukan pada orang yang sehat. Metode penentuan secara tidak langsung yang seringkali dilakukan adalah konsentrasi serum retinol dan relative dose respone RDR. 28 Namun teknik ini tidak mampu menyediakan estimasi kuantitif cadangan vitamin A dan tidak dapat digunakan untuk status vitamin A perseorangan. Teknik deuterated-retinol-dilution DRD, adalah metode pendugaan secara tidak langsung cadangan vitamin A dalam hati secara kuantitatif. Teknik DRD dilakukan dengan cara meminumkan stable-isotop-labeled vitamin A pada seseorang dan setelah masa equilibrasi dilakukan pengambilan sampel darah untuk menentukan rasio isotop terhadap retinol dalam plasma. Konsentrasi retinol plasma , sering diukur sebagai indikator biokimia status vitamin A. Level retinol plasma sensitif menggambarkan status vitamin A hanya ketika cadangan vitamin A dalam hati kekurangan dalam tingkat berat 0. 7 molg hati atau berlebihan sekali 1.05 molg hati. Bila konsentrasi cadangan vitamin A dalam hati berada dalam batas ini, tidak menggambarkan total cadangan tubuh, karena konsentrasi serum retinol terkontrol secara homeostasis dan tidak akan turun hingga cadangan tubuh benar benar menurun. Penggunaan konsentrasi serum retinol juga tergantung pada kecukupan diet energi, protein dan zinc karena perannya dalam sintesis retinol binding protein. Gropper et al. 2009. Lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan retinol serum sebagai indikator status vitamin A tidak reliabel pada individu dengan infeksi atau inflamasi karena keduanya akan menekan konsentrasi plasma vitamin A. Konsentrasi retinol plasma yang lebih kecil dari ~ β0 gdL 0.7 ML dikatakan sebagai defisien atau marginal dan menunjukkan cadangan vitamin yang tidak adekuat, konsentrasi antara 30- 86 gdL 1.05 – γ ML adalah kondisi adekuat dan lebih dari 86 gdL γ ML dikatakan dalam kondisi berlebihan. Gibson 2005 juga menyebutkan bahwa konsentrasi serum retinol selain dipengaruhi oleh faktor faktor yang mempengaruhi pengeluaran holo-RBP, termasuk umur, jenis kelamin dan ras. Faktor lain adalah asupan lemak yang rendah dalam makanan, misalnya asupan 5-10 ghari akan mengganggu absorbsi provitamin A karoten dan pada jangka panjang menurunkan konsentrasi serum retinol. Serum Retinol Binding Protein RBP. RBP adalah protein transport spesifik vitatamin A. Bila tidak berikatan dengan retinol disebut apo-RBP, sedangkan bila berikatan dengan retinol disebut dengan holo-RBP. Bila cadangan retinol hati menurun, yang timbul pada tingkat akhir defisiensi vitamin A, RBP berakumulasi dalam hati sebagai apo-RBP, sehingga kadar serum retinol dan RBP menurun Gibson 2005. Serum RBP adalah molekul tiga kompleks 1:1:1 mol antara RBP, retinol dan transthyetin. Karena merupakan kompleks 1:1, maka konsentrasi serum RBP dapat menggambarkan konsentrasi serum retinol, sehingga dapat digunakan untuk indikator status vitamin A. Penentuan RBP dapat menggunakan prosedur radioimmunoassay RIA yang spesifik dan sensitif dimana RBP berikatan dengan radioactives labeled antibodies. Alternatif lain dengan menggunakan enzyme immunoassay EIA. Penanganan serum RBP lebih mudah dibanding serum retinol karena RBP lebih stabil dibandingkan retinol, tidak sensitif terhadap cahaya, dan kurang sensitif terhadap temperatur serta lebih stabil selama dalam kotak pendingin. Selain itu, penanganan serum RBP memerlukan sedikit serum, yaitu sekitar 10- β0 L. Beberapa variasi faktor yang mempengaruhi ikatan RBP pada retinol antara lain: kurang energi protein, penyakit hati, dan gagal ginjal kronik. Serum Karotenoids . Komponen utama dari serum karotenoids adalah - karoten, lykopen dan beberapa karotenoid lain. Beberapa factor non gizi yang 29 5-jam retinol plasma – retinol plasma awal initial RDR = X 100 5-jam konsentrasi retinol plasma mempengaruhi konsentrasi serum karotenoids antara lain umur, jenis kelamin, asupan alcohol, indeks massa tubuh IMT dan merokok Gibson 2005. Relative Dose Respone RDR. Merupakan metode untuk menduga cadangan vitamin A dalam hati. RDR test mencakup pengukuran perubahan konsentrasi retinol di dalam plasma sebelum dan 5 jam setelah pemberian retynil ester biasanya asetat atau palmitat secara oral Gropper et al. 2009. Konsentrasi retinol darah ditentukan dan persen RDR dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Selama terjadi kekurangan vitamin A, cadangan dalam hati menurun dan RBP berakumulasi dalam hati sebagai apo-RBP. Setelah pemberian vitamin A test dose, sebagian vitamin A mengikat kelebihan apo-RBP dalam hati, selanjutnya keluar sebagai holo-RBP ke dalam aliran darah. Konsekuensinya, pada keadaan defisiensi vitamin A terjadinya peningkatan serum retinol setelah pemberian vitamin A test dose lebih cepat dibandingkan pada kondisi cadangan vitamin A normal yang peningkatannya relatif sedikit atau bahkan tidak terjadi peningkatan sama sekali Gibson 2005. Persen RDR ≥ 20 menggambarkan ketidak cukupan cadangan vitamin A dalam hati Russel 2000. Kelemahan dari prosedur ini dalam penggunaan di lapangan adalah memerlukan pengambilan darah dua kali dengan interval waktu 5 jam. Modified Relative Dose Respone MRDR. Mencakup pengukuran ratio antara 3,4 didehydroretinol terhadap retinol di dalam darah setelah pemberian dosis tunggal 3,4-didehydroretinyl acetate vitamin A 2 yang akan muncul setelah 4-6 jam dalam serum dan terikat pada RBP sebagai didehydroretinol DR. Ratio didehydro retinol DR terhadap retinol R dalam plasma secara proporsional merupakan kebalikan terhadap cadangan vitamin A dalam hati yang berada pada batas kekurangan dan marginal. MRDR hanya memerlukan satu kali pengambilan darah dan untuk analisis menggunakan HPLC. Nilai ratio MRDR pada 5 jam yang lebih kecil dari 0.04 pada orang dewasa sehat mengindikasikan status yang adekuat Tanumihardjo 2004. 30

3. METODE PENELITIAN

Kerangka Pendekatan Studi Kurang vitamin A KVA bisa disebabkan karena rendahnya asupan vitamin A dalam diet harian. Berdasarkan hasil Survey Nasional, diketahui bahwa pada tahun 2010, kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia masih rendah, yang ditunjukkan dengan skor Pola Pangan Harapan PPH sebesar 80.6 masih dibawah standar yang diharapkan. Langkah yang dapat ditempuh antara lain: 1 suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi pada balita, 2 meningkatkan konsumsi bahan pangan sumber vitamin A terutama pangan hewani, dan 3 fortifikasi pangan, yaitu dengan menambahkan vitamin A dalam bahan pangan yang umum dikonsumsi oleh masyarakat. Menurut Soekirman 2008, fortifikasi pangan dipandang cost effective dalam penanggulangan masalah gizi. Di Amerika latin, fortifikasi gula dengan vitamin A, dalam 5 tahun berhasil menurunkan prevalensi kurang vitamin A dari 40 persen menjadi 13 persen. Hal yang harus dipertimbangkan dalam melakukan fortifikasi pangan adalah pemilihan jenis pangan yang tepat untuk vehiclekendaraan yang akan digunakan untuk membawa zat gizi. Pangan untuk wahana fortifikasi adalah jenis pangan yang dimanfaatkan secara luas di masyarakat, dikonsumsi secara kontinyu, serta memiliki harga yang terjangkau dan tidak fluktuatif. Selain itu juga diproduksi secara terpusat, yang dimaksudkan agar semua proses dalam fortifikasi pangan dapat dikontrol dengan baik sehingga diperoleh produk hasil fortifikasi yang memenuhi standar. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemilihan fortifikan zat gizi yang akan digunakan. Menurut WHO 2006, untuk fortifikan vitamin A direkomendasikan penggunaan retinyl acetate, retinyl palmitate dan provitamin A yaitu -karoten. Salah satu sumber provitamin A yang cukup melimpah ketersediaannya di Indonesia adalah minyak sawit baik CPO maupun RPO, yang mengandung karoten antara 440-613 ppm Darnoko et al. 2002. Gula kelapa merupakan salah satu jenis pangan yang berpotensi digunakan sebagai wahana pembawa provitamin A, karena dikonsumsi secara luas baik pada skala industri maupun rumah tangga pada semua lapisan, dan mempunyai harga yang terjangkau. Dalam salah satu tahapan prosesing gula kelapa ada penambahan minyak sayur untuk tujuan penurunan buih defoaming. Penggunaan minyak sawit merah untuk tahap defoaming dalam pengolahan gula kelapa akan menghasilkan gula kelapa dengan kandungan provitamin A yang tinggi. Tersedianya jenis pangan yang kaya provitamin A, yaitu gula kelapa yang diperkaya dengan karoten dari sawit merah di masyarakat, akan meningkatkan asupan provitamin A harian. Konsumsi gula kelapa per kapita per hari sekitar 12.5 gram BPS 2008. Namun demikian sejalan dengan semakin beragamnya jenis pangan berbasis gula kelapa seperti kecap, makanan tradisional, minuman fungsional, memungkinkan terjadinya peningkatan konsumsi komoditas tersebut. Penambahan minyak sawit merah yang mengandung karoten pada pembuatan gula kelapa akan menjadikan gula kelapa sebagai salah satu pangan sumber provitamin A serta dapat meningkatkan asupan vitamin A harian yang selanjutnya akan berdampak pada status vitamin A serta respon imun. Indikator untuk melihat 31 status vitamin A antara lain konsentrasi retinol serum dan jumlah cadangan retinol dalam hati, sedangkan indikator respon imun yang dapat diamati antara lain produksi immunoglobulin G IgG. Vitamin A penting untuk perkembangan barrier tubuh terhadap infeksi, serta menstimulasi dan mempertinggi beberapa fungsi imun termasuk respon antibodi dan aktivitas dari berbagai sel darah putih seperti sel T helper dan fagosit. Namun demikian, penambahan minyak sawit merah yang mengandung karoten tinggi pada gula kelapa selain berpengaruh pada sifat fungsionalnya yang akan menunjang kesehatan, juga mempengaruhi karakteristik sensori dan penerimaan gula kelapa. Selain itu karoten merupakan komponen yang mudah mengalami kerusakan akibat peristiwa oksidasi maupun isomerisasi yang dipengaruhi oleh paparan cahaya, oksigen, panas dan radikal, sehingga diperlukan cara pengemasan yang tepat untuk mempertahankan retensinya selama penyimpanan, agar di saat sampai ke konsumen, gula kelapa masih potensial sebagai penyumbang vitamin A. Oleh karena itu, dalam rangka mengevaluasi potensi gula kelapa yang diperkaya CPO maupun RPO sebagai salah satu alternatif pangan untuk mengatasi masalah kurang vitamin A, maka pendekatan studi dilakukan melalui 3 tahapan penelitian yaitu: 1 Formulasi gula kelapa tinggi provitamin A, untuk menghasilkan gula kelapa yang diperkaya CPO maupun RPO yang diterima secara sensori. 2 Kajian tentang pengaruh jenis kemasan terhadap retensi karoten dalam gula kelapa yang diperkaya minyak sawit, yaitu CPO dan RPO selama penyimpanan. 3 Uji pengaruh pemberian gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO terhadap peningkatan status vitamin A dan status imun, yaitu pada tikus kelompok defisien vitamin A berat dan sedang. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 10. 32 Keterangan: = yang diteliti = tidak diteliti Gambar 10 Kerangka pemikiran Diet rendah vitamin A KVA Fortifikasi Pangan Diversifikasi Pangan Suplementasi Vehicle Fortifikan Produk olahan Gula kelapa: Kecap, Dodol,nopia Mak.Tradisional β-karoten Retinyl Palmitat Retinyl asetat Gula Kelapa Tinggi Provitamin A Gula Kelapa MSM RPO, CPO Peningkatan Asupan Metabolisme Strategi penanggulangan Status Vitamin A: Retinol Serum Retinol Hati Imunitas: Konsentrasi IgG